Thursday, March 28, 2019

Derita dan Asmara


Derita dan Asmara

Bandung Mawardi


Sejak puluhan tahun lalu, bocah-bocah sudah terbiasa bersenandung burung kutilang, burung hantu, dan burung kakatua. Lagu belum pelajaran tapi pengenalan bocah pada burung-burung. Pada suatu masa, lagu bercerita burung kakatua mendapat protes kiai di Jawa Timur. Lagu dianggap tak etis. Bocah-bocah dikesankan “mengejek” pada orang sudah sepuh dengan gigi tinggal dua. Lagu untuk bocah-bocah sempat dipikirkan serius dan memunculkan protes. Lagu-lagu itu terdengar sampai sekarang, belum terlarang atau punah.
Punah cenderung nasib tak untung bagi burung-burung. Di Indonesia, kabar mengenai kepunahan burung jarang memicu perdebatan menghasilkan kebijakan-kebijakan besar. Kabar sekian jenis burung mau punah pun sulit mendapat perhatian. Kehebohan sempat terjadi awal 2019 dengan pemberlakuan peraturan mengenai burung peliharaan, burung di perdagangan, dan burung langka. Para pedagang burung sempat protes. Para pemelihara burung membuat pertimbangan ulang dalam memilih jenis-jenis burung. Heboh itu belum dipuisikan oleh Sapardi Djoko Damono. Dulu, ia sering menulis puisi-puisi mengenai burung tapi kalah tekun dari Piek Ardijanto Soeprijadi.
Kita mengutip sebait dari puisi gubahan Piek Ardijanto berjudul “Sepasang Burung”. Kita melihat atau mengalami diri sebagai burung: sepasang burung di ranting sepi/ dengan kepala berbulu halus/ usap-mengusap penuh kasih/ kicau tertahan gejolak naluri. Pemandangan itu ejawantah asmara. Perasaan sepasang burung diungkapkan tanpa ragu. Adegan melampaui adegan berkesan picisan di film dan sinetron. Asmara burung, asmara membikin cemburu manusia.
Pembaca tak pernah diberitahu jenis atau nama burung sedang beradu kasih di puisi. Sepasang burung ingin mengabarkan agar dihormati sebagai makhluk berperasaan. Manusia jangan lekas mengganggu dengan menembak, melemparkan batu, atau menjaring burung. Mereka ingin hidup di pepohonan dan bersua dengan para binatang di alam. Janganlah lekas berpikir burung-burung dikandangkan dan digantung di rumah-rumah. Burung tak mau menderita dan tamat oleh kebodohan dan keangkuhan manusia.
Pesan itu kita temukan di novel berjudul Murai Terbang Tinggi gubahan Mase Edhi. Buku terbitan Gramedia, 1985, 80 halaman. Buku berkemasan apik. Penghias sampul dan gambar-gambar di buku dikerjakan oleh Mulyono. Novel itu pengajaran bagi bocah-remaja ingin mengerti perasaan burung-burung. Pelajaran menginsafkan manusia bernafsu mencari untung dari memelihara burung dan mengikuti lomba kicau burung.
Tokoh utama di novel adalah burung murai. Pembaca ingin mengenali? Simaklah deskripsi dari pengarang: “Murai batu berkicau di dahan randu…. Angin bertiup dari arah pemukiman penduduk. Mengusap wajah burung murai batu yang tampan. Tubuhnya ramping, bertutupkan bulu-bulu halus. Kepala dan lehernya berwarna hitam. Juga mata dan sayapnya. Ekornya panjang melengkung ke bawah. Bulu bagian atas ekor itu berwarna hitam, berjajar dengan susunan yang rapi. Sedangkan bulu-bulu ekor bagian bawah berwarna putih. Panjang dan pendek, bersusun bagaikan kipas setengah terbuka.” Burung itu memukau. Burung telanjur jadi idaman manusia serakah duit dan suka pamer “ilmu” perburungan.
Burung itu bernasib buruk. Nasib lebih buruk diterima pasangan tercinta. Manusia sering menangkap mereka dengan pelbagai cara. Jebakan-jebakan diadakan manusia untuk mendapatkan murai batu jantan. Jebakan itu malah mengenai murai batu betina. Di pasar, harga murai batu asal Medan itu tinggi. Pada suatu hari, murai batu jantan kehilangan kekasih. Hari demi hari, ia mencari sampai letih. Di suatu tempat, ia melihat sang kekasih terkapar. Burung itu keracunan oleh jebakan manusia. Semprotan putih beracun mengenai pelbagai hewan. Murai batu betina makan cengkerik. Ia tak mengetahui di tubuh cengkerik berlumuran racun. Ia menjelang kematian.
Murai batu jantan bersedih atas nasib kekasih. Ia marah dan mendendam pada manusia. Detik-detik perpisahan terasa mengharukan. Murai batu betina ikhlas mati tapi ingin murai batu jantan lekas pergi agar tak ditangkap manusia. Murai batu jantan emoh pergi. Ia ingin mati bersama kekasih. Pembaca tak sedang membaca naskah sandiwara garapan William Shakespeare atau film-film romantis berasal dari Amerika Serikat dan Eropa. Adegan itu berada di novel ingin mengetuk perasaan manusia.
Murai batu betina dalam sekarat berkata: “Jangan, Jantanku! Biarlah aku mati. Kau harus tetap hidup. Kelak kau akan mendapatkan betina yang lain. Bila nanti betinamu bertelur, katakan padanya tentang nasibku ini. Beri tahu anak-anakmu tentang bencana yang ada di mana-mana. Kalau tidak, kelak semua keluarga murai akan tumpas. Jantanku, bila kau bertemu dengan burung dari jenis apa pun juga, beritakan pula tentang kekejaman manusia ini…” Ia pun menutup mata. Ia korban kejahatan manusia. Murai batu jantan berduka. Ia sempat menggugat: “Tuhanku, bukankah Kauciptakan murai untuk isi dunia seindah ini?” Pada saat berpisah dari kekasih, kondiri raga murai batu jantan mengalami luka. Ia terbang dalam sakit dan pedih.
Ia harus meneruskan hidup, terbang dan berkicau. Manusia saja bebal dan sombong. Manusia tak mampu membedakan kicauan burung sedang bergirang atau berduka. Di suatu tempat, murai batu jantan mulai berjulukan Ekor Patah itu bertemu murai betina beranak dua. Ia tampak bersedih kehilangan si jantan. Sedih terungkapkan dengan kicauan. Novel itu memberi ajaran pada kita untuk mengerti situasi batin burung. Pengarang mengisahkan: “Murai betina menangis tanpa air mata. Suara tangisnya akan terdengar bagaikan cericit lirih bagi telinga manusia. Suara itu oleh manusia disebut kicau juga. Mriwik, namanya. Kicau yang lirih seperti bunyi air mendidih. Manusia senang mendengarnya. Sebab manusia tidak tahu bahwa suara murai itu merupakan tangisan pilu.” Pengarang ingin memastikan manusia itu bodoh tak terampunkan! Manusia gagal belajar dan mengerti burung.
Kita jeda dulu dengan membuka Ensiklopedi Populer Anak terbitan Ichtiar Baru Van Hoeve, 1998. Buku menjadi referensi bocah mengenali dan mengerti pelbagai hal. Di situ, bocah bertemu lema burung. Bocah sinau burung sejak dini, berharap kelak tak jadi pemburu atau pemberi derita pada burung-burung. Di lema burung pekicau, bocah membaca keterangan: “Burung umumnya dapat bersuara. Suara itu merdu sehingga mereka disebut burung pekicau. Ada sekitar 4.000 jenis burung pekicau. Mereka disebut juga burung tenggeran karena biasanya bertengger di ranting pohon untuk berkicau.” Bocah lekas mengerti bahwa burung berkicau merdu di ranting pohon, bukan dalam sangkar milik bapak.
Bocah mengenali burung murai: “Selama musim semi, saat burung murai membangun sarang serta membesarkan anaknya, kicau murai jantan yang merdu dan sendu merupakan isyarat bagi para pengacau agar menjauhi wilayahnya. Suara nyaring tik-tik-tik dari burung murai adalah isyarat bagi burung lain akan adanya bahaya kucing atau elang.” Novel mengenai burung murai terbit duluan, sebelum bocah membuka halaman-halaman Ensiklopedia Populer Anak. Buku itu penting dengan anggapan guru di sekolah dan orangtua di rumah gagal mengajarkan tema-tema perburungan.
Kejahatan manusia pada burung semakin terbukti dengan ulah mereka seperti disampaikan tokoh burung kepodang emas dalam novel: “Manusia semakin rakus. Pohon-pohon mereka binasakan. Mereka juga membabat hutan untuk dijadikan tempat tinggal keluarga mereka. Gila, sungguh gila! Kita tak punya tempat lagi. Hutan semakin sempit, pohon-pohon makin habis. Sebenarnya, apa kemauan manusia itu? Pikirnya dunia ini hanya milik bangsa mereka?” Kita memang tak pernah mendapatkan protes kaum burung berupa dokumen petisi, spanduk, atau pidato. Kita saja semakin membodohkan diri dengan menelangsakan burung-burung secara sengaja atau tak sengaja.
Pada suatu hari, Ekor Patah atau murai batu jantan tertangkap manusia. Ia diperdagangkan di pasar. Ia melintasi desa dan kota dalam perjalanan para pedagang, dari Medan menuju Jakarta. Di pasar burung, ia termenung. Nasib burung apes di pasar. Burung itu dimengerti manusia sebagai duit alias keuntungan. Selama di pasar, murai batu jantang diberi makanan berupa kroto kering terbuat dari telur semut rangrang. Ia terpaksa makan agar tak mampus. Ia dibeli orang berniat memelihara dan mendapatkan untung besar dengan kicau milik murai batu jantan saat diikutkan lomba.
Nasib burung itu dijadikan dalih pengarang memberikan seruan-protes. Pengarang bersuara melalui murai batu jantan: “Para pecinta burung berkicau menganggap diri mereka penyayang binatang. Padahal pada kenyatannya, mereka adalag pembinasa binatang! Alam binasa, binatang menderita, karena manusia ingin memuaskan diri sendiri. Begitu berjalan berulang kali. Bagai tak berkesudahan.” Seruang itu diberikan pada tahun 1985. Suara itu semakin tak terbaca dan terdengar di abad XXI. Kita menduga cuma sedikit orang masih mau membaca novel berjudul Murai Terbang Tinggi.
Pada 1988, terbit Ensiklopedia Indonesia Seri Fauna: Burung. Buku produksi Ichtiar Baru Van Hoeve itu tentu menambahi ajakan sinau dan menghormati burung-burung. Di situ, kita tersadarkan tapi ironis saat mengingat nasib murai batu jantan di novel. Simaklah keterangan penerbit: “Burung selalu menarik perhatian manusia disbanding dengan kelompok hewan lain. Burung, seperti juga manusia, mengandalkan indria penglihatan dan pendengaran sebagai dua indria utamanya. Sebagian besar burung berwarna cerah dan aktif pada siang hari. Burung terdapat di mana-mana sehingga kita lebih sering melihat dunianya diabanding dunia hewan lain. Kita nampaknya lebih mengerti berbagai kegiatan burung daripada berbagai kegiatan sebagian besar mamalia.”
Pengetahuan burung belum tentu memuliakan burung. Manusia memiliki sikap mendua pada burung. Ia kadang mengasihi tapi bisa berlaku kejam pada burung-burung berdalih pertanian, kebersihan, keindahan, kemakmuran, dan kekuasaan. Burung dimengerti dari pelbagai acuan, dari mistik sampai politik.
Murai batu jantan mengalami nasib buruk dimasukkan kandang oleh manusia. Ia mau diperlombakan agar harga semakin tinggi. Nasib itu menguak penjelasan berbeda mengenai kemungkinan manusia bertobat dan berlaku baik pada burung. Kutipan mirip ceramah buatan pengarang: “Terpujilah para ahli yang telah membuang waktu, tenaga, dan pikiran untuk menyelamatkan isi dunia yang dibinasakan oleh manusia bodoh. Para ahli tahu, Tuhan hanya menciptakan burung sekali saja, seperti Tuhan menciptakan dunia ini. Bila burung-burung telah punah di dunia ini, maka sampai hari kiamat tiba tak akan diciptakan lagi burung untuk kedua kalinya. Tahukah manusia akan hal ini? Bila tahu, masih tegakah mereka memperjualbelikan burung dan menyiksa dalam sangkar sampai tamat riwayat sang burung malang?”
Pada suatu hari, murai batu jantan berhasil meloloskan diri dari sangkar. Ia kembali terbang tinggi dan berkicau merdu. Ia bertemu dengan murai batu betina. Asmara lekas terungkap. Peristiwa menakjubkan di akhir cerita: “Jauh tinggi di awan, mereka bertemu. Saling mengikat janji. Kelak akan hidup bersama. Akan melestarikan kehidupan murai sepanjang masa.” Kita mungkin cemburu. Bagi pengantin baru cemburu itu perlu saat mereka menghiasi tempat resepsi pernikahan dengan gambar burung. Pengantin tak mungkin meniru murai: terbang tinggi di awan. Mereka duduk di kursi empuk saja dan berlanjut ke kasur empuk untuk janji melestarikan alias beranak-pinak. Begitu.   

Miskin dan Keharuan


Miskin dan Keharuan

Bandung Mawardi

                                        
Pada 1982, terbit buku empat jilid berjudul Anak Miskin yang Jadi Masyhur susunan Sarah K Bolton. Buku terjemahan itu mungkin pernah jadi bacaan berpengaruh bagi bocah-bocah Indonesia masa 1980-an. Indonesia masih memiliki cerita kemiskinan. Jumlah bocah hidup di keluarga miskin masih jutaan. Mereka berhak mengubah nasib. Berubah dengan ketekunan, kesabaran, kemauan, dan keikhlasan. Mereka tak mau selalu miskin sampai menjalani hari-hari depan. Apa bocah-bocah miskin itu bisa memiliki jalan menuju buku empat jilid mengenai bocah miskin di Amerika Serikat dan Eropa?
Buku terbitan Gramedia itu mungkin bisa mereka baca jika ada di perpustakaan sekolah. Buku cenderung jadi bacaan bagi bocah-bocah di keluarga berkecukupan. Mereka membaca untuk mengerti kemiskinan, bocah, dan perubahan nasib. Mereka bakal melihat teman atau tetangga masih miskin di Indonesia, negara selalu bermimpi makmur. Kemiskinan di Indonesia itu ingin dihapus oleh rezim Orde Baru. Cara menghapus bukan dengan buku.
Kita ingin mengutip biografi kemiskinan di negeri jauh. Kita belum ingin menguak lakon miskin di Indonesia. Sarah K Bolton menceritakan pengarang tenar bernama Charles Dickens (1812-1870). Pengisahan bermula saat ia hidup di keluarga miskin. Kita menjenguk isi buku: “Dalam waktu singkat anak Dickens menjadi 8 orang, dan perbandingan antara pendapatan dengan jumlah mulut yang harus diberi makan semakin tidak seimbang… Lemari makan dan tempat penyimpanan makan milik keluarga itu makin hari semakin kosong, dan anak-anak Dickens yang masih kecil-kecil itu makin hari makin jembel dan sangat menderita hidupnya.” Charles Dickens ada di keluarga miskin. Charles Dickens pernah hampir putus asa: “Pada umur sebelas tahun, Charles Dickens merasa bahwa masa kanak-kanaknya telah berakhir.” Ia tak pernah tahu bakal mengalami perubahan untuk menjadi penulis kondang turut mengubah sejarah kesusastraan dunia.
Kita tak merampungkan biografi Charles Dickens. Kita berada di Indonesia. Pilihan menemui bocah miskin di buku itu kemauan mengerti sejarah kemiskinan di Indonesia belum jua makmur. Bocah miskin ada di buku cerita berjudul Si Mungil dan Si Kecil gubahan Suyono HR. Buku tipis, 34 halaman, terbitan BPK Gunung Mulia, Jakarta. Tatanan kata dalam buku mirip puisi, berlarik-larik pendek. Cerita dikuatkan dengan kehadiran gambar-gambar oleh Andreas Tan. Semua gambar hitam-putih.
Siapa bocah miskin dalam cerita? Kita di larik-larik awal: Namanya sederhana, singkat/ tapi manis, Rini./ Gadis cilik yang berumur/ delapan tahun itu memang manis./ Rambutnya hitam,/ meskipun tidak terlalu panjang./ Sepasang matanya,/ bulat dan jernih….. Ia dijuluki Si Mungil gara-gara memiliki hidung mungil. Teman-teman memanggil Rini dengan sebutan Si Mungil. Rini pun senang. Larik-larik menuju ke biografi miskin: Si Mungil belum bersekolah./ Meski anak yang sebaya dengannya/ banyak yang sudah dimasukkan/ ke sekolah./ Maklumlah, orang tuanya kurang berada./ Sebagai tukang loak,/ penghasilannya sangat kecil.
Si Mungil sering bermain dengan teman-teman tapi memendam ingin turut bersekolah. Ingin sulit terpenuhi. Si Mungil tak terlalu bersedih, mengerti kondisi keluarga. Ia pun memiliki ingin seperti teman-teman. Sekian teman sudah memiliki adik. Si Mungil ingin memiliki adik. Pada suatu hari, ibu hamil dan menanti hari persalinan. Si Mungil girang bakal mendapat adik. Hari penantian itu menjadi hari sedih. Ibu memang melahirkan adik tapi ibu meninggal: Ibu si Mungil/ kembali ke alam baka/ Dan si Mungil kini/ jadilah gadis cilik piatu.
Keluarga miskin dalam duka. Mereka dibantu para tetangga dalam merawat Si Kecil. Pembaca terharu tapi harus melanjutkan cerita. Si Mungil memiliki tanggung jawab merawat-mengasuh Si Kecil. Bapak bekerja mencari nafkah. Pendapatan kecil untuk tiga mulut. Si Mungil menjalani hari-hari tanpa putus asa. Ia memilih ingin bahagia. Sedih tak putus mendingan diladeni dengan mengasihi Si Kecil.
Pengarang mengisahkan: Untuk kemudian,/ si Mungillah yang bertugas:/ memandikan si Kecil,/ mendukung dan/ mendendangkannya./ Para tetangganya memandang haru./ Gadis cilik piatu yang cekatan/ dan penuh kasih sayang/ sehari demi sehari/ dengan cepat berobah./ Dari anak yang gemar bermain,/ berganti menjadi/ seorang ibu cilik. Kita mungkin meragu itu terjadi di Indonesia? Pencerita menempatkan keluarga miskin itu di kota tanpa nama di Indonesia. Di kota, keluarga miskin belum mendapat perhatian pemerintah. Kemiskinan itu nasib. Pilihan lokasi di kota mengingatkan kita pada gejala urbanisasi. Dulu, orang-orang desa sering bergerak ke kota ingin mengubah nasib dengan peruntungan mencari nafkah. Di kota, mereka bukan kaum profesional. Mereka bekerja serabutan atau di taraf pekerjaan kasar. Penghasilan kecil, tak tetap setiap hari. Pamrih ke kota malah menanggungkan miskin tanpa pereda.
Urbanisasi itu pernah “dihentikan” dan “dikurangi” pemerintah. Kota terlarang menjadi tempat kemiskinan membiak. Pemerintah dan para ahli perkotaan sering menasihati agar orang-orang desa jangan ke kota. Kalimat-kalimat menakuti kadang disampaikan: “Kota itu kejam”, “Kota itu derita”, “Kota itu memberi kemiskinan.” Si Mungil dan Si Kecil hidup dengan segala kekurangan. Bapak cuma bekerja jadi tukang loak. Si Mungil harus mengasuh Si Kecil, belum di paksaan bekerja untuk menambahi pendapatan keluarga. Biografi Si Mungil pada masa 1970-an itu kewajaran, bukan kejutan di Indonesia. Si Mungil dimaksudkan pengarang sebagai contoh dari album kemiskinan di kota berlatar Indonesia, bukan Eropa atau Amerika Serikat. Pengarang berniat menjadikan cerita adalah kritik atau protes sosial?
Cerita itu bacaan, belum pernah digarap jadi film atau sinetron. Kemiskinan minta pembacaan dan pemaknaan di halaman-halaman kertas. Kita jadi pembaca sambil menengok kiri-kanan: mengetahui dan mengamati keluarga-keluarga miskin di desa dan kota. Buku cerita jadi petunjuk untuk empati. Buku cerita berbeda dengan laporan resmi pemerintah atau berita-berita di koran.
Kejadian-kejadian buruk terus menimpa keluarga Si Mungil. Pada suatu hari mengawali sedih-sedih berdatangan: Ketika itu pertengahan musim hujan./ Hampir setiap hari/ hujan tercurah/ dengan lebatnya./ Dengan tidak menghiraukan/ hujan ataupun panas,/ Pak Tirta terus berkeliling./ Mencari dagangan/ ataupun menjajakan/ barang-barang loakannya./ Dan sore itu,/ ketika ia pulang,/ tubuhnya terasa demam. Bapak sakit mengartikan ketiadaan duit di rumah. Keluarga itu bakal mengalami kesulitan-kesulitan. Hari demi hari, bapak berbaring. Beras habis, uang tiada. Para tetangga tak tega. Makanan-makanan diberikan pada keluarga Si Mungil. Mereka berterima kasih atas kebaikan para tetangga. Cerita semakin mengharukan.
Bapak sudah sembuh tapi modal telah habis. Bapak mulai turut bekerja pada Pak Wangsa di bengkel sepeda. Ia harus tetap bekerja untuk memberi makan pada dua anak masih kecil. Di bengkel, ia belajar memperbaiki sepeda. Penghasilan di situ agak mencukupi kebutuhan keluarga. Kita semakin mengerti bahwa lakon orang miskin ada di sikap keberterimaan ketimbang mengeluh atau menggugat. Di cerita, kita tak menemukan kemarahan dan pemberontakan. Kemiskinan diterima tanpa kecengengan.
Hari demi hari, keluarga itu emoh bersedih abadi. Pada suatu hari, mereka dipaksa sedih gara-gara masa kontrak rumah sudah habis. Bapak tak sanggup melanjutkan kontrak. Ongkos tak ada. Mereka terpaksa meninggalkan rumah kontrakan. Pembaca buku masih bocah tentu bisa berairmata mengetahui nasib keluarga Si Mungil. Cerita memicu airmata melampaui sinetron-sinetron buruk ingin mendramatisasi kemiskinan. Kita menduga bocah-bocah saat membaca buku berjudul Si Mungil dan Si Kecil berhenti sejenak untuk merenung atau menangis. Pembaca mengalami keharuan-keharuan tak usai.
Mereka kembali ke desa. Pada episode kepergian dengan naik bis, pembaca turut merasakan sedih Si Mungil: Ketika bisa mulai meluncur/ tak kuasa si Mungil/ membendung tangisnya./ Terbayang dengan jelas/ wajah mendiang ibunya./ Dia teringat kembali/ hari-hari terakhir/ sebelum ibunya/ kembali ke alam baka./ Juga dia tak mungkin lagi/ pergi setiap seminggu sekali/ ke kubur ibunya. Si Mungil teringat ibu. Ia terpaksa meninggalkan kebiasaan berziarah. Kota itu kemiskinan. Kota itu kematian ibu. Kota itu kuburan.
Di desa, bapak membuka bengkel sepeda. Si Mungil dan Si Kecil berada di asuhan nenek dan bibi. Hidup di desa perlahan berbeda dari masa lalu di kota. Si Mungil mendapat janji bakal disekolahkan dari rezeki bengkel sepeda. Di desa, mereka bisa mencari makan dari kebun dan sungai. Semua tak harus dibeli dengan duit. Desa memberi percik kemauan hidup ketimbang harus melanjutkan kemiskinan di kota. Hidup pun berubah. Si Mungil tampak semakin girang dan berharapan menjalani hari-hari berilmu untuk raihan masa depan.
Buku berjudul Si Mungil dan Si Kecil itu metafora bagi sebutan Indonesia. Pada masa 1970-an, Indonesia itu negara miskin bergerak ke sebutan negara berkembang. Situasi politik dan ekonomi belum mampu merampungi kemiskinan. Indonesia negara besar tapi masih muda jika dihitung dari 17 Agustus 1945. Kemiskinan itu lumrah bagi negara pernah mengalami penjajahan dan memiliki warisan (trauma) kolonialisme.
Kita mengingat Indonesia masa 1970-an dan cerita kemiskinan melalui penjelasan Gunnar Myrdal dalam buku berjudul Bangsa-Bangsa Kaya dan Miskin (1976). Buku jadi acuan dalam memandang perubahan-perubahan di dunia oleh negara-negara berbeda taraf perekonomian. Gunnar Myrdal mengungkapkan: “Apabila suatu bangsa yang miskin dan terbelakang pada akhirnya terlepas dari penjajahan dan menjadi suatu negara merdeka, maka ia akan berhadapan dengan kenyataan, yang boleh dikatakan merupakan suatu kepastian, kendatipun hal itu belum ia ketahui sebelumnya, bahwa kemerdekaan politik tidaklah secara otomatis menempatkannya pada jalan perkembangan ekonomi.”
Negara merdeka tapi miskin itu lakon wajar di abad XX. Indonesia mengalami penjajahan dan kemiskinan. Pengalaman itu mau diubah rezim Orde Baru berjanji Indonesia adil, makmur, sejahtera. Pada tahun-tahun pemenuhan janji, kita sempat bertemu tokoh dengan sebutan Si Mungil, bocah di kemiskinan tanpa gugatan atau pemberontakan. Ia “menerima” nasib tapi berhak mengubah meski sedikit tanpa ada penggamblangan peran pemerintah. Si Mungil miskin tanpa putus asa, merana berkepanjangan, dan malu keterlaluan. Ia masih mungkin melanjutkan cerita hidup menuju terang dan girang. Begitu.   

Wednesday, March 20, 2019

Berkunjung ke Cerita


Berkunjung ke Cerita

Bandung Mawardi


Pada suatu masa, Umar Kayam pasti pernah membaca berita atau menikmati cerita dari Timor. Sejak puluhan tahun lalu, ia peka gagasan-gagasan Indonesia. Pengetahuan tentang Timor mungkin kecil, tak perlu masuk di buku berjudul Semangat Indonesia: Suatu Perjalanan Budaya (1985). Buku jarang dikutip oleh para intelektual dan seniman Indonesia. Di buku besar, tebal, mewah, kita cuma ingin mengutip penjelasan bermutu, bukan mencari tapi tak menemukan mengenai Timor di situ.
Umar Kayam menulis: “Kebanyakan negara kebangsaan yang baru mapan dibangun dari berbagai lingkungan budaya yang sebelumnya diikat menjadi satu wilayah kolonial dengan batas-batas geografis yang ditetapkan oleh kekuasaan kolonial. Meskipun demikian, setiap lingkungan budaya itu memiliki perkembangan dan sejarahnya sendiri. Perkembangan itu akhirnya memberi suatu identitas budaya yang memberikan ciri yang khas bagi lingkungan budaya tersebut.” Penjelasan menggantikan kecenderungan orang-orang mengutip di buku berjudul Manusia dan Kebudayaan Indonesia dengan editor Koentjaraningrat. Kita belum bergantung ke buku berisi kerja-kerja para antropolog untuk mengisahkan Indonesia pada pembaca, dari masa ke masa.
Identitas itu beralamat di Timor. Kita ingin mengerti dengan berkunjung  halaman-halaman di novel berjudul Berburu Kuda di Timor garapan Ris Therik. Buku terbitan Pustaka Jaya (1971 dan 1974) digenapi ilustrasi-ilustrasi dari Ipe Ma’aruf. Buku apik bagi bocah-remaja mau mengenali keragaman identitas di misi menjadi Indonesia. Buku terasa ditulis dengan mengalami hidup di Timor. Kita enggan menuduh itu novel ditulis melalui “riset” pengarang “luar” bermukim di Jakarta atau kota-kota besar. Cerita memiliki selera biografis.
Cerita keluarga berpikiran maju di Timor. Keinginan maju tanpa meniadakan kebiasaan tata cara hidup masih dianut penduduk di Timor. Novel bukan propaganda modernisasi cap Orde Baru. Pembaca di “semangat (perjalanan) Indonesia” tak seperti rute ditempuhi Umar Kayam. Kita membaca dan berkunjung ke Timor. Putra sulung di keluarga itu mengabarkan lulus SMA dan mau melanjutkan kuliah jurusan teknik tinggi di Bandung. Pendidikan diceritakan penting di perubahan sedang berlangsung di Timor.
Kepulangan si putra ke desa dan menanti masa berkuliah ke Bandung memberi percik-percik bahagia bagi keluarga. Ungkapan mama merangkai ingatan: “Tepat sekali pilihannya itu, Pa! Waktu ia lagi berusia 3 tahun ia selalu memperhatikan supir-supir dan kenek oto membetulkan mesin mobil yang rusak. Juga kalau aku membongkar mesin jahit untuk dibersihkan selamanya ia dekati aku, lalu memperhatikannya dan bertanya tentang alat-alatnya. Juga ia mempunyai bakat dalam ilmu pasti dan ilmu alam.” Di desa, ia bukan lelaki berjulukan murid atau bakal mahasiswa pintar dipastikan harus berguna bagi bangsa dan negara.
Pamrih maju di pendidikan sudah diwujudkan di Timor. Kita membaca itu pembeda dari anggapan-anggapan “rendah” bahwa bocah dan remaja di kawasan timur Indonesia mengalami “ketertinggalan”. Kebijakan-kebijakan pendidikan di Indonesia diinginkan “merata” tapi tetap saja memunculkan bolong dan kelemahan. Di situ, kita masih disodori ketetapan tentang pendidikan maju itu Bandung, selain kota-kota besar di Jawa. Berkuliah di jurusan teknik tinggi berujung ke pemerolehan gelar Ir. Para sarjana teknik sangat dibutuhkan di Indonesia sedang membangun.
Pendidikan itu “sampiran”. Novel garapan Ris Therik memilih bercerita manusia, kuda, dan alam di Timor. Indrakelana hidup di keluarga memiliki hasrat besar di perburuaan dan pacuan kuda. Kedatangan abang (Yahya) menikmati liburan sebelum kuliah digunakan bersama adik-adik mempersiapkan kuda-kuda untuk pacuan di kota. Mereka harus menangkap dulu kuda-kuda di padang. Pembaca mulai bersama para tokoh mengalami perjalanan dan perburuan menegangkan dan mengesankan. Timor itu (pacuan) kuda.
Lima orang di misi penangkapan kuda: abang (Yahya), Yakob, Yusuf, Geradus, dan aku (Indrakila). Mereka mau mencari kuda-kuda dijuluki Si Kuning, Si Belang, dan Si Hitam. Perjalanan jauh, menginap malam demi malam. Mereka membawa bekal untuk makan. Sekian siasat sudah dimiliki agar berhasil menangkap kuda-kuda andalan di pacuan. Mereka itu pemberani, sadar risko dan terbiasa dengan keajaiban.
Adegan menangkap dan ikhtiar menjinakkan Si Belang: “Ketika Yakob telah duduk di atas punggung Si Belang, Si Belang menari-nari sambil mengangkat kedua belah kaki mukanya. Ia bermaksud melemparkan Yakob tapi ia tak berhasil, sebab Yakob seorang joki yang tangkas dan gesit. Karena Yakob tak bisa dilemparkannya, maka berlarilah ia dengan kencang tanpa tujuan. Kuda itu melarikan Yakob ke dalam hutan cendana dan lantana, namun Yakob tetap melekat pada punggungya, bagai cecak melekat pada tembok.” Keberanian bocah dan remaja di Timor. Mereka memiliki pengetahuan kuda, pengetahuan belum tentu diajarkan di sekolah mengacu kurikulum nasional atau menjadi mata kuliah di universitas. Mereka dan kuda di keseharian.
Kita tak cuma mengikuti kuda. Pengisah mengingatkan kita pada hutan cendana. Tanaman itu berada di Timor memberi arti berbeda dengan penamaan jalan di Jakarta. Jalan Cendana, jalan kekuasaan bertokoh Soeharto. Selama puluhan tahun, politik mengartikan cendana secara sempit, tak lagi mengantarkan murid-murid ke Nusa Tenggara Timur atau Timor untuk melihat hutan cendana. Novel berjudul Berburu Kuda di Timor itu ingatan kecil ke pengetahuan alam. Cendana di Timot, bukan selalu di Jakarta.
Pasukan penangkap kuda itu kemalaman. Singgahlah mereka di rumah kosong di tengah kebun. Mereka bergerak tanpa lembaran peta. Mereka ingin istirahat. Tidurlah pulas. Sekian jam berlalu, ada peristiwa heboh: “Kami sangat terkejut, ketika lagi enak-enak tidur biarpun hari sudah pagi, rumah penginapan kami telah dikepung oleh sepuluh orang serdadu Portugis. Pada saat itu barulah kami sadar bahwa kami telah melewati perbatasan. Karena gelap kami tidak tahu bahwa kami telah bermalam di sebuah desa kecil di dalam wilayah Portugis.” Di sejarah, kita membaca perkara Indonesia dan Timor Timur. Perkara sengit jadi tema besar di dunia. Pada suatu masa, keinginan menjadikan Timor Timur bagian Indonesia berlaku, sebelum berpisah. Keruntuhan rezim Orde Baru (1998) dengan penguasa beralamat di Jalan Cendana berdampak ke referendum: menghasilkan keputusan perpisahan. Kita mengenali Timor Leste. Di novel, para tokoh masih ada di situasi tak jelas berkaitan ambisi Indonesia dan lakon kolonialisme.
Novel perlahan menguak sejarah dan politik. Kita membaca penjelasan seorang dokter berkaitan perbandingan nasib. Dokter bicara pada lima tokoh resmi berada di Indonesia, negara sudah merdeka: “Kamu sudah senang karena sudah bernapas dalam negara merdeka. Kami, yang masih berada di wilayah ini, masih dijajah. Sering hak-hak asasi manusia di sini diinjak-injak.” Kita menebak reaksi pembaca bocah-remaja di halaman memiliki kandungan sejarah kolonialisme. Pengutipan kalimat-kalimat Umar Kayam berlaku di peristiwa lima tokoh tanpa sadar melewati perbatasan. Di situ, identas mereka lekas terbedakan oleh politik. Pada novel, pembaca di masa 1970-an diajak memikirkan isu terbesar: hak asasi manusia. Kini, novel itu dokumentatif bagi Indonesia dan Timor Leste.
Penangkapan kuda berhasil. Di rumah, mereka mulai melakukan perawatan kuda, sebelum ikut di pacuan kuda. Di Timor, pacuan kuda itu peristiwa akbar. Deskripsi dari penagarang: “Tempat pacuan kuda terletak satu kilometer di luar kota Kafamenanu. Sebuah arena di sebidang tanah lapang yang luas, didirikan oleh pemerintah, berbentuk bulat dengan garis menengah kira-kira seratus limapuluh meter. Di tepinya terdapat beberapa buah rumah panggung…” Tempat idaman bagi orang-orang mengikuti, menonton, dan mengadakan taruah duit di pacuan kuda. Yakob, Geradus, dan Yusuf adalah joki di pacuan kuda.
Pemerintah tak melakukan sensor cerita di bagian taruhan. Tiga joki itu mendapat hadiah-hadiah dari para petaruh. Si Hitam, Si Kuning, dan Si Belang dijagokan orang-orang di pertaruhan besar. Tiga joki dihadiahi duit, baju, handuk, celana, dan sapu tangan. Di final, Si Hitam menang. Pesta hadiah diberikan ke keluarga Indrakila. Kita mengutip: “Hari itu ayah memperoleh uang tarohan sebanyak seratus ribu rupiah. Selain itu orang-orang yang menjagokan Si Hitam juga memberi persen kepada aku dan ibu duapuluh lima ribu rupiah.” Lelah dan risiko di penangkapan tiga kuda dan perawatan ditebus dengan kemenangan dan pemerolehan hadiah. Sekian pendapatan itu digunakan untuk kuliah abang ke Bandung. Dana tetap belum cukup.
 Keluarga itu memutuskan untuk menangkap kuda turunan Persi. Kuda berharga mahal. Dulu, kuda itu berdatangan pada masa pendudukan Jepang. Penjelasan Ris Therik melalui perkataan Yahya: “Kan dahulu waktu tentara Jepang menduduki pulau ini mereka membawa banyak sekali kuda Persi, untuk mengangkut meriam-meriam dan senjata-senjata yang berat. Di sini kuda-kuda itu kawin dengan kuda-kuda betina Timor…” Ayah berencana ingin menangkap kuda-kuda turunan. Hasil penjualan kuda digunakan untuk ongkos hidup dan pendidikan anak-anak. Pekerjaan pokok si ayah tak menghasilkan uang melimpah. Kebutuhan besar harus diatasi dengan kerja-kerja sampingan.
Pembaca sampai ke renungan pekerjaan, duit, dan daerah perbatasan. Si ayah berkata: “Terlalu sukar mencari uang di masa sekarang. Sebenarnya papa gampang mendapat uang kalau papa mau berbuat curang. Banyak para pedagang yang papa tangkap karena menaikkan harga dan menyelundup ke Timor Portugis dan mau memberi papa uang, asal perkara mereka didep, tapi papa tidak mau. Berdosa bila menerima uang semacam itu. Kalau kita memakai uang itu, pasti rupa-rupa kecelakaan akan memukul kita. Dan bila ketahuan papa akan dipecat atau dihukum.” Renungan panjang itu berakhir dengan mengingat kuasa Tuhan. Kita membaca renungan berbarengan Indonesia semakin memiliki daftar panjang para koruptor. Mereka selalu lapar duit. Pada masa bocah, mereka tak pernah membaca novel berjudul Berburu Kuda Timor.
Kita rampung membaca novel. Kita perlu pula mengaitkan ke buku berjudul Kebudayaan: Sebuah Agenda dalam Bingkai Pulau Timor dan Sekitarnya (2013) dengan editor Gregor Neonbasu. Buku berisi pelbagai tulisan mengenai Timor.  Kita memilih persoalan alam saja. “Orang Timor melihat bahwa keseluruhan alam dunia mempunyai daya hidup, yakni sebuah dinamika kehidupan yang pantas diapresiasi karena manusia adalah bagian integral dari alam raya,” kalimat di esai Piet Manehat berjudul “Pandangan  Orang Timor terhadap Alam Sekitar.” Bermula dari novel tipis jarang jadi perbincangan di kesusastraan Indonesia, kita malah dibujuk mengerti segala hal mengenai Timor dan Indonesia. Kita telat membaca saat sejarah telah berubah.
Kita susulkan gambaran alam Timor di novel saat para tokoh di perjalanan mau menangkap kuda-kuda: “Tempat itu ialah sebidang padang rumput yang luas sekali. Di tengahnya di sana-sini tumbuh beberapa pohon bidara. Di tepinya, sebelah barat, terdapat hutan pohon cendana, yang tak begitu lebat. Di sebelah timurnya, terbentang sebatang sungai yang tak begitu lebar. Airnya bening dan mengalir perlahan-lahan ke sebelah selatan. Jauh lebih ke sebelah timur lagi, menjulang gunung yang cukup tinggi. Di sebelah selatannya, terbentang hutan lantana yang agak tebal. Di samping kanan hutan itu, terdapat sebuah danau yang garis tengahnya kiraa-kira duaratus meter….” Kita cuma berkunjung ke buku, belum pernah pelesiran ke situ. Begitu.

Thursday, March 14, 2019

Kaum Pemberi dan Menghormati


Kaum Pemberi dan Menghormati

Bandung Mawardi


Pada tiap zaman, kemiskinan tetap puisi atau roman. Orang miskin selalu ada. Tuhan mungkin menghendaki kemiskinan dan si miskin itu tanda seru bagi orang-orang mau beriman dan dermawan. Pada pengertian agak sembrono: miskin itu dalih menguak tata makna agama, politik, ekonomi, sejarah, pendidikan, seni, dan teknologi.
Pada Senin,11 Maret 2019, hari “bersejarah” bagi pengenang rezim Orde Baru. Kita pun mengingat itu tanggal sakral bagi universitas di Solo sering memberi penghargaan pada orang-orang telanjur terkenal. Kita tak sedang mengenang Soeharto atau memuji pemberian penghargaan di UNS. Pilihan terwajar adalah mengenai Sarono. Ia itu orang biasa. Ingat, orang biasa jangan dituduh mengikuti atau menjiplak novel terbaru dari pengarang mengaku tenar di Indonesia dan negeri-negeri asing.
Lelaki berumur 61 tahun, tunanetra. Ia keluar rumah. Di tangan, tongkat bambu. Perjalanan menuju tempat “dinas” alias pinggiran jalan. Lelaki bercaping itu mengucap terimakasih pada tongkat bambu: selamat bersama di perjalanan. Duduklah Sarono untuk adegan rutin setiap hari. Ia pemecah batu. Pada palu, ia pun bercakap dan mengajak mufakat menunaikan kerja keras. Tokoh dan benda-benda itu berada di Jakarta Timur.
Ia berdoa dan berdzikir di kerja memecah batu dijadikan pasir halus. Tanda berterimakasih pada Tuhan. Pada 1998, ia mengalami kebutaan. Tahun itu biografis, tak perlu ditaruh di politik Indonesia. Kebutaan memberi cemas tak seperti kebutaan menimpa pengarang besar bernama Jorge Luis Borges. Ia tetap ingin bisa mencari nafkah. Sarono hidup bersama istri tanpa anak. Usaha berdagang pernah dijalani tanpa hasil mencukupi. Pulang dari berjualan, kaki Sarono terbentur batu. Berdarah! “Ia berjongkok meraba batu yang membuat jempolnya luka. Ia pegang batu itu dan tiba-tiba ia melihat jalan,” dua kalimat di Kompas, 11 Maret 2019. Lelaki buta enggan marah. Ia di perenungan sekejap. Wartawan Kompas mencatat pengakuan Sarono: “Ketika itu saya berpikir batu itu adalah rezeki saya. Batu jika saya pecah akan menjadi pasir dan saya bisa jual. Saya langsung bersyukur kepada Allah yang memberi jalan.” Kejadian berdarah malah penentu jalan terang untuk hidup.
Kita mengikuti saja kalimat-kalimat di Kompas: “Sejak 2003, Sarono pun menjadi pemecah batu hingga saat ini. Setiap hari, ia mencari batu-batu besar atau potongan batako di tepi jalan dan sudah tidak terpakai. Potongan batu dan bata itu ia kumpulan lalu ia hancurkan hingga menjadi pasir. Pasir itulah yang ia jual kepada orang yang membutuhkan. Ia tidak menetapkan harga. Penbeli dipersilakan membayar seikhlasnya.” Rezeki tak cuma digunakan untuk kebutuhan diri dan istri. Ia sisihkan rezeki dibagikan ke sesama orang miskin atau anak yatim-piatu. Pengisahan itu mengharukan.

* * *

Pada abad-abad bermesin cetak, sastra bertaraf dunia mustahil tak menceritakan kaum miskin. Buku-buku sastra berupa novel atau puisi dari Rusia, Prancis, Amerika Latin, India, Tiongkok, atau Amerika Serikat menempatkan kemiskinan itu tema penentu di pergulatan estetika dan sastra berdampak pada abad XIX dan XX. Pada terbitan bacaan-bacaan untuk bocah, kemiskinan mencipta haru dan keinsafan: berbagi demi kemanusiaan, perdamaian, keimanan, kerukunan, dan keindahan. Dongeng-dongeng bertokoh si miskin berdatangan dari pelbagai negeri. Di Nusantara para tokoh miskin di dongeng-dongeng malah jadi pengajaran atau bercap sastra piwulang. Di dongeng atau sastra-cetak Jawa, keinginan memberi piwulang terasa penting agar bahasa dan cerita tak mubadzir.
Kita ingin menengok warisan cerita si miskin di buku terbitan masa 1970-an. Indonesia sudah berganti rezim. Orang-orang mengingat masa 1970-an itu masa membentuk-membesarkan rezim Orde Baru. Soeharto malu jika jutaan orang Indonesia masih miskin. Data kemiskinan kadang disalahkan ke rezim terdahulu. Kemiskinan itu aib. Orde Baru ingin memenuhi tugas-tugas besar: adil, makmur, bahagia, maju, tertib, dan besar. Kemiskinan dihajar kerja-kerja di pelbagai institusi bentukan pemerintah. Pidato-pidato Soeharto pun menginginkan kemiskinan punah. Rezim Orde Baru tentu tak mau cemar gara-gara pertambahan orang atau mutu miskin. Di hadapan penguasa, para intelektual dan jurnalis tak gentar menuliskan kemiskinan di pelbagai desa dan kota. Miskin teranggap risiko pembangunan nasional. Eh, orang miskin itu “tumbal” atau “pengesah” pembangunan nasional dengan kebijakan agung dan modal besar?
Artikel atau berita bertema kemiskinan kadang membuat pemerintah marah dan gerah. Di luar pengolahan data dan tafsir atas kemiskinan di Indonesia, ada dongeng mengandung sindiran tapi terjauhkan dari kesan-kesan politis. Dongeng berjudul Si Miskin yang Dermawan gubahan Prabandaru. Buku diterbitkan Pustaka Jaya. Cetakan I, 1974. Cetakan II, 1975. Cetakan III, 1976. Oh, buku laris! Ribuan bocah seantero Indonesia membaca dongeng tanpa perlu berpredikat kaum demonstran. Dongeng memiliki kebenaran. Dongeng bukan penjelasan-penjelasan memuat data-data dan bermetodologi ilmiah untuk menggugat pemerintah.
Kejadian dongeng di Kadipaten Wukirdadu. Berdoalah, tempat itu tak memiliki alamat lengkap di Indonesia. Kadipaten dipimpin Adipati Gandarum. Dongeng terasa njawani. Pada suatu malam, pesta di kadipaten. Adipati Gandarum menikmati permainan gamelan dan lantunan tembang dari para pesinden. Malam ingin indah, merdu, dan girang.
Pesta agak “ternoda.” Prabandaru mengisahkan: “Seorang pesinden tampil pula seraya menyembah, lalu menembang. Irama gamelan yang mengiringi terdengar syahdu karena lagu yang dibawakan pesinden itu teramat sedih syairnya. Lagu itu mengisahkan nasib seorang papa, yang berkelana menempuh hutan, gunung, jurang dan lembah, semata-mata untuk mencari penghidupan yang layak. Memang aneh kedengarannya karena wilayah Kadipaten Wukirdadu terkenal sebagai daerah yang makmur, sejahtera, subur tanahnya, serta adil pemerintahannya. Apalagi Adipati Gandarum tersohor sebagai dermawan, suka memberi pertolongan dan hadiah kepada rakyatnya yang sedang dalam kesusahan.”
Orang boleh membaca alinea itu berulang. Tempat kejadian di Kadipaten Wukridadu, tak perlu diganti dengan kota atau kabupaten di Indonesia. Eh, tembang itu membikin senewen. Adipati Gandarum sempat marah, sebelum menuruti penasaran. Benarkah masih ada orang miskin di Kadipaten Wukirdadu? Penasaran itu membuat dongeng menuju kejutan-kejutan. Bocah sudah degdegan dan menanti menemukan peristiwa mengubah nasib tokoh atau keberakhiran bahagia.
Malam menggelap, usai pesta, Adipati Gandarum menjalankan drama kecil. Ia mengenakan pakaian compang-camping alias gombal amoh. Pergi dari kadipaten, ia menelusuri desa-desa. Drama di kegelapan itu bermula dari tembang bisa dianggap terlarang oleh penguasa galak. Berdandan pengemis, Adipati Gandarum mau membuktikan segala dugaan. Ia berharap tak menemukan pengemis atau orang lapar. Ingat, kadipaten itu kondang makmur!
Di suatu tempat, pengemis gadungan itu disapa warga. Ia memberitahu agar pengemis itu mencari makan di rumah orang miskin tapi dermawan. Sekian pengemis sering dijatah makan setiap hari. Adipati Gandarum pun mampir ke rumah si dermawan. Warga bernama Ki Bandulwesi mengajak si pengemis makan. Lapar harus punah. Makan dengan menu sederhana. Sikap dan bahasa Ki Bandulwesi pantas dipuji. Adipati Gandarum menahan diri. Ia mengaku mengemis untuk bisa makan, setelah gagal mendapatkan pekerjaan. Ki Bandulwesi mengajak si pengemis turut bekerja keesokan hari: mencari ikan di kali.
Pengemis pamit diri. Pulang ke rumah megah. Malam itu ia tersinggung. Orang miskin berlaku dermawan. Ia ingat tuturan perbandingan dari si petunjuk: “Sang Adipati Gandarum kaya raya, tentu saja gampang jadi dermawan. Ki Bandulwesi miskin, ia hanya seorang nelayan tapi setiap hari selalu menyediakan makanan untuk orang-orang miskin yang membutuhkan. Nah, siapa yang lebih pantas disebut paling dermawan?”
Tuturan itu milik dongeng. Pembaca jangan menaruh di lakon pembangunan nasional. Kaum dermawan dan kaum pelit tak etis dipertentangkan di negara sedang menolak sebutan “miskin”, “terbelakang”, atau “berkembang”. Indonesia sulit dikatakan miskin. Kolonialisme itu bukti Indonesia menggiurkan bagi kaum mengerti duit. Kedermawanan di dongeng: sumber pengajaran ke bocah dalam melihat penguasa-pejabat dan jelata. Kemauan berbagi berbeda mutu dan dampak. Pembaca tentu memihak ke Ki Bandulwesi ketimbang Adipati Gandarum. Dongeng itu muncul saat Indonesia memerlukan kedermawanan dari pejabat dan saudagar. Sekian orang memang dermawan tapi memerlukan upacara, pengumuman, dan penghargaan. Mereka tak pernah membaca dan khatam buku berjudul Si Miskin yang Dermawan.
Adipati Gandarum tersinggung oleh keluguan, ketulusan, dan kepasrahan Ki Bandulwesi. Ujian demi ujian diberikan bermaksud membatalkan predikat kedermawanan. Pada saat Ki Bandulwesi ingin mencari ikan, Adipati Gandarum mengeluarkan larangan selama sebulan bagi para pencari ikan. Ki Bandulwesi menjual jala agar masih bisa membeli beras dan lauk untuk dibagi ke sesama: orang miskin dan pengemis. Kebijakan penguasa pantang diprotes. Pada malam gelap, ia masih sanggup memberi makanan ke pengemis gadungan sambil berucap: “Sudah padat ususmu?” Adipati Gandarum semakin tersinggung.
Ujian-ujian dari Adipati Gandarum mampu dijawab secara beradab oleh Ki Bandulwesi. Janji membagi makanan ke orang meskin dan pengemis tetap dipenuhi tanpa keluhan, sedih, atau marah gara-gara ulah Adipati Gandarum. Hari-hari berganti, Adipati Gandarum sudah membuktikan kedermawanan Ki Bandulwesi. Pembuktian dimulai dengan rasa tersinggung dan terejek. Pulang dari rumah jelek milik Ki Bandulwesi menuju rumah megah, Adipati Gandarum mengakui: “Sang Adipati menatap ke langit. Bulan terang, langit jernih tanpa awan sepotong pun. Bintang-bintang bertaburan. Maka disebutlah keagungan nama Tuhan. Ia merasa diberi petunjuk oleh Yang Maha Agung malam itu, bahwa menolong sesame manusia adalah kewajiban yang teramat mulia. Dan manusia yang berbudi seperti Ki Bandulwesi, dalam keadaan apapun juga, terjepit, tersiksa ataupun menderita, akan selalu mendapat perlindungan dari Dia.”
Rangkaian kalimat itu bisa membenarkan pembentukan manusia berpatokan Pancasila. Ia teladan bagi orang-orang sering gembar-gembor Pancasila tanpa amalan. Kita belum pernah mendapat kabar bahwa buku gubahan Prabandaru dipilih pemerintah dalam pendalaman Pancasila atau dianjurkan jadi bacaan di sekolah. Pada cetakan III, buku itu masih “terhindar” dari stempel Inpres. Pembaca mungkin lega melihat sampul tanpa kotak berketerangan “milik negara”. Buku itu menakjubkan meski kini terlupa sebagai buku bekas.

* * *

Tulisan mengenai sosok bernama Sarono, pemecah batu, tersaji di koran dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Buku dongeng gubahan Prabandaru memberi pengantar ke pembaca sampai ke pengertian miskin dan dermawa. Kita mungkin perlahan bingung mengartikan membedakan tulisan di Kompas dan buku terbitan Pustaka Jaya. Sarono itu bukan dongeng tapi pembaca larut. Prabandaru sadar sajikan dongeng tanpa harus memberi kritik ke elite atau kaum berduit. Dongeng di kewajaran asal kita membaca buku-buku garapan James Danandjaja, Sapardi Djoko Damono, dan Murti Bunanta. Pada 11 Maret 2019, kita memilih menghormati Sarono dan Ki Bandulwesi, menjauh dari acara-acara bercap kedermawanan sering disiarkan di televisi atau diselenggarakn di ruang-ruang megah. Begitu.

Sunday, March 10, 2019

Bijak...


Bijak...

Bandung Mawardi


Pada masa 1980-an, rezim Orde Baru di “kemapanan” dengan kesaktian swasembada pangan dan jumlah sarjana terus bertambah. Di desa-desa, orang-orang bergelar sarjana Drs atau Ir diberi kehormatan. Mereka mendapat definisi bekerja dengan gaji besar dan difasilitasi negara. Indonesia sedang menulis roman berjudul “pembangunan nasional”. Orang-orang pintar dibutuhkan negara untuk maju dan makmur. Janji memenuhi impian-impian besar Orde Baru perlahan terbukti dengan jumlah konglomerat meningkat. Indonesia jangan diejek sebagai negara miskin. Indonesia telah memiliki kaum duit dengan kepemilikan ratusan perusahaan. Mereka turut memajukan negara dan bangsa.
Indonesia ingin mulia tapi noda demi noda mulai bermunculan. Korupsi lazim terjadi tanpa kemampuan diberantas. Undang-undang dan aparat memang ada. Korupsi seperti terbiarkan jalan terus. Korupsi sering bersinggungan dengan noda-noda besar menjadikan Indonesia sakit. Jumlah orang berduit melimpah dan masuk daftar Forbes belum memastikan ada kejelasan pemenuhan kewajiban bertajuk pajak. Konon, pendapatan besar melalui pajak sering bolong-bolong akibat kecurangan dan persekongkolan. Penggelapan pajak atau patgulipat menghindari-mengurangi pajak jadi kewajaran. Keburukan-keburukan itu biadab alias berseberangan dengan “bijak.”
Ingatan kita pada Indonesia masa 1980-an mengacu ke dongeng berjudul Dewi Juwira dan Kenari Ajaib gubahan Putut Bayupurnama. Buku berpenampilan molek, diterbitkan Bina Rena Pariwara (1991). Buku itu “milik negara”. Kita ingin membaca harus meminjam, tak bisa membeli. Negara kasihan pada kita: dituduh miskin dan pelit membelanjakan duit untuk buku. Kita dipaksa jadi peminjam. Kenikmatan dongeng cuma taraf “pinjaman”. Pada masa lalu, buku itu distempel “milik negara” dipinjamkan ke bocah. Pada abad XXI, buku itu masuk kriteria loak atau bekas. Buku boleh dibeli asal berduit: dua ribu rupiah.
Dongeng selalu kerajaan. Kita terlalu dini berkenalan dengan raja, ratu, pengeran, dan putri. Imajinasi elitis! Kita bersabar saja mengarungi dongeng. Di kerajaan moncer subur dan makmur bernama Lukitasari sedang dilanda “sulit”. Kerajaan kehabisan duit. Pengarang memberi keterangan: “Rupanya perdagangan rempah-rempah kerajaan itu mulai merosot. Rempah-rempah sebagai hasil bumi kerajaan Lukitasari, kalah bersaing dengan rempah-rempah kerajaan lain. Akibatnya, petani hidup sengsara. Sementara itu Raja Lukita sudah tua mulai sakit-sakitan.” Kerajaan khas di Nusantara: rempah-rempah.
Kita gagal mengetahui jenis rempah di Lukitasari. Pengarang pelit memberi penjelasan. Kita menduga itu lada. Bacalah buku terbaru P Swantoro berjudul Perdagangan Lada Abad XVII: Perebutan “Emas” Putih dan Hitam di Nusantara (2019). Dulu, lada itu incaran. Lada menghasilkan imajinasi kemakmuran, keberlimpahan, sengketa, perang, dan perdagangan global. Kita mampir sejenak di buku dan mengambil kutipan. Sejarah perdagangan lada sudah berlangsung sejak abad XVII. Catatan masih mungkin terbaca berabad XX. “Total, dari 1930-an hingga menjelang Perang Dunia II, hasil lada Indonesia mencapai sekitar 25.000 sampai 80.000 ton setiap tahunnya atau 80 persen dari hasil lada seluruh dunia.” Sumber lada itu berada di Lampung, Aceh, Palembang, dan Bengkulu. Rempah-rempah tak melulu di Maluku atau Banda. Kutipan itu mengabarkan keuntungan pertanian dan perdagangan lada itu besar. Kita membuat slogan: “Lada itu laba!”
Buku itu sejaran, bukan dongeng. Kita kembali ke Lukitasari. Raja sepuh mulai berpikir serius. Rapat dan renungan menghasilkan kebijakan. Duit untuk mengentaskan kesengsaraan rakyat harus diperoleh meski perdagangan lada sedang surut. Kebijakan raja: “Aku memustuskan, kerajaan Lukitasari akan memungut pajak kekayaan. Setiap orang kaya yang tercatat dalam daftar jutawan kerajaan dikenakan wajib pajak. Besar pajak ditetapkan seperempat bagian dari seluruh kekayaan mereka dan dibayar setiap tahun. Hasil pajak akan digunakan untuk memperbaiki pertanian dan kesejahteraan rakyat.” Para pejabat dan abdi di kerajaan mufakat. Keputusan itu bijaksana.
Raja menunjuk sang putra bernama Pangeran Samba menjadi pemungut pajak. Setoran pajak diserahkan dan dikelola oleh bendahara kerajaan, Ali Sabar. Raja belum sadar salah dalam mewujudkan pajak demi kemajuan Lukitasari. Hari demi hari, Pangeran Samba mendatangi kaum jutawan menagih pajak. Pengecualian terjadi pada jutawan bernama Badrun. Saudagar itu sahabat Pangeran Samba. Di rumah Badrun, pesta demi pesta diselenggarakan mengundang Pangeran Samba. Di sela pesta, mereka berjudi. Persekongkolan mengiringi lakon pajak. Pangeran Samba berkata pada Badrun: “Kau sahabat baikku, Badrun. Kurasa kau telah banyak mengeluarkan biaya pesta untukku. Kuputuskan kau membayar seperdelapan saja.” Dongeng terjadi di kerajaan imajinatif, bukan di Indonesia masa Orde Baru. Pembaca jangan buru-buru mengalihkan tokoh di dongeng beralih ke Indonesia dengan menuduh pada “bapak” dan “anak” sedang berkuasa. Dongeng itu dongeng, bukan protes politik.
Setoran-setoran pemungutan pajak dari Pangeran Samba ke Ali Sabar sering kurang. Total duit pajak diambil seperempat oleh Pangeran Samba sebelum diberikan ke bendahar kerajaan. Duit digunakan mengadakan pesta dan judi. Pangeran Samba memang keparat! Pengarang menceritakan: “Pangeran Samba kian sering berpesta, bermabuk-mabukan, dan bermain judi dengan hasil pungutan pajak di rumah saudagar Badrun.” Kebiasaan itu diketahui para pejabat istana tapi sungkan melaporkan pada raja. Mereka takut dihabisi oleh Pangeran Samba atau dituduh membuat fitnah di hadapan raja.
Alinea demi alinea, Pangeran Samba selalu muncul. Pembaca belum memberi perhatian ke Dewi Juwita. Apa judul di buku salah? Bersabarlah. Peredaran gosip dan sikap Pangeran Samba membuat Dewi Juwita curiga. Ia memerintahkan burung kenari pintar bernama Intan untuk keliling kerajaan. Burung itu mata-mata atas kecurangan Pangeran Samba. Hasil pengamatan disampaikan pada Dewi Juwita. Rahasia itu terbongkar. Dewi Juwita dalam dilema: “Apa yang harus kulakukan? Kulaporkan sajakah kepada Ayah atau kurahasiakan sama sekali? Bila kulaporkan, kakakku akan dihukum berat. Tetapi bila kurahasiakan keadaan akan bertambah buruk. Aku akan dituduh berkhianat karena membiarkan perbuatan melanggar hukum.” Dewi Juwita itu perempuan anggun dan memilih bijak. Perbuatan Pangeran Samba dilaporkan dengan perhitungan risiko.
Raja lekas membuat keputusan mengacu ke bukti-bukti. Pada Pangeran Samba, ia tegas menegakkan hukum. “Pangeran Samba bersujud di kaki ayahnya meminta ampun. Raja sebenarnya sangat iba. Namun saat itu ia tidak hanya bertindak sebagai raja tetapi juga sebagai hakim yang harus mengambil keputusan yang adil dan bijaksana,” tulis Putut, pengarang mahir berimajinasi tanpa senggal-senggol ke rezim Orde Baru. Pembaca malah bertaruh sembarangan. Sosok penguasa berani menghukum anak itu bakal tersaji di Indonesia masa 1980-an? Ah, pembaca kebablasan, dari imajinasi ingin ke berita-berita korupsi dan penggelapan pajak di Indonesia. Pembaca belum terima membaca hukuman bagi Pangeran Samba adalah pengasingan selama dua puluh tahun. Hukuman berat!
Dongeng menakjubkan bagi pembaca mungkin dirundung malu dan sedih mengetahui Indonesia bertema korupsi, pungutan liar, dan penggelapan pajak pada masa Orde Baru. Bacaan bermutu mengajak bocah mengerti pajak berfaedah demi kemajuan Indonesia. Salah dan curang di pengelolaan pajak wajib mendapat hukuman setimpal. Dongeng agak bertema berat dibaca bocah-bocah di SD. Buku “menjewer” Indonesia sedang giat melaksanakan program pajak.
Ingat dongeng pajak, kita sambungkan ke ingatan sejarah. Oghokham (1984) di tulisan berjudul “Pajak dan Sejarah” mengingatkan: “Raffles (1811-1816) adalah penguasa Barat pertama yang meletakkan dasar finansial negara kolonial baru di Indonesia – bukan lagi penyerahan hasil bumi untuk ekspor yang dituju. Inggris, dan koloninya, menurut dia, harus dibiayai dengan pajak. Konsep pajak dilahirkan olehnya.” Oh, sistem baru itu berasal dari nalar (kolonial) Eropa. Sistem itu sulit berkembang sempurna di Jawa.
Pajak pun menentukan laju sejarah berupa pemberontakan, indutrialisasi, dan kemunculan angan nasionalisme. Di masa pemberlakuan pelbagai jenis pajak di Indonesia saat terjajah dan merdeka, berlaku anggapan: “Orang kaya biasanya lebih sadar: tidak akan terima bila uang pajaknya dihamburkan negara tanpa dia menerima jasa setimpal.” Sejarah itu berbeda dari dongeng buatan Putut dan digenapi gambar-gambar oleh Ila T.
Kita berpisah dari buku tipis, 41 halaman. Buku bermutu jadi bacaan bocah-bocah masa lalu, belum cetak ulang di abad XXI. Buku itu gagah dengan pemuatan dua sambutan dari Menteri Keuangan (JB Sumarlin) dan Dirjen Pajak (Mar’ie Muhammad). Buku dititipi pesan setelah Dewi Juwita dan Kenari Ajaib dipilih sebagai pemenang sayembara bertema pajak oleh Yayasan Bina Pembangunan. Ada kiriman 297 naskah. Dongeng itu unggul dan ampuh. Pesan JB Sumarlin: “Semoga anak-anak yang membaca dan mempelajari buku tersebut dapat mengenal arti dan pentingya peranan pajak sebagai sarana pembangunan bangsa dan negara, yang selain akan membantu meningkatkan kesadaran bernegara, pada gilirannya nanti juga ikut membantu upaya meningkatkan penerimaan negara dari sektor perpajakan.” Kalimat panjang, sulit dimengerti bocah-bocah lugu menggandrungi dongeng ketimbang sambutan bernalar birokrasi. Kalimat itu mungin salah tempat, ditaruh di halaman awal, sebelum bocah menikmati dongeng.
Sambutan itu mungkin pula membuat buku laris, cetak ulang empat kali, sejak 1989 sampai 1991. Buku pantas disesali tak memuat foto dan biografi pendek pengarang. Buku malah memuat dua foto pejabat berdandan necis. Begitu.