Miskin dan Keharuan
Bandung Mawardi
Pada 1982, terbit buku empat jilid berjudul Anak Miskin yang Jadi Masyhur susunan
Sarah K Bolton. Buku terjemahan itu mungkin pernah jadi bacaan berpengaruh bagi
bocah-bocah Indonesia masa 1980-an. Indonesia masih memiliki cerita kemiskinan.
Jumlah bocah hidup di keluarga miskin masih jutaan. Mereka berhak mengubah
nasib. Berubah dengan ketekunan, kesabaran, kemauan, dan keikhlasan. Mereka tak
mau selalu miskin sampai menjalani hari-hari depan. Apa bocah-bocah miskin itu
bisa memiliki jalan menuju buku empat jilid mengenai bocah miskin di Amerika Serikat
dan Eropa?
Buku terbitan Gramedia itu mungkin bisa mereka
baca jika ada di perpustakaan sekolah. Buku cenderung jadi bacaan bagi
bocah-bocah di keluarga berkecukupan. Mereka membaca untuk mengerti kemiskinan,
bocah, dan perubahan nasib. Mereka bakal melihat teman atau tetangga masih
miskin di Indonesia, negara selalu bermimpi makmur. Kemiskinan di Indonesia itu
ingin dihapus oleh rezim Orde Baru. Cara menghapus bukan dengan buku.
Kita ingin mengutip biografi kemiskinan di negeri
jauh. Kita belum ingin menguak lakon miskin di Indonesia. Sarah K Bolton
menceritakan pengarang tenar bernama Charles Dickens (1812-1870). Pengisahan
bermula saat ia hidup di keluarga miskin. Kita menjenguk isi buku: “Dalam waktu
singkat anak Dickens menjadi 8 orang, dan perbandingan antara pendapatan dengan
jumlah mulut yang harus diberi makan semakin tidak seimbang… Lemari makan dan
tempat penyimpanan makan milik keluarga itu makin hari semakin kosong, dan
anak-anak Dickens yang masih kecil-kecil itu makin hari makin jembel dan sangat
menderita hidupnya.” Charles Dickens ada di keluarga miskin. Charles Dickens
pernah hampir putus asa: “Pada umur sebelas tahun, Charles Dickens merasa bahwa
masa kanak-kanaknya telah berakhir.” Ia tak pernah tahu bakal mengalami
perubahan untuk menjadi penulis kondang turut mengubah sejarah kesusastraan dunia.
Kita tak merampungkan biografi Charles Dickens.
Kita berada di Indonesia. Pilihan menemui bocah miskin di buku itu kemauan
mengerti sejarah kemiskinan di Indonesia belum jua makmur. Bocah miskin ada di
buku cerita berjudul Si Mungil dan Si
Kecil gubahan Suyono HR. Buku tipis, 34 halaman, terbitan BPK Gunung Mulia,
Jakarta. Tatanan kata dalam buku mirip puisi, berlarik-larik pendek. Cerita
dikuatkan dengan kehadiran gambar-gambar oleh Andreas Tan. Semua gambar
hitam-putih.
Siapa bocah miskin dalam cerita? Kita di
larik-larik awal: Namanya sederhana,
singkat/ tapi manis, Rini./ Gadis cilik yang berumur/ delapan tahun itu memang
manis./ Rambutnya hitam,/ meskipun tidak terlalu panjang./ Sepasang matanya,/
bulat dan jernih….. Ia dijuluki Si Mungil gara-gara memiliki hidung mungil.
Teman-teman memanggil Rini dengan sebutan Si Mungil. Rini pun senang.
Larik-larik menuju ke biografi miskin: Si
Mungil belum bersekolah./ Meski anak yang sebaya dengannya/ banyak yang sudah
dimasukkan/ ke sekolah./ Maklumlah, orang tuanya kurang berada./ Sebagai tukang
loak,/ penghasilannya sangat kecil.
Si Mungil sering bermain dengan teman-teman tapi
memendam ingin turut bersekolah. Ingin sulit terpenuhi. Si Mungil tak terlalu
bersedih, mengerti kondisi keluarga. Ia pun memiliki ingin seperti teman-teman.
Sekian teman sudah memiliki adik. Si Mungil ingin memiliki adik. Pada suatu
hari, ibu hamil dan menanti hari persalinan. Si Mungil girang bakal mendapat
adik. Hari penantian itu menjadi hari sedih. Ibu memang melahirkan adik tapi ibu
meninggal: Ibu si Mungil/ kembali ke alam
baka/ Dan si Mungil kini/ jadilah gadis cilik piatu.
Keluarga miskin dalam duka. Mereka dibantu para
tetangga dalam merawat Si Kecil. Pembaca terharu tapi harus melanjutkan cerita.
Si Mungil memiliki tanggung jawab merawat-mengasuh Si Kecil. Bapak bekerja
mencari nafkah. Pendapatan kecil untuk tiga mulut. Si Mungil menjalani
hari-hari tanpa putus asa. Ia memilih ingin bahagia. Sedih tak putus mendingan
diladeni dengan mengasihi Si Kecil.
Pengarang mengisahkan: Untuk kemudian,/ si Mungillah yang bertugas:/ memandikan si Kecil,/
mendukung dan/ mendendangkannya./ Para tetangganya memandang haru./ Gadis cilik
piatu yang cekatan/ dan penuh kasih sayang/ sehari demi sehari/ dengan cepat
berobah./ Dari anak yang gemar bermain,/ berganti menjadi/ seorang ibu cilik.
Kita mungkin meragu itu terjadi di Indonesia? Pencerita menempatkan keluarga
miskin itu di kota tanpa nama di Indonesia. Di kota, keluarga miskin belum
mendapat perhatian pemerintah. Kemiskinan itu nasib. Pilihan lokasi di kota
mengingatkan kita pada gejala urbanisasi. Dulu, orang-orang desa sering
bergerak ke kota ingin mengubah nasib dengan peruntungan mencari nafkah. Di
kota, mereka bukan kaum profesional. Mereka bekerja serabutan atau di taraf
pekerjaan kasar. Penghasilan kecil, tak tetap setiap hari. Pamrih ke kota malah
menanggungkan miskin tanpa pereda.
Urbanisasi itu pernah “dihentikan” dan “dikurangi”
pemerintah. Kota terlarang menjadi tempat kemiskinan membiak. Pemerintah dan
para ahli perkotaan sering menasihati agar orang-orang desa jangan ke kota. Kalimat-kalimat
menakuti kadang disampaikan: “Kota itu kejam”, “Kota itu derita”, “Kota itu
memberi kemiskinan.” Si Mungil dan Si Kecil hidup dengan segala kekurangan.
Bapak cuma bekerja jadi tukang loak. Si Mungil harus mengasuh Si Kecil, belum
di paksaan bekerja untuk menambahi pendapatan keluarga. Biografi Si Mungil pada
masa 1970-an itu kewajaran, bukan kejutan di Indonesia. Si Mungil dimaksudkan
pengarang sebagai contoh dari album kemiskinan di kota berlatar Indonesia,
bukan Eropa atau Amerika Serikat. Pengarang berniat menjadikan cerita adalah
kritik atau protes sosial?
Cerita itu bacaan, belum pernah digarap jadi film
atau sinetron. Kemiskinan minta pembacaan dan pemaknaan di halaman-halaman
kertas. Kita jadi pembaca sambil menengok kiri-kanan: mengetahui dan mengamati
keluarga-keluarga miskin di desa dan kota. Buku cerita jadi petunjuk untuk
empati. Buku cerita berbeda dengan laporan resmi pemerintah atau berita-berita
di koran.
Kejadian-kejadian buruk terus menimpa keluarga Si
Mungil. Pada suatu hari mengawali sedih-sedih berdatangan: Ketika itu pertengahan musim hujan./ Hampir setiap hari/ hujan
tercurah/ dengan lebatnya./ Dengan tidak menghiraukan/ hujan ataupun panas,/
Pak Tirta terus berkeliling./ Mencari dagangan/ ataupun menjajakan/
barang-barang loakannya./ Dan sore itu,/ ketika ia pulang,/ tubuhnya terasa
demam. Bapak sakit mengartikan ketiadaan duit di rumah. Keluarga itu bakal
mengalami kesulitan-kesulitan. Hari demi hari, bapak berbaring. Beras habis,
uang tiada. Para tetangga tak tega. Makanan-makanan diberikan pada keluarga Si
Mungil. Mereka berterima kasih atas kebaikan para tetangga. Cerita semakin
mengharukan.
Bapak sudah sembuh tapi modal telah habis. Bapak
mulai turut bekerja pada Pak Wangsa di bengkel sepeda. Ia harus tetap bekerja
untuk memberi makan pada dua anak masih kecil. Di bengkel, ia belajar memperbaiki
sepeda. Penghasilan di situ agak mencukupi kebutuhan keluarga. Kita semakin
mengerti bahwa lakon orang miskin ada di sikap keberterimaan ketimbang mengeluh
atau menggugat. Di cerita, kita tak menemukan kemarahan dan pemberontakan.
Kemiskinan diterima tanpa kecengengan.
Hari demi hari, keluarga itu emoh bersedih abadi.
Pada suatu hari, mereka dipaksa sedih gara-gara masa kontrak rumah sudah habis.
Bapak tak sanggup melanjutkan kontrak. Ongkos tak ada. Mereka terpaksa
meninggalkan rumah kontrakan. Pembaca buku masih bocah tentu bisa berairmata
mengetahui nasib keluarga Si Mungil. Cerita memicu airmata melampaui
sinetron-sinetron buruk ingin mendramatisasi kemiskinan. Kita menduga
bocah-bocah saat membaca buku berjudul Si Mungil dan Si Kecil berhenti sejenak
untuk merenung atau menangis. Pembaca mengalami keharuan-keharuan tak usai.
Mereka kembali ke desa. Pada episode kepergian
dengan naik bis, pembaca turut merasakan sedih Si Mungil: Ketika bisa mulai meluncur/ tak kuasa si Mungil/ membendung tangisnya./
Terbayang dengan jelas/ wajah mendiang ibunya./ Dia teringat kembali/ hari-hari
terakhir/ sebelum ibunya/ kembali ke alam baka./ Juga dia tak mungkin lagi/
pergi setiap seminggu sekali/ ke kubur ibunya. Si Mungil teringat ibu. Ia
terpaksa meninggalkan kebiasaan berziarah. Kota itu kemiskinan. Kota itu
kematian ibu. Kota itu kuburan.
Di desa, bapak membuka bengkel sepeda. Si Mungil
dan Si Kecil berada di asuhan nenek dan bibi. Hidup di desa perlahan berbeda
dari masa lalu di kota. Si Mungil mendapat janji bakal disekolahkan dari rezeki
bengkel sepeda. Di desa, mereka bisa mencari makan dari kebun dan sungai. Semua
tak harus dibeli dengan duit. Desa memberi percik kemauan hidup ketimbang harus
melanjutkan kemiskinan di kota. Hidup pun berubah. Si Mungil tampak semakin
girang dan berharapan menjalani hari-hari berilmu untuk raihan masa depan.
Buku berjudul Si
Mungil dan Si Kecil itu metafora bagi sebutan Indonesia. Pada masa 1970-an,
Indonesia itu negara miskin bergerak ke sebutan negara berkembang. Situasi
politik dan ekonomi belum mampu merampungi kemiskinan. Indonesia negara besar
tapi masih muda jika dihitung dari 17 Agustus 1945. Kemiskinan itu lumrah bagi
negara pernah mengalami penjajahan dan memiliki warisan (trauma) kolonialisme.
Kita mengingat Indonesia masa 1970-an dan cerita
kemiskinan melalui penjelasan Gunnar Myrdal dalam buku berjudul Bangsa-Bangsa Kaya dan Miskin (1976).
Buku jadi acuan dalam memandang perubahan-perubahan di dunia oleh negara-negara
berbeda taraf perekonomian. Gunnar Myrdal mengungkapkan: “Apabila suatu bangsa
yang miskin dan terbelakang pada akhirnya terlepas dari penjajahan dan menjadi
suatu negara merdeka, maka ia akan berhadapan dengan kenyataan, yang boleh
dikatakan merupakan suatu kepastian, kendatipun hal itu belum ia ketahui
sebelumnya, bahwa kemerdekaan politik tidaklah secara otomatis menempatkannya
pada jalan perkembangan ekonomi.”
Negara merdeka tapi miskin itu lakon wajar di abad
XX. Indonesia mengalami penjajahan dan kemiskinan. Pengalaman itu mau diubah
rezim Orde Baru berjanji Indonesia adil, makmur, sejahtera. Pada tahun-tahun
pemenuhan janji, kita sempat bertemu tokoh dengan sebutan Si Mungil, bocah di
kemiskinan tanpa gugatan atau pemberontakan. Ia “menerima” nasib tapi berhak
mengubah meski sedikit tanpa ada penggamblangan peran pemerintah. Si Mungil
miskin tanpa putus asa, merana berkepanjangan, dan malu keterlaluan. Ia masih
mungkin melanjutkan cerita hidup menuju terang dan girang. Begitu.
No comments:
Post a Comment