Berkunjung ke Cerita
Bandung Mawardi
Pada suatu masa, Umar Kayam pasti pernah membaca
berita atau menikmati cerita dari Timor. Sejak puluhan tahun lalu, ia peka
gagasan-gagasan Indonesia. Pengetahuan tentang Timor mungkin kecil, tak perlu
masuk di buku berjudul Semangat
Indonesia: Suatu Perjalanan Budaya (1985). Buku jarang dikutip oleh para
intelektual dan seniman Indonesia. Di buku besar, tebal, mewah, kita cuma ingin
mengutip penjelasan bermutu, bukan mencari tapi tak menemukan mengenai Timor di
situ.
Umar Kayam menulis: “Kebanyakan negara kebangsaan
yang baru mapan dibangun dari berbagai lingkungan budaya yang sebelumnya diikat
menjadi satu wilayah kolonial dengan batas-batas geografis yang ditetapkan oleh
kekuasaan kolonial. Meskipun demikian, setiap lingkungan budaya itu memiliki
perkembangan dan sejarahnya sendiri. Perkembangan itu akhirnya memberi suatu identitas
budaya yang memberikan ciri yang khas bagi lingkungan budaya tersebut.”
Penjelasan menggantikan kecenderungan orang-orang mengutip di buku berjudul Manusia dan Kebudayaan Indonesia dengan editor
Koentjaraningrat. Kita belum bergantung ke buku berisi kerja-kerja para
antropolog untuk mengisahkan Indonesia pada pembaca, dari masa ke masa.
Identitas itu beralamat di Timor. Kita ingin
mengerti dengan berkunjung halaman-halaman di novel berjudul Berburu Kuda di Timor garapan Ris
Therik. Buku terbitan Pustaka Jaya (1971 dan 1974) digenapi ilustrasi-ilustrasi
dari Ipe Ma’aruf. Buku apik bagi bocah-remaja mau mengenali keragaman identitas
di misi menjadi Indonesia. Buku terasa ditulis dengan mengalami hidup di Timor.
Kita enggan menuduh itu novel ditulis melalui “riset” pengarang “luar” bermukim
di Jakarta atau kota-kota besar. Cerita memiliki selera biografis.
Cerita keluarga berpikiran maju di Timor.
Keinginan maju tanpa meniadakan kebiasaan tata cara hidup masih dianut penduduk
di Timor. Novel bukan propaganda modernisasi cap Orde Baru. Pembaca di
“semangat (perjalanan) Indonesia” tak seperti rute ditempuhi Umar Kayam. Kita
membaca dan berkunjung ke Timor. Putra sulung di keluarga itu mengabarkan lulus
SMA dan mau melanjutkan kuliah jurusan teknik tinggi di Bandung. Pendidikan
diceritakan penting di perubahan sedang berlangsung di Timor.
Kepulangan si putra ke desa dan menanti masa
berkuliah ke Bandung memberi percik-percik bahagia bagi keluarga. Ungkapan mama
merangkai ingatan: “Tepat sekali pilihannya itu, Pa! Waktu ia lagi berusia 3
tahun ia selalu memperhatikan supir-supir dan kenek oto membetulkan mesin mobil
yang rusak. Juga kalau aku membongkar mesin jahit untuk dibersihkan selamanya
ia dekati aku, lalu memperhatikannya dan bertanya tentang alat-alatnya. Juga ia
mempunyai bakat dalam ilmu pasti dan ilmu alam.” Di desa, ia bukan lelaki
berjulukan murid atau bakal mahasiswa pintar dipastikan harus berguna bagi
bangsa dan negara.
Pamrih maju di pendidikan sudah diwujudkan di
Timor. Kita membaca itu pembeda dari anggapan-anggapan “rendah” bahwa bocah dan
remaja di kawasan timur Indonesia mengalami “ketertinggalan”.
Kebijakan-kebijakan pendidikan di Indonesia diinginkan “merata” tapi tetap saja
memunculkan bolong dan kelemahan. Di situ, kita masih disodori ketetapan
tentang pendidikan maju itu Bandung, selain kota-kota besar di Jawa. Berkuliah
di jurusan teknik tinggi berujung ke pemerolehan gelar Ir. Para sarjana teknik
sangat dibutuhkan di Indonesia sedang membangun.
Pendidikan itu “sampiran”. Novel garapan Ris
Therik memilih bercerita manusia, kuda, dan alam di Timor. Indrakelana hidup di
keluarga memiliki hasrat besar di perburuaan dan pacuan kuda. Kedatangan abang (Yahya)
menikmati liburan sebelum kuliah digunakan bersama adik-adik mempersiapkan
kuda-kuda untuk pacuan di kota. Mereka harus menangkap dulu kuda-kuda di
padang. Pembaca mulai bersama para tokoh mengalami perjalanan dan perburuan menegangkan
dan mengesankan. Timor itu (pacuan) kuda.
Lima orang di misi penangkapan kuda: abang (Yahya),
Yakob, Yusuf, Geradus, dan aku (Indrakila). Mereka mau mencari kuda-kuda
dijuluki Si Kuning, Si Belang, dan Si Hitam. Perjalanan jauh, menginap malam
demi malam. Mereka membawa bekal untuk makan. Sekian siasat sudah dimiliki agar
berhasil menangkap kuda-kuda andalan di pacuan. Mereka itu pemberani, sadar
risko dan terbiasa dengan keajaiban.
Adegan menangkap dan ikhtiar menjinakkan Si
Belang: “Ketika Yakob telah duduk di atas punggung Si Belang, Si Belang
menari-nari sambil mengangkat kedua belah kaki mukanya. Ia bermaksud
melemparkan Yakob tapi ia tak berhasil, sebab Yakob seorang joki yang tangkas
dan gesit. Karena Yakob tak bisa dilemparkannya, maka berlarilah ia dengan
kencang tanpa tujuan. Kuda itu melarikan Yakob ke dalam hutan cendana dan
lantana, namun Yakob tetap melekat pada punggungya, bagai cecak melekat pada
tembok.” Keberanian bocah dan remaja di Timor. Mereka memiliki pengetahuan
kuda, pengetahuan belum tentu diajarkan di sekolah mengacu kurikulum nasional
atau menjadi mata kuliah di universitas. Mereka dan kuda di keseharian.
Kita tak cuma mengikuti kuda. Pengisah mengingatkan
kita pada hutan cendana. Tanaman itu berada di Timor memberi arti berbeda
dengan penamaan jalan di Jakarta. Jalan Cendana, jalan kekuasaan bertokoh
Soeharto. Selama puluhan tahun, politik mengartikan cendana secara sempit, tak
lagi mengantarkan murid-murid ke Nusa Tenggara Timur atau Timor untuk melihat
hutan cendana. Novel berjudul Berburu
Kuda di Timor itu ingatan kecil ke pengetahuan alam. Cendana di Timot,
bukan selalu di Jakarta.
Pasukan penangkap kuda itu kemalaman. Singgahlah
mereka di rumah kosong di tengah kebun. Mereka bergerak tanpa lembaran peta. Mereka
ingin istirahat. Tidurlah pulas. Sekian jam berlalu, ada peristiwa heboh: “Kami
sangat terkejut, ketika lagi enak-enak tidur biarpun hari sudah pagi, rumah
penginapan kami telah dikepung oleh sepuluh orang serdadu Portugis. Pada saat
itu barulah kami sadar bahwa kami telah melewati perbatasan. Karena gelap kami
tidak tahu bahwa kami telah bermalam di sebuah desa kecil di dalam wilayah
Portugis.” Di sejarah, kita membaca perkara Indonesia dan Timor Timur. Perkara
sengit jadi tema besar di dunia. Pada suatu masa, keinginan menjadikan Timor
Timur bagian Indonesia berlaku, sebelum berpisah. Keruntuhan rezim Orde Baru
(1998) dengan penguasa beralamat di Jalan Cendana berdampak ke referendum:
menghasilkan keputusan perpisahan. Kita mengenali Timor Leste. Di novel, para
tokoh masih ada di situasi tak jelas berkaitan ambisi Indonesia dan lakon
kolonialisme.
Novel perlahan menguak sejarah dan politik. Kita
membaca penjelasan seorang dokter berkaitan perbandingan nasib. Dokter bicara
pada lima tokoh resmi berada di Indonesia, negara sudah merdeka: “Kamu sudah
senang karena sudah bernapas dalam negara merdeka. Kami, yang masih berada di
wilayah ini, masih dijajah. Sering hak-hak asasi manusia di sini
diinjak-injak.” Kita menebak reaksi pembaca bocah-remaja di halaman memiliki
kandungan sejarah kolonialisme. Pengutipan kalimat-kalimat Umar Kayam berlaku
di peristiwa lima tokoh tanpa sadar melewati perbatasan. Di situ, identas
mereka lekas terbedakan oleh politik. Pada novel, pembaca di masa 1970-an
diajak memikirkan isu terbesar: hak asasi manusia. Kini, novel itu dokumentatif
bagi Indonesia dan Timor Leste.
Penangkapan kuda berhasil. Di rumah, mereka mulai
melakukan perawatan kuda, sebelum ikut di pacuan kuda. Di Timor, pacuan kuda
itu peristiwa akbar. Deskripsi dari penagarang: “Tempat pacuan kuda terletak
satu kilometer di luar kota Kafamenanu. Sebuah arena di sebidang tanah lapang
yang luas, didirikan oleh pemerintah, berbentuk bulat dengan garis menengah
kira-kira seratus limapuluh meter. Di tepinya terdapat beberapa buah rumah
panggung…” Tempat idaman bagi orang-orang mengikuti, menonton, dan mengadakan
taruah duit di pacuan kuda. Yakob, Geradus, dan Yusuf adalah joki di pacuan
kuda.
Pemerintah tak melakukan sensor cerita di bagian
taruhan. Tiga joki itu mendapat hadiah-hadiah dari para petaruh. Si Hitam, Si
Kuning, dan Si Belang dijagokan orang-orang di pertaruhan besar. Tiga joki
dihadiahi duit, baju, handuk, celana, dan sapu tangan. Di final, Si Hitam
menang. Pesta hadiah diberikan ke keluarga Indrakila. Kita mengutip: “Hari itu
ayah memperoleh uang tarohan sebanyak seratus ribu rupiah. Selain itu
orang-orang yang menjagokan Si Hitam juga memberi persen kepada aku dan ibu
duapuluh lima ribu rupiah.” Lelah dan risiko di penangkapan tiga kuda dan
perawatan ditebus dengan kemenangan dan pemerolehan hadiah. Sekian pendapatan
itu digunakan untuk kuliah abang ke Bandung. Dana tetap belum cukup.
Keluarga
itu memutuskan untuk menangkap kuda turunan Persi. Kuda berharga mahal. Dulu,
kuda itu berdatangan pada masa pendudukan Jepang. Penjelasan Ris Therik melalui
perkataan Yahya: “Kan dahulu waktu tentara Jepang menduduki pulau ini mereka
membawa banyak sekali kuda Persi, untuk mengangkut meriam-meriam dan
senjata-senjata yang berat. Di sini kuda-kuda itu kawin dengan kuda-kuda betina
Timor…” Ayah berencana ingin menangkap kuda-kuda turunan. Hasil penjualan kuda
digunakan untuk ongkos hidup dan pendidikan anak-anak. Pekerjaan pokok si ayah tak
menghasilkan uang melimpah. Kebutuhan besar harus diatasi dengan kerja-kerja
sampingan.
Pembaca sampai ke renungan pekerjaan, duit, dan
daerah perbatasan. Si ayah berkata: “Terlalu sukar mencari uang di masa
sekarang. Sebenarnya papa gampang mendapat uang kalau papa mau berbuat curang.
Banyak para pedagang yang papa tangkap karena menaikkan harga dan menyelundup
ke Timor Portugis dan mau memberi papa uang, asal perkara mereka didep, tapi
papa tidak mau. Berdosa bila menerima uang semacam itu. Kalau kita memakai uang
itu, pasti rupa-rupa kecelakaan akan memukul kita. Dan bila ketahuan papa akan
dipecat atau dihukum.” Renungan panjang itu berakhir dengan mengingat kuasa
Tuhan. Kita membaca renungan berbarengan Indonesia semakin memiliki daftar
panjang para koruptor. Mereka selalu lapar duit. Pada masa bocah, mereka tak
pernah membaca novel berjudul Berburu
Kuda Timor.
Kita rampung membaca novel. Kita perlu pula mengaitkan
ke buku berjudul Kebudayaan: Sebuah
Agenda dalam Bingkai Pulau Timor dan
Sekitarnya (2013) dengan editor Gregor Neonbasu. Buku berisi pelbagai
tulisan mengenai Timor. Kita memilih
persoalan alam saja. “Orang Timor melihat bahwa keseluruhan alam dunia
mempunyai daya hidup, yakni sebuah dinamika kehidupan yang pantas diapresiasi
karena manusia adalah bagian integral dari alam raya,” kalimat di esai Piet
Manehat berjudul “Pandangan Orang Timor
terhadap Alam Sekitar.” Bermula dari novel tipis jarang jadi perbincangan di
kesusastraan Indonesia, kita malah dibujuk mengerti segala hal mengenai Timor
dan Indonesia. Kita telat membaca saat sejarah telah berubah.
Kita susulkan gambaran alam Timor di novel saat para
tokoh di perjalanan mau menangkap kuda-kuda: “Tempat itu ialah sebidang padang
rumput yang luas sekali. Di tengahnya di sana-sini tumbuh beberapa pohon
bidara. Di tepinya, sebelah barat, terdapat hutan pohon cendana, yang tak
begitu lebat. Di sebelah timurnya, terbentang sebatang sungai yang tak begitu
lebar. Airnya bening dan mengalir perlahan-lahan ke sebelah selatan. Jauh lebih
ke sebelah timur lagi, menjulang gunung yang cukup tinggi. Di sebelah
selatannya, terbentang hutan lantana yang agak tebal. Di samping kanan hutan
itu, terdapat sebuah danau yang garis tengahnya kiraa-kira duaratus meter….”
Kita cuma berkunjung ke buku, belum pernah pelesiran ke situ. Begitu.
No comments:
Post a Comment