Sunday, April 7, 2019

Nama: Hukuman dan Pertobatan


Nama:
Hukuman dan Pertobatan

Bandung Mawardi


Warisan terbesar dari rezim Orde Baru adalah nama. Kaum lawas mengenang warisan nama terpenting dari masa lalu: Budi. Di jutaan buku pelajaran SD diterbitkan pemerintah, Budi itu nama paling tenar di seantero Indonesia. Ingat sekolah, ingat Budi. Ingat buku pelajaran SD, ingat budi. Apa ingat Orde Baru melulu Budi? Ingatan utuh pada Budi selalu kebaikan, pintar, sopan, kerukunan, dan keluguan. Sekian orang mengingat Budi pernah nakal, putus asa, marah, dan cemburu?
Kita bertemu masa lalu Budi di buku berjudul Bahasa Indonesia: Belajar Membaca dan Menulis (1976). Di situ, kita dikenalkan dengan tokoh-tokoh bernama Budi, Iwan, dan Wati. Belajar membaca mengarah ke tokoh utama bernama Budi. Di pelbagai peristiwa, Budi sering muncul menjadi tokoh. Kita tak pernah mengetahui argumentasi tim penulis buku saat memutuskan nama terpenting adalah Budi. Nama itu mewabah di Indonesia, dari masa ke masa.
Budi di buku pelajaran tentu Budi jadi teladan bagi bocah-bocah di Indonesia. Budi diharapkan bersifat serba baik, tak memiliki keburukan-keburukan mudah ditiru murid-murid. Kenangan kita pada Budi di masa Orde Baru belum lengkap jika belum membaca buku berjudul Si Badung. Pembuat cerita Z Lubis dan pemberi gambar Dahlia D. Buku terbitan Balai Pustaka, 1978.
Budi pernah nakal. Kita simak penjelasan penerbit di buku berjudul Si Badung untuk pembuktian: “Buku ini mengisahkan seorang anak bernama Budi. Budi seorang anak nakal. Ada-ada saja kelakuannya untuk mengganggu kawan-kawannya. Karena nakalnya itulah Budi mendapat julukan Si Badung.” Ha, Budi itu bocah nakal! Buku cerita boleh menjadikan Budi itu nakal. Di buku pelajaran, pemerintah belum ingin mengenalkan Budi itu nakal pada murid-murid. Budi itu selalu memiliki makna baik.
Sutan Muhammad Zain dan JS Badudu dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1990) mengartikan budi: “yang dalam batin manusia sebagai paduan akal dan perasaan yang dapat menimbang baik-buruk segala sesuatu”, “tabiat dan tingkah laku”, “perbuatan yang baik”, “kecerdikan”, “akal”. Budi berasal dari bahasa Sanskerta. Sekian pengertian itu berpokok baik. Arti “budi” di kamus belum pernah diubah atau ditambahi. Nakal atau badung belum berhasil masuk di kamus sebagai pengertian untuk “budi”.
Kita lengkapi dengan pengertian di Baoesastra Djawa (1939) susunan WJS Poerwadarminta. Budi memiliki arti: “nalar, pikiran, (kang ginawe nggegajoeh, golek reka)”, “migoenaake nalare”, “tjaraning pamikir”, “watak”, “polah arep ontjat”, “ora manoet”. Pengertian dalam bahasa Jawa itu tak mutlak “budi” itu baik. Kamus-kamus boleh memberi arti tapi penulis cerita berhak tak bergantung pengertian-pengertian telah baku. Pencerita mungkin sedang ingin bermain pengertian mumpung Budi terkenal di Indonesia.
Cerita dengan tokoh Budi itu mengajarkan watak bocah ke para pembaca. Pencerita menjadikan cerita adalah sumber keteladanan dan pertobatan. Cerita dipersembahkan bagi anak-anak tercinta, sebelum ke pembaca umum. Pengarang mencantumkan tiga nama anak: Chomsyiah, Miftah, dan Adiyan Nur. Ia tak memiliki anak bernama Budi. Pilihan nama Budi di cerita tak bakal bisa diacukan ke tiga anak. Budi itu tokoh milik publik, bukan tokoh di keluarga si pencerita.
Di halaman 8, adegan Dede menangis gara-gara kepala digetok oleh Budi. Suara tangis masa lalu: “Wuwu, wuwu, wuwu.” Pembaca jangan nggumun dengan jenis-jenis tangisan. Dede melaporkan pada ibu tentang kenakalan Budi. Dede itu adik Budi. Di mata Budi, Dede adalah bocah perempuan cengeng. Ulah Budi itu tak bisa diterima oleh ibu. Hukuman diberikan ibu berupa cubitan di perut Budi. Nah, Budi meronta kesakitan. Dede mesem melihat Budi dihukum. Mesem itu mengartikan “balas dendam”. Mata Budi melotok ke arah Dede.
Hukuman itu belum selesai. Kenakalan harus mendapat ganjaran setimpal. Ibu memerintah Budi mengambil sapu. Budi wajib membersihkan pekarangan. Hukuman itu baik dan mendidik, bukan hukuman mencelakakan atau hukuman menghasilkan dendam kesumat. Ibu boleh marah pada anak tapi terlarang memberi hukuman keterlaluan. Perlakuan pada raga anak jangan memberi luka atau mengakibatkan operasi di rumah sakit. Mencubit dan memerintah untuk membersihkan pekarangan masih teranggap hukuman berpijak ke kasih atau kebaikan.
Budi masih saja nakal. Konon, nakal sulit hilang mendadak, tiba-tiba, atau sekejap mata. Kita simak lanjutan cerita: “Budi menyapu pekarangan. Kakaknya Tini pulang dari sekolah. Tini membuang kertas di halaman. Budi memukul kaki Tini dengan sapu. ‘Wuwu, wuwu, wuwu!’ Tini menjerit-jerit kesakitan. ‘Si Badung, Bu! Si Badung memukul kaki Tini!’ Tini menangis terus sambil memegang kakinya.” Nah, Budi belum bertobat. Sikap Budi agak baik: menghukum si pembuang kertas di sembarang tempat. Di mata Tini dan ibu, Budi tentu masih bocah nakal. Selama menjalani hukuman, nakal belum reda. Argumentasi buatan Budi: “Tini mengotori halaman, Bu! Budi sudah cape-cape menyapu.” Pembaca boleh memihak Budi atau mengasihani Tini sempat melakukan tindakan tak terpuji. Pembaca dalam dilema? Ibu tetap memberi marah pada Budi.
Siapa itu Budi? Pengarang memberi penjelasan bahwa Budi sangat rajin belajar. Di pelajaran membaca dan berhitung, Budi itu murid paling pintar. Keburukan Budi adalah nakal. Di sekolah dan rumah, julukan resmi bagi Budi: Si Badung. Di sekolah, Budi sering membuat ulah. Sekian tindakan Budi menghasilkan jeritan dan air mata dari para korban. Budi kadang memiliki dalih “baik” dalam perbuatan masuk kriteria nakal.
Penggalan cerita boleh jadi bahan perdebatan bagi pembaca. Jangan lekas berpihak sebelum memiliki argumentasi termanis dan terbaik. Pengarang sajikan peristiwa bersanding gambar menguatkan imajinasi pembaca: “‘Hui!’ temannya sebangku menjerit. Budi menginjak kakinya. Bu guru datang menghampirinya. ‘Kaki saya diinjak Si Badung, Bu!’ ‘Dia mau nyontek sih, Bu!’ ‘Ah, kamu memang badung.’ Ibu guru menghukumnya. Budi disuruh berdiri di sudut kelas.”
Peristiwa itu belum berkaitan pelanggaran hukum pantas masuk ke pengadilan. Peristiwa sering terjadi di sekolah. Budi bermaksud “baik”, tak menginginkan si teman berlaku curang dalam ujian. Budi belum memiliki jurus-jurus santun dalam memberi peringatan. Ia memilih menginjak kaki si teman. Tenaga Budi mungkin berlebih memicu jeritan. Situasi di kelas masih sulit menerima cara Budi. Di mata guru, Budi itu bersalah alias nakal. Eh, si penjerit gara-gara diinjak kaki Budi dengan tuduhan berlaku curang terbiarkan tanpa peringatan dan hukuman? Pembaca sudah mendapatkan kalimat terpenting: “Budi disuruh berdiri di sudut kelas.” Budi itu murid paling bersalah. Kesalahan bukan milik teman. Bu guru jangan ditetapkan bersalah lho!
Pada masa lalu, hukuman-hukuman bagi murid bersalah atau melakukan pelanggaran atas peraturan-peraturan sudah disepakati di kelas sering ke adegan raga: berdiri di sudut kelas, berdiri di bawah tiang bendera, berdiri dengan satu kaki dan dua tangan terangkat. Raga jadi sasaran pemberian ganjaran. Raga itu mengajarkan ke murid-murid agar tak berlaku nakal atau sembrono. Di kelas, raga Budi adalah pertunjukan hukuman. Eh, pembaca berlagak pintar mau memaknai hukuman itu memakai pemikiran-pemikiran Foucault? Duh, tak usah berlebihan. Rezim Orde Baru saja membiarkan jenis-jenis hukuman di sekolah tanpa harus dianggap merusak, menistakan, dan merendahkan.
Budi di sekolah dan rumah adalah bocah terhukum. Pembaca memberi cemooh ke Budi atau memiliki sedikit kasihan dan pembelaan? Semua berubah di peristiwa mendebarkan dan mimpi. Pembaca disuguhi lanjutan cerita pertobatan. Pada Minggu, ibu memerintah Budi membersihkan pekarangan. Budi sedang malas. Ia malah pergi ke kebun belakang, menghindari perintah. Pohon jambu sudah berbuah. Budi lekas naik ingin memetik jambu-jambu besar menggiurkan.
Di atas pohon, Budi tak sadar jika gerakan dahan-dahan gara-gara gerak tubuh mengakibatkan lebah-lebah keluar sarang. Di ujung dahan, ada sarang lebah. Budi diserang lebah! Budi menjerit kesakitan. Raga Budi jadi sasaran lebah, setelah raga sering menjalani hukuman oleh ibu dan bu guru. Lebah lebih kejam. Sengatan lebah sudah mengenai kuping dan tangan Budi. Pembaca sanggup mengimajinasikan rasa sakit ditanggung Budi. Menjeritlah! Wah, membaca buku sambil menjerit bakal mengganggu ketenangan keluarga dan pembaca.
Budi itu bocah pintar. Usaha melarikan diri dari serbuan lebah berhasil. Pengarang bercerita: “Budi sampai di kolam belakang rumah. Buru-buru ia membuka bajunya. Dilemparkannya bajunya lalu mencempungkan diri ke kolam. Barulah lebah-lebah itu berhenti mengejarnya.” Tindakan itu membuktikan pengertian-pengertian “budi” di kamus-kamus berlaku. Budi memiliki kesanggupan menggunakan akal dalam menentukan tindakan untuk keselamatan. Budi jika bodoh bakal mampus disengat ratusan lebah. Kamus-kamus masih berguna bagi pembaca ingin mengerti watak Budi.
Bapak lekas menolong dengan menggendong Budi mentas dari kolam. Ibu bertindak segera memberikan obat pada Budi. Raga Budi sudah bengkak-bengkak. Budi jangan dimarahi. Budi minta dikasihani. Ibu mengoleskan obat merah dan balsem. Budi diminta tidur demi kesembuhan. Budi mungkin trauma. Bapak dan ibu tak memiliki keputusan membawa Budi ke puskesmas atau rumah sakit. Pengobatan sederhana diinginkan mencukupi bagi kesembuhan Budi.
Raga Budi sakit dan panas. Kesakitan berkepanjangan. Pada tengah malam, Budi berteriak menggegerkan rumah. Teriak dari mimpi. Bocah sedang panas lazim mendapatkan mimpi-mimpi. Budi bermimpi “baik” tapi memberi “ketakutan”. Ia bermimpi bertemu kakek mengajarkan ilmu dan perbuatan baik. Peristiwa paling mendebarkan adalah kakek mengajak Budi melakukan tindakan penghukuman pada ular memakan kodok. Tongkat si kakek dipukulkan ke ular tapi meleset. Ular itu terkejut tanpa sadar mengeluarkan kodok dari mulut. Sumber ketakutan Budi: “Lidahnya dijulur-julurkannya, mau memagut kaku itu. Budi takut lalu menjerit. Dan Budi pun terbangun.”
Buku cerita bergambar memiliki 71 halaman itu berakhir dengan Budi bertobat setelah serbuan lebah dan mimpi bertemu kakek. Cara paling gampang membuat bocah nakal bertobat. Budi dalam sakit setelah mimpi buruk berujar pada ibu: “Bu! Doakan, Bu! Budi lekas sembuh! Budi berjanji, Bu. Budi tidak akan nakal lagi!” Budi mau sembuh dari sakit, sembuh dari nakal. Begitu.  



No comments:

Post a Comment