Thursday, May 30, 2019

Baca(an) dan Menghibur


Baca(an) dan Menghibur

Bandung Mawardi


Pada suatu masa, Ibu Sud menggubah lagu dengan judul panjang: Aku Anak Indonesia Penerus Pembangunan Tanah Airku. Sejak masa 1920-an, Ibu Sud jarang membuat judul panjang untuk ratusan lagu. Judul panjang itu mungkin berkaitan deru pembangunan nasional di masa Orde Baru. Lirik di lagu: Kami putra putri Indonesia/ bertekad bulat teguh berjanji/ menuntut ilmu agar mandiri/ unttuk membangun ibu pertiwi/ mari kawan kita wujudkan. Lagu tak terkenal, jarang dihapalkan murid-murid di SD atau SMP. Lagu pernah ada mengingatkan ke bocah-bocah Indonesia agar berilmu. Lagu itu ada dalam buku berjudul Seruling: Kumpulan Lagu Anak-Anak (1992). Dulu, lagu mengajak bocah berilmu. Nah, ilmu digunakan dalam memuliakan Indonesia.
Pada masa Orde Baru, lagu bisa jadi propaganda pembangunan nasional. Buku pun memiliki peran dan pengaruh besar ke bocah. Tjetjep Endang menulis buku berjudul Si Ohim: Merintis Jalan ke Kemajuan. Buku terbitan Pustaka Jaya, 1983. Judul buku sudah gamblang. Cerita menginginkaan kontribusi di pembangunan nasiolan, terutama dalam pendidikan-pengajaran. Buku cerita tak sederhana dihiasi gambar-gambar oleh Wakidjan. Cerita untuk dinikmati bocah dan remaja.
Di pagi hari, Ohim dan teman-teman piket alias jatah membersihkan kelas. Mereka bekerja sambil bercakap dan berlagu. Sekian menit berlalu untuk bersih-bersih, Ohim mengalami peristiwa biasa tapi berdampak menakjubkan. Tjetjep mengisahkan: “Tiba-tiba matanya tertuju pada secarik kertas koran bekas pembungkus kacang tanah. Ia melihat gambar seorang laki-laki berbadan kekar dan berbentuk segi tiga sedang menikam seekor buaya dengan pisau belatinya. Koran itu dipungutnya. Ternyata gambar itu merupakan gambar pertama sebuah cergam…” Ohim membaca bergairah dan cermat. Koran bekas telah tepat bertemu pembaca masih ingusan. Koran berkhasiat. Pada hari penemuan koran bekas, Ohim sanggup mengikuti sekian pelajaran dengan girang. Ia menjawab soal-soal dari guru dengan benar. “Bila aku tidak membacanya, mana mungkin aku dapat menjawabnya,” pengakuan Ohim atas penasaran teman-teman di kelas. Sejak pagi bertemu koran bekas wadah kacang, Ohim berjanji “akan mulai banyak membaca dan menggali pengetahuan.”
Penggunaan bahasa Indonesia di koran sangat membantu Ohim dalam mengikuti pelajaran  bahasa Indonesia. Koran jadi sumber belajar, selain guru dan buku pelajaran. Kita mengimajinasikan masa 1980-an dengan tokoh lugu bernama Ohim. Ia seperti menggaungkan saran-saran pemerintah agar murid-murid rajin membaca koran atau majalah dalam mengikuti informasi di segala bidang. Dulu, koran-koran sering beredar di kota, jarang sampai ke desa. Pemerintah Orde Baru malah pernah mengadakan program koran masuk desa. Novel gubahan Tjetjep Endang belum berurusan koran masuk desa atau koran masuk sekolah. Koran itu sampai ke sekolah Ohim gara-gara pedagang kacang. Dagangan itu dibeli murid-murid saat istirahat. Nah, koran untuk bungkus itu dibuang muris dengan anggapan tak lagi berfaedah. Di mata Ohim, “sampah” itu penentu perubahan bakal terjadi di sekolah dan kampung. Kita kagum pada Ohim cepat bersikap dan peka di peristiwa dan impian keilmuan.
Kita Ohim dan bahasa Indonesia: “Tetapi si Ohim betul-betul memperhatikan pelajarannya dengan seksama, bahkan sampai memperhatikan bahasa Indonesia yang dipakai oleh Pak Guru. Bahasa Indonesia di kampung si Ohim sangat jarang dipergunakan dalam percakapan sehari-hari. Boleh dikatakan ‘hanya dipergunakan di sekolah’. Di luar sekolah mereka mempergunakan bahasa daerah. Karena itu tidak mengherankan kalau bahasa Indonesia anak-anak sekolah belum begitu baik.” Situasi itu semakin membuat Ohim bergairah mencari bekas pembungkus kacang. Ia berkeliling di sekolah, mencari koran-koran bekas. Eh, Ohim cuma bertemu sedikit. Ohim sudah mengimpikan membaca koran setiap hari meski bekas.
Novel itu menginginkan bocah mementingkan koran. Semula, pemahaman koran bekas digunakan sebagai pembungkus makanan. Di peristiwa Ohim, murid-murid diajari melihat hikmah di benda bekas. Koran itu terbukti bisa digunakan dalam memahami atau menambahi pengetahuan berkaitan pelajaran bahasa Indonesia. Di pelajaran-pelajaran berbeda, isi koran tetap dapat membantu keilmuan murid-murid. Koran itu penting! Kita mengira koran-koran masa 1980-an adalah santapan diangankan memberi sokongan ke pembangunan nasional. Di bidang pendidikan-pengajaran, koran memikul tanggung jawab besar. Ohim mengartikan koran sudah memenuhi peran meski belum penuh.
Rangsang koran berlanjut ke buku-buku. Ohim ingin membaca buku-buku. Di sekolah dan rumah, jumlah buku cuma sedikit. Ia ingin rajin membaca, rajin berilmu. Ohim bersama teman-teman mulai bermimpi memiliki taman baca, taman berisi buku-buku, bukan bungan atau rumput. Usulan Ohim mendapat tanggapan dari Anwar: “Tentu kita dan teman-teman dapat menikmati guna, manfaat, dan kesenangan dari membaca buku.” Mereka berjanji mewujudkan taman baca. Siasat demi siasat harus dijalankan untuk taman baca. Pengandaian taman baca sudah ada. “Merangsang minat baca teman-teman kita,” ujar Ohim. Peristiwa menemu koran dan keranjingan membaca membuat impian taman baca membara setiap hari.
Mula-mula, Ohim ingin memikat para teman dengan berbagi cerita dari buku-buku pernah dibaca. Pada masa 1980-an, buku-buku terjemahan bertokoh hero-hero ciptaan Amerika Serikat sudah beredar di Indonesia. Di mata bocah dan remaja, buku komik Superman jadi idola. Ohim mengagumi Superman. Hero dari negeri jauh itu memang membuat bocah-bocah di pelbagai negara tertular imajinasi memukau.
Ohim bercerita: “Ya, seorang yang gagah perkasa itu. Batu penutup gua yang besar sekali dipukul: bumm! Hancur. Ia keluar dari tahanan dan mengejar dua orang penjahat yang telah merampok sebuah bank. Mereka pandai, licik, dan mempunyai senjata ampuh. Tetapi oleh Superman dihajar: buuk, buuk! Mereka ditangkap dan dibawa terbang. Eh, si penjahat tidak takut dijatuhkan, mereka masih mengadakan perlawanan. Oleh Superman kepala mereka diadukan: duuk! Kedua penjahat pingsan. Mereka diserahkan kepada polisi.” Ohim mengingat dan urut dalam menceritaka ulang komik. Superman memang idola bocah-remaja di dunia. Pembaca jangan lekas curiga bahwa Ohim memilih hero Amerika Serikat ketimbang hero-hero di Indonesia. Ohim dan teman-teman pun mengenali para hero dalam wayang dan cerita rakyat.
Pemberian penggalan-penggalan cerita ke teman-teman diniatkan agar mereka penasaran. Nah, penasaran itu membuat teman-teman berhak bergantian meminjam dan membaca buku. Mereka pasti puas jika membaca sendiri. Ohim bertugas memicu penasaran. Masalah besar adalah jumlah mereka. Ohim ingin ada taman baca memiliki koleksi ratusan buku. Beragam buku boleh dibaca oleh teman-teman, tak wajib buku pelajaran. Teman-teman mungkin sudah bosan membaca buku pelajaran.
Kita bergerak jauh ke masa berbeda. Di Kompas, 20 Mei 2019, kita membaca berita bertema membaca buku. “Gerakan literasi tidak akan berhasil tanpa mengajak anak atau siswa menyukai buku. Melalui metode membaca ekstensif, anak sejak dini diajak menyukai buku dan menganggap buku sebagai sumber hiburan dan inspirasi,” tulis di Kompas. Membaca ekstensif diartikan murid membaca tanpa beban. Lho! Murid dibebaskan memilih buku, majalah, atau koran untuk dibaca. Murid tak memiliki kewajiban menceritakan ulang atau menghapal demi pemenuhan nilai-nilai akademik. Terhibur! Murid mendingan senang dan mendapat hiburan ketimbang penat. Nah, keinginan membaca terhibur itu masih sulit dipenuhi di ribuan perpustakaan sekolah di Indonesia. Koleksi buku pelajaran sering “mengalahkan” buku-buku menghibur.
Ohim dan teman-teman dalam keinginan mendirikan taman baca sudah menginginkan ada perwujudan “membaca ekstensif”, bukan membaca selalu menginduk ke mata pelajaran di sekolah. Koleksi buku bercerita Superman atau Tarzan agak memungkinkan bocah-bocah bergirang membaca ketimbang membaca buku pelajaran matematika.
Ohim dan teman-teman bersekongkol dengan Pak RT untuk mendirikan taman baca. Kita sudah mengerti ada pengaruh nalar birokrasi dalam novel. Sekian keinginan warga bergantung ke struktur birokrasi, mulai dari bawah sampai atas. Ketokohan Pak RT sengaja ditonjolkan bermaksud mewartakan ke pembaca bahwa tata birokrasi masa Orde Baru “sangat” mendukung kemajuan pendidikan-pengajaran atau literasi berdalih pembangunan nasional. Semangat Ohim membara setelah bertemu dan bercakap dengan Pak RT. Masalah awal adalah penamaan. Rapat kecil diselenggarakan menentukan nama. Sekian usulan: Taman Bacaan Bersama, Taman Bacaan Gembira, Taman Bacaan Kita. Taman baca belum berhasil diadakan tapi nama sudah dipikirkan. Konon, peristiwa itu menandai “nyawanya adalah semangat.” Mereka emoh pesimis. Taman baca dipastikan ada.
Usulan demi usulan pembelian dan pengadaan buku membuat mereka berpikir dalam menentukan tindakan-tindakan. Usulan bermutu adalah teman-teman mengumpulkan buku tulis sudah tak dipakai. Tumpukan buku tulis dijual di rongsongkan mendapatkan duit atau ditukarkan dengan buku-buku bacaan bekas. Sumbangan buku tulis berarti kemampuan mengadakan koleksi buku. Usulan besar adalah mengumpulkan sumbangan dengan membuat pertandingan sepakbola. Sumbangan penonton digunakan untuk mewujudkan taman baca. Sepakbola mulai berkaitan keaksaraan.
Siasat-siasat diajalankan menghasilkan duit dan buku. Taman baca pun berdiri. Pendirian disertai pembentukan pengurus melibatkan Pak RT, Pak RK, Pak Guru, dan tokoh-tokoh di kampung. Duit dibelanjakan buku. Di toko buku, Ohim kaget. Harga buku mahal! Rapat dadakan memutuskan duit dibelikan buku baru dan buku bekas. Pilihan jenis atau tema buku cenderung ke mereka, bukan “dipaksa” anjuran-anjuran kaum orang tua di kampung. Komik jadi pilihan bersama. Para orang tuan pernah berdialog mengenai belanja buku. Pak Guru menjelaskan: “Tidak semua yang baik menurut kita akan diterima baik oleh anak-anak. Lain halnya jika mereka telah benar-benar dapat menikmati isi buku, maka tidak akan sukar untuk mengarahkan bacaan mereka.” Ohim dan teman-teman ingin girang alias terhibur. Taman Bacaan Kita bukan untuk membuat mereka pusing, mual, lemas, dan murung. Membaca buku itu menggirangkan! 
 Di akhir novel, usulan dan kerja bocah-bocah itu terang sesuai dengan misi pembangunan nasional. Para bocah mungkin tak berpikiran jauh tapi keberhasilan mendirikan Taman Bacaan Kita turut mengabarkan dalil-dalil pembangunan nasional. Kita mengutip ceramah Pak RK di har bersejarah: “Jadikanlah hari ini sebagai titik tolak perpaduan pengalaman kita dengan ilmu yang kita dapati dari buku-buku untuk membangun dan mengembangkan budi pekerti, jiwa raga, dan daerah kita...” Kalimat di pidato itu terasa klise atau menjemukan.
Ohim tak mengalami abad XXI. Dulu, ia membaca koran bekas sebelum berkehendak membuat taman baca. Ia sadar khasiat bacaan berupa koran, majalah, dan buku. Ohim tak ada di masa sekarang. Ohim mungkin sedih jika membaca koran-koran sering memberitakan keapesan literasi. Di Solopos, 20 Mei 2019, ada berita berjudul “Kemendikbud Terbitkan Rekomendasi”. Pemerintah mengeluarkan enam rekomendasi. Pemerintah jangan dianggap bersalah. Pemerintah itu pemecah dan penuntas masalah. Lho!  
Kita mengutip dua rekomendasi dari hasil kerja keras dan pemikiran pemerintah. Rekomendasi nomor 5: “Swasta dan dunia usaha dapat mendukung pemenuhan akses literasi melalui dana tanggung jawab sosial perusahaan, misalnya mendukung perpustakaan umum, perpustakaan sekolah, dan perpustakaan komunitas.” Rekomendasi terakhir: “Masyarakat dan pegiat dapat berpartisipasi dengan membuat perpustakaan di rumah, menyelenggarakan aktivitas rutin membaca di tingkat keluarga serta menjadi donatur bantuan buku untuk sekolah maupun komunitas literasi.” Pemerintah terus bekerja tapi kita terkesan dengan ulah Ohim dan teman-teman. Mereka sanggup mengadakan taman baca tanpa rekomendasi pemerintah. Mereka bukan kumpulan masalah tapi kumpulan pembaca menginginkan buku-buku untuk “disantap” dengan girang dan terhibur. Begitu.



Bocah Bergelimang Masalah


Bocah Bergelimang Masalah

Bandung Mawardi


Mari serahkan kepadaku semua sengsara
sampai di manakah tangis orang-orang putusasa
tiada percaya hidup ini nyanyian mesra
sedang baiknya
jiwa memperkelahikan nasib tiada habisnya

(Mansur Samin, Ajakan, 1960)

Pada masa 1980-an, Mansur Samin dinobatkan oleh kaum pengarang sebagai “Raja Buku Inpres”. Julukan agung bagi pengarang rajin menulis buku mendapat stempel dari pemerintah. Stempel berarti honor besar pemerintah bagi pengarang. Konon, para pengarang masa lalu “bersaing” dalam penulisan buku-buku berstempel Inpres. Soeharto terpandang dan terhomrat sebagai penguasa berpihak pada perbukuan dan “memakmurkan” pengarang. Sekian pengarang mengaku bisa membeli rumah dan mobil dari honor Inpres. Nah, Mansur Samin termasuk menulis puluhan dalam perbukuan Inpres! Julukan “Raja Buku Inpres” mengadung sanjungan dan menjewer keterlenaan pengarang menulis demi Inpres.
Pada masa 1950-an, Mansur Samin sudah tokoh sastra di Solo. Ia biasa dipanggil “kakak” oleh para seniman muda. Di kota mulai dipahami sebagai ruang seni dan sastra, Mansur Samin ambil peran berpengaruh, sebelum berada di pelukan pemerintah dan berpindah ke Jakarta. Mansur Samin tak selalu membuat buku-buku untuk Inpres. Ia pun menulis menuruti “mau” dan “pertimbangan mutu” melampaui taraf Inpres. Peran di Solo tampak dari ketekunan di sastra. Mansur Samin adalah redaktur di siaran sastra RRI Solo dan bergabung di mingguan Adil. Dulu, ia muncul sebagai penggubah puisi di pelbagai majalah. Masa pengakuan sebagai penggubah puisi lekas disusul sebagai penulis buku anak. Para pembaca buku berjudul Tonggak (Linus Suryadi Ag), Angkatan ’66 (HB Jassin), dan Laut Biru, Langit Biru (Ajip Rosidi) pasti berjumpa puisi-puisi gubahan Mansur Samin.
Tahun-tahun berdatanga, Mansur Samin menekuni penulisan buku untuk bacaan anak-anak di seantero Indonesia. Ia menulis 50-an buku anak. Linus memuat sekian judul buku anak garapan Mansur Samin: Berlomba dengan Senja, Parut, Lepas, Si Masir, Si Belang, Luhut, Pesan Sebatang Mangga, Warna, Tagor dari Batangtoru, Empat Saudara, Tidak Putus Asa, Urip yang Tabah, Telaga di Kaki Bukit, dan lain-lain. Jumlah buku memantaskan ia menjadi “Raja Buku Inpres.” Pengakuan belum sah gara-gara tiada disertasi mengulas pamrih-pamrih Mansur Samin di puluhan buku anak menuruti kebijakan keaksaraan Soeharto di masa lalu. Kita terlambat memberi tepuk tangan dan anggukan. Keinginan orang mengenali Mansur Samin tak pernah dipenuhi di Ensiklopedia Sastra Indonesia Modern (2003) susunan Tim Pusat Bahasa, mengusung kebijakan pemerintah. Di situ, pembaca tak pernah menemu Mansur Samin. Pengarang itu absen, “belum” mendapat pengakuan bagi kesusastraan dan pendidikan di Indonesia.
Penebusan adalah membaca dan memberi tanggapan untuk novel berjudul Si Masir. Masir, bocah nakal. Pembaca dikenalkan dengan bocah memiliki sifat dan ulah membikin marah. Ia memberi malu keluarga. Sekian pengenalan itu memiliki awalan dan akibat. Masir tak mutlak bersalah. Di mata pembaca masih berusia bocah, Masir mungkin dibenci, sebelum dimaafkan dengan niat mengubah diri alias bertobat. Buku berjudul Si Masir memberi halaman-halaman keburukan bocah dan kegagalan keluarga dalam pengasuhan. Di pendidikan, Masir semakin terpuruk. Mansur Samin menulis Si Masir ingin memberikan peringatan atas tokoh tak pantas diteladani di masa pemerintah menganjurkan bocah-bocah menjadi pintar, sopan, tertib, dan cinta tanah air. Masir kebalikan dari  pendefinisian milik pemerintah.
Cerita bermula di daerah perkebunan karet bernama Suka Ramai. Keluarga Haji Samin tinggal di situ membuka warung. Keluarga diceritakan miskin dan bermasalah. Haji Samin bersama istri dan anak bernama Samir hidup dalam keterbatasan. Samir sudah berusia 9 tahun, diharapkan bersekolah agar terhindar dari kebodohan. Sekolah harus di daerah lain, jauh dari Suka Ramai. Perintah agar Samir bersekolah itu bergelimang masalah, sejak halaman awal sampai akhir. Novel melulu masalah. Samir itu masalah!
Buku berjudul Si Samir diterbitkan Pustaka Jaya, 1975. Gambar-gambar oleh Onong Nugroho. Pada masa 1970-an, kebijakan-kebijakan pendidikan mungkin belum gencar dan mujarab. Pemerintah masih melulu mengurusi politik dan ekonomi. Pendidikan di belakang. Nasib bocah-bocah di desa-desa tak seberuntung bocah-bocah di kota. Dulu, kota itu pusat segala. Sekolah sering berada di kota. Mutu pendidikan di kota anggaplah melebihi di desa. Rezim Orde Baru menginginkan memiliki anak-anak pintar tapi belum becus memberi “uluran tangan” ke bocah-bocah di pelbagai desa dan berada di Sumatra, Sulawesi, atau Kalimantan. Indonesia timur pun masih terabaikan. Mansur Samin memberi alamat cerita di Sumatra.
Bapak dan ibu memutuskan Samir bersekolah ke Batangtoru, berarti harus pergi dari Suka Ramai. Samir mau dititipkan ke rumah bibi agar tetap bersekolah. Semula, Samir menolak tapi tak kuasa melawan kehendak ibu dan bapak. Ia terpaksa meninggalkan rumah menggembol kecewa-kecewa bakal ditambahi lagi sekarung kecewa saat tinggal di rumah bibi. Di sana, ia tak kerasan dan mengalami pelbagai kesalahan. Samir bermasalah di sekolah dan rumah. Bibi tak sanggup mengawasi dan mengatur. Bibi memiliki anak-anak memberi kerepotan besar, sulit menambahi beban mengurusi Samir.   
Pulang sekolah, Samir sering bermain ke sungai. Ia bergirang bersama teman-teman. Si bocah tiada ingin turut membantu kerepotan di rumah bibi. Ia pun malu menumpang di rumah bibi. Pada saat berada di sungai, Samir kedatangan bapak. Ia kepergok sering bermain ketimbang belajar atau membantu pekerjaan di rumah bibi. Bapak murka! Kemarahan dikalimatkan ke Masir: “Tidak perduli siapa yang mengajak. Pokoknya kau tidak boleh mandi ke sungai. Kalau kau hanyut bagaimana? Kalau tenggelam bagaimana? Bibimu yang susah. Kau tidak tahu di sungai itu ada buaya? Mau dimakan buaya?” Marah belum memuncak. Masri harus meninggalkan sungai, berpisah dari teman-teman.
Marah belum selesai: “Pakaianmu sudah compang-camping. Kukumu seperti kuku macan. Kakimu penuh daki. Tanganmu berkudis!” Penampilan Masir membuat bapak berhak menimpakan marah. Masir ada di situasi petaka. Ia sulit mengelak dari marah-marah. Ia wajib menderita dan menuruti perintah-perintah bapak.
Kejadian itu membuat bapak memutuskan Masir kembali ke Suka Ramai. Masir kelas 3 SD tetap saja bodoh dan menambahi ulah nakal. Pulang ke Suka Ramai, marah diberikan ibu. Bersekolah justru mengundang masala-masalah. Ibu melihat tubuh Masir: koreng, daki, patek, bengkak. Ibu mulai galak. Masir dituduh jarang mandi. Masir diam, tak berani menjawab. Tindakan darurat dilakukan: “Masir buru-buru menanggalkan pakaian. Ibu menggulung lengan baju lalu memandikan Masir. Daki yang mengental di sela-sela bagian tubuh Masir digosok dengan sekeping batu. Masir merintih. Ia menggelinting karena kegelian, tapi ibu tak perduli. Seluruh tubuh Masir digosok batu. Daki yang menebal mengelupas. Masir meringis-ringis.” Ibu seperti membuat konklusi: sekolah tak mengajarkan Masri rajin mandi. Fatal!
Bapak dan ibu rapat lagi. Masir tetap pergi dari rumah lagi. Masir harus sekolah. Usulan baru adalah menitipkan ke rumah kakek-nenek. Keputusan dilematis. Hari demi hari berganti, Masir berada di rumah kakek sudah tiga bulan. Ia dimanja kakek. Manja sampai ke pengajaran merokok. Kakek jadi guru. Masir jadi murid. Pelajaran “penting” adalah merokok. Kita membaca pengisahan Mansur Samin: “Sebenarnya kakek sendirilah yang mengajar Masir merokok. Ia mengajar bagaimana melinting tembakau dengan daun nipah, lalu menunjukkan bagaimana mengudapnya. Masir sudah biasa merokok. Melinting pun mahir. Berkat petunjuk dari kakek.” Sekolah jadi urutan belakang, tak penting di keseharian Masir. Ilmu merokok mengakibatkan Masir harus pulang lagi ke Suka Ramai, setelah kebiasaan ngeses diketahui bapak. Masir merokok menghasilkan: ibu menangis dan bapak mengomel. Masir semakin bermasalah!
Bapak dan ibu lagi-lagi rapat demi nasib Masir. Keputusan ketiga: bapak dan ibu mengeluarkan ongkos untuk sewa rumah dihuni Masir agar tetap bersekolah. Keputusan dikira membawa kebaikan. Hidup Masir diinginkan berubah. Pengarang menceritakan: “Masir sekarang masak sendiri. Mengurus diri sendiri. Perbelanjaan Masir setiap minggu diambilnya ke Suka Ramai...” Kebijakan memaksa Masir mandiri. Dugaan bapak-ibu meleset! Cita-cita melihat Masir giat belajar tak pernah terwujud. Masir malah jarang masuk sekolah. Masir rajin membolos. Masalah bertamabah: “Masir sudah kerap menjual pakaian dan bekalnya untuk dijudikan.” Judi memberi derita: “Hidup Masir sudah mirip anak gelandangan. Sebab pakaiannya sudah robek-robek, makannya tidak teratur, tidurnya bebas di mana saja ia suka. Rumah tempat tinggalnya lebih banyak dikosongkan daripada didiami.” Kita belum sempat membaca penggalan masalah itu sambil menaruh kebermaknaan lagu-lagu gubahan Rhoma Irama mengani judi atau gelandangan. Kita cuma mengerti Masir mengabarkan bocah-bocah di Indonesia terlalu cepat merusak diri dan keluarga.
Bapak dan ibu membuat keputusan semakin salah! Mereka “sengaja” membuat Masir berantakan sebagai bocah dan murid. Masir terlalu bersalah tapi bapak-ibu memiliki peran besar dari pembesaran masalah. Masir membuat bapak dan ibu bersedih. Masir tak mau selalu disalahkan dan dikutuk. Ia melawan dan berani memberi serangan telak ke bapak sebagai orang sering berutang dan gagal membahagiakan keluarga. Bapak dan anak bertengkar sengit. Bapak merasa di pihak kalah. Bapak mengalami lesu tak berkesudahan. Salah ditimpakan ke bapak. Marah-marah ke Masir berbalik menjadi timbunan masalah.
Masir gagal menjadi murid santun, rajin, dan pintar. Di rumah, Masir gagal menjadi bocah budiman. Segala kisruh dimengerti Masri adalah “neraka”. Ia minggat ke rumah kakek, berharap perlindungan dan pemanjaan. Mansur Samin menulis: “Bagi Masir, kakeklah satu-satunya orang yang mengerti kesedihan dan penderitaan hidupnya. Kakek dianggap mengerti kesunyiannya, mengerti rasa malu yang dideritanya. Kakek adalah orang yang paling mengerti segala keinginannya.” Perjumpaan dan percakapan dengan kakek tak seperti harapan semula. Kakek memberi nasihat agar Masir serius bersekolah. Kakek menilai perlakuan bapak ke Masir itu mengandung benar. Masir diminta mengubah perangai. Kakek tak lagi seperti dulu: memanjakan dan selalu membela Masir.
Di akhir cerita: “Masir pergi berbaring. Ia sadar telah melakukan kesalahan. Ia insaf. Air matanya titik berlinang. Air mata kesadaran. Kesadaran untuk memperbaiki perangai. Malam makin larut. Masir tidur pulas.” Awal dan akhir cerita membikin pembaca melak masalah besar di Indonesia: pendidikan dan keluarga. Masir sebagai bocah ada di keluarga belum sanggup menerapkan pengasuhan dan pendidikan manusiawai. Di sekolah dan pergaulan bersama tema-teman membuktikan pengaruh-pengaruh buruk cepat menular. Di tatap mata rezim Orde Baru, kegagalan itu lazim.
Pada abad XXI, kita membaca Si Masir dengan sorotan sastra dan pendidikan. Bukalah buku berjudul Menyemai Karakter Bangsa: Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan (2009) garapan Yudi Latif. Pemikiran terlambat datang dari penerbitan Si Masir. Kita tetap ingin menaruh pendapat Yudi Latif ke arah Masir, keluarga, dan sekolah di masa lalu. Yudi Latif menjelaskan: “Pendidikan karakter menggarap pelbagai aspek dari pendidikan moral, pendidikan kewargaan, dan pengembangan karakter.” Krisis atau seribu masalah ditanggungkan bocah dalam bersekolah telat diurusi dengan pendidikan karakter. Masir dalam novel terlalu lama “rusak” dan “bermasalah”, sebelum berniat tobat. Peran guru di sekolah memberi peringatan dan anjuran ke Masir agak membuktikan peran mengurusi karakter murid berlaku di masa lalu dengan kadar terbatas. Pada abad XXI, Si Masir mendingan cetak ulang dilengkapi pengantar kritis di pembenaran pendidikan karakter. Novel itu penting terbaca oleh murid-murid di zaman bergelimang masalah. Begitu.     
 

  

Thursday, May 16, 2019

"Lucu" dan Keseriusan Indonesia


“Lucu” dan Keseriusan Indonesia

Bandung Mawardi


Pada masa keberakhiran pemerintah kolonial Belanda, orang-orang mungkin tak sempat melakukan pengumpulan dan pencatatan buku-buku cerita bocah menandai “warisan” dari masa-masa sedang subur di percetakan-penerbitan buku. Balai Pustaka dan penerbit-penerbit partikelir kaget dengan kedatangan Jepang. Perkara buku cerita untuk bocah dan remaja “tiarap” dulu, menantikan kebijakan-kebijakan baru sesuai selera pemerintah pendudukan Jepang. Masa peralihan belum memiliki catata lengkap, masa pendudukan Jepang cepat berakhir, 1942-1945. Pada saat Jepang “minggat” dari Indonesia, catatan-catatan mengenai perbukuan mungkin tak dikerjakan secara rapi dan lengkap. Di kepustakaan anak, kita kesulitan menentukan pamrih dan dampak buku diterbitkan di tahun-tahun terjepit.
Puluhan tahun berlalu. Kerja mampu dilakukan adalah penerbitan buku dijuduli Menjelang Indonesia Merdeka (1982) susunan Pitoyo Darmosugito. Buku terbitan Gunung Agung berisi “kumpulan tulisan tentang bentuk da nisi negara yang akan lahir.” Artikel-artikel kecil dimuat di Asia Raya, Asia Baroe, Sinar Baroe, dan Tjahaja dikumpulkan agar terbaca oleh kita jika mengenang Indonesia di tahun-tahun menjelang merdeka. Tulisan mengandung nasihat, propaganda, dan renungan. Serius tanpa lucu. Tulisan tak mau menghibur pembaca. Puluhan tulisan langka berhasil diterbitkan ulang setelah kesulitan menemukan bundel-bundel koran masa lalu.
Kita membaca tulisan berjudul “Kesenian dan Indonesia Merdeka” oleh Agoes Djaja Soeminta, dimuat di Asia Raya, 14 Juni 1945. Kita membaca dengan suasana masa lalu, masa Indonesia belum merdeka. Agoes Djaja menulis: “Oesaha menanam rasa kebangsaan didalam dada bangsa Indonesia adalah kewadjiban jang berat, dan terletak ditangan mereka jang termasoek golongan terpeladjar, atau lebih baik golongan jang insjaf, oleh karena terpeladjar dan insjaf ada berlainan.” Kalimat itu dibuat dari pengalaman di suasana kolonial Belanda dibandingkan dengan Jepang di bulan-bulan terakhir. Tulisan itu mengungkapkan seni dan pendidikan-pengajaran.
Tulisan turut dimuat di buku berjudul Menjelang Indonesia Merdeka, bukan Menjelang Indonesia Tertawa. Lho! Pada 1946, Balai Poestaka menerbitkan buku berjudul Katjang Goreng (Tjeritera Loetjoe). Indonesia merdeka pada 1945. Indonesia diajak tertawa pada 1946. Merdeka mengandung jeritan, tangisan, teriak, dan ratapan. Penerbit bentukan pemerintah kolonial di masa kemerdekaan malah mengumbar lucu. Buku menginginkan merdeka juga tertawa. Buku berjudul aneh di tahun berkecamuk. Tahun itu Indonesia sedang ramai dengan pidato-pidato para pemimpin bangsa dan penerbitan buku-buku bertema revolusi. Sekian buku kecil dan sederhana ditulis oleh Tan Malaka, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan lain-lain. Kelucuan terasa di tulisan-tulisan Idrus dan sekian orang dengan nama belum tercatat di album sejarah tawa Indonesia.  
Tertawa itu penting tapi masih rikuh jika terpamerkan ke orang-orang masih menderita dan bingung mengartikan merdeka. Penerbitan buku beraliran lucu anggaplah “kelucuan” sulit terpahami di terpaan pekik dan slogan politik kolosal. Tahun-tahun itu kita mengingat Mohammad Hatta saja. Ingatan mengacu ke buku berjudul Indonesia Merdeka: Biografi Politik Mohammad Hatta (1991) garapan Mavis Rose. Di pelbagai surat kabar, pertemuan resmi atau rapat, dan di muka corong radio, Hatta rajin berkata demi kemerdekaan dan kemajuan Indonesia. Di kepala Hatta, merdeka itu utama, bukan tertawa. Kita terlalu sulit mencari episode Hatta rajin tertawa dan sadar kelucuan-kelucuan di Indonesia. Tema terpenting Hatta, sejak masa 1930-an sampai Indonesia merdeka adalah “daoelat rakjat”. Indonesia harus tetap merdeka, belum sempat berpidato atau menulis Indonesia harus tetap tertawa. Pada 1946, pikiran Hatta tegang dan menuju terang saat Indonesia masih amburadul. Hatta sulit diimajinasikan bertemu atau memegang buku berjudul Katjang Goreng. Bacaan Hatta adalah buku-buku babon bertema ekonomi dan politik beragam bahasa. Ia mungkin makan kacang goreng tapi tak membaca Katjang Goreng. Pengalaman itu memastikan Mavis Rose tak bisa membuat lelucon dengan menulis buku berjudul Indonesia Tertawa. Merdeka itu keutamaan! Tertawa belakangan saja.
Kita berpisah dari dua buku sejarah berat. Kita masuk ke buku lucu. Lihatlah, gambar di sampul buku! Ada spanduk bertuliskan “Katjang Goreng”. Di bawah, ada penjual sedang menggoreng kacang di wajan sambil menari. Api tampak di tungku. Bocah lelaki bercelana pendek dan berpeci membawa bungkusan kacang goring. Bocah perempuan dengan rambut dikucir sedang menari, belum membeli kacang goreng. Gambar oleh Nasroen AS. Gambar itu lucu? Ingat, buku bukan berisi resep-resep masakan tapi cerita lucu.
Cerita-cerita ditulis Tinggi Loebis. Nama itu mengesahkan berasal dari Sumatra. Sejarah menulis cerita dicetak jadi buku di Indonesia memang memiliki barisan penulis asal Sumatra, sejak masa 1920-an. Apakah ia masuk di Angkatan 45? HB Jassin mungkin mengetahui si pengarang dan membaca buku tapi tak mungkin menaruh di buku bunga rampai sastra Angkatan 45. Buku itu teranggap bacaan bocah dan remaja. Bacaan sulit naik ke taraf kesusastraan serius mengurusi tema-tema revolusi.
Pada 1946, buku berjudul Katjang Goreng itu cetakan kedua. Kita belum memastikan cetakan pertama di masa kolonial Belanda atau di masa Jepang keranjingan berpropaganda. Cerita pertama berjudul “Lebai Salih”. Lucu gara-gara hantu palsu! Lebai Salih itu penakut. Tinggi Loebis mengisahkan: “Ta’ heran anak-anak moeda didalam kampoeng itoe amat soeka menakoet-nakoeti dia. Lebih-lebih dalam boelan Poeasa. Karena waktoe itoe kata orang djin dan setan dilepaskan dari tambatannja. Lebai Salih amat pertjaja dengan tjerita itoe.”
Bepergian ke pelbagai tempat saat malam, Lebai Salih selalu ingin memiliki teman. Ia takut sendirian, takut pada hantu-hantu di kuburan dan pelbagai tempat. Lebai Salih mesti mendatangi acara-acara atau datang ke masjid untuk beribadah. Ia mesti melewati kuburan dan kebun berkemungkinan ada hantu. Pada perjalanan pulang dari hajatan teman di malam hari, Lebai Salih dan Djalal melintasi kuburan di pinggir jalan. Ketakutan itu memicu lucu: “Dekat koeboer besar, telah berbaring si Amir ditengah-tengah djalan. Saroeng pelekatnja jang agak poetih warnanja diambilnja oentoek menjeloeboengi toeboehnja. Siapa jang melihat dia berseloeboeng matjam itoe, tentoe merasa takoet. Roepanja sebagai seboeah bantal goeling jang terletak ditengah djalan. Ketika di Djalal dan Lebai Salih soedah dekat ‘hantoe’ bergoeling-goeling kekaki Pak Lebai. Seketika itoe djoega terdengar pekik dan teriak Lebai Salih dengan sekoeat-koeatnja: Ja Allah…” Ulah itu kesengajaan Djalal dan Amir. Mereka ingin membuat Lebai Salih takut tanpa pertolongan.
Berulang mereka menakuti Lebai Salih dengan hantu palsu. Ketakutan dan kesedihan Lebai Salih malah jadi kelucuan bagi orang-orang kampung. Dua bocah itu semakin nekat menambahi takut. Pada suatu malam, Lebai Salih ditakuti lagi. Ia berteriak dan berlari. Djalal dan Amir girang melihat Lebai Salih merana. Mereka tak sadar jika ada orang lain sedang bertindak memberi hukuman. Dua bocah menjadi hantu palsu itu dipukul ipar Lebai Salih berjulukan Panglima Ali. Wah, dua bocah jatuh: terluka dan berdarah. Ulah keterlaluan mereka ketahuan.
Balasan setimpal menimpa Djalal dan Amir. Pesan bijak dari pengarang: “Ketika anak-anak jang lain bergirang-girang hati waktoe Hari Raja, si Amir dan si Djalal menangis mengenang oentoengnja. Menangis merasakan hoekoeman karena perboeatan mereka sendiri, jang melewati batas itoe.” Hukuman itu jadi peringatan ke orang-orang kampung mengurungkan niat menakuti Lebai Salih. Kalimat terakhir di cerita: “Sedjak itoe anak-anak atau anak-anak moeda ta’ berani lagi mempertakoet-takoeti dan memperolok-olokkan Lebai Salih.”
Kita berganti ke cerita berjudul “Pa’ Latoe dan Si Lamoe”. Dua tokoh bukan manusia tapi lalat. Cerita dalam bentuk percakapan. Sejak awal sampai akhir, pembaca menemukan sindiran-sindiran kaum lalat kepada kaum manusia. Cerita lucu bergelimang kritik agar manusia bertobat dari sekian kebodohan, kejorokan, dan keburukan. Manusia itu musuh dan korban bagi lalat-lalat beterbangan di pelbagai tempat.
Lamoe itu lalat kecil. Pada Pa’ Latoe, ia berguru dalam mencari makan dan keselamatan dari pembunuhan dilakukan manusia. Pada pagi hari, dua lalat berbincang tentang pangan dan manusia. Pa’ Latoe memberi penjelasan awal: “Jang amat djahat kepada kita ialah orang jang pintar.” Orang bodoh itu malah menguntungkan nasib lalat. Orang bodoh bisa jadi sekutu. Orang pintar itu jahat. Kita mengartikan jahat berbeda dari omongan Cinta kepada Rangga di film berjudul Ada Apa Dengan Cinta 2.
Pada pencarian makan tibalah mereka dekat rumah sakit. Pa’ Latoe berceramah pada Lamoe: “Roemah sakit. Disana ta’ ada makanan bagi kita. Lagi poela, sekalian orang disana amat djahat. Tentoe kita diboenoehnja kalau kita mendekat kesana. Ingatlah, Lamoe, djangan engkau mendekat-dekat keroemah itoe. Roemah-roemah jang bersih pekarangannja, bersih dan terang dapoer dan biliknja, sekali-kali djangan kaumasoeki. Orang jang tinggal diroemah sematjam itoe amat djahat…” Ceramah mengejek manusia sadar kebersihan. Manusia jenis itu jahat. Ah, sindiran kurang lucu! Lalat bersekutu dengan orang bodoh, memusuhi manusia pintar. Kita mengingat masa revolusi. Indonesia masih memiliki jutaan orang “dibodohkan” oleh kebijakan kolonial. Mereka mungkin bakal sakit dan merana oleh lalat-lalat nakal. Kebodohan itu diusahakan berkurang dan diatasi oleh pemerintah dengan kerja besar di sekian kementerian.
Buku mengaku berisi cerita-cerita lucu kadang membikin ngekek dan ragu. Buku memiliki 48 halaman, kita jangan berharap “membeli” lucu mengenai kacang goreng. Oh, penulis ingin orang membaca buku sambil makan goreng! Buku berjudul lucu belum tentu lucu. Kita maklum mutu lucu di Indonesia setahun setelah merdeka tak harus seperti lucu-lucu seperti terselenggara di pelbagai acara dan bacaan abad XXI. Lucu berpihak ke bijak berbeda dengan lucu “biadab” di masa sekarang. Begitu. 




Biografi: Desa dan Kota


Biografi:
Desa dan Kota

Bandung Mawardi


Indonesia, 1947. Kita mengingat peristiwa-peristiwa politik atau militer. Tahun itu mengingat desa dan lagu? Tahun-tahun menghasilkan sejarah-sejarah besar. Orang-orang memiliki peristiwa dan biografi tapi terlupa jika tak diceritakan. Pada 1947, sebelum dan setelah, ada pengisahan tokoh di desa. Tokoh membentuk biografi di adab persawahan, sebelum pergi ke kota untuk sekolah.
Kita selingi dulu dengan 2019. Di Kompas, 25 April 2019, tulisan mengenai sosok bernama Ubun Kubarsah. Tulisan berjudul “Nada Setia Lagu Anak Sunda.” Pada abad XXI, bocah-bocah terlalu sering meniru seni-hiburan dari negeri-negeri asing. Mereka senang! Di mata Ubun Kubarsah, ada perkara genting! Bocah-bocah tak lagi melantunkan lagu-lagu berbahasa Sunda. Ia memilih menggubah lagu-lagu dipersembahkan ke bocah, bermaksud mengurangi kecanduan mereka pada segala hal bercap Korea Selatan.
Lagu-lagu itu dipentaskan di Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat. “Semuanya berbahasa Sunda dengan tiga langgam. Alunan musiknya khas menggunakan suling, angklung, juga gendang,” tulis di Kompas. Pesan di lagu berkaitan pendidikan karakter. Di akhir tulisan, Ubun Kubarsah berpesan: “Saya berharap para komponis dapat berkolaborasi menggubah lagu-lagu anak berbasis daerah asalnya. Pemerintah daerah pun terpanggil melakukan hal serupa. Ini rencana besar meningkatkan kualitas peradaban bangsa kita lewat lagu-lagu anak.”
Pada 2019, lagu bocah berbahasa Sunda diacarakan dan diinginkan memberi pesan-pesan luhur. Eh, ikhtiar seni itu terlalu cepat dihubungkan ke pemerintah. Kita kadang prihatin dengan para seniman sambat atau menuntut ke pemerintah. Kebiasaan itu mungkin “menjatuhkan” derajat seni atau “menguntungkan” pemerintah: merasa mendapat dalih-dalih membuat program dan mengeluarkan anggaran. Seni tak seremeh nalar birokrasi!
Kita tinggal 2019 menuju 1974. Pada tahun itu Pustaka Jaya menerbitkan buku cerita berbahasa Indonesia berjudul Desaku Punya Lagu gubahan Saleh Sastrawinata. Cerita cukup panjang, 86 halaman. Cerita berlangsung di sekitar 1947, berlatar di Pasundan. Judul dikuatkan gambar di sampul: bocah gembala meniup seruling di atas kerbau. Ah, adegan bersahaja di desa. Bocah itu bercaping. Gambar itu sering muncul di buku-buku pelajaran atau lukisan. Pada suatu masa, gambar itu dalam olahan artistik dipilih jadi logo Penerbit Buku Kompas. Gambar di sampul dan isi buku dikerjakan oleh Sofjan.
Para tokoh adalah bocah-bocah di desa, digenapi bocah-bocah di kota. Pada suatu hari, Kabul bermimpi jadi raja. Di mimpi, ia melihat Kohar mau memukul. Ia pun geragapan. Mimpi diceritakan pada bapak. Pada saat bercerita, teman-teman Kabul menguping di balik dinding. Kejutan terjadi setelah Kabul bercerita pada bapak bahwa Kohar ingin memukul gara-gara ia tak mau diajak mencuri mentimun di kebun milik bapak Husin. Kohar mendengar itu menahan marah. Ia ketahuan oleh teman-teman sebagai pencuri mentimun.
Cerita Kabul pada bapak mau rampung. Di balik dinding, ada bocah kentut mengeluarkan bau bacin. Mereka saling menuduh dan berlarian pergi. Kohar marah dan melemparkan batu ke dinding rumah Kabul, sebelum ikut berlari. Bocah-bocah itu berlari sambil bersenandung:

Bul, Bul, o-o-o si Kabul
Mulutnya sebesar bakul
Kepalanya benjol gundul
Dimakan macan tutul

Bul, Bul, ya-ya-ya si Kabul
Menjadi raja Istambul
Naik kuda kayu timbul
Nyandang tombak gagang pacul

Lagu berbahasa Indonesia. Ngawur dan lucu! Pembaca menduga lagu itu dimaksudkan menambahi kelucuan cerita. Kita sulit mengakui bocah-bocah itu sudah janjian dulu membuat dan latihan bersenandung bersama untuk mengejek Kabul. Di mimpi, Kabul memang bermimpi jadi raja. Di lagu, ketahuan ada julukan “raja Istambul”. Lagu itu lucu, tak harus bermakna. Pendengar jangan meminta ada pesan moral atau pendidikan karakter. Bocah bersenandung kadang ingin iseng, hiburan, dan senang.
Bocah-bocah berlagu lucu itu tak mengerti perasaan Kabul. Kepergian dan lagu mereka membuat Kabul marah. Ia sering diremehkan dan diejek Kohar. Ia memang anak miskin tapi tak ingin dihinakan dalam pergaulan di desa. Kohar memang anak dari keluarga berada. Kabul ingin menghajar Kohar! Bapak mendengar keinginan itu tanpa ada keinginan “melarang”. Pemikiran bapak: “Tapi biarlah! Ia anak laki-laki. Sekali-sekali ia harus berani berkelahi membela diri!” Wah, bapak sedang memberi restu dan ujian bagi Kabul. Lelaki berhak mengurusi kehormatan dengan berkelahi: menang atau kalah.
Sikap itu ada di buku cerita tanpa disensor. Kita malah menganggap aneh jika ada sensor. Berkelahi itu sesuai patokan moral atau karakter seperti diinginkan para pejabat, guru, dan kaum moralis? Berkelahi di kalangan bocah itu “penting” dan berhikmah. Perkelahian pun terjadi keesokan hari: “Akan tetapi tiba-tiba si Kohar dan teman-temannya datang. Mereka menyanyi-nyanyi seperti kemarin. Mereka tertawa-tawa menghinakan si Kabul di depan rumahnya.” Adegan perkelahian seru. Kohar tak berkutik. Kabul meraih kemenangan: “Sebaliknya si Kabul. Biarpun badannya kurus, tapi tenaganya lebih dari pada memadai untuk membuat si Kohar tidak berdaya. Sebab, si Kabul biasa bekerja berat di sawah atau di ladang. Mencangkul, mengangkat batu atau bambu.”
Di hati, Kabul mengaku tak suka berkelahi. Peristiwa itu gara-gara Kohar “sangat besar kepala.” Kemenangan tanpa hadiah atau tepuk tangan. Kabul malah merasa bersalah. Ia itu bocah santun, berbakti, dan pintar. Eh, bocah lelaki tanpa sejarah berkelahi mungkin tak lengkap. Di sekolah atau kampung, bocah-bocah berkelahi itu kelumrahan asal kita tak tergesa membuka undang-undang, lembaran seruan pemerintah, atau dalil-dalil hak asasi manusia khusus anak.
Perkelahian mengajarkan pada bocah-bocah sikap berdamai melalui maaf. Saleh Sastrawinata mengurai hikmah dalam peristiwa khas desa. Bocah-bocah berkumpul di sawah ingin mengikuti kenduri panenan. Peristiwa di sekitar 1947 saat Indonesia sedang bergerak mulia, tak mau lagi diperintah oleh negara-negara asing dengan kolonialisme atau imperialisme.
Menit-menit menanti para ibu menata makanan, bocah-bocah di sawah bermain girang. Adegan pantas dikangeni bocah-bocah di abad XXI: “Si Husin mendapatkan si Ujer dan teman-temannya. Tampak olehnya si Ujer sedang membuat wayang-wayangan dari batang padi. Si Hasan membuat seruling. Juga dari batang padi. Si Tahir membuat kolecer atau baling-baling.” Di sebelah mereka, ada peristiwa milik masa lalu: “Anak-anak kecil bermain kuda-kudaan. Mereka saling gendong hilir-mudik. Bukan main ramainya jika mereka berteriak-teriak dan tertawa-tawa. Terkadang timbul juga pertengkaran. Atau perang mulut jika ada yang main curang.” Bermain itu capek tapi menggembirakan. Di situ pula, Husin jadi pengusul dan penentu agar Kabul dan Kohar berdama. Husin mengingat pesan ibu: “Ibuku bilang kalau hati kita senang gembira, makanan kita rasanya bertambah sedap.” Nah, pesan kebajikan dimunculkan dengan adegan Kohar dan Kabul bersalaman, sebelum mereka makan bersama. Kita salut dengan ulah dan bahasa mereka dalam merampungi masalah dan menguatkan kebersamaan di desa.
Pada suatu hari, Kabul berpamitan pada teman-teman. Ia pergi ke kota, ikut paman. Di Kuningan, ia bersekolah agar memiliki jalan mengubah nasib. Kabul lekas menemukan teman di kota. Teman itu bernama Akip. Dua bocah bercakap. Kabul berkata: “Man Sumanta pernah bercerita  kepadaku. Katanya, ayahmu bukan orang Sunda.” Akip menjawab lugas: “Ayahku berasal dari kota Palembang. Ibuku orang Kuningan tulen. Ayahku sudah lama tinggal di kota ini. Dan aku lahir di sini.” Kabul melanjutkan omong: “O, begitu? Jadi, engkau anak apa namanya? Anak Sumatra atau anak Sunda?” Jawaban bermutu dan cerdas dari Akip: Anak Indonesia tentunya!”
Pembaca buku berjudul Pahlawan-Pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik garapan S Sasaki Shiraishi (2009) tak bakal menemukan buku cerita itu menjadi referensi. Perkara mengartikan anak (di) Indonesia cenderung memilih lokasi di Jakarta. Sasaki Shiraishi melihat anak-anak di Jakarta, belum tekun mengamati anak-anak di desa atau anak desa berpindah ke kota tapi tetap berwatak desa. Tanggapan Sasaki Shiraisi setelah melihat lakon anak Indonesia di Jakarta siang hari: “Anak-anak itu tidak mengenal lelah dan tidak peduli panas matahari.” Kabul dan Akip absen dari disertasi apik dan penting bagi kita ingin mengerti Indonesia. Disertasi persembahan sarjana dari Jepang.
Selama di desa, Kabul hidup miskin bersama bapak. Ibu telah lama tiada. Di kota, ia diasuh paman dan bibi. Bersekolah memberi suasana dan pemikiran berbeda, tak selalu diri mengacu ke sawah. Nah, judul buku cerita gubahan Saleh Sastrawinata mulai terasa di percakapan Kabul dan paman. Semula, Kabul penasaran dengan kebiasaan bocah-bocah mengawih Ayang-ayang gung. Di buku, pembaca bisa simak itu berbahasa Sunda:

Ayang-ayang-gung, gung
Gung goongna rame, me
Menak Ki Mas Tanu, nu
Nu jadi wadana, na
Naha mana kitu, tu
Tukang olo-olo, lo
Loba anu giruk, ruk
Ruket jeung Kumpeni, ni
Niat jadi pangkat, kat
Katon kagorengan, ngan
Ngantos Kangjeng Dalem, lem
Lempa lempi lempong
Ngadu pipi jeung nu ompong

Pembaca penasaran ingin mengetahui arti. Kabul berperan menjadi peminta tafsir pada paman. Kita turut simak saja:  “Ki Mas Tanu seorang menak. Arti Tanu yang sebenarnya adalah bunglon. Pangkat Ki Mas Tanu ialah Wedana. Perangainya angkuh terhadap rakyat kecil. Tapi penjilat terhadap atasannya. Tabiatnya seperti orang munafik… Ki Mas Tanu ingin benar naik pangkat. Oleh karena itu ia mencari muka pada Kompeni. Apa saja yang dikehendaki oleh Kompeni, selalu dilayani oleh Ki Mas Tanu. Sekalipun harus menindas rakyat kecil. Untuk dapat naik pangkat harus ada usul dari Bupati atau Kangjeng Dalem kepada Kompeni. Oleh karena itu Ki Mas Tanu mencari muka juga pada Bupati. Ia mengharapkan benar bantuan Bupati. Tapi malang bagi Ki Mas Tanu. Sebab, perbuatannya yang buruk itu diketahui oleh rakyat atau orang banyak. Sehingga rakyat menjadi gempar dan membenci Ki Mas Tanu.” Cerita mengandung sejarah dan pesan bijak. Kabul mengerti bahwa bersekolah membuat pandai dan mengantar ke pekerjaan terhormat. Ia tak mau meniru Ki Mas Tanu.
Selama di desa, Kabul mengalami hidup dengan pergaulan dan makna mengajarkan kesederhanaan dan kebersamaan. Selama bersekolah dan tinggal di kota, ia mengerti tentang hasrat orang-orang ingin memiliki pekerjaan atau jabatan dengan gaji besar. Segala cara ditempuh demi gengsi. Di kota, Kabul semakin berilmu tapi tetap merindui desa. Ia ingin tetap bersahaja jika menuruti jalan pendidikan dan pekerjaan di kota. Pada penafsiran paman, ia mengerti diri dan pangkat. Ia pun mengingat lagu-lagu para bocah selama di desa: amburadul dan lucu. Lagu untuk acuan mengerti manusia dan segala pamrih di dunia. Begitu.

Binatang Itu Jinak


Binatang Itu Jinak

Bandung Mawardi


Kesusastraan anak di Indonesia belum memiliki tambahan para sarjana ampuh seperti Riris K Toha Sarumpaet, Murti Bunanta, dan Christantiowati. Mereka sudah menulis buku-buku bermutu, menunggu buku-buku lanjutan meralat dan melengkapi. Sekian studi sering buku berisi dongeng, puisi, cerita pendek, atau novel. Peristiwa mendongeng turut diperbincangkan berkaitan gairah imajinasi bocah. Buku terpilih di studi digenapi mendongeng. Sandiwara?
Peristiwa disebut sandiwara, drama, atau teater masih jarang dipilih dalam studi kesusastraan anak. Kesejarah buku sandiwara untuk dibaca dan dipentaskan memang belum berlangsung lama. Di sejarah seni di Indonesia, pentas sandiwara bocah teranggap baru. Dulu, sejarah di panggung sandiwara sering milik kaum dewasa, termasuk pula kesejarahan film dan panggung musik.
Sejarah bacaan anak jarang sandiwara. Penulisan dan penerbitan buku itu mungkin tak terlalu diminati bocah, sulit terbaca atau diangankan terjadi di panggung. Cerita-cerita di puluhan buku berbentuk percakapan sudah ada sejak lama. Percakapan itu belum tentu memenuhi kaidah-kaidah disandiwarakan. Ajakan mengerti sandiwara berlaku pula di buku-buku pelajaran bahasa Indonesia, sejak SD. Di situ, pelajaran drama secuil saja meski kadang ada suruhan praktek. Murid-murid membuat kelompok untuk pementasan drama singkat sesuai selera di buku pelajaran atau menggunakan saduran dari dongeng-dongeng lokal. Selama puluhan tahun, para penulis buku pelajaran dan guru mengaku sangat sulit mencari buku drama atau sandiwara untuk anak-anak. Pengakuan terlalu cepat jika mereka tak pernah (mau) mencari buku-buku di perpustakaan atau di pasar buku loak.
Kita membuka buku garapan Christantiowati berjudul Bacaan Anak Indonesia Tempo Doeloe (1996). Daftar buku bacaan anak di situ ratusan tapi kesulitan menemukan buku-buku bacaan untuk disandiwarakan sudah beredar sejak masa kolonial. Pada 1908-1945, bocah-bocah bumiputra belum berada di panggung-panggung sandiwara meski mereka terwarisi seni-seni tradisional bermuatan sandiwara. Kaidah-kaidah “baru” belum dimiliki di pementasan sandiwara modern. Di seni-seni tradisional, unsur-unsur drama sudah dimengerti oleh bocah-bocah tapi berbeda dengan kedatangan sandiwara dari negeri-negeri asing.
Pada abad XXI, sandiwara anak mulai meriah di pelbagai sekolah dan komunitas. Pentas-pentas teater anak diselenggarkan di gedung kesenian dan tempat-tempat terhormat, tak selalu di panggung sekolah atau panggung tujuhbelasan. Teater anak Indonesia malah sering mendapat penghargaan di pelbagai festival teater taraf internasional. Orang-orang mengingat tokoh penting di perkembangan teater anak adalah Jose Rizal Manua. Sekian naskah sudah digarap di puluhan pentas teater. Sekian naskah belum tentu terbit jadi buku. Sekian pementasan belum tentu bermula dari buku sandiwara pernah terbit. Perkembangan teater bocah belum beriringan penerbitan buku-buku untuk disandiwarakan kaum bocah.
Buku berselera kesusastraan anak cenderung berhubungan dengan mendongeng. Nah, para pendongeng kadang menggunakan kaidah teater tapi tak penuh. Mendongeng mungkin gampang diselenggarkan ketimbang pentas sandiwara. Keberpihakan ke mendongeng demi perangsang imajinasi bocah agar terkait ke buku bisa dipelajari di buku berjudul Buku, Mendongeng, dan Minat Membaca (2008) susunan Murti Bunanta. Kita mencuplik penjelasan di buku: “Mendongeng atau bercerita dapat dilakukan dengan teks, yaitu membacakan buku atau bisa juga tanpa teks. Masing-masing mempunyai keuntungannya sendiri-sendiri. Sebaiknya, dilakukan bergantian. Membaca buku erat kaitannya dengan meningkatkan kemampuan dan minat baca anak, sedangkan mendongeng tanpa buku erat kaitannya dengan meningkatkan rasa percaya diri pendongeng dan anak didik.”
Kita bergerak ke sandiwara, drama, atau teater berkaitan dengan buku. Pada 1984, terbit buku garapan Mas Bilal berjudul Si Jinak. Buku diterbitkan oleh Rosda Jayaputra, Jakarta. Buku tipis, 36 halaman. Gambar-gambar di buku dikerjakan oleh Hidayat Said. Pada 1984, buku itu cetak ulang kedua dengan mendapatkan stempel pemerintah. Buku pasti beredar di perpustakaan-perpustaan sekolah dan umum di seantero Indonesia. Buku mendapat keterangan: “drama anak-anak.” Para bocah gemar puisi, cerita pendek, atau novel jangan cemberut mendapatkan buku “drama anak-anak”. Buku jenis itu penting dan langka di Indonesia. Para penulis naskah teater mumpuni di Indonesia belum tentu mau mengerjakan naskah untuk anak-anak. Di Indonesia, kita mengenal mereka: Usmar Ismail, Asrul Sani, Motinggo Busye, Rendra, Kirdjomuljo, Arifin C Noor, Putu Wijaya, Saini KM, N Riantiarno, dan lain-lain.
Siapa itu Mas Bilah? Kita belum mengenal dan membuktikan kemampuan di pernaskahan atau pementasan drama. Mas Bilal mungkin nama samara atau nama panggilan. Di buku, pembaca tak mendapatkan nama lengkap atau data singkat penulis. Mas Bilal anggaplah bukan tokoh kondang tapi berpahala dengan mau menulis drama anak-anak.
Petunjuk teknis minta dipahami bila buku itu mau dipentaskan anak-anak: “Sandiwara ini dimulai dengan Yanti, anak perempuan, berdiri di antara para hewan piarannya, seperti ayam, bebek, katak, dan kelinci. Membentuk sedemikian rupa.” Pembaca bingung? Di desa atau kampung, tiga hewan itu lazim jadi piaraan untuk dimanfaatkan daging dan telur. Eh, katak sudah mulai termasuk hewan piaraan.
Kalimat-kalimat para tokoh di drama diharuskan sederhana dan mudah dihapalkan. Kita jangan menuntut kalimat-kalimat mereka puitis dan filosofis. Bocah pemeran jangan digoda untuk berkalimat seperti para tokoh di sinetron dan film buruk diputar di Indonesia. Kita kadang senewen mendengar ucapan-ucapan para bocah di sinetron dan film seperti berlebihan dan dipaksakan memukau.
Kita pilih contoh sederhana saja di kalimat-kalimat diucapkan Yanti: “Selamat datang kawan-kawan yang baik, terima kasih atas kehadiran Anda kali ini. Kami kembali bermain sandiwara dan kali ini kami bawakan kepada Anda sekalian kecintaan pada sesama makhluk Tuhan, yang bernama hewan-hewan. Yanti, itulah panggilanku. Dan kesukaanku memelihara segala macam hewan, yang di sini dapar Anda semuanya menyaksikannya.” Perkenalan biasa saja tapi wagu gara-gara sapaan “anda” ke penonton.
Perkenalan Yanti dilanjutkan perkenalan ke para binatang. Cara itu memungkinkan penonton belajar kebiasaan binatang. Pengetahuan sudah diperoleh di buku pelajaran, lagu, atau cerita orangtua. Di sandiwara, perkenalan binatang diinginkan berbeda di imajinasi. Perkenalan bebek: “Pagi hari mereka berbunyi kwek kwek kwek. Sore hari mereka berbunyi kwek kwek kwek. Telurnya kami kumpulkan sore dan pagi. Sepuluh sampai limabelas butir hasilnya setiap hari. Ke sungai kecil mereka kami bawa sekali-kali supaya bebek itu berenang-renang berenang hati.” Bebek di situ berbeda dengan bebek dilihat lucu di film kartun asal Amerika Serikat.
Pada suatu hari, Yanti tidur dan bermimpi. Ia bertemu putri malaikat. Yanti mendapat pujian. Ia dianggap bocah baik dengan memelihara hewan-hewan. Putri malaikat ingin memberi hadiah atas kebaikan Yanti. Hadiah itu hewan “dapat diajak dan diajar seperti manusia.” Yanti merasa terhormat mendapat hadiah meski melakukan kebaikan tak harus dihadiahi. Putri malaikat berkata: “Anak manis, kau harus cerdas dan lebih rajin. Betul, sebentar lagi kau akan mendapatkan tambahan kawan dari hewan-hewan yang kau pelihara dan sebaiknya hewan yang kau temui itu berilah nama Si Jinak.”
Pembaca masih bocah mulai belajar bahasa Indonesia lagi. Di buku pelajaran, ada materi antonim: jinak-buas. Pembaca sekarang bisa membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia untuk mendapatkan pengertian “resmi”. Jinak berarti “tidak liar, tidak buas, tidak garang, tidak galak” atau “tidak malu-malu, tidak segan-segan, tidak takut-takut lagi” atau “tidak keras sepak terjangnya, tidak revolusioner.” Buas berarti “galak, liar, ganas, bengis, kejam.” Kita tak usah menambahi repot “menggugat” atau menambahi arti jinak dan buas. Pembuat kamus sudah capek dan memiliki kesibukan besar belum rampung-rampung.
Si Jinak dalam drama itu anjing hutan. Hadiah untuk Yanti adalah aning hutan tapi harus dinamai Si Jinak. Aneh. Kedatangan anjing hutan menimbulkan rebut para binataan piaraan dan keluarga Yanti. Sang kakak mengingatkan: “Lihat, hewan-hewanmu sama tambah rebut. Yanti, kau harus lebih kasih dengan hewan-hewanmu yang lain dari seekor anjing hutan yang baru saja datang.” Yanti mengingat pesan di mimpi, memberi jawab santun: “Yanti mencintai semuanya, Kak. Dan anjing ini Yanti yakin akan dapat menjadi teman dan saudara bermain di rumah kita. Kak, percayalah.” Pada hitungan hari, Si Jinak sudah bermain bersama ayam, bebek, kelinci, dan katak. Mereka beradegan sedang bermain lempar bola.
Pada suatu hari, Si Jinak berkeliaran di hutan. Anjing hutan berkeliaran di hutan. Pembaca jangan kaget. Di hutan, ada si pemburu. Tanda cerita mau selesai. Pemburu itu menembak Si Jinak. Kena! Matilah Si Jinak. Pemburu menembak berdalih bahwa anjing hutan itu “telah melahap ayam dan bebekku.” Yanti mengetahui Si Jinak terkapar. Bersedih. Yanti menangisi Si Jinak. Pemburu kaget dengan ulah Yanti. Kenapa? Yanti menjawab bahwa Si Jinak bukan pelaku seperti tuduhan pemburu.
Cerita memang berakhir. Drama anak jangan lama seperti film Avengers: Endgame, 3 jam. Pentas cukup 30 atau 60 menit. Di akhir cerita, Yanti berucap: “Tuhan yang baik, terimalah anjing kesayanganku ini.” Drama anak jangan kata-kata diucapkan saja. Lagu itu perlu. Lagu di akhir pentas: telah tiada sahabat kita/ telah pergi untuk selamanya/ untuk tanda pada manusia/ suka teliti dan cermat jua// selamat jalan, kawan/ selamat dan bahagia/ selamat jalan, kawan/ selamat dan bahagia. Selesai. Penonton bertepuk tangan. Pembaca buku boleh juga bertepuk tangan, mengangguk, atau mengusap airmata di pipi.
Buku drama anak-anak itu pernah terbit. Buku petunjuk bermain drama untuk anak-anak? Dulu, Rendra pernah membuat buku apik mengenai pengantar bermain drama untuk remaja. Buku terbitan Pustaka Jaya itu laris, turut memberi acuan bagi remaja-remaja di Jakarta dan pelbagai kota membentuk kelompok teater dan mengadakan pentas di festival-festival. Para bocah mungkin bisa membaca buku garapan Rendra.
Bocah tentu kesulitan jika mau mementaskan Si Jinak dengan membaca buku berjudul Pengantar Bermain Drama (1985) susunan Adjib Hamzah. Buku tebal. Di situ, penerbit memberi pengantar: “Bermain drama merupakan permainan yang sangat populer. Sejak kecil, anak-anak sudah biasa bermain drama, baik sendirin, bersama saudara-saudaranya atau dengan kawan-kawannya. Bermain ibu-ibuan, dagang-dagangan, sekolah-sekolahan, pada hakikatnya bermain drama.” Ingatan itu berlaku bagi kita pernah mengalami menjadi bocah di desa atau kampung.    
Di bab bermain drama anak-anak, Adjib Hamzah menerangkan: “Pada umumnya anak-anak memiliki ingatan yang tajam. Mereka cepat menghafal. Akan tetapi kita mengetahui dari pengalaman bahwa seseorang yang hafal teks tidak selamanya bisa dijadikan jaminan mampu bermain baik. Bermain drama tidak hanya menyangkut kesanggupan melepaskan dialog yang dihafal saja melainkan bertitik berat pada kemampuan akting.” Kita akhiri petunjuk-petunjuk itu dengan peristiwa datang ke toko buku ingin mencari buku drama anak-anak. Kita tak boleh marah dan menangis jika buku-buku itu tak ada di rak. Begitu.