Thursday, March 14, 2019

Kaum Pemberi dan Menghormati


Kaum Pemberi dan Menghormati

Bandung Mawardi


Pada tiap zaman, kemiskinan tetap puisi atau roman. Orang miskin selalu ada. Tuhan mungkin menghendaki kemiskinan dan si miskin itu tanda seru bagi orang-orang mau beriman dan dermawan. Pada pengertian agak sembrono: miskin itu dalih menguak tata makna agama, politik, ekonomi, sejarah, pendidikan, seni, dan teknologi.
Pada Senin,11 Maret 2019, hari “bersejarah” bagi pengenang rezim Orde Baru. Kita pun mengingat itu tanggal sakral bagi universitas di Solo sering memberi penghargaan pada orang-orang telanjur terkenal. Kita tak sedang mengenang Soeharto atau memuji pemberian penghargaan di UNS. Pilihan terwajar adalah mengenai Sarono. Ia itu orang biasa. Ingat, orang biasa jangan dituduh mengikuti atau menjiplak novel terbaru dari pengarang mengaku tenar di Indonesia dan negeri-negeri asing.
Lelaki berumur 61 tahun, tunanetra. Ia keluar rumah. Di tangan, tongkat bambu. Perjalanan menuju tempat “dinas” alias pinggiran jalan. Lelaki bercaping itu mengucap terimakasih pada tongkat bambu: selamat bersama di perjalanan. Duduklah Sarono untuk adegan rutin setiap hari. Ia pemecah batu. Pada palu, ia pun bercakap dan mengajak mufakat menunaikan kerja keras. Tokoh dan benda-benda itu berada di Jakarta Timur.
Ia berdoa dan berdzikir di kerja memecah batu dijadikan pasir halus. Tanda berterimakasih pada Tuhan. Pada 1998, ia mengalami kebutaan. Tahun itu biografis, tak perlu ditaruh di politik Indonesia. Kebutaan memberi cemas tak seperti kebutaan menimpa pengarang besar bernama Jorge Luis Borges. Ia tetap ingin bisa mencari nafkah. Sarono hidup bersama istri tanpa anak. Usaha berdagang pernah dijalani tanpa hasil mencukupi. Pulang dari berjualan, kaki Sarono terbentur batu. Berdarah! “Ia berjongkok meraba batu yang membuat jempolnya luka. Ia pegang batu itu dan tiba-tiba ia melihat jalan,” dua kalimat di Kompas, 11 Maret 2019. Lelaki buta enggan marah. Ia di perenungan sekejap. Wartawan Kompas mencatat pengakuan Sarono: “Ketika itu saya berpikir batu itu adalah rezeki saya. Batu jika saya pecah akan menjadi pasir dan saya bisa jual. Saya langsung bersyukur kepada Allah yang memberi jalan.” Kejadian berdarah malah penentu jalan terang untuk hidup.
Kita mengikuti saja kalimat-kalimat di Kompas: “Sejak 2003, Sarono pun menjadi pemecah batu hingga saat ini. Setiap hari, ia mencari batu-batu besar atau potongan batako di tepi jalan dan sudah tidak terpakai. Potongan batu dan bata itu ia kumpulan lalu ia hancurkan hingga menjadi pasir. Pasir itulah yang ia jual kepada orang yang membutuhkan. Ia tidak menetapkan harga. Penbeli dipersilakan membayar seikhlasnya.” Rezeki tak cuma digunakan untuk kebutuhan diri dan istri. Ia sisihkan rezeki dibagikan ke sesama orang miskin atau anak yatim-piatu. Pengisahan itu mengharukan.

* * *

Pada abad-abad bermesin cetak, sastra bertaraf dunia mustahil tak menceritakan kaum miskin. Buku-buku sastra berupa novel atau puisi dari Rusia, Prancis, Amerika Latin, India, Tiongkok, atau Amerika Serikat menempatkan kemiskinan itu tema penentu di pergulatan estetika dan sastra berdampak pada abad XIX dan XX. Pada terbitan bacaan-bacaan untuk bocah, kemiskinan mencipta haru dan keinsafan: berbagi demi kemanusiaan, perdamaian, keimanan, kerukunan, dan keindahan. Dongeng-dongeng bertokoh si miskin berdatangan dari pelbagai negeri. Di Nusantara para tokoh miskin di dongeng-dongeng malah jadi pengajaran atau bercap sastra piwulang. Di dongeng atau sastra-cetak Jawa, keinginan memberi piwulang terasa penting agar bahasa dan cerita tak mubadzir.
Kita ingin menengok warisan cerita si miskin di buku terbitan masa 1970-an. Indonesia sudah berganti rezim. Orang-orang mengingat masa 1970-an itu masa membentuk-membesarkan rezim Orde Baru. Soeharto malu jika jutaan orang Indonesia masih miskin. Data kemiskinan kadang disalahkan ke rezim terdahulu. Kemiskinan itu aib. Orde Baru ingin memenuhi tugas-tugas besar: adil, makmur, bahagia, maju, tertib, dan besar. Kemiskinan dihajar kerja-kerja di pelbagai institusi bentukan pemerintah. Pidato-pidato Soeharto pun menginginkan kemiskinan punah. Rezim Orde Baru tentu tak mau cemar gara-gara pertambahan orang atau mutu miskin. Di hadapan penguasa, para intelektual dan jurnalis tak gentar menuliskan kemiskinan di pelbagai desa dan kota. Miskin teranggap risiko pembangunan nasional. Eh, orang miskin itu “tumbal” atau “pengesah” pembangunan nasional dengan kebijakan agung dan modal besar?
Artikel atau berita bertema kemiskinan kadang membuat pemerintah marah dan gerah. Di luar pengolahan data dan tafsir atas kemiskinan di Indonesia, ada dongeng mengandung sindiran tapi terjauhkan dari kesan-kesan politis. Dongeng berjudul Si Miskin yang Dermawan gubahan Prabandaru. Buku diterbitkan Pustaka Jaya. Cetakan I, 1974. Cetakan II, 1975. Cetakan III, 1976. Oh, buku laris! Ribuan bocah seantero Indonesia membaca dongeng tanpa perlu berpredikat kaum demonstran. Dongeng memiliki kebenaran. Dongeng bukan penjelasan-penjelasan memuat data-data dan bermetodologi ilmiah untuk menggugat pemerintah.
Kejadian dongeng di Kadipaten Wukirdadu. Berdoalah, tempat itu tak memiliki alamat lengkap di Indonesia. Kadipaten dipimpin Adipati Gandarum. Dongeng terasa njawani. Pada suatu malam, pesta di kadipaten. Adipati Gandarum menikmati permainan gamelan dan lantunan tembang dari para pesinden. Malam ingin indah, merdu, dan girang.
Pesta agak “ternoda.” Prabandaru mengisahkan: “Seorang pesinden tampil pula seraya menyembah, lalu menembang. Irama gamelan yang mengiringi terdengar syahdu karena lagu yang dibawakan pesinden itu teramat sedih syairnya. Lagu itu mengisahkan nasib seorang papa, yang berkelana menempuh hutan, gunung, jurang dan lembah, semata-mata untuk mencari penghidupan yang layak. Memang aneh kedengarannya karena wilayah Kadipaten Wukirdadu terkenal sebagai daerah yang makmur, sejahtera, subur tanahnya, serta adil pemerintahannya. Apalagi Adipati Gandarum tersohor sebagai dermawan, suka memberi pertolongan dan hadiah kepada rakyatnya yang sedang dalam kesusahan.”
Orang boleh membaca alinea itu berulang. Tempat kejadian di Kadipaten Wukridadu, tak perlu diganti dengan kota atau kabupaten di Indonesia. Eh, tembang itu membikin senewen. Adipati Gandarum sempat marah, sebelum menuruti penasaran. Benarkah masih ada orang miskin di Kadipaten Wukirdadu? Penasaran itu membuat dongeng menuju kejutan-kejutan. Bocah sudah degdegan dan menanti menemukan peristiwa mengubah nasib tokoh atau keberakhiran bahagia.
Malam menggelap, usai pesta, Adipati Gandarum menjalankan drama kecil. Ia mengenakan pakaian compang-camping alias gombal amoh. Pergi dari kadipaten, ia menelusuri desa-desa. Drama di kegelapan itu bermula dari tembang bisa dianggap terlarang oleh penguasa galak. Berdandan pengemis, Adipati Gandarum mau membuktikan segala dugaan. Ia berharap tak menemukan pengemis atau orang lapar. Ingat, kadipaten itu kondang makmur!
Di suatu tempat, pengemis gadungan itu disapa warga. Ia memberitahu agar pengemis itu mencari makan di rumah orang miskin tapi dermawan. Sekian pengemis sering dijatah makan setiap hari. Adipati Gandarum pun mampir ke rumah si dermawan. Warga bernama Ki Bandulwesi mengajak si pengemis makan. Lapar harus punah. Makan dengan menu sederhana. Sikap dan bahasa Ki Bandulwesi pantas dipuji. Adipati Gandarum menahan diri. Ia mengaku mengemis untuk bisa makan, setelah gagal mendapatkan pekerjaan. Ki Bandulwesi mengajak si pengemis turut bekerja keesokan hari: mencari ikan di kali.
Pengemis pamit diri. Pulang ke rumah megah. Malam itu ia tersinggung. Orang miskin berlaku dermawan. Ia ingat tuturan perbandingan dari si petunjuk: “Sang Adipati Gandarum kaya raya, tentu saja gampang jadi dermawan. Ki Bandulwesi miskin, ia hanya seorang nelayan tapi setiap hari selalu menyediakan makanan untuk orang-orang miskin yang membutuhkan. Nah, siapa yang lebih pantas disebut paling dermawan?”
Tuturan itu milik dongeng. Pembaca jangan menaruh di lakon pembangunan nasional. Kaum dermawan dan kaum pelit tak etis dipertentangkan di negara sedang menolak sebutan “miskin”, “terbelakang”, atau “berkembang”. Indonesia sulit dikatakan miskin. Kolonialisme itu bukti Indonesia menggiurkan bagi kaum mengerti duit. Kedermawanan di dongeng: sumber pengajaran ke bocah dalam melihat penguasa-pejabat dan jelata. Kemauan berbagi berbeda mutu dan dampak. Pembaca tentu memihak ke Ki Bandulwesi ketimbang Adipati Gandarum. Dongeng itu muncul saat Indonesia memerlukan kedermawanan dari pejabat dan saudagar. Sekian orang memang dermawan tapi memerlukan upacara, pengumuman, dan penghargaan. Mereka tak pernah membaca dan khatam buku berjudul Si Miskin yang Dermawan.
Adipati Gandarum tersinggung oleh keluguan, ketulusan, dan kepasrahan Ki Bandulwesi. Ujian demi ujian diberikan bermaksud membatalkan predikat kedermawanan. Pada saat Ki Bandulwesi ingin mencari ikan, Adipati Gandarum mengeluarkan larangan selama sebulan bagi para pencari ikan. Ki Bandulwesi menjual jala agar masih bisa membeli beras dan lauk untuk dibagi ke sesama: orang miskin dan pengemis. Kebijakan penguasa pantang diprotes. Pada malam gelap, ia masih sanggup memberi makanan ke pengemis gadungan sambil berucap: “Sudah padat ususmu?” Adipati Gandarum semakin tersinggung.
Ujian-ujian dari Adipati Gandarum mampu dijawab secara beradab oleh Ki Bandulwesi. Janji membagi makanan ke orang meskin dan pengemis tetap dipenuhi tanpa keluhan, sedih, atau marah gara-gara ulah Adipati Gandarum. Hari-hari berganti, Adipati Gandarum sudah membuktikan kedermawanan Ki Bandulwesi. Pembuktian dimulai dengan rasa tersinggung dan terejek. Pulang dari rumah jelek milik Ki Bandulwesi menuju rumah megah, Adipati Gandarum mengakui: “Sang Adipati menatap ke langit. Bulan terang, langit jernih tanpa awan sepotong pun. Bintang-bintang bertaburan. Maka disebutlah keagungan nama Tuhan. Ia merasa diberi petunjuk oleh Yang Maha Agung malam itu, bahwa menolong sesame manusia adalah kewajiban yang teramat mulia. Dan manusia yang berbudi seperti Ki Bandulwesi, dalam keadaan apapun juga, terjepit, tersiksa ataupun menderita, akan selalu mendapat perlindungan dari Dia.”
Rangkaian kalimat itu bisa membenarkan pembentukan manusia berpatokan Pancasila. Ia teladan bagi orang-orang sering gembar-gembor Pancasila tanpa amalan. Kita belum pernah mendapat kabar bahwa buku gubahan Prabandaru dipilih pemerintah dalam pendalaman Pancasila atau dianjurkan jadi bacaan di sekolah. Pada cetakan III, buku itu masih “terhindar” dari stempel Inpres. Pembaca mungkin lega melihat sampul tanpa kotak berketerangan “milik negara”. Buku itu menakjubkan meski kini terlupa sebagai buku bekas.

* * *

Tulisan mengenai sosok bernama Sarono, pemecah batu, tersaji di koran dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Buku dongeng gubahan Prabandaru memberi pengantar ke pembaca sampai ke pengertian miskin dan dermawa. Kita mungkin perlahan bingung mengartikan membedakan tulisan di Kompas dan buku terbitan Pustaka Jaya. Sarono itu bukan dongeng tapi pembaca larut. Prabandaru sadar sajikan dongeng tanpa harus memberi kritik ke elite atau kaum berduit. Dongeng di kewajaran asal kita membaca buku-buku garapan James Danandjaja, Sapardi Djoko Damono, dan Murti Bunanta. Pada 11 Maret 2019, kita memilih menghormati Sarono dan Ki Bandulwesi, menjauh dari acara-acara bercap kedermawanan sering disiarkan di televisi atau diselenggarakn di ruang-ruang megah. Begitu.

No comments:

Post a Comment