Thursday, May 30, 2019

Bocah Bergelimang Masalah


Bocah Bergelimang Masalah

Bandung Mawardi


Mari serahkan kepadaku semua sengsara
sampai di manakah tangis orang-orang putusasa
tiada percaya hidup ini nyanyian mesra
sedang baiknya
jiwa memperkelahikan nasib tiada habisnya

(Mansur Samin, Ajakan, 1960)

Pada masa 1980-an, Mansur Samin dinobatkan oleh kaum pengarang sebagai “Raja Buku Inpres”. Julukan agung bagi pengarang rajin menulis buku mendapat stempel dari pemerintah. Stempel berarti honor besar pemerintah bagi pengarang. Konon, para pengarang masa lalu “bersaing” dalam penulisan buku-buku berstempel Inpres. Soeharto terpandang dan terhomrat sebagai penguasa berpihak pada perbukuan dan “memakmurkan” pengarang. Sekian pengarang mengaku bisa membeli rumah dan mobil dari honor Inpres. Nah, Mansur Samin termasuk menulis puluhan dalam perbukuan Inpres! Julukan “Raja Buku Inpres” mengadung sanjungan dan menjewer keterlenaan pengarang menulis demi Inpres.
Pada masa 1950-an, Mansur Samin sudah tokoh sastra di Solo. Ia biasa dipanggil “kakak” oleh para seniman muda. Di kota mulai dipahami sebagai ruang seni dan sastra, Mansur Samin ambil peran berpengaruh, sebelum berada di pelukan pemerintah dan berpindah ke Jakarta. Mansur Samin tak selalu membuat buku-buku untuk Inpres. Ia pun menulis menuruti “mau” dan “pertimbangan mutu” melampaui taraf Inpres. Peran di Solo tampak dari ketekunan di sastra. Mansur Samin adalah redaktur di siaran sastra RRI Solo dan bergabung di mingguan Adil. Dulu, ia muncul sebagai penggubah puisi di pelbagai majalah. Masa pengakuan sebagai penggubah puisi lekas disusul sebagai penulis buku anak. Para pembaca buku berjudul Tonggak (Linus Suryadi Ag), Angkatan ’66 (HB Jassin), dan Laut Biru, Langit Biru (Ajip Rosidi) pasti berjumpa puisi-puisi gubahan Mansur Samin.
Tahun-tahun berdatanga, Mansur Samin menekuni penulisan buku untuk bacaan anak-anak di seantero Indonesia. Ia menulis 50-an buku anak. Linus memuat sekian judul buku anak garapan Mansur Samin: Berlomba dengan Senja, Parut, Lepas, Si Masir, Si Belang, Luhut, Pesan Sebatang Mangga, Warna, Tagor dari Batangtoru, Empat Saudara, Tidak Putus Asa, Urip yang Tabah, Telaga di Kaki Bukit, dan lain-lain. Jumlah buku memantaskan ia menjadi “Raja Buku Inpres.” Pengakuan belum sah gara-gara tiada disertasi mengulas pamrih-pamrih Mansur Samin di puluhan buku anak menuruti kebijakan keaksaraan Soeharto di masa lalu. Kita terlambat memberi tepuk tangan dan anggukan. Keinginan orang mengenali Mansur Samin tak pernah dipenuhi di Ensiklopedia Sastra Indonesia Modern (2003) susunan Tim Pusat Bahasa, mengusung kebijakan pemerintah. Di situ, pembaca tak pernah menemu Mansur Samin. Pengarang itu absen, “belum” mendapat pengakuan bagi kesusastraan dan pendidikan di Indonesia.
Penebusan adalah membaca dan memberi tanggapan untuk novel berjudul Si Masir. Masir, bocah nakal. Pembaca dikenalkan dengan bocah memiliki sifat dan ulah membikin marah. Ia memberi malu keluarga. Sekian pengenalan itu memiliki awalan dan akibat. Masir tak mutlak bersalah. Di mata pembaca masih berusia bocah, Masir mungkin dibenci, sebelum dimaafkan dengan niat mengubah diri alias bertobat. Buku berjudul Si Masir memberi halaman-halaman keburukan bocah dan kegagalan keluarga dalam pengasuhan. Di pendidikan, Masir semakin terpuruk. Mansur Samin menulis Si Masir ingin memberikan peringatan atas tokoh tak pantas diteladani di masa pemerintah menganjurkan bocah-bocah menjadi pintar, sopan, tertib, dan cinta tanah air. Masir kebalikan dari  pendefinisian milik pemerintah.
Cerita bermula di daerah perkebunan karet bernama Suka Ramai. Keluarga Haji Samin tinggal di situ membuka warung. Keluarga diceritakan miskin dan bermasalah. Haji Samin bersama istri dan anak bernama Samir hidup dalam keterbatasan. Samir sudah berusia 9 tahun, diharapkan bersekolah agar terhindar dari kebodohan. Sekolah harus di daerah lain, jauh dari Suka Ramai. Perintah agar Samir bersekolah itu bergelimang masalah, sejak halaman awal sampai akhir. Novel melulu masalah. Samir itu masalah!
Buku berjudul Si Samir diterbitkan Pustaka Jaya, 1975. Gambar-gambar oleh Onong Nugroho. Pada masa 1970-an, kebijakan-kebijakan pendidikan mungkin belum gencar dan mujarab. Pemerintah masih melulu mengurusi politik dan ekonomi. Pendidikan di belakang. Nasib bocah-bocah di desa-desa tak seberuntung bocah-bocah di kota. Dulu, kota itu pusat segala. Sekolah sering berada di kota. Mutu pendidikan di kota anggaplah melebihi di desa. Rezim Orde Baru menginginkan memiliki anak-anak pintar tapi belum becus memberi “uluran tangan” ke bocah-bocah di pelbagai desa dan berada di Sumatra, Sulawesi, atau Kalimantan. Indonesia timur pun masih terabaikan. Mansur Samin memberi alamat cerita di Sumatra.
Bapak dan ibu memutuskan Samir bersekolah ke Batangtoru, berarti harus pergi dari Suka Ramai. Samir mau dititipkan ke rumah bibi agar tetap bersekolah. Semula, Samir menolak tapi tak kuasa melawan kehendak ibu dan bapak. Ia terpaksa meninggalkan rumah menggembol kecewa-kecewa bakal ditambahi lagi sekarung kecewa saat tinggal di rumah bibi. Di sana, ia tak kerasan dan mengalami pelbagai kesalahan. Samir bermasalah di sekolah dan rumah. Bibi tak sanggup mengawasi dan mengatur. Bibi memiliki anak-anak memberi kerepotan besar, sulit menambahi beban mengurusi Samir.   
Pulang sekolah, Samir sering bermain ke sungai. Ia bergirang bersama teman-teman. Si bocah tiada ingin turut membantu kerepotan di rumah bibi. Ia pun malu menumpang di rumah bibi. Pada saat berada di sungai, Samir kedatangan bapak. Ia kepergok sering bermain ketimbang belajar atau membantu pekerjaan di rumah bibi. Bapak murka! Kemarahan dikalimatkan ke Masir: “Tidak perduli siapa yang mengajak. Pokoknya kau tidak boleh mandi ke sungai. Kalau kau hanyut bagaimana? Kalau tenggelam bagaimana? Bibimu yang susah. Kau tidak tahu di sungai itu ada buaya? Mau dimakan buaya?” Marah belum memuncak. Masri harus meninggalkan sungai, berpisah dari teman-teman.
Marah belum selesai: “Pakaianmu sudah compang-camping. Kukumu seperti kuku macan. Kakimu penuh daki. Tanganmu berkudis!” Penampilan Masir membuat bapak berhak menimpakan marah. Masir ada di situasi petaka. Ia sulit mengelak dari marah-marah. Ia wajib menderita dan menuruti perintah-perintah bapak.
Kejadian itu membuat bapak memutuskan Masir kembali ke Suka Ramai. Masir kelas 3 SD tetap saja bodoh dan menambahi ulah nakal. Pulang ke Suka Ramai, marah diberikan ibu. Bersekolah justru mengundang masala-masalah. Ibu melihat tubuh Masir: koreng, daki, patek, bengkak. Ibu mulai galak. Masir dituduh jarang mandi. Masir diam, tak berani menjawab. Tindakan darurat dilakukan: “Masir buru-buru menanggalkan pakaian. Ibu menggulung lengan baju lalu memandikan Masir. Daki yang mengental di sela-sela bagian tubuh Masir digosok dengan sekeping batu. Masir merintih. Ia menggelinting karena kegelian, tapi ibu tak perduli. Seluruh tubuh Masir digosok batu. Daki yang menebal mengelupas. Masir meringis-ringis.” Ibu seperti membuat konklusi: sekolah tak mengajarkan Masri rajin mandi. Fatal!
Bapak dan ibu rapat lagi. Masir tetap pergi dari rumah lagi. Masir harus sekolah. Usulan baru adalah menitipkan ke rumah kakek-nenek. Keputusan dilematis. Hari demi hari berganti, Masir berada di rumah kakek sudah tiga bulan. Ia dimanja kakek. Manja sampai ke pengajaran merokok. Kakek jadi guru. Masir jadi murid. Pelajaran “penting” adalah merokok. Kita membaca pengisahan Mansur Samin: “Sebenarnya kakek sendirilah yang mengajar Masir merokok. Ia mengajar bagaimana melinting tembakau dengan daun nipah, lalu menunjukkan bagaimana mengudapnya. Masir sudah biasa merokok. Melinting pun mahir. Berkat petunjuk dari kakek.” Sekolah jadi urutan belakang, tak penting di keseharian Masir. Ilmu merokok mengakibatkan Masir harus pulang lagi ke Suka Ramai, setelah kebiasaan ngeses diketahui bapak. Masir merokok menghasilkan: ibu menangis dan bapak mengomel. Masir semakin bermasalah!
Bapak dan ibu lagi-lagi rapat demi nasib Masir. Keputusan ketiga: bapak dan ibu mengeluarkan ongkos untuk sewa rumah dihuni Masir agar tetap bersekolah. Keputusan dikira membawa kebaikan. Hidup Masir diinginkan berubah. Pengarang menceritakan: “Masir sekarang masak sendiri. Mengurus diri sendiri. Perbelanjaan Masir setiap minggu diambilnya ke Suka Ramai...” Kebijakan memaksa Masir mandiri. Dugaan bapak-ibu meleset! Cita-cita melihat Masir giat belajar tak pernah terwujud. Masir malah jarang masuk sekolah. Masir rajin membolos. Masalah bertamabah: “Masir sudah kerap menjual pakaian dan bekalnya untuk dijudikan.” Judi memberi derita: “Hidup Masir sudah mirip anak gelandangan. Sebab pakaiannya sudah robek-robek, makannya tidak teratur, tidurnya bebas di mana saja ia suka. Rumah tempat tinggalnya lebih banyak dikosongkan daripada didiami.” Kita belum sempat membaca penggalan masalah itu sambil menaruh kebermaknaan lagu-lagu gubahan Rhoma Irama mengani judi atau gelandangan. Kita cuma mengerti Masir mengabarkan bocah-bocah di Indonesia terlalu cepat merusak diri dan keluarga.
Bapak dan ibu membuat keputusan semakin salah! Mereka “sengaja” membuat Masir berantakan sebagai bocah dan murid. Masir terlalu bersalah tapi bapak-ibu memiliki peran besar dari pembesaran masalah. Masir membuat bapak dan ibu bersedih. Masir tak mau selalu disalahkan dan dikutuk. Ia melawan dan berani memberi serangan telak ke bapak sebagai orang sering berutang dan gagal membahagiakan keluarga. Bapak dan anak bertengkar sengit. Bapak merasa di pihak kalah. Bapak mengalami lesu tak berkesudahan. Salah ditimpakan ke bapak. Marah-marah ke Masir berbalik menjadi timbunan masalah.
Masir gagal menjadi murid santun, rajin, dan pintar. Di rumah, Masir gagal menjadi bocah budiman. Segala kisruh dimengerti Masri adalah “neraka”. Ia minggat ke rumah kakek, berharap perlindungan dan pemanjaan. Mansur Samin menulis: “Bagi Masir, kakeklah satu-satunya orang yang mengerti kesedihan dan penderitaan hidupnya. Kakek dianggap mengerti kesunyiannya, mengerti rasa malu yang dideritanya. Kakek adalah orang yang paling mengerti segala keinginannya.” Perjumpaan dan percakapan dengan kakek tak seperti harapan semula. Kakek memberi nasihat agar Masir serius bersekolah. Kakek menilai perlakuan bapak ke Masir itu mengandung benar. Masir diminta mengubah perangai. Kakek tak lagi seperti dulu: memanjakan dan selalu membela Masir.
Di akhir cerita: “Masir pergi berbaring. Ia sadar telah melakukan kesalahan. Ia insaf. Air matanya titik berlinang. Air mata kesadaran. Kesadaran untuk memperbaiki perangai. Malam makin larut. Masir tidur pulas.” Awal dan akhir cerita membikin pembaca melak masalah besar di Indonesia: pendidikan dan keluarga. Masir sebagai bocah ada di keluarga belum sanggup menerapkan pengasuhan dan pendidikan manusiawai. Di sekolah dan pergaulan bersama tema-teman membuktikan pengaruh-pengaruh buruk cepat menular. Di tatap mata rezim Orde Baru, kegagalan itu lazim.
Pada abad XXI, kita membaca Si Masir dengan sorotan sastra dan pendidikan. Bukalah buku berjudul Menyemai Karakter Bangsa: Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan (2009) garapan Yudi Latif. Pemikiran terlambat datang dari penerbitan Si Masir. Kita tetap ingin menaruh pendapat Yudi Latif ke arah Masir, keluarga, dan sekolah di masa lalu. Yudi Latif menjelaskan: “Pendidikan karakter menggarap pelbagai aspek dari pendidikan moral, pendidikan kewargaan, dan pengembangan karakter.” Krisis atau seribu masalah ditanggungkan bocah dalam bersekolah telat diurusi dengan pendidikan karakter. Masir dalam novel terlalu lama “rusak” dan “bermasalah”, sebelum berniat tobat. Peran guru di sekolah memberi peringatan dan anjuran ke Masir agak membuktikan peran mengurusi karakter murid berlaku di masa lalu dengan kadar terbatas. Pada abad XXI, Si Masir mendingan cetak ulang dilengkapi pengantar kritis di pembenaran pendidikan karakter. Novel itu penting terbaca oleh murid-murid di zaman bergelimang masalah. Begitu.     
 

  

No comments:

Post a Comment