Wednesday, March 20, 2019

Berkunjung ke Cerita


Berkunjung ke Cerita

Bandung Mawardi


Pada suatu masa, Umar Kayam pasti pernah membaca berita atau menikmati cerita dari Timor. Sejak puluhan tahun lalu, ia peka gagasan-gagasan Indonesia. Pengetahuan tentang Timor mungkin kecil, tak perlu masuk di buku berjudul Semangat Indonesia: Suatu Perjalanan Budaya (1985). Buku jarang dikutip oleh para intelektual dan seniman Indonesia. Di buku besar, tebal, mewah, kita cuma ingin mengutip penjelasan bermutu, bukan mencari tapi tak menemukan mengenai Timor di situ.
Umar Kayam menulis: “Kebanyakan negara kebangsaan yang baru mapan dibangun dari berbagai lingkungan budaya yang sebelumnya diikat menjadi satu wilayah kolonial dengan batas-batas geografis yang ditetapkan oleh kekuasaan kolonial. Meskipun demikian, setiap lingkungan budaya itu memiliki perkembangan dan sejarahnya sendiri. Perkembangan itu akhirnya memberi suatu identitas budaya yang memberikan ciri yang khas bagi lingkungan budaya tersebut.” Penjelasan menggantikan kecenderungan orang-orang mengutip di buku berjudul Manusia dan Kebudayaan Indonesia dengan editor Koentjaraningrat. Kita belum bergantung ke buku berisi kerja-kerja para antropolog untuk mengisahkan Indonesia pada pembaca, dari masa ke masa.
Identitas itu beralamat di Timor. Kita ingin mengerti dengan berkunjung  halaman-halaman di novel berjudul Berburu Kuda di Timor garapan Ris Therik. Buku terbitan Pustaka Jaya (1971 dan 1974) digenapi ilustrasi-ilustrasi dari Ipe Ma’aruf. Buku apik bagi bocah-remaja mau mengenali keragaman identitas di misi menjadi Indonesia. Buku terasa ditulis dengan mengalami hidup di Timor. Kita enggan menuduh itu novel ditulis melalui “riset” pengarang “luar” bermukim di Jakarta atau kota-kota besar. Cerita memiliki selera biografis.
Cerita keluarga berpikiran maju di Timor. Keinginan maju tanpa meniadakan kebiasaan tata cara hidup masih dianut penduduk di Timor. Novel bukan propaganda modernisasi cap Orde Baru. Pembaca di “semangat (perjalanan) Indonesia” tak seperti rute ditempuhi Umar Kayam. Kita membaca dan berkunjung ke Timor. Putra sulung di keluarga itu mengabarkan lulus SMA dan mau melanjutkan kuliah jurusan teknik tinggi di Bandung. Pendidikan diceritakan penting di perubahan sedang berlangsung di Timor.
Kepulangan si putra ke desa dan menanti masa berkuliah ke Bandung memberi percik-percik bahagia bagi keluarga. Ungkapan mama merangkai ingatan: “Tepat sekali pilihannya itu, Pa! Waktu ia lagi berusia 3 tahun ia selalu memperhatikan supir-supir dan kenek oto membetulkan mesin mobil yang rusak. Juga kalau aku membongkar mesin jahit untuk dibersihkan selamanya ia dekati aku, lalu memperhatikannya dan bertanya tentang alat-alatnya. Juga ia mempunyai bakat dalam ilmu pasti dan ilmu alam.” Di desa, ia bukan lelaki berjulukan murid atau bakal mahasiswa pintar dipastikan harus berguna bagi bangsa dan negara.
Pamrih maju di pendidikan sudah diwujudkan di Timor. Kita membaca itu pembeda dari anggapan-anggapan “rendah” bahwa bocah dan remaja di kawasan timur Indonesia mengalami “ketertinggalan”. Kebijakan-kebijakan pendidikan di Indonesia diinginkan “merata” tapi tetap saja memunculkan bolong dan kelemahan. Di situ, kita masih disodori ketetapan tentang pendidikan maju itu Bandung, selain kota-kota besar di Jawa. Berkuliah di jurusan teknik tinggi berujung ke pemerolehan gelar Ir. Para sarjana teknik sangat dibutuhkan di Indonesia sedang membangun.
Pendidikan itu “sampiran”. Novel garapan Ris Therik memilih bercerita manusia, kuda, dan alam di Timor. Indrakelana hidup di keluarga memiliki hasrat besar di perburuaan dan pacuan kuda. Kedatangan abang (Yahya) menikmati liburan sebelum kuliah digunakan bersama adik-adik mempersiapkan kuda-kuda untuk pacuan di kota. Mereka harus menangkap dulu kuda-kuda di padang. Pembaca mulai bersama para tokoh mengalami perjalanan dan perburuan menegangkan dan mengesankan. Timor itu (pacuan) kuda.
Lima orang di misi penangkapan kuda: abang (Yahya), Yakob, Yusuf, Geradus, dan aku (Indrakila). Mereka mau mencari kuda-kuda dijuluki Si Kuning, Si Belang, dan Si Hitam. Perjalanan jauh, menginap malam demi malam. Mereka membawa bekal untuk makan. Sekian siasat sudah dimiliki agar berhasil menangkap kuda-kuda andalan di pacuan. Mereka itu pemberani, sadar risko dan terbiasa dengan keajaiban.
Adegan menangkap dan ikhtiar menjinakkan Si Belang: “Ketika Yakob telah duduk di atas punggung Si Belang, Si Belang menari-nari sambil mengangkat kedua belah kaki mukanya. Ia bermaksud melemparkan Yakob tapi ia tak berhasil, sebab Yakob seorang joki yang tangkas dan gesit. Karena Yakob tak bisa dilemparkannya, maka berlarilah ia dengan kencang tanpa tujuan. Kuda itu melarikan Yakob ke dalam hutan cendana dan lantana, namun Yakob tetap melekat pada punggungya, bagai cecak melekat pada tembok.” Keberanian bocah dan remaja di Timor. Mereka memiliki pengetahuan kuda, pengetahuan belum tentu diajarkan di sekolah mengacu kurikulum nasional atau menjadi mata kuliah di universitas. Mereka dan kuda di keseharian.
Kita tak cuma mengikuti kuda. Pengisah mengingatkan kita pada hutan cendana. Tanaman itu berada di Timor memberi arti berbeda dengan penamaan jalan di Jakarta. Jalan Cendana, jalan kekuasaan bertokoh Soeharto. Selama puluhan tahun, politik mengartikan cendana secara sempit, tak lagi mengantarkan murid-murid ke Nusa Tenggara Timur atau Timor untuk melihat hutan cendana. Novel berjudul Berburu Kuda di Timor itu ingatan kecil ke pengetahuan alam. Cendana di Timot, bukan selalu di Jakarta.
Pasukan penangkap kuda itu kemalaman. Singgahlah mereka di rumah kosong di tengah kebun. Mereka bergerak tanpa lembaran peta. Mereka ingin istirahat. Tidurlah pulas. Sekian jam berlalu, ada peristiwa heboh: “Kami sangat terkejut, ketika lagi enak-enak tidur biarpun hari sudah pagi, rumah penginapan kami telah dikepung oleh sepuluh orang serdadu Portugis. Pada saat itu barulah kami sadar bahwa kami telah melewati perbatasan. Karena gelap kami tidak tahu bahwa kami telah bermalam di sebuah desa kecil di dalam wilayah Portugis.” Di sejarah, kita membaca perkara Indonesia dan Timor Timur. Perkara sengit jadi tema besar di dunia. Pada suatu masa, keinginan menjadikan Timor Timur bagian Indonesia berlaku, sebelum berpisah. Keruntuhan rezim Orde Baru (1998) dengan penguasa beralamat di Jalan Cendana berdampak ke referendum: menghasilkan keputusan perpisahan. Kita mengenali Timor Leste. Di novel, para tokoh masih ada di situasi tak jelas berkaitan ambisi Indonesia dan lakon kolonialisme.
Novel perlahan menguak sejarah dan politik. Kita membaca penjelasan seorang dokter berkaitan perbandingan nasib. Dokter bicara pada lima tokoh resmi berada di Indonesia, negara sudah merdeka: “Kamu sudah senang karena sudah bernapas dalam negara merdeka. Kami, yang masih berada di wilayah ini, masih dijajah. Sering hak-hak asasi manusia di sini diinjak-injak.” Kita menebak reaksi pembaca bocah-remaja di halaman memiliki kandungan sejarah kolonialisme. Pengutipan kalimat-kalimat Umar Kayam berlaku di peristiwa lima tokoh tanpa sadar melewati perbatasan. Di situ, identas mereka lekas terbedakan oleh politik. Pada novel, pembaca di masa 1970-an diajak memikirkan isu terbesar: hak asasi manusia. Kini, novel itu dokumentatif bagi Indonesia dan Timor Leste.
Penangkapan kuda berhasil. Di rumah, mereka mulai melakukan perawatan kuda, sebelum ikut di pacuan kuda. Di Timor, pacuan kuda itu peristiwa akbar. Deskripsi dari penagarang: “Tempat pacuan kuda terletak satu kilometer di luar kota Kafamenanu. Sebuah arena di sebidang tanah lapang yang luas, didirikan oleh pemerintah, berbentuk bulat dengan garis menengah kira-kira seratus limapuluh meter. Di tepinya terdapat beberapa buah rumah panggung…” Tempat idaman bagi orang-orang mengikuti, menonton, dan mengadakan taruah duit di pacuan kuda. Yakob, Geradus, dan Yusuf adalah joki di pacuan kuda.
Pemerintah tak melakukan sensor cerita di bagian taruhan. Tiga joki itu mendapat hadiah-hadiah dari para petaruh. Si Hitam, Si Kuning, dan Si Belang dijagokan orang-orang di pertaruhan besar. Tiga joki dihadiahi duit, baju, handuk, celana, dan sapu tangan. Di final, Si Hitam menang. Pesta hadiah diberikan ke keluarga Indrakila. Kita mengutip: “Hari itu ayah memperoleh uang tarohan sebanyak seratus ribu rupiah. Selain itu orang-orang yang menjagokan Si Hitam juga memberi persen kepada aku dan ibu duapuluh lima ribu rupiah.” Lelah dan risiko di penangkapan tiga kuda dan perawatan ditebus dengan kemenangan dan pemerolehan hadiah. Sekian pendapatan itu digunakan untuk kuliah abang ke Bandung. Dana tetap belum cukup.
 Keluarga itu memutuskan untuk menangkap kuda turunan Persi. Kuda berharga mahal. Dulu, kuda itu berdatangan pada masa pendudukan Jepang. Penjelasan Ris Therik melalui perkataan Yahya: “Kan dahulu waktu tentara Jepang menduduki pulau ini mereka membawa banyak sekali kuda Persi, untuk mengangkut meriam-meriam dan senjata-senjata yang berat. Di sini kuda-kuda itu kawin dengan kuda-kuda betina Timor…” Ayah berencana ingin menangkap kuda-kuda turunan. Hasil penjualan kuda digunakan untuk ongkos hidup dan pendidikan anak-anak. Pekerjaan pokok si ayah tak menghasilkan uang melimpah. Kebutuhan besar harus diatasi dengan kerja-kerja sampingan.
Pembaca sampai ke renungan pekerjaan, duit, dan daerah perbatasan. Si ayah berkata: “Terlalu sukar mencari uang di masa sekarang. Sebenarnya papa gampang mendapat uang kalau papa mau berbuat curang. Banyak para pedagang yang papa tangkap karena menaikkan harga dan menyelundup ke Timor Portugis dan mau memberi papa uang, asal perkara mereka didep, tapi papa tidak mau. Berdosa bila menerima uang semacam itu. Kalau kita memakai uang itu, pasti rupa-rupa kecelakaan akan memukul kita. Dan bila ketahuan papa akan dipecat atau dihukum.” Renungan panjang itu berakhir dengan mengingat kuasa Tuhan. Kita membaca renungan berbarengan Indonesia semakin memiliki daftar panjang para koruptor. Mereka selalu lapar duit. Pada masa bocah, mereka tak pernah membaca novel berjudul Berburu Kuda Timor.
Kita rampung membaca novel. Kita perlu pula mengaitkan ke buku berjudul Kebudayaan: Sebuah Agenda dalam Bingkai Pulau Timor dan Sekitarnya (2013) dengan editor Gregor Neonbasu. Buku berisi pelbagai tulisan mengenai Timor.  Kita memilih persoalan alam saja. “Orang Timor melihat bahwa keseluruhan alam dunia mempunyai daya hidup, yakni sebuah dinamika kehidupan yang pantas diapresiasi karena manusia adalah bagian integral dari alam raya,” kalimat di esai Piet Manehat berjudul “Pandangan  Orang Timor terhadap Alam Sekitar.” Bermula dari novel tipis jarang jadi perbincangan di kesusastraan Indonesia, kita malah dibujuk mengerti segala hal mengenai Timor dan Indonesia. Kita telat membaca saat sejarah telah berubah.
Kita susulkan gambaran alam Timor di novel saat para tokoh di perjalanan mau menangkap kuda-kuda: “Tempat itu ialah sebidang padang rumput yang luas sekali. Di tengahnya di sana-sini tumbuh beberapa pohon bidara. Di tepinya, sebelah barat, terdapat hutan pohon cendana, yang tak begitu lebat. Di sebelah timurnya, terbentang sebatang sungai yang tak begitu lebar. Airnya bening dan mengalir perlahan-lahan ke sebelah selatan. Jauh lebih ke sebelah timur lagi, menjulang gunung yang cukup tinggi. Di sebelah selatannya, terbentang hutan lantana yang agak tebal. Di samping kanan hutan itu, terdapat sebuah danau yang garis tengahnya kiraa-kira duaratus meter….” Kita cuma berkunjung ke buku, belum pernah pelesiran ke situ. Begitu.

No comments:

Post a Comment