Thursday, June 13, 2019

Berkisah Rumah, Petuah ke Bocah


Berkisah Rumah,
Petuah ke Bocah

Bandung Mawardi


Umat sastra di Indonesia mengingat buku puisi Amir Hamzah, Sutan Takdir Alisjahbana, Chairil Anwar, Rendra, Ajip Rosidi, Sapardi Djoko Damono, Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad, Sutardji Calzoum Bachri, Zawawi Imron, Afrizal Malna, Oka Rusmini, Joko Pinurbo, dan lain-lain. Sekian orang sulit mengingat buku puisi berjudul Puisi Rumah Kami (1984). Buku tipis tapi manis. Buku terbitan Danau Singkarak semakin sulit dimengerti umat sastra gandrung buku puisi. Mereka ingat penerbit buku puisi adalah Balai Pustaka, Pembangunan, Pustaka Jaya, Bentang, Gramedia Pustaka Utama, dan lain-lain.
Buku itu berisi 30 puisi gubahan K Usman. Di kalangan sastra berumur tua, K Usman itu pengarang penting untuk bacaan bocah dan dewasa. Puluhan buku sudah ditulis dan terbit. Puisi Rumah Kami itu bacaan untuk bocah. Pada 1984, buku itu mula-mula diterbitkan Cypress mendapatkan penghargaan buku terbaik bidang puisi oleh Yayasan Buku Utama. Kalimat resmi dari Yayasan Buku Utama kepada K Usman: “Kami mengucapkan selamat atas hasil karya saudara. Yayasan Buku Utama akan memberikan kepada saudara hadiah berupa uang sebanyak Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) dan piagam penghargaan. Penyerahan hadiah akan diberitahukan kemudian. Semoga putusan Yayasan Buku Utama ini dapat saudara terima dengan ikhlas dan gembira.”
Lembaran resmi memang dipasang di buku Puisi Rumah Kami. Dokumentasi di kehormatan K Usman sebagai pengarang puluhan buku bocah. Ketekunan dan capaian membuktikan pengadaan bacaan anak memang harus bermutu dan berkesinambungan. K Usman mendapat hadiah diberi pesan agar “ikhlas dan gembira”. Kita mengandaikan hadiah itu menghidupi. Duit dan piagam memberi rangsangan membesar dalam penulisan lagi buku-buku beredar di seantero Indonesia melalui Inpres atau penerbit partikelir di jalur umum. Buku mengakibatkan gembira, bukan keluhan setinggi pohon kelapa. K Usman tak cuma sekali mendapat penghargaan. Ia pantas dihormati dan tercatat di ensiklopedia bacaan anak Indonesia. Ia adalah pemberi petuah rumah ke bocah.
Tiga puluh puisi untuk bocah, tak pantas dibandingkan dengan puisi-puisi gubahan para pujangga legendaris dibaca kaum dewasa. Kita menduga taka da sebiji puisi di buku berjudul Puisi Rumah Kami dipilih untuk lomba-lomba deklamasi tingkat SD, dari masa ke masa. Panitia sering memilih puisi “dewasa” dipaksa dibaca oleh bocah-bocah tanpa mengerti maksud atau kesesuaian selera-tingkatan berbahasa. Puisi-puisi gubahan K Usman “enak” terbaca dan tak merepotkan pembaca dalam mengerti pesan atau bujukan imajinatif. Ia bukan pujangga mendadak tapi memiliki kaidah-kaidah dengan kesadaran bakal jadi bacaan bocah.
Puisi-puisi berpusat di rumah. Pilihan tempat itu mengembalikan pengalaman dan pemaknaan rumah. Pengindahan terjadi di puisi. Kita simak puisi berjudul “Tanaman Penting di Sekeliling Rumah.” K Usman membuat kita cemburu ingin memiliki rumah indah: Cabai, kunyit, dan serai/ Ditanam ibu di belakang rumah/ Singkong, ketela, dan papaya/ Ditanam ayah di kebun tengah// Adik memelihara melati di sisi pagar/ Setiap pagi bunganya mekar/ Aku menanam mawar di kebun kiri/ Harumnya semerbak pagi hari. Keluarga bertanam untuk pangan dan pemandangan. Keren! Puisi mengingatkan sindiran Frits W Went dalam buku berjudul Tetumbuhan (1982): “Sayang, makin tinggi peradaban kita, makin jauhlah kita dengan tetumbuhan, dan makin kaburlah pengetahuan kita mengenai botani. K Usman masih mengisahkan rumah dan tanaman, kisah sulit mewujud di masa sekarang. Rumah-rumah abad XXI cenderung tak lagi membuat makna bersama tetumbuhan.
Tema terlupa saat bacaan bocah “terperintahkan” harus mengandung pesan moral. Puisi-puisi gubahan K Usman menuntun pembaca menuju rumah. Perbedaan bentuk atau tampilan rumah dengan pembaca memberikan dalih mengerti kebermaknaan rumah di Indonesia dalam urusan arsitektur, sosiologi, religiositas, ekologi, ekonomi, dan lain-lain. Rumah dalam buku K Usman mungkin berada di Jawa. Rumah memiliki pengertian bertopang adat. Rumah bukan sekadar bangunan. Bocah-bocah membaca puisi-puisi mengenai rumah bakal termenung, terkejut, dan terkesima.
Puisi berjudul “Jendela” terbaca sederhana tapi mengejutkan bagi bocah mulai disuguhi gambar rumah-rumah khas pengaruh Eropa di buku pelajaran atau pengamatan melihat rumah-rumah di desa dan kota masa Orde Baru mulai meninggalkan ajaran leluhur. Rumah di puisi itu terceritakan melalui jendela: Empat jendela dipasang tukang/ Di sebelah kiri rumah/ Semua menghadap ke matahari pagi/ Bukan tak ada maknanya, kata ayah/ Sebab, dari sana mengalir rezeki// Empat jendela dipasang tukang/ Di sebelah kanan rumah/ Semua menghadap ke matahari senja/ Sebab, dari sana kami menyaksikan/ Bola dunia kembali ke balik bumi. Dua bait memberi pelajaran baik. Ingat, bukan melulu moral! Penghuni rumah membentuk pengertian dengan jendela: jumlah dan arah. Pembaca juga terhindar dari kalimat sudah menjemukan berkaitan jendela dan buku-ilmu. Jendela itu pengajaran ke bocah jangan selalu dikaitkan slogan telah usang.
Puisi mengajak bocah menugasi diri membuka dan menutup jendela. Peristiwa rutin harian itu diimbuhi keinginan membuat makna dari tatapan ke matahari, pohon, langit, binatang, dan lain-lain. Di jendela, bocah merasakan angin, waktu, dan suasana. Di situ, ia mengalami dengan keluguan. Bocah di jendela belum tentu kelak bakal jadi penulis puisi, novel, dan lirik lagu. Lakon mutakhir mungkin membuat bocah kehilangan pengalaman berjendela. Di sekian rumah gagah dan sangar, jendela sering ditutup rapat. Jendela dimengerti jalan kedatangan debu dan angin membikin sakit.
Di luar rumah, pembatas atau pagar dibuat dari bambu. Keluarga itu tak memiliki duit membuat pagar dengan batu bata atau besi. Pilihan ke bambu pun bijak menuruti kemauan manusia dan alam. Puisi berjudul “Pagar Bambu”, puisi mengingatkan agar membangun pagar jangan boros dan menghalangi bertetangga. Pagar di abad XXI malah membuat rumah itu mirip penjara. Pagar tinggi dan menutup pemandangan sengaja merusak wajah rumah dan menuduh ke orang-orang bakal jadi pencuri.
K Usman menulis: Pagar bambu, kuning dan kukuh/ Bambu disebut juga buluh/ Bambu tumbuh di dalam kebunku/ Bambu melindungi rumahku// Dari pintu kulihat rumpun bambu/ Rimbun daun meneduhkan halamanku/ Akar-akarnya mengukuhkan tanahku/ Rebung atau bambu muda disayur ibuku/ Bambu, aku berterima kasih kepadamu. Puisi bersahaja mengabarkan manusia dan bambu bersekutu di desa subur dan damai. Di desa, pagar bukan kesombongan atau dalih menutup diri penghuni rumah dalam pergaulan sosial. Kini, orang sengaja membuat pagar-pagar pamer ketakutan, kebebalan, kesombongan, dan kebrengsekkan. Puisi gubahan K Usman itu ingatan.
Kita tambahi dengan membaca puisi gubahan Sindhunata berjudul “Ngelmu Pring” dimuat dalam buku Air Kata-Kata (2003). Puisi berbahasa Jawa mengisahkan bambu atau pring, renungan enteng tapi penting: Pring padha pring/ Eling padha eling/ Eling dirine/ Eling pepadhane / Eling patine/ Eling Gustine. Bermula dari bambu, manusia merenungi diri, sesame, kematian, dan Tuhan. Puisi itu pernah terdengar gara-gara disajikan oleh Jogja Hip Hop Foundation. Faedah bambu: lincak asale pring/ pager asale pring/ usuk asale pring/ cagak asale pring/ gedhek asale pring/ tampar asale pring/ kelo asale pring/ tampah asale pring/ serok asale pring/ tenggok asale pring/ tepas asale pring. Bambu menjadi apa saja digunakan dalam kehidupan kita di keseharian.   
Religiositas (di) rumah dirasakan pembaca saat menikmati puisi berjudul “Tikar Sembahyangku”. Di samping puisi, sehalaman berisi gambar ibu dan bocah perempuan sedang menunaikan salat. Gambar buatan Ipe Maaruf. Kita memilih membaca puisi ketimbang menikmati ilustrasi. Kata-kata sanggup bercerita. Suasana religius terhubung ke kebersamaan keluarga. Kita sampai ke puisi berjudul “Ruang Keluarga”. K Usman mengajukan keluarga sederhana dengan rumah tak sesak oleh benda-benda. Rumah belum memiliki meja dan kursi. Kita membaca: Di ruangan ini kami makan bersama/ Di ruangan ini kamu duduk bersila/ Sebab rumah kami belum mempunyai/ Kursi untuk ruangan ini/ Kami duduk sama rendah di sini/ Di atas pandan anyaman ibu kami. Tikar khas milik keluarga tak berkelimpahan duit. Kini, tikar itu klasik. Di rumah-rumah abad XXI, kita mulai melihat karpet menggantikan tikar dibuat dari tetumbuhan.
Puisi sosiologis disodorkan K Usman berjudul “Tetangga”. Puisi penting diajarkan di sekolah dan rumah. Bocah memerlukan ilmu tetangga, sebelum ia mengurung diri di rumah: menonton televisi dan bermain gawai. Puisi dari masa lalu tentu sulit memikat ke pembaca masa sekarang. Pengisahan K Usman: Tetangga mendengar denting piring kita/ Tetangga melihat pintu dan jendela kita/ Tetangga mengetahui masalah gawat kita/ Kita dan mereka tak mungkin berpisah// Tentang tetangga sebaiknya dikenang-kenang/ Pada mereka kita berbagi susah dan senang/ Dengan tetangga sebaiknya berbagi rasa/ Pada mereka kita titipkan suka dan duka. Peneliti asing atau ahli Indonesia bisa mengutip puisi “Tetangga” untuk mengerti kehidupan sosial di Indonesia abad XXI. Makna tetangga perlahan berkurang oleh pelbagai hal. Tetangga itu masalah besar dalam sosiologi masih diajarkan di sekolah dan universitas.
Kita akhiri pengembaraan ke halaman-halaman buku K Usman. Puisi terakhir terbaca berjudul “Puisi Rumah Kami”. Puisi memuncak ke makna rumah, melegakan bagi pembaca: Rumah Kami sederhana saja/ Sekitarnya pohon-pohon berbuah/ Sekitarnya bunga-bunga merekah/ Di atasnya burung-burung terbang merdeka. Bait terbaca di halaman terakhir, halaman 70. Kita menganggap buku itu penting banget dicetak ulang oleh Gramedia Pustaka Utama atau komunitas kecil, berharapan ada pengajaran rumah ke bocah-bocah mulai jarang di rumah gara-gara sekolah dan semakin tak memiliki makna rumah. Buku itu membikin cemburu. Begitu.


No comments:

Post a Comment