Baca(an) dan Menghibur
Bandung Mawardi
Pada suatu masa, Ibu Sud menggubah lagu dengan
judul panjang: Aku Anak Indonesia Penerus
Pembangunan Tanah Airku. Sejak masa 1920-an, Ibu Sud jarang membuat judul
panjang untuk ratusan lagu. Judul panjang itu mungkin berkaitan deru
pembangunan nasional di masa Orde Baru. Lirik di lagu: Kami putra putri Indonesia/ bertekad bulat teguh berjanji/ menuntut
ilmu agar mandiri/ unttuk membangun ibu pertiwi/ mari kawan kita wujudkan.
Lagu tak terkenal, jarang dihapalkan murid-murid di SD atau SMP. Lagu pernah
ada mengingatkan ke bocah-bocah Indonesia agar berilmu. Lagu itu ada dalam buku
berjudul Seruling: Kumpulan Lagu
Anak-Anak (1992). Dulu, lagu mengajak bocah berilmu. Nah, ilmu digunakan
dalam memuliakan Indonesia.
Pada masa Orde Baru, lagu bisa jadi propaganda
pembangunan nasional. Buku pun memiliki peran dan pengaruh besar ke bocah.
Tjetjep Endang menulis buku berjudul Si
Ohim: Merintis Jalan ke Kemajuan. Buku terbitan Pustaka Jaya, 1983. Judul
buku sudah gamblang. Cerita menginginkaan kontribusi di pembangunan nasiolan,
terutama dalam pendidikan-pengajaran. Buku cerita tak sederhana dihiasi
gambar-gambar oleh Wakidjan. Cerita untuk dinikmati bocah dan remaja.
Di pagi hari, Ohim dan teman-teman piket alias
jatah membersihkan kelas. Mereka bekerja sambil bercakap dan berlagu. Sekian
menit berlalu untuk bersih-bersih, Ohim mengalami peristiwa biasa tapi
berdampak menakjubkan. Tjetjep mengisahkan: “Tiba-tiba matanya tertuju pada
secarik kertas koran bekas pembungkus kacang tanah. Ia melihat gambar seorang
laki-laki berbadan kekar dan berbentuk segi tiga sedang menikam seekor buaya
dengan pisau belatinya. Koran itu dipungutnya. Ternyata gambar itu merupakan
gambar pertama sebuah cergam…” Ohim membaca bergairah dan cermat. Koran bekas
telah tepat bertemu pembaca masih ingusan. Koran berkhasiat. Pada hari penemuan
koran bekas, Ohim sanggup mengikuti sekian pelajaran dengan girang. Ia menjawab
soal-soal dari guru dengan benar. “Bila aku tidak membacanya, mana mungkin aku
dapat menjawabnya,” pengakuan Ohim atas penasaran teman-teman di kelas. Sejak
pagi bertemu koran bekas wadah kacang, Ohim berjanji “akan mulai banyak membaca
dan menggali pengetahuan.”
Penggunaan bahasa Indonesia di koran sangat
membantu Ohim dalam mengikuti pelajaran
bahasa Indonesia. Koran jadi sumber belajar, selain guru dan buku
pelajaran. Kita mengimajinasikan masa 1980-an dengan tokoh lugu bernama Ohim.
Ia seperti menggaungkan saran-saran pemerintah agar murid-murid rajin membaca
koran atau majalah dalam mengikuti informasi di segala bidang. Dulu,
koran-koran sering beredar di kota, jarang sampai ke desa. Pemerintah Orde Baru
malah pernah mengadakan program koran masuk desa. Novel gubahan Tjetjep Endang
belum berurusan koran masuk desa atau koran masuk sekolah. Koran itu sampai ke
sekolah Ohim gara-gara pedagang kacang. Dagangan itu dibeli murid-murid saat
istirahat. Nah, koran untuk bungkus itu dibuang muris dengan anggapan tak lagi
berfaedah. Di mata Ohim, “sampah” itu penentu perubahan bakal terjadi di
sekolah dan kampung. Kita kagum pada Ohim cepat bersikap dan peka di peristiwa
dan impian keilmuan.
Kita Ohim dan bahasa Indonesia: “Tetapi si Ohim
betul-betul memperhatikan pelajarannya dengan seksama, bahkan sampai
memperhatikan bahasa Indonesia yang dipakai oleh Pak Guru. Bahasa Indonesia di
kampung si Ohim sangat jarang dipergunakan dalam percakapan sehari-hari. Boleh
dikatakan ‘hanya dipergunakan di sekolah’. Di luar sekolah mereka mempergunakan
bahasa daerah. Karena itu tidak mengherankan kalau bahasa Indonesia anak-anak
sekolah belum begitu baik.” Situasi itu semakin membuat Ohim bergairah mencari
bekas pembungkus kacang. Ia berkeliling di sekolah, mencari koran-koran bekas.
Eh, Ohim cuma bertemu sedikit. Ohim sudah mengimpikan membaca koran setiap hari
meski bekas.
Novel itu menginginkan bocah mementingkan koran.
Semula, pemahaman koran bekas digunakan sebagai pembungkus makanan. Di
peristiwa Ohim, murid-murid diajari melihat hikmah di benda bekas. Koran itu
terbukti bisa digunakan dalam memahami atau menambahi pengetahuan berkaitan
pelajaran bahasa Indonesia. Di pelajaran-pelajaran berbeda, isi koran tetap
dapat membantu keilmuan murid-murid. Koran itu penting! Kita mengira
koran-koran masa 1980-an adalah santapan diangankan memberi sokongan ke
pembangunan nasional. Di bidang pendidikan-pengajaran, koran memikul tanggung
jawab besar. Ohim mengartikan koran sudah memenuhi peran meski belum penuh.
Rangsang koran
berlanjut ke buku-buku. Ohim ingin membaca buku-buku. Di sekolah dan rumah,
jumlah buku cuma sedikit. Ia ingin rajin membaca, rajin berilmu. Ohim bersama
teman-teman mulai bermimpi memiliki taman baca, taman berisi buku-buku, bukan
bungan atau rumput. Usulan Ohim mendapat tanggapan dari Anwar: “Tentu kita dan
teman-teman dapat menikmati guna, manfaat, dan kesenangan dari membaca buku.”
Mereka berjanji mewujudkan taman baca. Siasat demi siasat harus dijalankan
untuk taman baca. Pengandaian taman baca sudah ada. “Merangsang minat baca
teman-teman kita,” ujar Ohim. Peristiwa menemu koran dan keranjingan membaca
membuat impian taman baca membara setiap hari.
Mula-mula, Ohim ingin
memikat para teman dengan berbagi cerita dari buku-buku pernah dibaca. Pada
masa 1980-an, buku-buku terjemahan bertokoh hero-hero ciptaan Amerika Serikat
sudah beredar di Indonesia. Di mata bocah dan remaja, buku komik Superman jadi idola. Ohim mengagumi
Superman. Hero dari negeri jauh itu memang membuat bocah-bocah di pelbagai
negara tertular imajinasi memukau.
Ohim bercerita: “Ya,
seorang yang gagah perkasa itu. Batu penutup gua yang besar sekali dipukul:
bumm! Hancur. Ia keluar dari tahanan dan mengejar dua orang penjahat yang telah
merampok sebuah bank. Mereka pandai, licik, dan mempunyai senjata ampuh. Tetapi
oleh Superman dihajar: buuk, buuk! Mereka ditangkap dan dibawa terbang. Eh, si
penjahat tidak takut dijatuhkan, mereka masih mengadakan perlawanan. Oleh
Superman kepala mereka diadukan: duuk! Kedua penjahat pingsan. Mereka
diserahkan kepada polisi.” Ohim mengingat dan urut dalam menceritaka ulang
komik. Superman memang idola bocah-remaja di dunia. Pembaca jangan lekas curiga
bahwa Ohim memilih hero Amerika Serikat ketimbang hero-hero di Indonesia. Ohim
dan teman-teman pun mengenali para hero dalam wayang dan cerita rakyat.
Pemberian
penggalan-penggalan cerita ke teman-teman diniatkan agar mereka penasaran. Nah,
penasaran itu membuat teman-teman berhak bergantian meminjam dan membaca buku.
Mereka pasti puas jika membaca sendiri. Ohim bertugas memicu penasaran. Masalah
besar adalah jumlah mereka. Ohim ingin ada taman baca memiliki koleksi ratusan
buku. Beragam buku boleh dibaca oleh teman-teman, tak wajib buku pelajaran.
Teman-teman mungkin sudah bosan membaca buku pelajaran.
Kita bergerak jauh ke
masa berbeda. Di Kompas, 20 Mei 2019,
kita membaca berita bertema membaca buku. “Gerakan literasi tidak akan berhasil
tanpa mengajak anak atau siswa menyukai buku. Melalui metode membaca ekstensif,
anak sejak dini diajak menyukai buku dan menganggap buku sebagai sumber hiburan
dan inspirasi,” tulis di Kompas.
Membaca ekstensif diartikan murid membaca tanpa beban. Lho! Murid dibebaskan
memilih buku, majalah, atau koran untuk dibaca. Murid tak memiliki kewajiban
menceritakan ulang atau menghapal demi pemenuhan nilai-nilai akademik.
Terhibur! Murid mendingan senang dan mendapat hiburan ketimbang penat. Nah,
keinginan membaca terhibur itu masih sulit dipenuhi di ribuan perpustakaan
sekolah di Indonesia. Koleksi buku pelajaran sering “mengalahkan” buku-buku
menghibur.
Ohim dan teman-teman
dalam keinginan mendirikan taman baca sudah menginginkan ada perwujudan
“membaca ekstensif”, bukan membaca selalu menginduk ke mata pelajaran di
sekolah. Koleksi buku bercerita Superman atau Tarzan agak memungkinkan
bocah-bocah bergirang membaca ketimbang membaca buku pelajaran matematika.
Ohim dan teman-teman
bersekongkol dengan Pak RT untuk mendirikan taman baca. Kita sudah mengerti ada
pengaruh nalar birokrasi dalam novel. Sekian keinginan warga bergantung ke
struktur birokrasi, mulai dari bawah sampai atas. Ketokohan Pak RT sengaja
ditonjolkan bermaksud mewartakan ke pembaca bahwa tata birokrasi masa Orde Baru
“sangat” mendukung kemajuan pendidikan-pengajaran atau literasi berdalih
pembangunan nasional. Semangat Ohim membara setelah bertemu dan bercakap dengan
Pak RT. Masalah awal adalah penamaan. Rapat kecil diselenggarakan menentukan
nama. Sekian usulan: Taman Bacaan Bersama, Taman Bacaan Gembira, Taman Bacaan
Kita. Taman baca belum berhasil diadakan tapi nama sudah dipikirkan. Konon,
peristiwa itu menandai “nyawanya adalah semangat.” Mereka emoh pesimis. Taman
baca dipastikan ada.
Usulan demi usulan
pembelian dan pengadaan buku membuat mereka berpikir dalam menentukan
tindakan-tindakan. Usulan bermutu adalah teman-teman mengumpulkan buku tulis
sudah tak dipakai. Tumpukan buku tulis dijual di rongsongkan mendapatkan duit
atau ditukarkan dengan buku-buku bacaan bekas. Sumbangan buku tulis berarti
kemampuan mengadakan koleksi buku. Usulan besar adalah mengumpulkan sumbangan
dengan membuat pertandingan sepakbola. Sumbangan penonton digunakan untuk
mewujudkan taman baca. Sepakbola mulai berkaitan keaksaraan.
Siasat-siasat
diajalankan menghasilkan duit dan buku. Taman baca pun berdiri. Pendirian
disertai pembentukan pengurus melibatkan Pak RT, Pak RK, Pak Guru, dan
tokoh-tokoh di kampung. Duit dibelanjakan buku. Di toko buku, Ohim kaget. Harga
buku mahal! Rapat dadakan memutuskan duit dibelikan buku baru dan buku bekas.
Pilihan jenis atau tema buku cenderung ke mereka, bukan “dipaksa”
anjuran-anjuran kaum orang tua di kampung. Komik jadi pilihan bersama. Para
orang tuan pernah berdialog mengenai belanja buku. Pak Guru menjelaskan: “Tidak
semua yang baik menurut kita akan diterima baik oleh anak-anak. Lain halnya
jika mereka telah benar-benar dapat menikmati isi buku, maka tidak akan sukar
untuk mengarahkan bacaan mereka.” Ohim dan teman-teman ingin girang alias
terhibur. Taman Bacaan Kita bukan untuk membuat mereka pusing, mual, lemas, dan
murung. Membaca buku itu menggirangkan!
Di akhir novel, usulan dan kerja bocah-bocah
itu terang sesuai dengan misi pembangunan nasional. Para bocah mungkin tak
berpikiran jauh tapi keberhasilan mendirikan Taman Bacaan Kita turut
mengabarkan dalil-dalil pembangunan nasional. Kita mengutip ceramah Pak RK di
har bersejarah: “Jadikanlah hari ini sebagai titik tolak perpaduan pengalaman
kita dengan ilmu yang kita dapati dari buku-buku untuk membangun dan
mengembangkan budi pekerti, jiwa raga, dan daerah kita...” Kalimat di pidato
itu terasa klise atau menjemukan.
Ohim tak mengalami
abad XXI. Dulu, ia membaca koran bekas sebelum berkehendak membuat taman baca.
Ia sadar khasiat bacaan berupa koran, majalah, dan buku. Ohim tak ada di masa
sekarang. Ohim mungkin sedih jika membaca koran-koran sering memberitakan
keapesan literasi. Di Solopos, 20 Mei
2019, ada berita berjudul “Kemendikbud Terbitkan Rekomendasi”. Pemerintah
mengeluarkan enam rekomendasi. Pemerintah jangan dianggap bersalah. Pemerintah
itu pemecah dan penuntas masalah. Lho!
Kita mengutip dua
rekomendasi dari hasil kerja keras dan pemikiran pemerintah. Rekomendasi nomor
5: “Swasta dan dunia usaha dapat mendukung pemenuhan akses literasi melalui
dana tanggung jawab sosial perusahaan, misalnya mendukung perpustakaan umum,
perpustakaan sekolah, dan perpustakaan komunitas.” Rekomendasi terakhir: “Masyarakat
dan pegiat dapat berpartisipasi dengan membuat perpustakaan di rumah,
menyelenggarakan aktivitas rutin membaca di tingkat keluarga serta menjadi
donatur bantuan buku untuk sekolah maupun komunitas literasi.” Pemerintah terus
bekerja tapi kita terkesan dengan ulah Ohim dan teman-teman. Mereka sanggup
mengadakan taman baca tanpa rekomendasi pemerintah. Mereka bukan kumpulan
masalah tapi kumpulan pembaca menginginkan buku-buku untuk “disantap” dengan
girang dan terhibur. Begitu.
No comments:
Post a Comment