Bocah Bergelimang Masalah
Bandung Mawardi
Mari serahkan kepadaku semua sengsara
sampai di manakah tangis orang-orang putusasa
tiada percaya hidup ini nyanyian mesra
sedang baiknya
jiwa memperkelahikan nasib tiada habisnya
(Mansur Samin, Ajakan, 1960)
Pada masa 1980-an, Mansur Samin dinobatkan
oleh kaum pengarang sebagai “Raja Buku Inpres”. Julukan agung bagi pengarang
rajin menulis buku mendapat stempel dari pemerintah. Stempel berarti honor
besar pemerintah bagi pengarang. Konon, para pengarang masa lalu “bersaing”
dalam penulisan buku-buku berstempel Inpres. Soeharto terpandang dan terhomrat sebagai
penguasa berpihak pada perbukuan dan “memakmurkan” pengarang. Sekian pengarang
mengaku bisa membeli rumah dan mobil dari honor Inpres. Nah, Mansur Samin
termasuk menulis puluhan dalam perbukuan Inpres! Julukan “Raja Buku Inpres”
mengadung sanjungan dan menjewer keterlenaan pengarang menulis demi Inpres.
Pada masa 1950-an, Mansur Samin sudah tokoh
sastra di Solo. Ia biasa dipanggil “kakak” oleh para seniman muda. Di kota
mulai dipahami sebagai ruang seni dan sastra, Mansur Samin ambil peran
berpengaruh, sebelum berada di pelukan pemerintah dan berpindah ke Jakarta. Mansur
Samin tak selalu membuat buku-buku untuk Inpres. Ia pun menulis menuruti “mau”
dan “pertimbangan mutu” melampaui taraf Inpres. Peran di Solo tampak dari
ketekunan di sastra. Mansur Samin adalah redaktur di siaran sastra RRI Solo dan
bergabung di mingguan Adil. Dulu, ia muncul
sebagai penggubah puisi di pelbagai majalah. Masa pengakuan sebagai penggubah
puisi lekas disusul sebagai penulis buku anak. Para pembaca buku berjudul Tonggak (Linus Suryadi Ag), Angkatan ’66 (HB Jassin), dan Laut Biru, Langit Biru (Ajip Rosidi) pasti
berjumpa puisi-puisi gubahan Mansur Samin.
Tahun-tahun berdatanga, Mansur Samin
menekuni penulisan buku untuk bacaan anak-anak di seantero Indonesia. Ia
menulis 50-an buku anak. Linus memuat sekian judul buku anak garapan Mansur
Samin: Berlomba dengan Senja, Parut, Lepas, Si Masir, Si Belang, Luhut, Pesan Sebatang Mangga,
Warna, Tagor dari Batangtoru, Empat
Saudara, Tidak Putus Asa, Urip yang Tabah, Telaga di
Kaki Bukit, dan lain-lain. Jumlah buku memantaskan ia menjadi “Raja Buku
Inpres.” Pengakuan belum sah gara-gara tiada disertasi mengulas pamrih-pamrih
Mansur Samin di puluhan buku anak menuruti kebijakan keaksaraan Soeharto di
masa lalu. Kita terlambat memberi tepuk tangan dan anggukan. Keinginan orang
mengenali Mansur Samin tak pernah dipenuhi di Ensiklopedia Sastra Indonesia Modern (2003) susunan Tim Pusat
Bahasa, mengusung kebijakan pemerintah. Di situ, pembaca tak pernah menemu
Mansur Samin. Pengarang itu absen, “belum” mendapat pengakuan bagi kesusastraan
dan pendidikan di Indonesia.
Penebusan adalah membaca dan memberi
tanggapan untuk novel berjudul Si Masir.
Masir, bocah nakal. Pembaca dikenalkan dengan bocah memiliki sifat dan ulah
membikin marah. Ia memberi malu keluarga. Sekian pengenalan itu memiliki awalan
dan akibat. Masir tak mutlak bersalah. Di mata pembaca masih berusia bocah,
Masir mungkin dibenci, sebelum dimaafkan dengan niat mengubah diri alias
bertobat. Buku berjudul Si Masir
memberi halaman-halaman keburukan bocah dan kegagalan keluarga dalam
pengasuhan. Di pendidikan, Masir semakin terpuruk. Mansur Samin menulis Si Masir ingin memberikan peringatan
atas tokoh tak pantas diteladani di masa pemerintah menganjurkan bocah-bocah
menjadi pintar, sopan, tertib, dan cinta tanah air. Masir kebalikan dari pendefinisian milik pemerintah.
Cerita bermula di daerah perkebunan karet
bernama Suka Ramai. Keluarga Haji Samin tinggal di situ membuka warung.
Keluarga diceritakan miskin dan bermasalah. Haji Samin bersama istri dan anak
bernama Samir hidup dalam keterbatasan. Samir sudah berusia 9 tahun, diharapkan
bersekolah agar terhindar dari kebodohan. Sekolah harus di daerah lain, jauh
dari Suka Ramai. Perintah agar Samir bersekolah itu bergelimang masalah, sejak
halaman awal sampai akhir. Novel melulu masalah. Samir itu masalah!
Buku berjudul Si Samir diterbitkan Pustaka Jaya, 1975. Gambar-gambar oleh Onong
Nugroho. Pada masa 1970-an, kebijakan-kebijakan pendidikan mungkin belum gencar
dan mujarab. Pemerintah masih melulu mengurusi politik dan ekonomi. Pendidikan di
belakang. Nasib bocah-bocah di desa-desa tak seberuntung bocah-bocah di kota.
Dulu, kota itu pusat segala. Sekolah sering berada di kota. Mutu pendidikan di
kota anggaplah melebihi di desa. Rezim Orde Baru menginginkan memiliki
anak-anak pintar tapi belum becus memberi “uluran tangan” ke bocah-bocah di
pelbagai desa dan berada di Sumatra, Sulawesi, atau Kalimantan. Indonesia timur
pun masih terabaikan. Mansur Samin memberi alamat cerita di Sumatra.
Bapak dan ibu memutuskan Samir bersekolah
ke Batangtoru, berarti harus pergi dari Suka Ramai. Samir mau dititipkan ke rumah
bibi agar tetap bersekolah. Semula, Samir menolak tapi tak kuasa melawan
kehendak ibu dan bapak. Ia terpaksa meninggalkan rumah menggembol kecewa-kecewa
bakal ditambahi lagi sekarung kecewa saat tinggal di rumah bibi. Di sana, ia
tak kerasan dan mengalami pelbagai kesalahan. Samir bermasalah di sekolah dan
rumah. Bibi tak sanggup mengawasi dan mengatur. Bibi memiliki anak-anak memberi
kerepotan besar, sulit menambahi beban mengurusi Samir.
Pulang sekolah, Samir sering bermain ke
sungai. Ia bergirang bersama teman-teman. Si bocah tiada ingin turut membantu
kerepotan di rumah bibi. Ia pun malu menumpang di rumah bibi. Pada saat berada
di sungai, Samir kedatangan bapak. Ia kepergok sering bermain ketimbang belajar
atau membantu pekerjaan di rumah bibi. Bapak murka! Kemarahan dikalimatkan ke
Masir: “Tidak perduli siapa yang mengajak. Pokoknya kau tidak boleh mandi ke
sungai. Kalau kau hanyut bagaimana? Kalau tenggelam bagaimana? Bibimu yang susah.
Kau tidak tahu di sungai itu ada buaya? Mau dimakan buaya?” Marah belum
memuncak. Masri harus meninggalkan sungai, berpisah dari teman-teman.
Marah belum selesai: “Pakaianmu sudah
compang-camping. Kukumu seperti kuku macan. Kakimu penuh daki. Tanganmu
berkudis!” Penampilan Masir membuat bapak berhak menimpakan marah. Masir ada di
situasi petaka. Ia sulit mengelak dari marah-marah. Ia wajib menderita dan
menuruti perintah-perintah bapak.
Kejadian itu membuat bapak memutuskan Masir
kembali ke Suka Ramai. Masir kelas 3 SD tetap saja bodoh dan menambahi ulah
nakal. Pulang ke Suka Ramai, marah diberikan ibu. Bersekolah justru mengundang
masala-masalah. Ibu melihat tubuh Masir: koreng, daki, patek, bengkak. Ibu
mulai galak. Masir dituduh jarang mandi. Masir diam, tak berani menjawab. Tindakan
darurat dilakukan: “Masir buru-buru menanggalkan pakaian. Ibu menggulung lengan
baju lalu memandikan Masir. Daki yang mengental di sela-sela bagian tubuh Masir
digosok dengan sekeping batu. Masir merintih. Ia menggelinting karena kegelian,
tapi ibu tak perduli. Seluruh tubuh Masir digosok batu. Daki yang menebal
mengelupas. Masir meringis-ringis.” Ibu seperti membuat konklusi: sekolah tak
mengajarkan Masri rajin mandi. Fatal!
Bapak dan ibu rapat lagi. Masir tetap pergi
dari rumah lagi. Masir harus sekolah. Usulan baru adalah menitipkan ke rumah
kakek-nenek. Keputusan dilematis. Hari demi hari berganti, Masir berada di
rumah kakek sudah tiga bulan. Ia dimanja kakek. Manja sampai ke pengajaran
merokok. Kakek jadi guru. Masir jadi murid. Pelajaran “penting” adalah merokok.
Kita membaca pengisahan Mansur Samin: “Sebenarnya kakek sendirilah yang
mengajar Masir merokok. Ia mengajar bagaimana melinting tembakau dengan daun
nipah, lalu menunjukkan bagaimana mengudapnya. Masir sudah biasa merokok. Melinting
pun mahir. Berkat petunjuk dari kakek.” Sekolah jadi urutan belakang, tak
penting di keseharian Masir. Ilmu merokok mengakibatkan Masir harus pulang lagi
ke Suka Ramai, setelah kebiasaan ngeses
diketahui bapak. Masir merokok menghasilkan: ibu menangis dan bapak mengomel.
Masir semakin bermasalah!
Bapak dan ibu lagi-lagi rapat demi nasib
Masir. Keputusan ketiga: bapak dan ibu mengeluarkan ongkos untuk sewa rumah
dihuni Masir agar tetap bersekolah. Keputusan dikira membawa kebaikan. Hidup
Masir diinginkan berubah. Pengarang menceritakan: “Masir sekarang masak
sendiri. Mengurus diri sendiri. Perbelanjaan Masir setiap minggu diambilnya ke
Suka Ramai...” Kebijakan memaksa Masir mandiri. Dugaan bapak-ibu meleset!
Cita-cita melihat Masir giat belajar tak pernah terwujud. Masir malah jarang
masuk sekolah. Masir rajin membolos. Masalah bertamabah: “Masir sudah kerap
menjual pakaian dan bekalnya untuk dijudikan.” Judi memberi derita: “Hidup
Masir sudah mirip anak gelandangan. Sebab pakaiannya sudah robek-robek,
makannya tidak teratur, tidurnya bebas di mana saja ia suka. Rumah tempat
tinggalnya lebih banyak dikosongkan daripada didiami.” Kita belum sempat
membaca penggalan masalah itu sambil menaruh kebermaknaan lagu-lagu gubahan
Rhoma Irama mengani judi atau gelandangan. Kita cuma mengerti Masir mengabarkan
bocah-bocah di Indonesia terlalu cepat merusak diri dan keluarga.
Bapak dan ibu membuat keputusan semakin
salah! Mereka “sengaja” membuat Masir berantakan sebagai bocah dan murid. Masir
terlalu bersalah tapi bapak-ibu memiliki peran besar dari pembesaran masalah.
Masir membuat bapak dan ibu bersedih. Masir tak mau selalu disalahkan dan
dikutuk. Ia melawan dan berani memberi serangan telak ke bapak sebagai orang
sering berutang dan gagal membahagiakan keluarga. Bapak dan anak bertengkar
sengit. Bapak merasa di pihak kalah. Bapak mengalami lesu tak berkesudahan.
Salah ditimpakan ke bapak. Marah-marah ke Masir berbalik menjadi timbunan
masalah.
Masir gagal menjadi murid santun, rajin,
dan pintar. Di rumah, Masir gagal menjadi bocah budiman. Segala kisruh
dimengerti Masri adalah “neraka”. Ia minggat ke rumah kakek, berharap
perlindungan dan pemanjaan. Mansur Samin menulis: “Bagi Masir, kakeklah
satu-satunya orang yang mengerti kesedihan dan penderitaan hidupnya. Kakek
dianggap mengerti kesunyiannya, mengerti rasa malu yang dideritanya. Kakek
adalah orang yang paling mengerti segala keinginannya.” Perjumpaan dan
percakapan dengan kakek tak seperti harapan semula. Kakek memberi nasihat agar
Masir serius bersekolah. Kakek menilai perlakuan bapak ke Masir itu mengandung
benar. Masir diminta mengubah perangai. Kakek tak lagi seperti dulu: memanjakan
dan selalu membela Masir.
Di akhir cerita: “Masir pergi berbaring. Ia
sadar telah melakukan kesalahan. Ia insaf. Air matanya titik berlinang. Air
mata kesadaran. Kesadaran untuk memperbaiki perangai. Malam makin larut. Masir
tidur pulas.” Awal dan akhir cerita membikin pembaca melak masalah besar di
Indonesia: pendidikan dan keluarga. Masir sebagai bocah ada di keluarga belum
sanggup menerapkan pengasuhan dan pendidikan manusiawai. Di sekolah dan
pergaulan bersama tema-teman membuktikan pengaruh-pengaruh buruk cepat menular.
Di tatap mata rezim Orde Baru, kegagalan itu lazim.
Pada abad XXI, kita membaca Si Masir dengan sorotan sastra dan
pendidikan. Bukalah buku berjudul
Menyemai Karakter Bangsa: Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan (2009)
garapan Yudi Latif. Pemikiran terlambat datang dari penerbitan Si Masir. Kita tetap ingin menaruh
pendapat Yudi Latif ke arah Masir, keluarga, dan sekolah di masa lalu. Yudi
Latif menjelaskan: “Pendidikan karakter menggarap pelbagai aspek dari
pendidikan moral, pendidikan kewargaan, dan pengembangan karakter.” Krisis atau
seribu masalah ditanggungkan bocah dalam bersekolah telat diurusi dengan
pendidikan karakter. Masir dalam novel terlalu lama “rusak” dan “bermasalah”,
sebelum berniat tobat. Peran guru di sekolah memberi peringatan dan anjuran ke
Masir agak membuktikan peran mengurusi karakter murid berlaku di masa lalu
dengan kadar terbatas. Pada abad XXI, Si Masir mendingan cetak ulang dilengkapi
pengantar kritis di pembenaran pendidikan karakter. Novel itu penting terbaca
oleh murid-murid di zaman bergelimang masalah. Begitu.
No comments:
Post a Comment