Thursday, May 16, 2019

"Lucu" dan Keseriusan Indonesia


“Lucu” dan Keseriusan Indonesia

Bandung Mawardi


Pada masa keberakhiran pemerintah kolonial Belanda, orang-orang mungkin tak sempat melakukan pengumpulan dan pencatatan buku-buku cerita bocah menandai “warisan” dari masa-masa sedang subur di percetakan-penerbitan buku. Balai Pustaka dan penerbit-penerbit partikelir kaget dengan kedatangan Jepang. Perkara buku cerita untuk bocah dan remaja “tiarap” dulu, menantikan kebijakan-kebijakan baru sesuai selera pemerintah pendudukan Jepang. Masa peralihan belum memiliki catata lengkap, masa pendudukan Jepang cepat berakhir, 1942-1945. Pada saat Jepang “minggat” dari Indonesia, catatan-catatan mengenai perbukuan mungkin tak dikerjakan secara rapi dan lengkap. Di kepustakaan anak, kita kesulitan menentukan pamrih dan dampak buku diterbitkan di tahun-tahun terjepit.
Puluhan tahun berlalu. Kerja mampu dilakukan adalah penerbitan buku dijuduli Menjelang Indonesia Merdeka (1982) susunan Pitoyo Darmosugito. Buku terbitan Gunung Agung berisi “kumpulan tulisan tentang bentuk da nisi negara yang akan lahir.” Artikel-artikel kecil dimuat di Asia Raya, Asia Baroe, Sinar Baroe, dan Tjahaja dikumpulkan agar terbaca oleh kita jika mengenang Indonesia di tahun-tahun menjelang merdeka. Tulisan mengandung nasihat, propaganda, dan renungan. Serius tanpa lucu. Tulisan tak mau menghibur pembaca. Puluhan tulisan langka berhasil diterbitkan ulang setelah kesulitan menemukan bundel-bundel koran masa lalu.
Kita membaca tulisan berjudul “Kesenian dan Indonesia Merdeka” oleh Agoes Djaja Soeminta, dimuat di Asia Raya, 14 Juni 1945. Kita membaca dengan suasana masa lalu, masa Indonesia belum merdeka. Agoes Djaja menulis: “Oesaha menanam rasa kebangsaan didalam dada bangsa Indonesia adalah kewadjiban jang berat, dan terletak ditangan mereka jang termasoek golongan terpeladjar, atau lebih baik golongan jang insjaf, oleh karena terpeladjar dan insjaf ada berlainan.” Kalimat itu dibuat dari pengalaman di suasana kolonial Belanda dibandingkan dengan Jepang di bulan-bulan terakhir. Tulisan itu mengungkapkan seni dan pendidikan-pengajaran.
Tulisan turut dimuat di buku berjudul Menjelang Indonesia Merdeka, bukan Menjelang Indonesia Tertawa. Lho! Pada 1946, Balai Poestaka menerbitkan buku berjudul Katjang Goreng (Tjeritera Loetjoe). Indonesia merdeka pada 1945. Indonesia diajak tertawa pada 1946. Merdeka mengandung jeritan, tangisan, teriak, dan ratapan. Penerbit bentukan pemerintah kolonial di masa kemerdekaan malah mengumbar lucu. Buku menginginkan merdeka juga tertawa. Buku berjudul aneh di tahun berkecamuk. Tahun itu Indonesia sedang ramai dengan pidato-pidato para pemimpin bangsa dan penerbitan buku-buku bertema revolusi. Sekian buku kecil dan sederhana ditulis oleh Tan Malaka, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan lain-lain. Kelucuan terasa di tulisan-tulisan Idrus dan sekian orang dengan nama belum tercatat di album sejarah tawa Indonesia.  
Tertawa itu penting tapi masih rikuh jika terpamerkan ke orang-orang masih menderita dan bingung mengartikan merdeka. Penerbitan buku beraliran lucu anggaplah “kelucuan” sulit terpahami di terpaan pekik dan slogan politik kolosal. Tahun-tahun itu kita mengingat Mohammad Hatta saja. Ingatan mengacu ke buku berjudul Indonesia Merdeka: Biografi Politik Mohammad Hatta (1991) garapan Mavis Rose. Di pelbagai surat kabar, pertemuan resmi atau rapat, dan di muka corong radio, Hatta rajin berkata demi kemerdekaan dan kemajuan Indonesia. Di kepala Hatta, merdeka itu utama, bukan tertawa. Kita terlalu sulit mencari episode Hatta rajin tertawa dan sadar kelucuan-kelucuan di Indonesia. Tema terpenting Hatta, sejak masa 1930-an sampai Indonesia merdeka adalah “daoelat rakjat”. Indonesia harus tetap merdeka, belum sempat berpidato atau menulis Indonesia harus tetap tertawa. Pada 1946, pikiran Hatta tegang dan menuju terang saat Indonesia masih amburadul. Hatta sulit diimajinasikan bertemu atau memegang buku berjudul Katjang Goreng. Bacaan Hatta adalah buku-buku babon bertema ekonomi dan politik beragam bahasa. Ia mungkin makan kacang goreng tapi tak membaca Katjang Goreng. Pengalaman itu memastikan Mavis Rose tak bisa membuat lelucon dengan menulis buku berjudul Indonesia Tertawa. Merdeka itu keutamaan! Tertawa belakangan saja.
Kita berpisah dari dua buku sejarah berat. Kita masuk ke buku lucu. Lihatlah, gambar di sampul buku! Ada spanduk bertuliskan “Katjang Goreng”. Di bawah, ada penjual sedang menggoreng kacang di wajan sambil menari. Api tampak di tungku. Bocah lelaki bercelana pendek dan berpeci membawa bungkusan kacang goring. Bocah perempuan dengan rambut dikucir sedang menari, belum membeli kacang goreng. Gambar oleh Nasroen AS. Gambar itu lucu? Ingat, buku bukan berisi resep-resep masakan tapi cerita lucu.
Cerita-cerita ditulis Tinggi Loebis. Nama itu mengesahkan berasal dari Sumatra. Sejarah menulis cerita dicetak jadi buku di Indonesia memang memiliki barisan penulis asal Sumatra, sejak masa 1920-an. Apakah ia masuk di Angkatan 45? HB Jassin mungkin mengetahui si pengarang dan membaca buku tapi tak mungkin menaruh di buku bunga rampai sastra Angkatan 45. Buku itu teranggap bacaan bocah dan remaja. Bacaan sulit naik ke taraf kesusastraan serius mengurusi tema-tema revolusi.
Pada 1946, buku berjudul Katjang Goreng itu cetakan kedua. Kita belum memastikan cetakan pertama di masa kolonial Belanda atau di masa Jepang keranjingan berpropaganda. Cerita pertama berjudul “Lebai Salih”. Lucu gara-gara hantu palsu! Lebai Salih itu penakut. Tinggi Loebis mengisahkan: “Ta’ heran anak-anak moeda didalam kampoeng itoe amat soeka menakoet-nakoeti dia. Lebih-lebih dalam boelan Poeasa. Karena waktoe itoe kata orang djin dan setan dilepaskan dari tambatannja. Lebai Salih amat pertjaja dengan tjerita itoe.”
Bepergian ke pelbagai tempat saat malam, Lebai Salih selalu ingin memiliki teman. Ia takut sendirian, takut pada hantu-hantu di kuburan dan pelbagai tempat. Lebai Salih mesti mendatangi acara-acara atau datang ke masjid untuk beribadah. Ia mesti melewati kuburan dan kebun berkemungkinan ada hantu. Pada perjalanan pulang dari hajatan teman di malam hari, Lebai Salih dan Djalal melintasi kuburan di pinggir jalan. Ketakutan itu memicu lucu: “Dekat koeboer besar, telah berbaring si Amir ditengah-tengah djalan. Saroeng pelekatnja jang agak poetih warnanja diambilnja oentoek menjeloeboengi toeboehnja. Siapa jang melihat dia berseloeboeng matjam itoe, tentoe merasa takoet. Roepanja sebagai seboeah bantal goeling jang terletak ditengah djalan. Ketika di Djalal dan Lebai Salih soedah dekat ‘hantoe’ bergoeling-goeling kekaki Pak Lebai. Seketika itoe djoega terdengar pekik dan teriak Lebai Salih dengan sekoeat-koeatnja: Ja Allah…” Ulah itu kesengajaan Djalal dan Amir. Mereka ingin membuat Lebai Salih takut tanpa pertolongan.
Berulang mereka menakuti Lebai Salih dengan hantu palsu. Ketakutan dan kesedihan Lebai Salih malah jadi kelucuan bagi orang-orang kampung. Dua bocah itu semakin nekat menambahi takut. Pada suatu malam, Lebai Salih ditakuti lagi. Ia berteriak dan berlari. Djalal dan Amir girang melihat Lebai Salih merana. Mereka tak sadar jika ada orang lain sedang bertindak memberi hukuman. Dua bocah menjadi hantu palsu itu dipukul ipar Lebai Salih berjulukan Panglima Ali. Wah, dua bocah jatuh: terluka dan berdarah. Ulah keterlaluan mereka ketahuan.
Balasan setimpal menimpa Djalal dan Amir. Pesan bijak dari pengarang: “Ketika anak-anak jang lain bergirang-girang hati waktoe Hari Raja, si Amir dan si Djalal menangis mengenang oentoengnja. Menangis merasakan hoekoeman karena perboeatan mereka sendiri, jang melewati batas itoe.” Hukuman itu jadi peringatan ke orang-orang kampung mengurungkan niat menakuti Lebai Salih. Kalimat terakhir di cerita: “Sedjak itoe anak-anak atau anak-anak moeda ta’ berani lagi mempertakoet-takoeti dan memperolok-olokkan Lebai Salih.”
Kita berganti ke cerita berjudul “Pa’ Latoe dan Si Lamoe”. Dua tokoh bukan manusia tapi lalat. Cerita dalam bentuk percakapan. Sejak awal sampai akhir, pembaca menemukan sindiran-sindiran kaum lalat kepada kaum manusia. Cerita lucu bergelimang kritik agar manusia bertobat dari sekian kebodohan, kejorokan, dan keburukan. Manusia itu musuh dan korban bagi lalat-lalat beterbangan di pelbagai tempat.
Lamoe itu lalat kecil. Pada Pa’ Latoe, ia berguru dalam mencari makan dan keselamatan dari pembunuhan dilakukan manusia. Pada pagi hari, dua lalat berbincang tentang pangan dan manusia. Pa’ Latoe memberi penjelasan awal: “Jang amat djahat kepada kita ialah orang jang pintar.” Orang bodoh itu malah menguntungkan nasib lalat. Orang bodoh bisa jadi sekutu. Orang pintar itu jahat. Kita mengartikan jahat berbeda dari omongan Cinta kepada Rangga di film berjudul Ada Apa Dengan Cinta 2.
Pada pencarian makan tibalah mereka dekat rumah sakit. Pa’ Latoe berceramah pada Lamoe: “Roemah sakit. Disana ta’ ada makanan bagi kita. Lagi poela, sekalian orang disana amat djahat. Tentoe kita diboenoehnja kalau kita mendekat kesana. Ingatlah, Lamoe, djangan engkau mendekat-dekat keroemah itoe. Roemah-roemah jang bersih pekarangannja, bersih dan terang dapoer dan biliknja, sekali-kali djangan kaumasoeki. Orang jang tinggal diroemah sematjam itoe amat djahat…” Ceramah mengejek manusia sadar kebersihan. Manusia jenis itu jahat. Ah, sindiran kurang lucu! Lalat bersekutu dengan orang bodoh, memusuhi manusia pintar. Kita mengingat masa revolusi. Indonesia masih memiliki jutaan orang “dibodohkan” oleh kebijakan kolonial. Mereka mungkin bakal sakit dan merana oleh lalat-lalat nakal. Kebodohan itu diusahakan berkurang dan diatasi oleh pemerintah dengan kerja besar di sekian kementerian.
Buku mengaku berisi cerita-cerita lucu kadang membikin ngekek dan ragu. Buku memiliki 48 halaman, kita jangan berharap “membeli” lucu mengenai kacang goreng. Oh, penulis ingin orang membaca buku sambil makan goreng! Buku berjudul lucu belum tentu lucu. Kita maklum mutu lucu di Indonesia setahun setelah merdeka tak harus seperti lucu-lucu seperti terselenggara di pelbagai acara dan bacaan abad XXI. Lucu berpihak ke bijak berbeda dengan lucu “biadab” di masa sekarang. Begitu. 




No comments:

Post a Comment