Thursday, June 13, 2019

Telat dan Tabah


Telat dan Tabah

Bandung Mawardi


Gambar di sampul, gambar mendebarkan dan gampang memberi salah paham. Bocah perempuan, anjing, dan sumur. Bocah itu berlari ke arah sumur. Di belakang, anjing tampak mengejar. Apakah bocah itu melintasi sumur atau berhenti di atas bibir sumur? Bocah itu terjatuh ke sumur? Mengapa anjing itu mengejar? Pilihan gambar di sampul mungkin mengawali kerancuan pembaca, setelah membaca judul di bagian bawah: Si Kidal. Gambar itu mustahil mampu menjelaskan judul! Gambar dikerjakan oleh Sulistyo. Di hadapan buku cerita berjudul Si Kidal (1977) gubahan Satmowi terbitan Pustaka Jaya, para pembaca boleh cemberut duluan sebelum membuka dan menghabiskan 40 halaman.
Buku tipis, buku membikin meringis. Pengarang membuat tokoh bernama Tribono, dipanggil Kid. Lho! Panggilan gara-gara Tribono sering mengerjakan pelbagai hal dengan tangan kiri alias kidal. Resmilah ia mendapat sebutan Kidal, bukan penghinaan. Kidal itu ada di gambar sampul? Bukan! Tokoh di sampul itu teman Kidal. Judul buku Si Kidal tapi tokoh tak dimunculkan sejak awal di sampul. Penerbit memiliki kebijakan-kebijakan tanpa harus menuruti tebakan atau kemauan pembaca. Tribono itu lelaki, bukan perempuan. Di sampul, bocah berlari itu mengenakan rok. Orang-orang di Indonesia mengenali lelaki tak terbiasa mengenakan rok untuk sekolah atau lari pagi.
Pengenalan tokoh disampaikan pengarang di halaman awal, sebelum halaman-halaman cerita. Pengarang ingin pembaca cepat mengenali karakter tokoh ketimbang di tengah membaca masih saja penasaran. Gambar si tokoh pun lekas dimunculkan tapi membingungkan pembaca. Ia dikatakan kidal tapi di gambar Kidal memegang amplop dengan tangan kanan. Ah, kita terlalu ribut! Buku cerita untuk bocah-bocah SD. Tokoh-tokoh di buku adalah murid-murid kelas 5 SD di suatu tempat.
Pengarang mengenalkan tokoh: “Namanya Bono, lengkapnya Tribono. Tetapi kawan-kawannya yang lebih besar memanggilnya ‘Kid’ dan yang lebih kecil ‘Mas Kid’. Dan mereka memanggilnya demikian bukan tanpa alasan. Itu karena ia lebih banyak mempergunakan tangan kirinya daripada tangan kanannya. Dan Bono tidak berkeberatan dipanggil demikian. Baginya hal itu bukan persoalan lagi. Mungkin karena sudah  terbiasa, dan mungkin juga karena ibunya sendiri memanggilnya demikian.” Bocah pantang minder gara-gara panggilan. Pemberian nama lengkap oleh orangtua berlaku di formulir atau dokumen resmi saja. Keseharian di rumah dan sekolah, nama lengkap absen tergantikan Kidal. Bocah itu menerima tanpa protes dengan menangis dan marah-marah.
Di Indonesia, kita masih memiliki anggapan-anggapan bereferensi agama dan adat. Sekian orang menganut kesopanan itu kanan. Penggunaan tangan kanan untuk melakukan sekian hal mengartikan sopan dan lazim. Sejak kecil, pembiasaan menggunakan tangan kanan diajarkan orangtua dan guru. Bocah diharapkan saat makan menggunakan tangan kanan untuk memegang sendok. Perbuatan memberikan sesuatu ke orang lain atau bersalaman tentu memilih tangan kanan. Belajar menulis dengan pensil pun dianjurkan dengan tangan kanan. Segala kanan sudah hampir doktrin.
Orang-orang saat melihat bocah memilih sering menggunakan tangan kiri bakal memberi peringatan atau kemarahan. Mereka anggap penggunaan tangan kiri itu “jelek” alias “tak sopan”. Memandang orang mengerjakan sesuatu dengan tangan kiri menimbulkan keanehan. Sangkaan-sangkaan diberikan sering merendahkan, bukan memberi tenggang rasa. Kiri itu bermasalah. Tuduhan orang-orang itu gampang disangkal jika membaca buku berjudul Ragawidya garapan YB Mangunwijaya. Sejak mula, tangan itu bergerak dan bermakna untuk hidup dengan kemuliaan, kebaikan, dan kebersamaan. Tangan memiliki hak menunaikan ibadah, kerja, atau perbuatan mendasarkan pada misi-misi manusia mengerti Tuhan, alam, dan sesama. Kidal belum pernah membaca Ragawidya tapi mengerti kecenderungan memilih tangan kiri tak harus dinilai keburukan, aib, dan dosa.
“Keburukan” Kidal bukan di tangan tapi kegagalan mengerti waktu. Ia itu bocah telatan. Ingat, telatan, bukan teladan! Ia sering terlambat ke sekolah. Guru rajin marah. kidal rajin lupa dengan pesan guru. Hukuman demi hukuman diberikan agar Kidal tobat. Hukuman dan tawa-mengejek teman-teman tak mempan. Kidal tetap saja terlambat atau telat tanpa merasa terlalu bersalah. Keburukan itu sulit dihapus dalam hitungan hari. Kidal mengaku salah tapi selalu kehilangan pegangan waktu dalam ikhtiar mengubah kebiasaan. Guru pernah berpesan ke Kidal berkaitan teladan, bukan telatan: “Gurunya sudah sering berkata kepadanya bahwa sebenarnya ia dapat menjadi anak teladan, seandainya ia mau sedikit berusaha dan menghilangkan sifat malasnya.” Duh, bocah telatan gagal teladan. Kidal itu bukan murid pintar. Eh, pengarang tetap mengisahkan Kidal memiliki kebaikan, keampuhan, dan kehormatan.
Di mata teman-teman, Kidal itu sering membuat sebel dan ngangeni. Di depan kelas, Kidal pasrah saat dimarahi guru: “Sudah lebih tiga kali dalam minggu ini kau datang terlambat ke sekolah. Dan untuk selanjutnya, bila kau tetap juga datang terlambat maka kau dilarang memasuki ruang kelas.” Kidal tanpa pembelaan. Satu kata tak terucap. Ia memang bersalah. “Matanya dan bibirnya bergerak seperti mau berkata, tetapi tak jadi,” tulis Satmowi. Kidal itu lugu tapi ndablek.
Ia harus pergi dari kelas. Hukuman agak berat! Di hati, ia ingin belajar bersama teman-teman, dari pagi sampai siang. Di sela pelajaran atau waktu istirahat, Kidal ingin bermain girang bersama teman-teman. Angan tak kesampaian. Ia harus pergi. Pulang ke rumah tak enak. Kidal berjalan tanpa tujuan jelas. Sampailah ia ke pasar! Menit-menit pun cepat berlalu. Ia sempat menonton pentas sandiwara digelar penjual obat di pasar. Kidal atau Bono sudah hapal dengan sandiwara sering membuat orang-orang tergoda membeli obat. Duh, obat tanpa resep dokter. Obat membatalkan seruan: “obat bisa dibeli di toko terdekat”.
Di situ, Kidal berbuat kebaikan. Ada bocah tersesat, terpisah dari orangtua. Orang-orang ribut dan saling usul tanpa tindakan. Kidal mendekati si bocah. Eh, Kidal melihat bocah itu memegang kertas. Kertas itu amplop surat. Kidal dengan sopan meminta dan membaca tulisan di situ. Di bagian belakang, terbaca alamat pengiri. Kidal menduga pengirim adalah ibu si bocah tersesat. Kidal tak memerlukan setengah jam untuk berpikir. Bocah itu lekas diantar pulang sesuai alamat di amplop. Selamat! Bocah itu sampai rumah. Pada hari buruk terusir dari kelas, Kidal masih mungkin berbuat kebaikan: menjadikan hari tetap bermakna.
Sial masih milik Kidal di keesokan hari. Ia berhasil sampai sekolah tanpa telat. Aduh, ia diminta lagi berdiri di depan kelas. Deskripsi dari pengarang: “Keesokan harinya, Bono disuruh lagi berdiri di muka kelas karena tak membuat pekerjaan rumah. Pak Iwan tak mau menerima alasan bahwa ia tak mengerjakan pekerjaan rumah itu karena ia kemarin disuruh pulang. Ia tak tahu bahwa ada pekerjaan rumah dan ia pun tak menanyakan pada teman sekelasnya.” Sekolah itu sumber sial bagi Kidal. Ia sulit “benar” dan “baik”. Di jalanan dan pasar, Kidal malah sanggup membuat keputusan dengan dalil-dalil kebaikan tanpa kaidah seperti di buku pelajaran atau khotbah guru.
Di kelas, Kidal adalah murid kalahan, korban ejekan dari teman-teman, terutama Tunggadewi. Pembaca mungkin terharu mengikuti cerita Kidal. Empati pantas diberikan agar Kidal bertahan hidup dalam cerita. Pada suatu hari, Kidal berhasil menghuni kelas tapi “merana”. Ada sedikit peristiwa perbantahan antara Tunggadewi, Kidal, dan teman-teman. Kidal pasti kalah. Satmowi menulis: “Kidal tahu ia selalu kalah kalau harus berperang mulut dengan Tunggadewi. Tak seorang pun yang mampu mengalahkan Tunggadewi dalam berperang mulut dan saling ejek. Semua anak-anak tertawa ketika Tunggadewi berkata, ‘Sana masuk saja ke dalam kelas dan menggambar kepala wayang.’ Anak-anak bertepuk riuh ketika Kidal benar-benar masuk kelas dan menggambar kepala Dorna di papan tulis.” Ah, bocah itu tak mau melawan untuk meraih menang meski sekali saja. Pengarang keterlaluan dalam penokohan Kidal! Kita malah penasaran dengan kekalahan Kidal. Kalah dimaknai dengan menggambar tokoh wayang. Mengapa ia memilih tokoh Dorna dalam epos Mahabharata?
Hari demi hari di sekolah, Kidal terus kalah. Ia malu menangis atau mutung. Kalah itu lumrah. Pilihan menikmati kekalahan membuat Kidal menjadi bocah paling tabah. Ia menganut tawakalisme! Pada suatu musim bermain layang-layang, Kidal mengajak Hadi berdagang layang-layang. Perbuatan mendapat untung. Kebahagiaan dua bocah itu mendapat gangguan dari Tunggadewi. Adegan “perampokan” terjadi di kelas. Tunggadewi memaksa Hadi memberikan duit untuk membeli jajanan bakal dibagikan ke teman-teman.
Ah, lelaki jadi korban permainan kata Tunggadewi: “Yang penting kau sekarang sudah menjadi salah seorang pengusaha layang-layang. Bukan maksud kami agar kau membelikan kami makanan, atau kau bagi pula kami. Samasekali bukan. Tetapi ada baiknya juga kau mengetahui bahwa kami kini telah mengantuk. Kantuk mungkin dapat kami tahan, tetapi pelajaran terakhir pasti akan sukar dapat kami tangkap. Kau tahu sendiri orang mengantuk dan setengah lapar itu biasanya sukar sekali untuk dapat menerima pelajaran, bukan.” Ribuan kalimat, eh, puluhan kalimat diucapkan Tunggadewi mengandung ancaman dan muslihat. Tunggadewi menang merampok Hadi. Kidal atau Bono mengetahui tapi memilih diam. Ia tetap saja menggambar kepala Begawan Dorna.
Kalimat-kalimat terindah dari Tunggadewi menjadikan aksi merampok itu puitis dan bijak. Kidal menguping saja omongan si pemenang kepada Hadi setelah memberikan duit: “Kau memberikannya dengan ikhlas atau tidak, kami tidak tahu. Tetapi kami tahu bahwa seseorang yang memberikan sesuatu tanpa disertai hati yang ikhlas adalah orang paling tak berbahagia. Semoga engkau memberikannya dengan hati yang ikhlas dan aku akan menerimanya. Terima kasih, demikian juga teman-teman lainnya. Kau telah mengusir rasa kantuk dan rasa lemas kami...” Pengarang sungguh mahir memberi bahasa ke tokoh. Di aksi perampokan, ajaran bijak disampaikan seperti dituturkan oleh orang dewasa. Pembaca sempat terpukau. Hadi dikalahkan tapi mendapat nasihat bijak.
Pada menit berbeda saat murid-murid pulang, Kidal berjalan bersama Hadi. Perampokan itu membuat teman-teman sekelas girang. Hadi merasa bersalah tiada terkira. Di perjalanan pulang, ia menunduk lesu dan malu. Kidal ingin memulihkan keadaan. Berkatalah Kidal dengan santun untuk sahabat alias pasangan dalam bisnis menjual layang-layang: “Hadi yang malang, kau telah dirayu olehnya. Tunggadewi adalah seorang perayu yang ulung. Jangan lupa itu. Anggap saja kejadian ini sebagai pelajaran bagimu...” Kidal dan Hadi, dua bocah dikalahkan Tunggadewi. Mereka tabah alias senasib sepenanggungan. Mereka tak marah atau ingin membalas dendam. Nasib sial diterima tanpa sambat dengan kata-kata bisa ditata meninggi sampai ke langit. Pembaca mulai mengerti bahwa buku itu tak melulu bercerita Kidal tapi memberi kejutan dengan pengisahan Tunggadewi. Penjudulan mungkin salah, setelah salah memasang gambar di sampul. Begitu.   



 

Berkisah Rumah, Petuah ke Bocah


Berkisah Rumah,
Petuah ke Bocah

Bandung Mawardi


Umat sastra di Indonesia mengingat buku puisi Amir Hamzah, Sutan Takdir Alisjahbana, Chairil Anwar, Rendra, Ajip Rosidi, Sapardi Djoko Damono, Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad, Sutardji Calzoum Bachri, Zawawi Imron, Afrizal Malna, Oka Rusmini, Joko Pinurbo, dan lain-lain. Sekian orang sulit mengingat buku puisi berjudul Puisi Rumah Kami (1984). Buku tipis tapi manis. Buku terbitan Danau Singkarak semakin sulit dimengerti umat sastra gandrung buku puisi. Mereka ingat penerbit buku puisi adalah Balai Pustaka, Pembangunan, Pustaka Jaya, Bentang, Gramedia Pustaka Utama, dan lain-lain.
Buku itu berisi 30 puisi gubahan K Usman. Di kalangan sastra berumur tua, K Usman itu pengarang penting untuk bacaan bocah dan dewasa. Puluhan buku sudah ditulis dan terbit. Puisi Rumah Kami itu bacaan untuk bocah. Pada 1984, buku itu mula-mula diterbitkan Cypress mendapatkan penghargaan buku terbaik bidang puisi oleh Yayasan Buku Utama. Kalimat resmi dari Yayasan Buku Utama kepada K Usman: “Kami mengucapkan selamat atas hasil karya saudara. Yayasan Buku Utama akan memberikan kepada saudara hadiah berupa uang sebanyak Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) dan piagam penghargaan. Penyerahan hadiah akan diberitahukan kemudian. Semoga putusan Yayasan Buku Utama ini dapat saudara terima dengan ikhlas dan gembira.”
Lembaran resmi memang dipasang di buku Puisi Rumah Kami. Dokumentasi di kehormatan K Usman sebagai pengarang puluhan buku bocah. Ketekunan dan capaian membuktikan pengadaan bacaan anak memang harus bermutu dan berkesinambungan. K Usman mendapat hadiah diberi pesan agar “ikhlas dan gembira”. Kita mengandaikan hadiah itu menghidupi. Duit dan piagam memberi rangsangan membesar dalam penulisan lagi buku-buku beredar di seantero Indonesia melalui Inpres atau penerbit partikelir di jalur umum. Buku mengakibatkan gembira, bukan keluhan setinggi pohon kelapa. K Usman tak cuma sekali mendapat penghargaan. Ia pantas dihormati dan tercatat di ensiklopedia bacaan anak Indonesia. Ia adalah pemberi petuah rumah ke bocah.
Tiga puluh puisi untuk bocah, tak pantas dibandingkan dengan puisi-puisi gubahan para pujangga legendaris dibaca kaum dewasa. Kita menduga taka da sebiji puisi di buku berjudul Puisi Rumah Kami dipilih untuk lomba-lomba deklamasi tingkat SD, dari masa ke masa. Panitia sering memilih puisi “dewasa” dipaksa dibaca oleh bocah-bocah tanpa mengerti maksud atau kesesuaian selera-tingkatan berbahasa. Puisi-puisi gubahan K Usman “enak” terbaca dan tak merepotkan pembaca dalam mengerti pesan atau bujukan imajinatif. Ia bukan pujangga mendadak tapi memiliki kaidah-kaidah dengan kesadaran bakal jadi bacaan bocah.
Puisi-puisi berpusat di rumah. Pilihan tempat itu mengembalikan pengalaman dan pemaknaan rumah. Pengindahan terjadi di puisi. Kita simak puisi berjudul “Tanaman Penting di Sekeliling Rumah.” K Usman membuat kita cemburu ingin memiliki rumah indah: Cabai, kunyit, dan serai/ Ditanam ibu di belakang rumah/ Singkong, ketela, dan papaya/ Ditanam ayah di kebun tengah// Adik memelihara melati di sisi pagar/ Setiap pagi bunganya mekar/ Aku menanam mawar di kebun kiri/ Harumnya semerbak pagi hari. Keluarga bertanam untuk pangan dan pemandangan. Keren! Puisi mengingatkan sindiran Frits W Went dalam buku berjudul Tetumbuhan (1982): “Sayang, makin tinggi peradaban kita, makin jauhlah kita dengan tetumbuhan, dan makin kaburlah pengetahuan kita mengenai botani. K Usman masih mengisahkan rumah dan tanaman, kisah sulit mewujud di masa sekarang. Rumah-rumah abad XXI cenderung tak lagi membuat makna bersama tetumbuhan.
Tema terlupa saat bacaan bocah “terperintahkan” harus mengandung pesan moral. Puisi-puisi gubahan K Usman menuntun pembaca menuju rumah. Perbedaan bentuk atau tampilan rumah dengan pembaca memberikan dalih mengerti kebermaknaan rumah di Indonesia dalam urusan arsitektur, sosiologi, religiositas, ekologi, ekonomi, dan lain-lain. Rumah dalam buku K Usman mungkin berada di Jawa. Rumah memiliki pengertian bertopang adat. Rumah bukan sekadar bangunan. Bocah-bocah membaca puisi-puisi mengenai rumah bakal termenung, terkejut, dan terkesima.
Puisi berjudul “Jendela” terbaca sederhana tapi mengejutkan bagi bocah mulai disuguhi gambar rumah-rumah khas pengaruh Eropa di buku pelajaran atau pengamatan melihat rumah-rumah di desa dan kota masa Orde Baru mulai meninggalkan ajaran leluhur. Rumah di puisi itu terceritakan melalui jendela: Empat jendela dipasang tukang/ Di sebelah kiri rumah/ Semua menghadap ke matahari pagi/ Bukan tak ada maknanya, kata ayah/ Sebab, dari sana mengalir rezeki// Empat jendela dipasang tukang/ Di sebelah kanan rumah/ Semua menghadap ke matahari senja/ Sebab, dari sana kami menyaksikan/ Bola dunia kembali ke balik bumi. Dua bait memberi pelajaran baik. Ingat, bukan melulu moral! Penghuni rumah membentuk pengertian dengan jendela: jumlah dan arah. Pembaca juga terhindar dari kalimat sudah menjemukan berkaitan jendela dan buku-ilmu. Jendela itu pengajaran ke bocah jangan selalu dikaitkan slogan telah usang.
Puisi mengajak bocah menugasi diri membuka dan menutup jendela. Peristiwa rutin harian itu diimbuhi keinginan membuat makna dari tatapan ke matahari, pohon, langit, binatang, dan lain-lain. Di jendela, bocah merasakan angin, waktu, dan suasana. Di situ, ia mengalami dengan keluguan. Bocah di jendela belum tentu kelak bakal jadi penulis puisi, novel, dan lirik lagu. Lakon mutakhir mungkin membuat bocah kehilangan pengalaman berjendela. Di sekian rumah gagah dan sangar, jendela sering ditutup rapat. Jendela dimengerti jalan kedatangan debu dan angin membikin sakit.
Di luar rumah, pembatas atau pagar dibuat dari bambu. Keluarga itu tak memiliki duit membuat pagar dengan batu bata atau besi. Pilihan ke bambu pun bijak menuruti kemauan manusia dan alam. Puisi berjudul “Pagar Bambu”, puisi mengingatkan agar membangun pagar jangan boros dan menghalangi bertetangga. Pagar di abad XXI malah membuat rumah itu mirip penjara. Pagar tinggi dan menutup pemandangan sengaja merusak wajah rumah dan menuduh ke orang-orang bakal jadi pencuri.
K Usman menulis: Pagar bambu, kuning dan kukuh/ Bambu disebut juga buluh/ Bambu tumbuh di dalam kebunku/ Bambu melindungi rumahku// Dari pintu kulihat rumpun bambu/ Rimbun daun meneduhkan halamanku/ Akar-akarnya mengukuhkan tanahku/ Rebung atau bambu muda disayur ibuku/ Bambu, aku berterima kasih kepadamu. Puisi bersahaja mengabarkan manusia dan bambu bersekutu di desa subur dan damai. Di desa, pagar bukan kesombongan atau dalih menutup diri penghuni rumah dalam pergaulan sosial. Kini, orang sengaja membuat pagar-pagar pamer ketakutan, kebebalan, kesombongan, dan kebrengsekkan. Puisi gubahan K Usman itu ingatan.
Kita tambahi dengan membaca puisi gubahan Sindhunata berjudul “Ngelmu Pring” dimuat dalam buku Air Kata-Kata (2003). Puisi berbahasa Jawa mengisahkan bambu atau pring, renungan enteng tapi penting: Pring padha pring/ Eling padha eling/ Eling dirine/ Eling pepadhane / Eling patine/ Eling Gustine. Bermula dari bambu, manusia merenungi diri, sesame, kematian, dan Tuhan. Puisi itu pernah terdengar gara-gara disajikan oleh Jogja Hip Hop Foundation. Faedah bambu: lincak asale pring/ pager asale pring/ usuk asale pring/ cagak asale pring/ gedhek asale pring/ tampar asale pring/ kelo asale pring/ tampah asale pring/ serok asale pring/ tenggok asale pring/ tepas asale pring. Bambu menjadi apa saja digunakan dalam kehidupan kita di keseharian.   
Religiositas (di) rumah dirasakan pembaca saat menikmati puisi berjudul “Tikar Sembahyangku”. Di samping puisi, sehalaman berisi gambar ibu dan bocah perempuan sedang menunaikan salat. Gambar buatan Ipe Maaruf. Kita memilih membaca puisi ketimbang menikmati ilustrasi. Kata-kata sanggup bercerita. Suasana religius terhubung ke kebersamaan keluarga. Kita sampai ke puisi berjudul “Ruang Keluarga”. K Usman mengajukan keluarga sederhana dengan rumah tak sesak oleh benda-benda. Rumah belum memiliki meja dan kursi. Kita membaca: Di ruangan ini kami makan bersama/ Di ruangan ini kamu duduk bersila/ Sebab rumah kami belum mempunyai/ Kursi untuk ruangan ini/ Kami duduk sama rendah di sini/ Di atas pandan anyaman ibu kami. Tikar khas milik keluarga tak berkelimpahan duit. Kini, tikar itu klasik. Di rumah-rumah abad XXI, kita mulai melihat karpet menggantikan tikar dibuat dari tetumbuhan.
Puisi sosiologis disodorkan K Usman berjudul “Tetangga”. Puisi penting diajarkan di sekolah dan rumah. Bocah memerlukan ilmu tetangga, sebelum ia mengurung diri di rumah: menonton televisi dan bermain gawai. Puisi dari masa lalu tentu sulit memikat ke pembaca masa sekarang. Pengisahan K Usman: Tetangga mendengar denting piring kita/ Tetangga melihat pintu dan jendela kita/ Tetangga mengetahui masalah gawat kita/ Kita dan mereka tak mungkin berpisah// Tentang tetangga sebaiknya dikenang-kenang/ Pada mereka kita berbagi susah dan senang/ Dengan tetangga sebaiknya berbagi rasa/ Pada mereka kita titipkan suka dan duka. Peneliti asing atau ahli Indonesia bisa mengutip puisi “Tetangga” untuk mengerti kehidupan sosial di Indonesia abad XXI. Makna tetangga perlahan berkurang oleh pelbagai hal. Tetangga itu masalah besar dalam sosiologi masih diajarkan di sekolah dan universitas.
Kita akhiri pengembaraan ke halaman-halaman buku K Usman. Puisi terakhir terbaca berjudul “Puisi Rumah Kami”. Puisi memuncak ke makna rumah, melegakan bagi pembaca: Rumah Kami sederhana saja/ Sekitarnya pohon-pohon berbuah/ Sekitarnya bunga-bunga merekah/ Di atasnya burung-burung terbang merdeka. Bait terbaca di halaman terakhir, halaman 70. Kita menganggap buku itu penting banget dicetak ulang oleh Gramedia Pustaka Utama atau komunitas kecil, berharapan ada pengajaran rumah ke bocah-bocah mulai jarang di rumah gara-gara sekolah dan semakin tak memiliki makna rumah. Buku itu membikin cemburu. Begitu.