Nama:
Hukuman dan Pertobatan
Bandung Mawardi
Warisan terbesar dari rezim Orde Baru
adalah nama. Kaum lawas mengenang warisan nama terpenting dari masa lalu: Budi.
Di jutaan buku pelajaran SD diterbitkan pemerintah, Budi itu nama paling tenar
di seantero Indonesia. Ingat sekolah, ingat Budi. Ingat buku pelajaran SD,
ingat budi. Apa ingat Orde Baru melulu Budi? Ingatan utuh pada Budi selalu
kebaikan, pintar, sopan, kerukunan, dan keluguan. Sekian orang mengingat Budi
pernah nakal, putus asa, marah, dan cemburu?
Kita bertemu masa lalu Budi di buku
berjudul Bahasa Indonesia: Belajar
Membaca dan Menulis (1976). Di situ, kita dikenalkan dengan tokoh-tokoh
bernama Budi, Iwan, dan Wati. Belajar membaca mengarah ke tokoh utama bernama
Budi. Di pelbagai peristiwa, Budi sering muncul menjadi tokoh. Kita tak pernah
mengetahui argumentasi tim penulis buku saat memutuskan nama terpenting adalah
Budi. Nama itu mewabah di Indonesia, dari masa ke masa.
Budi di buku pelajaran tentu Budi jadi
teladan bagi bocah-bocah di Indonesia. Budi diharapkan bersifat serba baik, tak
memiliki keburukan-keburukan mudah ditiru murid-murid. Kenangan kita pada Budi
di masa Orde Baru belum lengkap jika belum membaca buku berjudul Si Badung. Pembuat cerita Z Lubis dan
pemberi gambar Dahlia D. Buku terbitan Balai Pustaka, 1978.
Budi pernah nakal. Kita simak penjelasan
penerbit di buku berjudul Si Badung untuk
pembuktian: “Buku ini mengisahkan seorang anak bernama Budi. Budi seorang anak
nakal. Ada-ada saja kelakuannya untuk mengganggu kawan-kawannya. Karena
nakalnya itulah Budi mendapat julukan Si Badung.” Ha, Budi itu bocah nakal!
Buku cerita boleh menjadikan Budi itu nakal. Di buku pelajaran, pemerintah
belum ingin mengenalkan Budi itu nakal pada murid-murid. Budi itu selalu
memiliki makna baik.
Sutan Muhammad Zain dan JS Badudu dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1990)
mengartikan budi: “yang dalam batin manusia sebagai paduan akal dan perasaan
yang dapat menimbang baik-buruk segala sesuatu”, “tabiat dan tingkah laku”,
“perbuatan yang baik”, “kecerdikan”, “akal”. Budi berasal dari bahasa
Sanskerta. Sekian pengertian itu berpokok baik. Arti “budi” di kamus belum
pernah diubah atau ditambahi. Nakal atau badung belum berhasil masuk di kamus
sebagai pengertian untuk “budi”.
Kita lengkapi dengan pengertian di Baoesastra Djawa (1939) susunan WJS
Poerwadarminta. Budi memiliki arti: “nalar, pikiran, (kang ginawe nggegajoeh,
golek reka)”, “migoenaake nalare”, “tjaraning pamikir”, “watak”, “polah arep
ontjat”, “ora manoet”. Pengertian dalam bahasa Jawa itu tak mutlak “budi” itu
baik. Kamus-kamus boleh memberi arti tapi penulis cerita berhak tak bergantung
pengertian-pengertian telah baku. Pencerita mungkin sedang ingin bermain
pengertian mumpung Budi terkenal di Indonesia.
Cerita dengan tokoh Budi itu mengajarkan
watak bocah ke para pembaca. Pencerita menjadikan cerita adalah sumber
keteladanan dan pertobatan. Cerita dipersembahkan bagi anak-anak tercinta,
sebelum ke pembaca umum. Pengarang mencantumkan tiga nama anak: Chomsyiah,
Miftah, dan Adiyan Nur. Ia tak memiliki anak bernama Budi. Pilihan nama Budi di
cerita tak bakal bisa diacukan ke tiga anak. Budi itu tokoh milik publik, bukan
tokoh di keluarga si pencerita.
Di halaman 8, adegan Dede menangis
gara-gara kepala digetok oleh Budi. Suara tangis masa lalu: “Wuwu, wuwu, wuwu.”
Pembaca jangan nggumun dengan
jenis-jenis tangisan. Dede melaporkan pada ibu tentang kenakalan Budi. Dede itu
adik Budi. Di mata Budi, Dede adalah bocah perempuan cengeng. Ulah Budi itu tak
bisa diterima oleh ibu. Hukuman diberikan ibu berupa cubitan di perut Budi.
Nah, Budi meronta kesakitan. Dede mesem melihat Budi dihukum. Mesem itu
mengartikan “balas dendam”. Mata Budi melotok ke arah Dede.
Hukuman itu belum selesai. Kenakalan harus
mendapat ganjaran setimpal. Ibu memerintah Budi mengambil sapu. Budi wajib
membersihkan pekarangan. Hukuman itu baik dan mendidik, bukan hukuman
mencelakakan atau hukuman menghasilkan dendam kesumat. Ibu boleh marah pada
anak tapi terlarang memberi hukuman keterlaluan. Perlakuan pada raga anak
jangan memberi luka atau mengakibatkan operasi di rumah sakit. Mencubit dan
memerintah untuk membersihkan pekarangan masih teranggap hukuman berpijak ke
kasih atau kebaikan.
Budi masih saja nakal. Konon, nakal sulit
hilang mendadak, tiba-tiba, atau sekejap mata. Kita simak lanjutan cerita: “Budi
menyapu pekarangan. Kakaknya Tini pulang dari sekolah. Tini membuang kertas di
halaman. Budi memukul kaki Tini dengan sapu. ‘Wuwu, wuwu, wuwu!’ Tini
menjerit-jerit kesakitan. ‘Si Badung, Bu! Si Badung memukul kaki Tini!’ Tini
menangis terus sambil memegang kakinya.” Nah, Budi belum bertobat. Sikap Budi
agak baik: menghukum si pembuang kertas di sembarang tempat. Di mata Tini dan ibu,
Budi tentu masih bocah nakal. Selama menjalani hukuman, nakal belum reda.
Argumentasi buatan Budi: “Tini mengotori halaman, Bu! Budi sudah cape-cape
menyapu.” Pembaca boleh memihak Budi atau mengasihani Tini sempat melakukan
tindakan tak terpuji. Pembaca dalam dilema? Ibu tetap memberi marah pada Budi.
Siapa itu Budi? Pengarang memberi
penjelasan bahwa Budi sangat rajin belajar. Di pelajaran membaca dan berhitung,
Budi itu murid paling pintar. Keburukan Budi adalah nakal. Di sekolah dan
rumah, julukan resmi bagi Budi: Si Badung. Di sekolah, Budi sering membuat
ulah. Sekian tindakan Budi menghasilkan jeritan dan air mata dari para korban.
Budi kadang memiliki dalih “baik” dalam perbuatan masuk kriteria nakal.
Penggalan cerita boleh jadi bahan
perdebatan bagi pembaca. Jangan lekas berpihak sebelum memiliki argumentasi
termanis dan terbaik. Pengarang sajikan peristiwa bersanding gambar menguatkan
imajinasi pembaca: “‘Hui!’ temannya sebangku menjerit. Budi menginjak kakinya.
Bu guru datang menghampirinya. ‘Kaki saya diinjak Si Badung, Bu!’ ‘Dia mau
nyontek sih, Bu!’ ‘Ah, kamu memang badung.’ Ibu guru menghukumnya. Budi disuruh
berdiri di sudut kelas.”
Peristiwa itu belum berkaitan pelanggaran
hukum pantas masuk ke pengadilan. Peristiwa sering terjadi di sekolah. Budi
bermaksud “baik”, tak menginginkan si teman berlaku curang dalam ujian. Budi
belum memiliki jurus-jurus santun dalam memberi peringatan. Ia memilih
menginjak kaki si teman. Tenaga Budi mungkin berlebih memicu jeritan. Situasi
di kelas masih sulit menerima cara Budi. Di mata guru, Budi itu bersalah alias
nakal. Eh, si penjerit gara-gara diinjak kaki Budi dengan tuduhan berlaku
curang terbiarkan tanpa peringatan dan hukuman? Pembaca sudah mendapatkan
kalimat terpenting: “Budi disuruh berdiri di sudut kelas.” Budi itu murid
paling bersalah. Kesalahan bukan milik teman. Bu guru jangan ditetapkan
bersalah lho!
Pada masa lalu, hukuman-hukuman bagi murid
bersalah atau melakukan pelanggaran atas peraturan-peraturan sudah disepakati
di kelas sering ke adegan raga: berdiri di sudut kelas, berdiri di bawah tiang
bendera, berdiri dengan satu kaki dan dua tangan terangkat. Raga jadi sasaran
pemberian ganjaran. Raga itu mengajarkan ke murid-murid agar tak berlaku nakal
atau sembrono. Di kelas, raga Budi adalah pertunjukan hukuman. Eh, pembaca
berlagak pintar mau memaknai hukuman itu memakai pemikiran-pemikiran Foucault? Duh,
tak usah berlebihan. Rezim Orde Baru saja membiarkan jenis-jenis hukuman di
sekolah tanpa harus dianggap merusak, menistakan, dan merendahkan.
Budi di sekolah dan rumah adalah bocah
terhukum. Pembaca memberi cemooh ke Budi atau memiliki sedikit kasihan dan
pembelaan? Semua berubah di peristiwa mendebarkan dan mimpi. Pembaca disuguhi
lanjutan cerita pertobatan. Pada Minggu, ibu memerintah Budi membersihkan
pekarangan. Budi sedang malas. Ia malah pergi ke kebun belakang, menghindari
perintah. Pohon jambu sudah berbuah. Budi lekas naik ingin memetik jambu-jambu
besar menggiurkan.
Di atas pohon, Budi tak sadar jika gerakan
dahan-dahan gara-gara gerak tubuh mengakibatkan lebah-lebah keluar sarang. Di
ujung dahan, ada sarang lebah. Budi diserang lebah! Budi menjerit kesakitan.
Raga Budi jadi sasaran lebah, setelah raga sering menjalani hukuman oleh ibu
dan bu guru. Lebah lebih kejam. Sengatan lebah sudah mengenai kuping dan tangan
Budi. Pembaca sanggup mengimajinasikan rasa sakit ditanggung Budi. Menjeritlah!
Wah, membaca buku sambil menjerit bakal mengganggu ketenangan keluarga dan
pembaca.
Budi itu bocah pintar. Usaha melarikan diri
dari serbuan lebah berhasil. Pengarang bercerita: “Budi sampai di kolam
belakang rumah. Buru-buru ia membuka bajunya. Dilemparkannya bajunya lalu
mencempungkan diri ke kolam. Barulah lebah-lebah itu berhenti mengejarnya.”
Tindakan itu membuktikan pengertian-pengertian “budi” di kamus-kamus berlaku.
Budi memiliki kesanggupan menggunakan akal dalam menentukan tindakan untuk
keselamatan. Budi jika bodoh bakal mampus disengat ratusan lebah. Kamus-kamus
masih berguna bagi pembaca ingin mengerti watak Budi.
Bapak lekas menolong dengan menggendong
Budi mentas dari kolam. Ibu bertindak segera memberikan obat pada Budi. Raga
Budi sudah bengkak-bengkak. Budi jangan dimarahi. Budi minta dikasihani. Ibu
mengoleskan obat merah dan balsem. Budi diminta tidur demi kesembuhan. Budi
mungkin trauma. Bapak dan ibu tak memiliki keputusan membawa Budi ke puskesmas
atau rumah sakit. Pengobatan sederhana diinginkan mencukupi bagi kesembuhan
Budi.
Raga Budi sakit dan panas. Kesakitan
berkepanjangan. Pada tengah malam, Budi berteriak menggegerkan rumah. Teriak
dari mimpi. Bocah sedang panas lazim mendapatkan mimpi-mimpi. Budi bermimpi
“baik” tapi memberi “ketakutan”. Ia bermimpi bertemu kakek mengajarkan ilmu dan
perbuatan baik. Peristiwa paling mendebarkan adalah kakek mengajak Budi
melakukan tindakan penghukuman pada ular memakan kodok. Tongkat si kakek
dipukulkan ke ular tapi meleset. Ular itu terkejut tanpa sadar mengeluarkan
kodok dari mulut. Sumber ketakutan Budi: “Lidahnya dijulur-julurkannya, mau
memagut kaku itu. Budi takut lalu menjerit. Dan Budi pun terbangun.”
Buku cerita bergambar memiliki 71 halaman
itu berakhir dengan Budi bertobat setelah serbuan lebah dan mimpi bertemu
kakek. Cara paling gampang membuat bocah nakal bertobat. Budi dalam sakit
setelah mimpi buruk berujar pada ibu: “Bu! Doakan, Bu! Budi lekas sembuh! Budi
berjanji, Bu. Budi tidak akan nakal lagi!” Budi mau sembuh dari sakit, sembuh
dari nakal. Begitu.
No comments:
Post a Comment