Kaum Pemberi dan Menghormati
Bandung Mawardi
Pada tiap zaman, kemiskinan tetap puisi
atau roman. Orang miskin selalu ada. Tuhan mungkin menghendaki kemiskinan dan
si miskin itu tanda seru bagi orang-orang mau beriman dan dermawan. Pada
pengertian agak sembrono: miskin itu dalih menguak tata makna agama, politik,
ekonomi, sejarah, pendidikan, seni, dan teknologi.
Pada Senin,11 Maret 2019, hari “bersejarah”
bagi pengenang rezim Orde Baru. Kita pun mengingat itu tanggal sakral bagi
universitas di Solo sering memberi penghargaan pada orang-orang telanjur
terkenal. Kita tak sedang mengenang Soeharto atau memuji pemberian penghargaan
di UNS. Pilihan terwajar adalah mengenai Sarono. Ia itu orang biasa. Ingat,
orang biasa jangan dituduh mengikuti atau menjiplak novel terbaru dari
pengarang mengaku tenar di Indonesia dan negeri-negeri asing.
Lelaki berumur 61 tahun, tunanetra. Ia
keluar rumah. Di tangan, tongkat bambu. Perjalanan menuju tempat “dinas” alias
pinggiran jalan. Lelaki bercaping itu mengucap terimakasih pada tongkat bambu:
selamat bersama di perjalanan. Duduklah Sarono untuk adegan rutin setiap hari.
Ia pemecah batu. Pada palu, ia pun bercakap dan mengajak mufakat menunaikan
kerja keras. Tokoh dan benda-benda itu berada di Jakarta Timur.
Ia berdoa dan berdzikir di kerja memecah
batu dijadikan pasir halus. Tanda berterimakasih pada Tuhan. Pada 1998, ia
mengalami kebutaan. Tahun itu biografis, tak perlu ditaruh di politik
Indonesia. Kebutaan memberi cemas tak seperti kebutaan menimpa pengarang besar
bernama Jorge Luis Borges. Ia tetap ingin bisa mencari nafkah. Sarono hidup
bersama istri tanpa anak. Usaha berdagang pernah dijalani tanpa hasil
mencukupi. Pulang dari berjualan, kaki Sarono terbentur batu. Berdarah! “Ia
berjongkok meraba batu yang membuat jempolnya luka. Ia pegang batu itu dan
tiba-tiba ia melihat jalan,” dua kalimat di Kompas, 11 Maret 2019. Lelaki buta
enggan marah. Ia di perenungan sekejap. Wartawan Kompas mencatat pengakuan Sarono: “Ketika itu saya berpikir batu
itu adalah rezeki saya. Batu jika saya pecah akan menjadi pasir dan saya bisa
jual. Saya langsung bersyukur kepada Allah yang memberi jalan.” Kejadian
berdarah malah penentu jalan terang untuk hidup.
Kita mengikuti saja kalimat-kalimat di Kompas: “Sejak 2003, Sarono pun menjadi
pemecah batu hingga saat ini. Setiap hari, ia mencari batu-batu besar atau
potongan batako di tepi jalan dan sudah tidak terpakai. Potongan batu dan bata
itu ia kumpulan lalu ia hancurkan hingga menjadi pasir. Pasir itulah yang ia
jual kepada orang yang membutuhkan. Ia tidak menetapkan harga. Penbeli
dipersilakan membayar seikhlasnya.” Rezeki tak cuma digunakan untuk kebutuhan
diri dan istri. Ia sisihkan rezeki dibagikan ke sesama orang miskin atau anak
yatim-piatu. Pengisahan itu mengharukan.
* * *
Pada abad-abad bermesin cetak, sastra
bertaraf dunia mustahil tak menceritakan kaum miskin. Buku-buku sastra berupa
novel atau puisi dari Rusia, Prancis, Amerika Latin, India, Tiongkok, atau Amerika
Serikat menempatkan kemiskinan itu tema penentu di pergulatan estetika dan
sastra berdampak pada abad XIX dan XX. Pada terbitan bacaan-bacaan untuk bocah,
kemiskinan mencipta haru dan keinsafan: berbagi demi kemanusiaan, perdamaian,
keimanan, kerukunan, dan keindahan. Dongeng-dongeng bertokoh si miskin
berdatangan dari pelbagai negeri. Di Nusantara para tokoh miskin di
dongeng-dongeng malah jadi pengajaran atau bercap sastra piwulang. Di dongeng atau sastra-cetak Jawa, keinginan
memberi piwulang terasa penting agar
bahasa dan cerita tak mubadzir.
Kita ingin menengok warisan cerita si
miskin di buku terbitan masa 1970-an. Indonesia sudah berganti rezim. Orang-orang
mengingat masa 1970-an itu masa membentuk-membesarkan rezim Orde Baru. Soeharto
malu jika jutaan orang Indonesia masih miskin. Data kemiskinan kadang
disalahkan ke rezim terdahulu. Kemiskinan itu aib. Orde Baru ingin memenuhi
tugas-tugas besar: adil, makmur, bahagia, maju, tertib, dan besar. Kemiskinan
dihajar kerja-kerja di pelbagai institusi bentukan pemerintah. Pidato-pidato
Soeharto pun menginginkan kemiskinan punah. Rezim Orde Baru tentu tak mau cemar
gara-gara pertambahan orang atau mutu miskin. Di hadapan penguasa, para
intelektual dan jurnalis tak gentar menuliskan kemiskinan di pelbagai desa dan
kota. Miskin teranggap risiko pembangunan nasional. Eh, orang miskin itu
“tumbal” atau “pengesah” pembangunan nasional dengan kebijakan agung dan modal
besar?
Artikel atau berita bertema kemiskinan
kadang membuat pemerintah marah dan gerah. Di luar pengolahan data dan tafsir
atas kemiskinan di Indonesia, ada dongeng mengandung sindiran tapi terjauhkan
dari kesan-kesan politis. Dongeng berjudul Si
Miskin yang Dermawan gubahan Prabandaru. Buku diterbitkan Pustaka Jaya.
Cetakan I, 1974. Cetakan II, 1975. Cetakan III, 1976. Oh, buku laris! Ribuan
bocah seantero Indonesia membaca dongeng tanpa perlu berpredikat kaum
demonstran. Dongeng memiliki kebenaran. Dongeng bukan penjelasan-penjelasan
memuat data-data dan bermetodologi ilmiah untuk menggugat
pemerintah.
Kejadian dongeng di Kadipaten Wukirdadu. Berdoalah,
tempat itu tak memiliki alamat lengkap di Indonesia. Kadipaten dipimpin Adipati
Gandarum. Dongeng terasa njawani.
Pada suatu malam, pesta di kadipaten. Adipati Gandarum menikmati permainan
gamelan dan lantunan tembang dari para pesinden. Malam ingin indah, merdu, dan
girang.
Pesta agak “ternoda.” Prabandaru
mengisahkan: “Seorang pesinden tampil pula seraya menyembah, lalu menembang.
Irama gamelan yang mengiringi terdengar syahdu karena lagu yang dibawakan
pesinden itu teramat sedih syairnya. Lagu itu mengisahkan nasib seorang papa,
yang berkelana menempuh hutan, gunung, jurang dan lembah, semata-mata untuk
mencari penghidupan yang layak. Memang aneh kedengarannya karena wilayah Kadipaten
Wukirdadu terkenal sebagai daerah yang makmur, sejahtera, subur tanahnya, serta
adil pemerintahannya. Apalagi Adipati Gandarum tersohor sebagai dermawan, suka
memberi pertolongan dan hadiah kepada rakyatnya yang sedang dalam kesusahan.”
Orang boleh membaca alinea itu berulang.
Tempat kejadian di Kadipaten Wukridadu, tak perlu diganti dengan kota atau
kabupaten di Indonesia. Eh, tembang itu membikin senewen. Adipati Gandarum
sempat marah, sebelum menuruti penasaran. Benarkah masih ada orang miskin di
Kadipaten Wukirdadu? Penasaran itu membuat dongeng menuju kejutan-kejutan. Bocah
sudah degdegan dan menanti menemukan
peristiwa mengubah nasib tokoh atau keberakhiran bahagia.
Malam menggelap, usai pesta, Adipati
Gandarum menjalankan drama kecil. Ia mengenakan pakaian compang-camping alias gombal amoh. Pergi dari kadipaten, ia menelusuri desa-desa. Drama di
kegelapan itu bermula dari tembang bisa dianggap terlarang oleh penguasa galak.
Berdandan pengemis, Adipati Gandarum mau membuktikan segala dugaan. Ia berharap
tak menemukan pengemis atau orang lapar. Ingat, kadipaten itu kondang makmur!
Di suatu tempat, pengemis gadungan itu
disapa warga. Ia memberitahu agar pengemis itu mencari makan di rumah orang
miskin tapi dermawan. Sekian pengemis sering dijatah makan setiap hari. Adipati
Gandarum pun mampir ke rumah si dermawan. Warga bernama Ki Bandulwesi mengajak
si pengemis makan. Lapar harus punah. Makan dengan menu sederhana. Sikap dan
bahasa Ki Bandulwesi pantas dipuji. Adipati Gandarum menahan diri. Ia mengaku
mengemis untuk bisa makan, setelah gagal mendapatkan pekerjaan. Ki Bandulwesi
mengajak si pengemis turut bekerja keesokan hari: mencari ikan di kali.
Pengemis pamit diri. Pulang ke rumah megah.
Malam itu ia tersinggung. Orang miskin berlaku dermawan. Ia ingat tuturan perbandingan dari si
petunjuk: “Sang Adipati Gandarum kaya raya, tentu saja gampang jadi dermawan.
Ki Bandulwesi miskin, ia hanya seorang nelayan tapi setiap hari selalu
menyediakan makanan untuk orang-orang miskin yang membutuhkan. Nah, siapa yang
lebih pantas disebut paling dermawan?”
Tuturan itu milik dongeng.
Pembaca jangan menaruh di lakon pembangunan nasional. Kaum dermawan dan kaum
pelit tak etis dipertentangkan di negara sedang menolak sebutan “miskin”, “terbelakang”,
atau “berkembang”. Indonesia sulit dikatakan miskin. Kolonialisme itu bukti
Indonesia menggiurkan bagi kaum mengerti duit. Kedermawanan di dongeng: sumber pengajaran
ke bocah dalam melihat penguasa-pejabat dan jelata. Kemauan berbagi berbeda
mutu dan dampak. Pembaca tentu memihak ke Ki Bandulwesi ketimbang Adipati
Gandarum. Dongeng itu muncul saat Indonesia memerlukan kedermawanan dari
pejabat dan saudagar. Sekian orang memang dermawan tapi memerlukan upacara,
pengumuman, dan penghargaan. Mereka tak pernah membaca dan khatam buku berjudul
Si Miskin yang Dermawan.
Adipati Gandarum
tersinggung oleh keluguan, ketulusan, dan kepasrahan Ki Bandulwesi. Ujian demi
ujian diberikan bermaksud membatalkan predikat kedermawanan. Pada saat Ki
Bandulwesi ingin mencari ikan, Adipati Gandarum mengeluarkan larangan selama
sebulan bagi para pencari ikan. Ki Bandulwesi menjual jala agar masih bisa
membeli beras dan lauk untuk dibagi ke sesama: orang miskin dan pengemis.
Kebijakan penguasa pantang diprotes. Pada malam gelap, ia masih sanggup memberi
makanan ke pengemis gadungan sambil berucap: “Sudah padat ususmu?” Adipati
Gandarum semakin tersinggung.
Ujian-ujian dari Adipati
Gandarum mampu dijawab secara beradab oleh Ki Bandulwesi. Janji membagi makanan
ke orang meskin dan pengemis tetap dipenuhi tanpa keluhan, sedih, atau marah
gara-gara ulah Adipati Gandarum. Hari-hari berganti, Adipati Gandarum sudah
membuktikan kedermawanan Ki Bandulwesi. Pembuktian dimulai dengan rasa
tersinggung dan terejek. Pulang dari rumah jelek milik Ki Bandulwesi menuju
rumah megah, Adipati Gandarum mengakui: “Sang Adipati menatap ke langit. Bulan
terang, langit jernih tanpa awan sepotong pun. Bintang-bintang bertaburan. Maka
disebutlah keagungan nama Tuhan. Ia merasa diberi petunjuk oleh Yang Maha Agung
malam itu, bahwa menolong sesame manusia adalah kewajiban yang teramat mulia.
Dan manusia yang berbudi seperti Ki Bandulwesi, dalam keadaan apapun juga,
terjepit, tersiksa ataupun menderita, akan selalu mendapat perlindungan dari
Dia.”
Rangkaian kalimat itu bisa
membenarkan pembentukan manusia berpatokan Pancasila. Ia teladan bagi
orang-orang sering gembar-gembor Pancasila tanpa amalan. Kita belum pernah
mendapat kabar bahwa buku gubahan Prabandaru dipilih pemerintah dalam
pendalaman Pancasila atau dianjurkan jadi bacaan di sekolah. Pada cetakan III,
buku itu masih “terhindar” dari stempel Inpres. Pembaca mungkin lega melihat
sampul tanpa kotak berketerangan “milik negara”. Buku itu menakjubkan meski
kini terlupa sebagai buku bekas.
* * *
Tulisan mengenai sosok bernama Sarono,
pemecah batu, tersaji di koran dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Buku dongeng
gubahan Prabandaru memberi pengantar ke pembaca sampai ke pengertian miskin dan
dermawa. Kita mungkin perlahan bingung mengartikan membedakan tulisan di Kompas dan buku terbitan Pustaka Jaya.
Sarono itu bukan dongeng tapi pembaca larut. Prabandaru sadar sajikan dongeng
tanpa harus memberi kritik ke elite atau kaum berduit. Dongeng di kewajaran
asal kita membaca buku-buku garapan James Danandjaja, Sapardi Djoko Damono, dan
Murti Bunanta. Pada 11 Maret 2019, kita memilih menghormati Sarono dan Ki
Bandulwesi, menjauh dari acara-acara bercap kedermawanan sering disiarkan di
televisi atau diselenggarakn di ruang-ruang megah. Begitu.
No comments:
Post a Comment