Thursday, May 30, 2019

Baca(an) dan Menghibur


Baca(an) dan Menghibur

Bandung Mawardi


Pada suatu masa, Ibu Sud menggubah lagu dengan judul panjang: Aku Anak Indonesia Penerus Pembangunan Tanah Airku. Sejak masa 1920-an, Ibu Sud jarang membuat judul panjang untuk ratusan lagu. Judul panjang itu mungkin berkaitan deru pembangunan nasional di masa Orde Baru. Lirik di lagu: Kami putra putri Indonesia/ bertekad bulat teguh berjanji/ menuntut ilmu agar mandiri/ unttuk membangun ibu pertiwi/ mari kawan kita wujudkan. Lagu tak terkenal, jarang dihapalkan murid-murid di SD atau SMP. Lagu pernah ada mengingatkan ke bocah-bocah Indonesia agar berilmu. Lagu itu ada dalam buku berjudul Seruling: Kumpulan Lagu Anak-Anak (1992). Dulu, lagu mengajak bocah berilmu. Nah, ilmu digunakan dalam memuliakan Indonesia.
Pada masa Orde Baru, lagu bisa jadi propaganda pembangunan nasional. Buku pun memiliki peran dan pengaruh besar ke bocah. Tjetjep Endang menulis buku berjudul Si Ohim: Merintis Jalan ke Kemajuan. Buku terbitan Pustaka Jaya, 1983. Judul buku sudah gamblang. Cerita menginginkaan kontribusi di pembangunan nasiolan, terutama dalam pendidikan-pengajaran. Buku cerita tak sederhana dihiasi gambar-gambar oleh Wakidjan. Cerita untuk dinikmati bocah dan remaja.
Di pagi hari, Ohim dan teman-teman piket alias jatah membersihkan kelas. Mereka bekerja sambil bercakap dan berlagu. Sekian menit berlalu untuk bersih-bersih, Ohim mengalami peristiwa biasa tapi berdampak menakjubkan. Tjetjep mengisahkan: “Tiba-tiba matanya tertuju pada secarik kertas koran bekas pembungkus kacang tanah. Ia melihat gambar seorang laki-laki berbadan kekar dan berbentuk segi tiga sedang menikam seekor buaya dengan pisau belatinya. Koran itu dipungutnya. Ternyata gambar itu merupakan gambar pertama sebuah cergam…” Ohim membaca bergairah dan cermat. Koran bekas telah tepat bertemu pembaca masih ingusan. Koran berkhasiat. Pada hari penemuan koran bekas, Ohim sanggup mengikuti sekian pelajaran dengan girang. Ia menjawab soal-soal dari guru dengan benar. “Bila aku tidak membacanya, mana mungkin aku dapat menjawabnya,” pengakuan Ohim atas penasaran teman-teman di kelas. Sejak pagi bertemu koran bekas wadah kacang, Ohim berjanji “akan mulai banyak membaca dan menggali pengetahuan.”
Penggunaan bahasa Indonesia di koran sangat membantu Ohim dalam mengikuti pelajaran  bahasa Indonesia. Koran jadi sumber belajar, selain guru dan buku pelajaran. Kita mengimajinasikan masa 1980-an dengan tokoh lugu bernama Ohim. Ia seperti menggaungkan saran-saran pemerintah agar murid-murid rajin membaca koran atau majalah dalam mengikuti informasi di segala bidang. Dulu, koran-koran sering beredar di kota, jarang sampai ke desa. Pemerintah Orde Baru malah pernah mengadakan program koran masuk desa. Novel gubahan Tjetjep Endang belum berurusan koran masuk desa atau koran masuk sekolah. Koran itu sampai ke sekolah Ohim gara-gara pedagang kacang. Dagangan itu dibeli murid-murid saat istirahat. Nah, koran untuk bungkus itu dibuang muris dengan anggapan tak lagi berfaedah. Di mata Ohim, “sampah” itu penentu perubahan bakal terjadi di sekolah dan kampung. Kita kagum pada Ohim cepat bersikap dan peka di peristiwa dan impian keilmuan.
Kita Ohim dan bahasa Indonesia: “Tetapi si Ohim betul-betul memperhatikan pelajarannya dengan seksama, bahkan sampai memperhatikan bahasa Indonesia yang dipakai oleh Pak Guru. Bahasa Indonesia di kampung si Ohim sangat jarang dipergunakan dalam percakapan sehari-hari. Boleh dikatakan ‘hanya dipergunakan di sekolah’. Di luar sekolah mereka mempergunakan bahasa daerah. Karena itu tidak mengherankan kalau bahasa Indonesia anak-anak sekolah belum begitu baik.” Situasi itu semakin membuat Ohim bergairah mencari bekas pembungkus kacang. Ia berkeliling di sekolah, mencari koran-koran bekas. Eh, Ohim cuma bertemu sedikit. Ohim sudah mengimpikan membaca koran setiap hari meski bekas.
Novel itu menginginkan bocah mementingkan koran. Semula, pemahaman koran bekas digunakan sebagai pembungkus makanan. Di peristiwa Ohim, murid-murid diajari melihat hikmah di benda bekas. Koran itu terbukti bisa digunakan dalam memahami atau menambahi pengetahuan berkaitan pelajaran bahasa Indonesia. Di pelajaran-pelajaran berbeda, isi koran tetap dapat membantu keilmuan murid-murid. Koran itu penting! Kita mengira koran-koran masa 1980-an adalah santapan diangankan memberi sokongan ke pembangunan nasional. Di bidang pendidikan-pengajaran, koran memikul tanggung jawab besar. Ohim mengartikan koran sudah memenuhi peran meski belum penuh.
Rangsang koran berlanjut ke buku-buku. Ohim ingin membaca buku-buku. Di sekolah dan rumah, jumlah buku cuma sedikit. Ia ingin rajin membaca, rajin berilmu. Ohim bersama teman-teman mulai bermimpi memiliki taman baca, taman berisi buku-buku, bukan bungan atau rumput. Usulan Ohim mendapat tanggapan dari Anwar: “Tentu kita dan teman-teman dapat menikmati guna, manfaat, dan kesenangan dari membaca buku.” Mereka berjanji mewujudkan taman baca. Siasat demi siasat harus dijalankan untuk taman baca. Pengandaian taman baca sudah ada. “Merangsang minat baca teman-teman kita,” ujar Ohim. Peristiwa menemu koran dan keranjingan membaca membuat impian taman baca membara setiap hari.
Mula-mula, Ohim ingin memikat para teman dengan berbagi cerita dari buku-buku pernah dibaca. Pada masa 1980-an, buku-buku terjemahan bertokoh hero-hero ciptaan Amerika Serikat sudah beredar di Indonesia. Di mata bocah dan remaja, buku komik Superman jadi idola. Ohim mengagumi Superman. Hero dari negeri jauh itu memang membuat bocah-bocah di pelbagai negara tertular imajinasi memukau.
Ohim bercerita: “Ya, seorang yang gagah perkasa itu. Batu penutup gua yang besar sekali dipukul: bumm! Hancur. Ia keluar dari tahanan dan mengejar dua orang penjahat yang telah merampok sebuah bank. Mereka pandai, licik, dan mempunyai senjata ampuh. Tetapi oleh Superman dihajar: buuk, buuk! Mereka ditangkap dan dibawa terbang. Eh, si penjahat tidak takut dijatuhkan, mereka masih mengadakan perlawanan. Oleh Superman kepala mereka diadukan: duuk! Kedua penjahat pingsan. Mereka diserahkan kepada polisi.” Ohim mengingat dan urut dalam menceritaka ulang komik. Superman memang idola bocah-remaja di dunia. Pembaca jangan lekas curiga bahwa Ohim memilih hero Amerika Serikat ketimbang hero-hero di Indonesia. Ohim dan teman-teman pun mengenali para hero dalam wayang dan cerita rakyat.
Pemberian penggalan-penggalan cerita ke teman-teman diniatkan agar mereka penasaran. Nah, penasaran itu membuat teman-teman berhak bergantian meminjam dan membaca buku. Mereka pasti puas jika membaca sendiri. Ohim bertugas memicu penasaran. Masalah besar adalah jumlah mereka. Ohim ingin ada taman baca memiliki koleksi ratusan buku. Beragam buku boleh dibaca oleh teman-teman, tak wajib buku pelajaran. Teman-teman mungkin sudah bosan membaca buku pelajaran.
Kita bergerak jauh ke masa berbeda. Di Kompas, 20 Mei 2019, kita membaca berita bertema membaca buku. “Gerakan literasi tidak akan berhasil tanpa mengajak anak atau siswa menyukai buku. Melalui metode membaca ekstensif, anak sejak dini diajak menyukai buku dan menganggap buku sebagai sumber hiburan dan inspirasi,” tulis di Kompas. Membaca ekstensif diartikan murid membaca tanpa beban. Lho! Murid dibebaskan memilih buku, majalah, atau koran untuk dibaca. Murid tak memiliki kewajiban menceritakan ulang atau menghapal demi pemenuhan nilai-nilai akademik. Terhibur! Murid mendingan senang dan mendapat hiburan ketimbang penat. Nah, keinginan membaca terhibur itu masih sulit dipenuhi di ribuan perpustakaan sekolah di Indonesia. Koleksi buku pelajaran sering “mengalahkan” buku-buku menghibur.
Ohim dan teman-teman dalam keinginan mendirikan taman baca sudah menginginkan ada perwujudan “membaca ekstensif”, bukan membaca selalu menginduk ke mata pelajaran di sekolah. Koleksi buku bercerita Superman atau Tarzan agak memungkinkan bocah-bocah bergirang membaca ketimbang membaca buku pelajaran matematika.
Ohim dan teman-teman bersekongkol dengan Pak RT untuk mendirikan taman baca. Kita sudah mengerti ada pengaruh nalar birokrasi dalam novel. Sekian keinginan warga bergantung ke struktur birokrasi, mulai dari bawah sampai atas. Ketokohan Pak RT sengaja ditonjolkan bermaksud mewartakan ke pembaca bahwa tata birokrasi masa Orde Baru “sangat” mendukung kemajuan pendidikan-pengajaran atau literasi berdalih pembangunan nasional. Semangat Ohim membara setelah bertemu dan bercakap dengan Pak RT. Masalah awal adalah penamaan. Rapat kecil diselenggarakan menentukan nama. Sekian usulan: Taman Bacaan Bersama, Taman Bacaan Gembira, Taman Bacaan Kita. Taman baca belum berhasil diadakan tapi nama sudah dipikirkan. Konon, peristiwa itu menandai “nyawanya adalah semangat.” Mereka emoh pesimis. Taman baca dipastikan ada.
Usulan demi usulan pembelian dan pengadaan buku membuat mereka berpikir dalam menentukan tindakan-tindakan. Usulan bermutu adalah teman-teman mengumpulkan buku tulis sudah tak dipakai. Tumpukan buku tulis dijual di rongsongkan mendapatkan duit atau ditukarkan dengan buku-buku bacaan bekas. Sumbangan buku tulis berarti kemampuan mengadakan koleksi buku. Usulan besar adalah mengumpulkan sumbangan dengan membuat pertandingan sepakbola. Sumbangan penonton digunakan untuk mewujudkan taman baca. Sepakbola mulai berkaitan keaksaraan.
Siasat-siasat diajalankan menghasilkan duit dan buku. Taman baca pun berdiri. Pendirian disertai pembentukan pengurus melibatkan Pak RT, Pak RK, Pak Guru, dan tokoh-tokoh di kampung. Duit dibelanjakan buku. Di toko buku, Ohim kaget. Harga buku mahal! Rapat dadakan memutuskan duit dibelikan buku baru dan buku bekas. Pilihan jenis atau tema buku cenderung ke mereka, bukan “dipaksa” anjuran-anjuran kaum orang tua di kampung. Komik jadi pilihan bersama. Para orang tuan pernah berdialog mengenai belanja buku. Pak Guru menjelaskan: “Tidak semua yang baik menurut kita akan diterima baik oleh anak-anak. Lain halnya jika mereka telah benar-benar dapat menikmati isi buku, maka tidak akan sukar untuk mengarahkan bacaan mereka.” Ohim dan teman-teman ingin girang alias terhibur. Taman Bacaan Kita bukan untuk membuat mereka pusing, mual, lemas, dan murung. Membaca buku itu menggirangkan! 
 Di akhir novel, usulan dan kerja bocah-bocah itu terang sesuai dengan misi pembangunan nasional. Para bocah mungkin tak berpikiran jauh tapi keberhasilan mendirikan Taman Bacaan Kita turut mengabarkan dalil-dalil pembangunan nasional. Kita mengutip ceramah Pak RK di har bersejarah: “Jadikanlah hari ini sebagai titik tolak perpaduan pengalaman kita dengan ilmu yang kita dapati dari buku-buku untuk membangun dan mengembangkan budi pekerti, jiwa raga, dan daerah kita...” Kalimat di pidato itu terasa klise atau menjemukan.
Ohim tak mengalami abad XXI. Dulu, ia membaca koran bekas sebelum berkehendak membuat taman baca. Ia sadar khasiat bacaan berupa koran, majalah, dan buku. Ohim tak ada di masa sekarang. Ohim mungkin sedih jika membaca koran-koran sering memberitakan keapesan literasi. Di Solopos, 20 Mei 2019, ada berita berjudul “Kemendikbud Terbitkan Rekomendasi”. Pemerintah mengeluarkan enam rekomendasi. Pemerintah jangan dianggap bersalah. Pemerintah itu pemecah dan penuntas masalah. Lho!  
Kita mengutip dua rekomendasi dari hasil kerja keras dan pemikiran pemerintah. Rekomendasi nomor 5: “Swasta dan dunia usaha dapat mendukung pemenuhan akses literasi melalui dana tanggung jawab sosial perusahaan, misalnya mendukung perpustakaan umum, perpustakaan sekolah, dan perpustakaan komunitas.” Rekomendasi terakhir: “Masyarakat dan pegiat dapat berpartisipasi dengan membuat perpustakaan di rumah, menyelenggarakan aktivitas rutin membaca di tingkat keluarga serta menjadi donatur bantuan buku untuk sekolah maupun komunitas literasi.” Pemerintah terus bekerja tapi kita terkesan dengan ulah Ohim dan teman-teman. Mereka sanggup mengadakan taman baca tanpa rekomendasi pemerintah. Mereka bukan kumpulan masalah tapi kumpulan pembaca menginginkan buku-buku untuk “disantap” dengan girang dan terhibur. Begitu.



No comments:

Post a Comment