Wednesday, April 24, 2019

Kecantikan, Kematian, Kegilaan


Kecantikan, Kematian, Kegilaan

Bandung Mawardi


Di sampul buku bagian belakang, dipasang keterangan: “Cerita Panji sangat terkenal di daerah asalnya, di sekitar Kediri. Siapa tidak akan sedih bila seseorang ditinggal mati kekasihnya? Lebih sedih lagi adalah Raden Panjikudawaningpati kehilangan Dewi Anggreini, kekasihnya. Sedangkan kematian itu atas usaha Sri Baginda, ayah Raden Panji sendiri karena tidak menyetujui perhubungan mereka.”
Di sampul depan, ada stempel negara dan pemberitahuan: “Khusus SD Inpres 73/74 dan SPG Negeri.” Buku diongkosi pemerintah untuk bacaan bagi SD dan sekolah calon guru. Ongkos cetak ribuan eksemplar buku berjudul Dewi Candrakirana pastilah jutaan rupiah. Buku ditulis atau diceritakan ulang oleh Uliah S. Penerbit buku adalah Indra Press. Kaum lawas ingat Indra Press berarti ingat majalah Si Kuncung. Buku cetak pertama (1974) dan cetak kedua (1977). Buku mewariskan cerita-cerita pernah dilisankan, disenandungkan, dan dipentaskan oleh orang-orang di Jawa dan Asia Tenggara. Pada edisi buku, cerita bakal memiliki pesona asal ada kemahiran bahasa.
Kita tunda dulu masuk ke buku berjudul Dewi Candrakirana. Bukalah dulu buku berjuduk Tjerita Pandji dalam Perbandingan susunan Poerbatjaraka. Buku hasil terjemahan Zuber Usman dan HB Jassin, terbitan Gunung Agung, Jakarta, 1968. Buku kelas berat! Poerbatjaraka menerangkan: “Jang mula-mula sekali membitjarakan Pandji dari sudut kesusastraan ialah Dr Cohen Stuart dalam karangannja Djajalengkara. Sebagai suatu tjerita jang berdiri sendiri, pengalaman-pengalaman Pandji dimuat dalam teks jang diterbitkan oleh Roorda, bersama-sama dengan dua buah tjerita wajang. Teks jang sama, tetapi tanpa kedua tjerita wajang, kemudian diterbitkan pula kembali oleh Dr Gunning. Sedjak itu tjerita-tjerita Pandji mendapat perhatian jang menggembirakan dan tak habis-habisnja dari para sardjana ahli.” Publikasi cetak modern sudah dimulai sejak pertengahan abad XIX. Penerbitan di negeri asing, belum di Nusantara.
Cerita Panji dijadikan riset dan disunting para sarjana asing (Belanda) saat Jawa masih berlakon penjajahan. Di mata para sarjana, Jawa dan Melayu itu mahacerita, sumber dari suguhan kesusastraan memukau dan “mengabadi”. Politik colonial berlangsung tapi kerja-kerja intelektual memiliki jalan agak lurus direstui pemerintah kolonial, universitas-universitas di Belanda, dan elite di Jawa.
Deretan nama dari negeri penjajah menentukan pengetahuan kita mengenai cerita Panji. Poerbatjaraka mencatat: “Suatu singkatan tjerita jang pendek tentang Pandji Semirang telah diberikan oleh Dr Juynboll dalam katalogusnja, sedang Prof van Ronkel dalam katalogusnja menundjuk pula kepada singkatan tjerita Juynboll itu dan sebuah ringkasan tjerita (berupa naskah) jang ditulis oleh Dr Brandes. Naskah Brandes itu sekarang masih terdapat dalam berkas nomor 66 diantara peninggalan-peninggalan sardjana ini, bersama singkatan tjerita pendek-pendek tentang tjerita-tjerita Pandji jang lain, djuga tjerita Pandji Jawa.”
Sejak ratusan tahun lalu, cerita Panji berkembang dan diwariskan di Jawa dan Asia Tenggara. Pengaruh meluas ke pelbagai negeri. Cerita Panji seperti jadi “pengikat” sejarah kesusastraan di Asia Tenggara. Kita mengetahui itu melalui buku berjudul Peradaban Pesisir: Menuju Sejarah Budaya Asia Tenggara (2009) Adrian Vickers. Cerita Panji itu medium mengabarkan dan menghubungkan norma kultural melalui modifikasi atau penciptaan kembali di pelbagai ruang pesisir Asia Tenggara: Jawa, Sumatra, Semenanjung Melayu, Thailand, Burma, Bali, Lombok, Sulawesi Selatan. Sebaran cerita Panji sanggup melahirkan model pembentukan gagasan tentang “Jawa” dan “Melayu.” Riset-riset cerita Panji terus berlangsung sampai abad XXI. Para sarjana asing tak jemu mengerti dan mempelajari cerita Panji. Ketekunan mereka mungkin sulit ditandingi para sarjana Indonesia.
Kita mulai masuk ke buku untuk murid-murid SD. Bacaan mengenai Panji dalam 48 halaman. Di sekian halaman, kita melihat ilustrasi buatan Hidayat Said. Ulkiah bercerita: “Suatu hari Raden Panji pulang berburu diiringkan oleh beberapa orang pengawal istana. Hari amat panas, Raden Panji merasa haus sekali. Rombongan Raden Panji berjalan melewati tempat kediaman Patih Kudanawarsa. Ketika itu Patih sedang berada di halaman rumahnya.” Peristiwa itu menentukan lakon kecantikan, kematian, dan kegilaan. Murid SD membaca buku untuk “terlena” di tema-tema besar: asmara dan perang. Bocah memang harus mengerti sastra masa lalu meski berpusat ke kerajaan dan penokohan elite ketimbang jelata.
Di rumah Patih, Raden Panji mendapat suguhan minuman oleh Angreni. Gadis cantik, putri dari Patih. Gadis itu mengubah nasib Raden Panji di pandangan berkesan: “Raden Panji terkejut, ia sangat terpesona melihat kecantikan Angreni. Kedua matanya tak lepas memandang wajah Angreni yang lembut sayu. Angreni menjadi gelisah, wajahnya merah karena malu. Ia tersipu-sipu sambil menundukkan kepalanya.” Duh, lelaki bernama Panji itu gampang terjerat asmara! Ia melek dengan kecantikan. Kagum kebangetan! Sejak awal cerita, murid berhak berimajinasi jadi Panji atau Angreni. Pada masa sekarang, mereka bisa membandingkan dengan artis-artis paling ganteng dan cantik. Eh, apa kecantikan Angreni seperti Dian Sastrowardoyo, Laura Basuki, Syahrini, Maudy Ayunda, atau Nella Kharisma? Dulu, Angreni pintar memasak dan mengurusi rumah, belum diceritakan senang bersenandung, main film, rajin jadi bintang iklan, atau berjoget. Angreini pun belum rajin berfoto, piknik ke luar negeri, atau masuk di acara gosip. Angreni itu perempuan idaman.
Pertemuan sejenak menghasilkan keputusan besar dan mendadak. Raden Panji ingin menikahi Angreni. Oh, tata cara gampang banget ketimbang kita mengingat cerita di film-film mengaku romantik di Indonesia! Ingat, Panji-Angreni bukan sedang berada dalam roman picisan. Di situ, ada ketulusan dan keluguan. Urusan menikah tak perlu harus menunggu lagu Java Jive, Kahitna, Payung Teduh, atau Dewa. Dulu, asmara belum bergantung industri musik mengumbar perasaan-perasaan berlebihan.
Raden Panji sudah ditunangkan dengan Dewi Sekartaji, putri Raja Kediri. Pertunangan sejak mereka masih bocah. Eh, Raden Panji malah menikahi Angreni. Berita pernikahan itu membuat Raja Kediri marah, ingin mengadakan perang dengan Jenggala. Pernikahan itu menghina kesepakatan sejak lama. Murka Raja Kediri: “Tidakkah ini suatu penghinaan untukku? Tidakkah Raja Jenggala telah menyalahi kata-katanya? Patutkah seorang Raja agung dan berwibawa melanggar janjinya?” Keinginan perang bisa dibatalkan oleh siasat pertapa bernama Resi Kilisuci. Ia menjadi penengah dan menenangkan.
Muslihat pun diselenggarakan. Raja Jenggala meminta Raden Panji mengiringkan Resi Kilisuci kembali ke hutan Kepucangan. Di luar pengetahuan Raden Panji, Raja dituduh agung tapi melanggar janji itu menjalan rencana kematian. Raja meminta Angreni dibawa ke hutan. Tumenggung Brajanata ditugasi membunuh Angreni. Siasat jahat memuluskan rencana dua raja menikahkan Raden Panji dengan Dewi Sekartaji. Kematian harus ada.
Di hutan sepi, Tumenggung Brajanata tak tega membunuh Angreni dengan sebilah keris. Ia menjelaskan dulu dilema ditanggung akibat perintah raja. Angreni maklum dan sadar memiliki nasib buruk. Angreni ikhlas di muslihat raja. Pembaca masih bocah lekas sampai ke adegan penuh keharuan: “Tiba-tiba, tanpa disadari Brajanata, Angreni menubruk keris yang sedang dihunus oleh Brajanata. Angreni roboh dan tewas seketika.” Ah! Brajanat berduka tanpa ujung. Ia pun mengubur Angreni dengan terhormat: “Mayat Angreni dan pengasuhnya oleh Brajanata dikuburkan di bawah pohon angsoka. Kemudian kedua pusara itu ia timbun dengan daun-daun, sehingga merupakan sebuah bukit unggukan tanah.”
Kembali dari hutan Kepucangan, Raden Panji tak menemukan Angreni. Ia mendapat berita bahwa Angreni sudah mati. Sekian detik setelah mendengar kematian Angreni, Raden Panji menanggung derita dengan hilang ingatan alias mengalami kegilaan. Pembaca mengasihani Raden Panji tanpa harus menangis mengikuti asmara berduka dan politik bengis. Deskripsi kegilaan: “Tiap hari ia berjalan menyusuri sawah dan ladang sambil berteriak-teriak memanggil Angreni. Dedaunan dan bunga-bungaan diajaknya berbicara.” Ia bukan seniman, menanggungkan duka menghasilkan puisi atau lagu. Ia bukan pemain di film India, mengalami kegilaan dengan cerita meminta air mata jutaan penonton.
Di perjalanan ke hutan, Raden Panji melihat gundukan tanah. Ia memerintah para pengawal untuk menggali tanah. Di sana, ada raga Angreni dan pengasuh. Raden Panji dan rombongan bepergian menaiki perahu. Mereka membawa dua raga korban muslihat raja. Di tengah lautan, gelombang menerjang ganas. Orang-orang mengira rombongan itu tenggelam di lautan. Raden Panji pun dikabarkan mati.
Hidup Raden Panji belum selesai. Ia selamat, terdampar di Bali. Pengelanaan pun dimulai berbekal cerita agung. Ia mengubah nama menjadi Kelana Jayengsari menjalankan misi perang demi perang meraih kemenangan agar Angreni bangkit alias hidup lagi. Ia bergairah menuju pertemuan dengan pujaan. Ia memilih perang beradab, bukan perang mengalirkan darah, memicu jeritan, dan menambahi jumlah kuburan. Sampailah ia di Kediri, dimintai bantuan Raja Kediri. Kerajaan mau diserang oleh Raja Gajah Angun-Angun dari Metaun. Kelana Jayengsari mau membantu Raja Kediri dengan “hadiah” Dewi Sekartaji. Kemenangan bakal menjadikan Dewi Sekartaji adalah istri bagi Kelana Jayengsari atau Raden Panji.
Adegan heroik dan lucu dalam perang. Dewi Sekartaji menemui Kelana Jayengsari untuk mendampingi dalam perang. Petikan di cerita: “Kelana Jayengsari menoleh ke belakang ketika ia mendengar teriakan itu. Ia terkejut bukan main! Hampir-hampir ia terjatuh dari atas kudanya. Seluruh badannya gemetar. Matanya berkunang-kunang melihat seorang putri cantik yang sedang berdiri di hadapannya.” Ia tak sadar berkata: “Angreni, oh, Angreni, isteriku. Benarkah engkau ini Angreni yang telah datang kembali? Ah, Angreni engkau benar-benar menjadi lebih cantik dan mempesonakan.” Ia masih selalu teringat Angreni. Di depan, ia berhadapan Dewi Sekartaji mirip banget dengan Angreni. Raden Panji memenangi sekian perang dan menikahlah dengan Dewi Sekartaji.
Kebahagiaan dilengkapi bisikan dari langit. Raden Panji dan Dewi Sekartaji mendengar serius: “Para Dewa tidak menghendaki dua puteri yang kau kasihi berwajah sama. Perpaduan kedua puteri itu bagaikan sebutir cahaya bintang di langit. Angreni bersama inang pengsuhnya turun sejenak ke bumi untuk membuktikan kepadamu bahwa kedua orang puteri yang kau cintai itu telah menjadi satu. Angreni bagaikan cahaya bulan. Sinar cahaya bulan memancar ke wajah Dewi Sekartaji dan menjelma menjadi Dewi Persatuan. Dewi Persatuan itu selanjutnya akan bernama Dewi Candrakirana atau cahaya bulan!” Cerita berakhir. Murid-murid SD mulai mencari hikmah buku dan merenung tentang kecantikan, kematian, dan kegilaan. Semua itu berakhir bahagia. Begitu.



Petaka


Petaka…

Bandung Mawardi


Pada 1980-an, buku bacaan anak berlimpahan di pasar. Konon, Indonesia panen bacaan anak. Situasi itu malah membikin bingung. Di majalah Femina, 9 Agustus 1983, kita membaca laporan berjudul “Cara Jitu Memilih Buku Bacaan Anak”. Kliping penting bagi pembaca dan pengulas bacaan anak, dari masa ke masa. Kejutan di paragraf awal: “Ribuan judul buku bacaan dengan gambar memikat menyerbu anak-anak kita. Di tengah rimba buku bacaan ini, kita–orang tualah–yang jadi bingung. Buku mana yang paling tepat untuk anak kita?” Wah, si pembuat kalimat berimajinasi sedang mengalami perang atau melakukan pengembaraan alam. Kliping itu membantah segala tuduhan bahwa Indonesia kekurangan bacaan anak. Pada 2019, ada novelis kondang (mungkin) sepanjang masa mengatakan Indonesia cuma memiliki sedikit bacaan untuk anak-anak. Ia mungkin khilaf atau berlagak jadi pengamat kepustakaan anak tanpa sangu kliping dan argumentasi.
Pada masa 1980-an, dikabarkan ada ribuan judul. Pada masa 1990-an, jumlah mungkin masih ribuan. Pada abad XXI, seluruh judul bacaan anak pernah terbit di Indonesia sudah mencapai puluhan ribu judul? Siapa sanggup mengoleksi dan membaca semua untuk dibuatkan daftar bacaan bermutu bagi anak-anak, mencakup waktu seratus tahun? Ah, kita masih bakal menunggu lama memiliki perpustakaan khusus bacaan anak atas kemauan pemerintah, universitas, penerbit, intitusi partikelir, atau komunitas sastra. Kita mencatat produsen terbesar bacaan anak adalah Gramedia Pustaka Utama dan Mizan. Pada masa lalu, puluhan atau ratusan penerbit bersaing dan berbarengan mengadakan bacaan anak meski semua belum memiliki tempat terhormat di sejarah penerbitan bacaan anak. Buku itu belum ada!
Pada masa panen bacaan anak, ada kritik wajib disimak dari K Usman. Di penulisan buku anak, K Usman sudah menulis 117 buku. Fantastis! Kita mengutip dari Femina: “Bidang apa saja di negeri ini kebanyakan dipegang oleh pria, termasuk penulisan buku untuk anak.” K Usman itu lelaki keranjingan menulis buku anak. Ia menginginkan penulis buku anak adalah kaum ibu. Anak-anak cenderung dekat dengan ibu. Buku cerita gubahan ibu tentu mengena ke anak ketimbang bapak. Keinginan itu sudah terbukti tapi harus menunggu lama untuk mencatat penulis buku anak pada abad XXI adalah kaum ibu.
Kita kembali mengurusi buku bacaan bergambar. Pada 1974, terbit buku berjudul Naga Berlian garapan Yan Armerun (penulis) dan Fadli Rasyid (ilustrator). Buku tipis dan kecil terbitan Pustaka Jaya. Di sampul, penerbit sudah memberi keterangan: “buku bacaan bergambar”. Buku terbit duluan sebelum pemuatan laporan di Femina (1983). Kita ingin mundur ke masa 1970-an melalui buku sederhana, belum digarap seapik buku-buku terbitan mutakhir dari pelbagai penerbit besar.
Ganbar-gambar belum meriah warna. Di setiap halaman, jumlah kalimat sengaja sedikit tapi jelas. Di halaman 3: “Di tepi hutan belantara, hidup seorang pemuda tampan dan perkasa, Tunggal Mustika namanya. Dia anak tunggal seorang janda miskin, dan sudah tidak berayah lagi. Dia gemar berburu, pandai memanah dan memainkan pedang serta lembing.” Cerita itu memikat anak? Dulu, segala cerita jika bertempat di hutan sering memberi imajinasi keberanian dan pengembaraan bagi bocah-bocah. Hutan berisi pohon dan binatang bermunculan di imajinasi anak. Hutan mungkin asal-usul segala cerita di pelbagai negeri.
Tokoh itu bernama Tunggal Mustika. Sakti. Ia tak berseragam sekolah atau memiliki benda-benda mainan modern. Ia berdandan bersahaja. Ia memiliki senjata panah, bukan mainan. Tunggal Mustika, pemburu. Nah, anak-anak di sekolah mungkin tergoda menjadikan diri adalah pemburu dalam cerita bergambar. Berburu itu seru! Mereka mulai berpikiran bahwa senjata-senjata dalam perburuan bakal melukai atau menewaskan sekian binatang. Berburu itu belum dipikirkan secara bijak. Berburu masih dianggap peristiwa bagi pemberani. Anak-anak ingin jadi pemberani.
Bocah lekas pula mengandaikan jadi pemberani dengan masuk ke hutan-hutan berada di Jawa, Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, dan Papua. Indonesia itu negeri memiliki hutan-hutan pantas jadi ruang cerita dan pembuktian. Eh, Tunggal Mustika masuk hutan, berburu rusa betina. Binatang itu terkapar oleh anak panah dilepaskan Tunggal Mustika. Di hitungan detik, mendadak muncul naga menerkam bangkai Rusa, melarikan ke dalam hutan. Tunggal Mustika ingin memanah si naga. Ah, anak panah sudah habis. Si pemburu dan pemberani itu marah! Pada Tunggal Mustika, pembaca boleh meniru marah menimbulkan dendam kesumat.
Marah disampaikan pada ibu. Tunggal Mustika berjanji mau membunuh naga. Binatang itu telah mengejek dan menjatuhkan martabat si pemburu. Tunggal Mustika berkata ke ibu: “Izinkanlah aku, Ibu. Aku akan menjelajah hutan rimba, menari naga durhaka itu!” Sang ibu melarang dengan cerita sedih. Dulu, bapak Tunggal Mustika berkelana ke rimba tapi tak kembali. Bapak berniat mencari permata berlian peninggalan sebuah kerjaan. Hari demi hari, bapak tak pernah kembali. Pulang menjadi kata hampa. Sang ibu tak ingin Tunggal Mustika bernasib sama.
Si pemberani emoh menuruti nasihat ibu. Ia tetap menuju hutan. Eh, Tunggal Mustika sudah tampak durhaka? Pembaca jangan tergesa menuduh dan mengesahkan kedurhakaan. Hari demi hari, Tunggal Mustika berjalan dengan kemarahan dan janji membunuh naga. Di suatu tempat, ia melihat gubuk tua. Ia diajak masuk oleh tuan rumah, pertapa tua. Mereka bercakap dalam gubuk. Pertapa bercerita: “Ayahmu berhasil menemukan bekas istana kerajaan itu. Ia pun berhasil menemukan permata berlian indah. Dibawanya pulang berpundi-pundi.” Nasib belum untung. Di tengah perjalanan, ia dicegat lelaki bertopeng. Perampokan. Lelaki bertopeng ditawari berlian berwarna merah tapi menolak. Perkelahiran terjadi. Topeng perampok terlepas. Lelaki itu saudara tiri atau paman Tunggal Mustika! Lelaki rakus dan jahat itu berhasil membunuh bapak Tunggal Mustika. Jenazah dibuang ke jurang. Oh, kejam!
Hasil rampokan mau dibawa pulang. Eh, lelaki itu salah arah. Ia malah terus masuk ke dalam hutan. Letih. Lapar. Di hutan, ia melihat ada telur besar tergeletak. Telur itu direbus dan dimakan. Dampak makan telur adalah si perampok berubah menjadi naga menakutkan. Ia terkutuk! Keserakahan dan kejahatan mendapat kutukan menjadi naga. Di tubuh naga, berlian-berlian itu tampak bersinar kala malam. Naga hidup di gua, memancing orang-orang berdatangan ingin mendapatkan berlian.
Tunggal Mustika mendapat petuah dari pertapa agar mendatangi gua. Ia berhak mendapat berlian pernah diperoleh bapak. Berlian didapatkan dengan cara membunuh naga, membunuh paman. Pertapa bilang bahwa roh paman menderita di tubuh naga. Tunggal Mestika diberi pedang untuk pertempuran melawan naga. Sampailah ia ke gua. Terkejut! Di sana, tulang-tulang manusia korban naga.
Terjadilah perkelahian seru. Tunggal Mustika menang dengan menghunjamkan pedang ke jantung naga: “Sesaat tubuh naga itu meregang. Kemudian lemah lunglai, rebah ke tanah dan mati. Sekonyong-konyong berubahlah bangkai naga itu menjadi mayat seorang manusia.” Berlian-berlian berhasil diperoleh lagi. Di perjalanan pulang, Tunggal Mustika menebar sekian berlian ke jurang: tanda bakti pada bapak. Keajaiban terjadi: “Tapi butir-butir berlian yang bertaburan itu berubah menjadi taburan kembang-kembang indah: melati, cempaka, melur, dan anggrek.” Tunggal Mustika berhasil sampai rumah. Berlian-berlian itu menjadikan ia saudagar luhur.
Buku bacaan bergambar itu membuat bocah lega dan “berhore” mengetahui Tunggal Mustika meraih kemenangan dan berlimpah harta tapi luhur. Kita mungkin menunduk setelah rampung membaca cerita. Duh, anak-anak diajak berpikiran berlian! Sejak ribuan tahun lalu, benda-benda menakjubkan memang selalu ada di cerita-cerita terwariskan: emas, berlian, mutiara, dan lain-lain. Pada masa berbeda, bocah membaca buku itu beranjak dewasa. Ia boleh membaca novel berjudul Mutiara gubahan John Steinbeck. Novel kecil dan tipis itu mengingatkan orang-orang mengenai mutiara cenderung sumber petaka ketimbang kebahagiaan. Mutiara itu mengakibatkan fitnah, benci, sengketa, kematian, dan derita. Novel gubahan pengarang tenar asal Amerika Serikat itu anggap saja penambahan tanda seru atas sikap manusia pada benda-benda mulia dan berharga. Begitu.   

Bualan!


Bualan!

Bandung Mawardi


Aman itu milik Indonesia. Lho! Aman bukan persoalan tertib negara-bangsa secara militeristik. Aman itu memang milik sastra Indonesia, sejak masa 1930-an. Ia biasa disebut Aman. Nama panjang: Aman Datuk Madjoindo. Lahir di Sirukam, Solok, Sumatra Barat, 1896. Ia menulis buku anak-anak menggunakan nama Aman. Di buku-buku untuk kalangan dewasa, ia menulis nama A Dt Madjoindo. Ia pernah bekerja menjadi guru dan redaktur di Balai Pustaka. Aman, contoh dari biografi pengarang Indonesia biasa merangkap sebagai guru atau redaktur di penerbitan pemerintah dan partikelir.
Ensiklopedia Sastra Indonesia (2008) susunan Hawe Setiawan dan teman-teman mencantumkan sekian judul buku gubahan A Dt Madjoindo: Sjair Banso Oerai (1931), Meneboes Dosa (1932), Tjerita Malin Dewan dengan Poeteri Boengsoe (1932), Si Tjebol Rindoekan Boelan (1934), Sampaikan Salamkoe Padanja (1935), Sjair Goel Bakawali (1936), Si Doel Anak Betawi (1956), Hikajat Si Miskin (1958), Tjindur Mata (1951), Hikajat Lima Tumenggung (1958), dan Sedjarah Melaju (1959). Daftar panjang itu belum lengkap. Oh, Aman masih menulis sekian buku tapi belum tercatat!
Pada 1935, terbit buku berjudul Sepoeloeh Tjerita Anak-Anak susunan Aman. Buku diterbitkan Balai Pustaka, institusi penting bagi Aman dalam mencari nafkah dan bersastra. Pada 1969, buku itu cetak ulang ketujuh dengan perubahan ejaan, Sepuluh Tjerita Anak-Anak. Buku tetap diterbitkan oleh Balai Pustaka, mencantumkan jumlah eksemplar: I-1935 (1.500), II-1939 (2.000), III-1942 (4.000), IV-1950 (3.000), V-1954 (5.000), VI-1962 (5.000), VII-1969 (5.000). Kita belum membutuhkan kalkulator dalam penjumlahan buku Aman pernah dicetak dan beredar ke para bocah di seantero Indonesia. Buku itu bermutu dan pantas laris, sejak masa 1930-an sampai 1960-an. Buku terus cetak ulang, tak berhenti pada tahun 1969. Perubahan gambar sampul terjadi tanpa mengubah judul. Penggunaan ejaaan baru (1972) tentu diberlakukan. Pada edisi 1969, kita membaca cerita-cerita Aman berhiaskan gambar oleh Hasan Basri.
Kita mulai menikmati cerita berjudul “Anak jang Kasih pada Ibunja.” Cerita mengenai ibu dan bocah berusia 12 tahun. Mereka di kemiskinan. Sejak mula, pembaca mengenali keluarga miskin: “Ia amat kasih pada ibunja. Ibunjapun sangat sajang kepadanja karena anaknja hanja si Elok seorang sadja. Lagi pula anak itu elok lakunja, sebagai namanja, dan menurut apa kata ibunja. Setiap hari ditolongnja ibunja bekerdja disawah dan diladang. Si Elok tiada bersekolah. Ibunja tidak mampu membelandjai si Elok bersekolah karena dia orang miskin. Bapak si Elok sudah lama meninggal dunia. Lagi pula didusunnja tidak ada sekolah, hanja surau tempat mengadji.”
Keluarga miskin tanpa rajin sambat dan menggugat nasib. Mereka berterima dan mengucap terima kasih atas hidup dengan segala cobaan. Cerita berpesan keluhuran: tanggung jawab anak kepada ibu sedang menanggung sakit. Elok mencarikan obat meski dengan uang tak mencukupi. Sikap dan tutur bahasa mampu meluluhkan dokter (tabib) memberikan obat. Semula, obat dibawa oleh Elok itu salah. Dokter tanpa sadar memberikan botol berisi racun. Eh, Elok lari tergesa pulang ke rumah. Di tengah jalan, ia terjatuh. Botol itu pecah. Menangislah! Ia kembali lagi tanpa uang ke rumah dokter. Beruntung! Dokter itu malah lega botol telah pecah ketimbang membunuh orang sedang sakit. Diberikanlah botol obat secara gratis dan mendoakan si ibu lekas sembuh!
Cerita masih bertokoh si miskin terdapat di “Orang Alim jang Malang.” Ia itu miskin alias “sukar hidupnja”. Setiap malam, ia rajin berdoa berharap Tuhan mengentaskan dari “melarat sekarang djuga.” Permintaan berulang menanti dikabulkan. Alkisah, ia bermimpi mendengar perkataan orang berjubah dan berjenggot putih: “Hai, saudara, djikalau saudara betul-betul hendak kaja dan hidup senang, pergilah bertapa kedalam gua batu dikaki gunung itu. Djika tapa saudara baik, nanti saudara akan diberi tiga buah batu keramat. Dengan batu itu saudara minta apa jang berkenan pada hati saudara. Sebentar itu djuga akan tersedia dihadapan saudara apa-apa jang saudara minta.” Petunjuk dituruti demi terlepas dari melarat.
Keinginan orang miskin memang “terlalu”. Ia dan istri merencanakan minta “rumah jang besar beserta kebun bunga-bungaan dan kolam tempat mandinja” dan “emas banjak-banjak, barang lima peti”. Laki-bini miskin itu bingung dengan permintaan dan salah mengerti atas permintaan. Mereka “bertengkar” tak keruan. Tiga batu keramat itu gagal mewujudkan keinginan “terlalu” gara-gara mereka salah ucap. Mereka batal jadi keluarga berlimpahan harta. Tindakan dan bahasa salah mengakibatkan batu keramat tak berfaedah menghasilkan rumah dan emas. Cerita sengaja dilucukan tapi memicu kasihan. Mereka tetap saja miskin mengoleksi sesalan-sesalan.
Lucu terkandung di sekian cerita. Lucu tapi beramanat. Dulu, cerita untuk bocah pantas dijejali nasihat-nasihat. Sastra jadi pengajaran. Cerita tak menghibur saja. Balai Pustaka selaku penerbit tentu ingin buku cerita memiliki pengaruh ke pembaca sesuai patokan buatan pemerintah kolonial. Pemunculan tokoh-tokoh miskin pasti mengingatkan situasi penjajahan memang mengakibatkan kemiskinan tak rampung-rampung. Di cerita, Aman tak memunculkan tanda-tanda bersikap ke kolonialisme tapi pemunculan tokoh-tokoh dan masalah-masalah agak memungkinkan berkaitan dengan nasib tanah jajahan meski tak kentara.
Kita membuka buku berjudul Bacaan Anak Indonesia Tempo Doeloe: Kajian Pendahuluan Periode 1908-1945 (1996) susunan Christantiowati. Pada masa 1930-an, penerbitan buku cerita anak cenderung “menggambarkan kehidupan anak-anak sehari-hari.” Christantiowati memiliki sebutan “fiksi realistis”. Sekian buku apik dikarang oleh penulis Indonesia, bukan selalu terjemahan atau saduran dari buku asal Eropa, Amerika, Arab, India, dan Tiongkok. Aman menjadi pengarang penting dengan penerbitan buku berjudul Sepoeloeh Tjerita Anak-Anak (1935), Si Doel Anak Betawi (1936), dan Pak Djanggoet (1938). Aman berperan sebagai pengarang penting di kesusastraan anak. Nama harus tercatat di buku sejarah atau digunakan untuk nama penghargaan di lomba penulisan cerita anak.
Cerita paling seru gubahan Aman berjudul “Pembual Pulang Merantau.” Pembual di masa 1930-an masih memicu tawa. Nah, pembual di 2018 dan 2019 sering membuat petaka! Pembual-pembual merusak, menodai, mengkhinati, dan menghancurkan kemauan hidup bersama di Indonesia dengan pelbagai perbedaan. Pembual berpamrih politik. Bualan-bualan dicipta dan diedarkan setiap detik. Bualan terus meningkat. Eh, laris!
Empat tokoh merantau: Amat, Badu, Daud, Gani. Mereka merantau ke empat arah. Selama di desa, mereka berpikiran bakal mengunjungi atau merantau ke negeri-negeri ganjil. Mereka penasaran berkepanjangan. Setahun berlalu, empat sekawan itu pulang ke desa. Mereka membawa ceria-cerita bergantian disampaikan saat kumpul bareng. Bualan demi bualan membikin kumpulan empat orang itu tertawa dan cemburu. Amat bilang: “Saja ada bertemu dengan seekor kerbau jang sangat besar, hampir sebesar gunung. Tanduknja pandjang menjapu-njapu awan; matanja sebesar rumah; giginja berpuluh-puluh depa pandjangnja. Suatu kali sebuah dari giginja itu djatuh; tidak terangkat oleh seratus orang. Bulunja kasar-kasar sebesar pohon bambu. Sehelai bulunja kalau djatuh dapat membunuh orang. Kalau ia menanduk tanah, gempalah dalam negeri itu sebagai akan kiamat. Sekali makan, habis punah sebuah rimba, dan sekali ia minum, kering sebuah telaga…..” Pengisahan itu memukau. Amat terlalu mahir menurunkan seribu mitos dan dongeng diramu jadi bualan sangar. Kita mengandaikan Amat hidup di Amerika Latin. Bualan pasti jadi novel atau cerita pendek setara gubahan Borges, Gabriel Garcia Marquez, Llosa, atau Asturias.
Amat turut membual: “Saja bertemu sepohon kaju jang sangat besar dan sangat tingginja. Keliling pangkal pohonnja sadja tiga hari perdjalanan. Tingginja tiga bulan tupai memandjat; putjuknja dibalik awan. Buahnja hanja sebuah sadja, dipuntjaknja sekali. Barang siapa jang dapat memetik dan memakannja, ia akan djadi kaja raja dan selamanja takkan mati-mati. Duannja dapat mengobati segala penjakit…” Ah, Amat mau bersaing jadi pengarang mumpuni seperti Salman Rushdie atau Naipaul. Dua pengarang itu pendongeng memiliki pengaruh di sastra dunia.
Kadar bualan semakin meningkat saat Daud berkata: “Saja ada bertemu sehelai rotan jang besar dan sangat pandjang: besarnja matjam pohon kelapa dan pandjangnja tiada dapat diukur; sehingga udjungnja sampai sekarang masih belum diketahui orang, entah didalam rimba mana. Barangkali dibalik bumi ini. Kabarnja rotan itulah dahulu tempat Puteri Bungsu memandjat pergi kelangit. Sesudah itu rotan itu rebah membelit bumi.” Kita berharap Daud tak pernah jadi politikus agar bualan itu gagal menularkan kehebohan tak masuk akal ke jutaan orang. Daud jadi pengarang roman picisan saja agar mendapat honor besar untuk mendirikan rumah terbuat dari sejuta kata.
Di akhir, Gani menjadi pembual mungkin disangka kehabisan kata. Ia tenang dan berkata: “Saja bertemu dengan sebuah tabuh adjaib jang sangat besar dan pandjang.” Sekalimat saja mengundang penasaran teman-teman. Amat, Daud, dan Badu bergantian mengajukan penasaran meminta jawaban. Berurutan, Gani menjawab bahwa tabuh itu dibuat: “Dari pada kaju jang bertemu oleh si Badu. “Kulit penggetangnja boleh djadi dari kerbau jang bersua olehmu Amat dan diikat dengan rotan jang bersua oleh Daud.” Sekian keganjilan atau kejaiban itu memuncak ke suara tabuh saat dipukul. Gani mengatakan hasil pukulan itu mengeluarkan suara: “Bohooong! Bohooong! Bohooong!” Empat orang itu tertawa mengerti telah jadi pembual.
Pembaca pun tertawa. Buku berasal dari puluhan tahun lalu tetap mujarab. Buku menghibur dan menasihati. Penulis dan penerbit menginginkan buku itu dibaca oleh bocah berusia 10-12 tahun. Buku tak terlarang terbaca oleh kita berusia 20 sampai 40 tahun. Membaca cerita mengundang tawa bukan sejenis dosa mengantar kita neraka. Cerita-cerita malah mengingatkan keajaiban manusia menjalani hidup bergelimang cerita: menguak kebenaran dan kebohongan. Begitu.      

Cerita Itu Pendidikan-Pengajaran


Cerita Itu Pendidikan-Pengajaran

Bandung Mawardi


Para pembaca novel berjudul Pulang dan Laut Bercerita gubahan Leila S Chudori bakal menemukan daftar buku milik para tokoh. Buku-buku disantap, sejak bocah sampai para tokoh menjadi dewasa. Sekian buku tentu bacaan terkenang pengarang: mengalami hidup di keluarga bergelimang buku. Penghadiran tokoh-tokoh di novel gandrung membaca agak memantulkan kebiasaan Leila S Chudori sejak bocah hidup bersama buku-buku.
Di halaman belakang novel Pulang, kita membaca ucapan terima kasih Leila S Chudori pada orang-orang dan keluarga: “Orangtua saya, Willy dan Mohammad Chudori, dan kedua kakak saya Zuly Chudori dan Rizal Bukhari Chudori yang mengajarkan saya tentang pentingnya buku sastra sebagai bagian dari hidup, seperti halnya ilmu pengetahuan, kuliner, dan doa.” Masa lalu, masa menekuni buku, dari ke hari. Leila S Chudori membaca teks-teks sastra gubahan pengarang Indonesia dan dunia. Kebiasaan membaca merangsang ke penulisan sastra.
Kita jangan lupa mampir ke halaman biografi pendek pengarang: “Leila S Chudori lahir di Jakarta, 12 Desember 1962. Karya-karya awal Leila dipublikasikan saat ia berusia 12 tahun di majalah Si Kuncung, Kawanku, dan Hai. Pada usia dini, ia menghasilkan buku kumpulan cerpen berjudul Sebuah Kejutan, Empat Pemuda Kecil, dan Seputih Hati Andra.” Novel berjudul Pulang menempatkan Leila S Chudori sebagai pengarang tenar. Novel itu menjadi pemenang Khatulistiwa Literary Award 2013. Novel sudah diterjemahkan ke sekian bahasa asing. Pulang mendapat ulasan-ulasan di pelbagai koran, majalah, dan seminar. Orang-orang membaca Pulang tapi mungkin tak pernah melihat, memegang, dan membaca tiga buku dicantumkan di halaman biografi. Apa buku itu masih ada? Apa tiga buku masih mungkin cetak ulang menandai awal kepengarangan Leila S Chudori?
Bergerak ke pasar buku loak atau perpustakaan mesti terjadi jika ingin menjumpai buku-buku awal dari pengarang sudah rajin menulis sejak usia belasan tahun. Leila S Chudori tentu masih mengoleksi tiga buku. Penerbit buku-buku itu belum tentu masih memiliki. Pada suatu hari, keberuntungan dialami Kabut di Gladak (Solo). Ribuan dan majalah buku lawas dijual di situ. Di tumpukan buku-buku lawas, ada buku tipis dengan sampul berwarna biru. Di sampul, kita melihat ada gambar sepatu dan jam tangan.
Buku itu mengejutkan bagi pembaca telat mengenali dan bertemu Leila S Chudori. Di halaman biografi, ada keterangan pendek dan foto gadis dengan tatanan rambut rapi. Kita simak saja: “Leila Salikha Chudori. Tanggal lahir: Jakarta, 12 Desember 1962. Mulai menulis kelas 5 SD. Pertama kali dimuat di majalah Si Kuncung tahun 1974, judulnya ‘Pesan Sebatang Pohon Pisang’. Menulis pada majalah-majalah Si Kuncung, Kawanku, dan Bobo. Sekarang bersekolah di SMP Negeri VIII, kelas II. Bercita-cita ingin menjadi dokter.” Ia malah jadi penulis kondang di Indonesia, gagal jadi dokter. Leila S Chudori itu pernah berpredikat wartawan di Tempo, sering mengerjakan resensi film. Ia tak pernah kuliah di jurusan kedokteran. Pada masa dewasa, Leila S Chudori kuliah di luar negeri. Pulang, ia jadi wartawan dan penulis. Lakon berbeda dari biografi pendek pernah ditaruh di buku.
Pada masa bocah-remaja, Leila S Chudori keranjingan membaca buku-buku gubahan Mark Twain, Hector Malot, Lousia May Alcott, Lorna Hill, Charles Dickens, Djokolelono, AM Harahap, Sukanto SA, Luwarsih P, trim Sutidja, dan Toha Mohtar. Masa bergelimang buku itu menentukan biografi Leila S Chudori jadi penulis cerita pendek dan novel mumpuni di Indonesia. Bacaan-bacaan berpengaruh sampai menua.
Buku itu berjudul Hadiah oleh Leila S Chudori, terbitan Yayasan Kawanku, Jakarta, 1977. Buku berstempel “Milik Departemen P dan K, Tidak Diperdagangkan, Inpres No 3 Tahun 1977.” Buku itu pernah jadi koleksi SD Kadirejo, Klaten, Jawa Tengah. Buku resmi milik koleksi perpustakaan, 19 Mei 1979. Buku berisi 10 cerita pendek. Gambar sampul dan ilustrasi oleh Isnaeni MH.
Cerita berjudul “Wartawan Cilik” seperti menentukan nasib Leila S Chudori. Tokoh bernama Ade rajin membaca koran. Bapak berlangganan koran dan majalah Bintang. Ade kadang mengirimkan tulisan ke Bintang. Ia berharapan tulisan dimuat. Pada edisi terbaru Bintang, Ade menemukan tulisan pernah dikirimkan memang dimuat dengan judul “Tukang Sapu Jalan.” Girang! Tulisan dipamerkan ke ibu.
Leila S Chudori mengisahkan: “Malam harinya, Ade tak ada pekerjaan. Ingin ia rasanya mengarang cerita, tetapi tak punya ilham yang baik. Di depan mesin tik ayahnya, ia memandang langit-langit rumah tanpa berkedip.” Pengisahan bocah berhasrat menulis ketimbang bermain, melongon, tidur, atau malas-malasan. Peristiwa membikin pembaca mesem setelah mengetahui kalimat-kalimat lanjutan. “Melihat apa di sana, Ade? Ada ulangan Ilmu Bumi? Jadi melihat peta?” Perkataan mengagetkan Ade. Leila S Chudori mengisahkan: “Ade tertawa. Maksud ayahnya, karena langit-langit rumah beberapa hari yang lalu bocor kena hujan. Dan bekasnya jadi bentuk seperti pulau-pulau.” Kalimat-kalimat itu apik, membuat pembaca pantas memberi pujian ke pengarang. Cerita itu mungkin “ramalan” bahwa Leila S Chudori bakal menjadi wartawan di majalah kondang: Tempo. Sejak bocah, ia ingin menjadi wartawan, bukan dokter. Dulu, ia ingin jadi dokter tentu dipengaruhi teman dan guru. Pada masa Orde Baru, bocah bercita-cita menjadi dokter itu seperti “kepastian” selain menjadi guru atau direktur.
Pada cerita berjudul “Otto dan Bernadeth”, pembaca mendapat kelucuan. Otto: bocah bertubuh sangat kurus, tinggi, rambut lurus-lurus seperti jarum. Bernadeth: tubuh agak gemuk, tinggi, rambut keriting. Leila S Chudori menceritakan: “Keduanya adalah teman sekolahku. Keduanya adalah anak-anak yang penuh humor, nakal, dan susah diatur. Tetapi keduanyalah yang terpandai dan sering bersaing dalam pelajaran berhitung.” Pada suatu hari, dua bocah itu membikin guru jengkel. Otto dan Bernadeth ketahuan tidur saat guru menerangkan ilmu kesehatan. Bu guru berkata pada Otto: “Nonton apa kau semalam.” Otto masih mengantuk menjawab: “Gatotkaca Gugur, Bu.” Otto memiliki kebiasaan menontong wayang kulit. Bu guru beralih ke Bernadeth: “Kau, Bernadeth, bagus buku yang kau baca semalam?” Bernadeth juga masih mengantu menjawab pasti: “Oh, bagus, Bu, Tom Sawyer karangan Mark Twain.” Guru bijak, mengetahui sumber tidur dua bocah pandai. Kemarahan tak perlu diberikan ke mereka. Hukuman berlari mengelilingi halaman sekolah tentu biadab. Dua bocah dibiarkan memberi jawab sebagai “alasan” berterima bagi pendidik. Mereka bukan melakukan perbuatan jahat dan sia-sia di malam hari.
Di cerita berjudul “Pertandingan”, pembaca masih menemukan tema dan pesan pendidikan-pengajaran. Cerita-cerita di buku memang bermutu jadi bacaan murid SD dan SMP untuk merenungi segala hal berkaitan sekolah. Cerita “Pertandingan” mengharukan. Dua bocah pandai bersaing sengit, sebelum akur jadi sahabat. Pembukaan cerita: “Sekelas tahu, Indra tidaklah sombong karena kepandainnya dalam pelajaran matematika dan ilmu alam. Dan sekelas juga tahu kalau Fara pun tidak sombong karena pelajaran bahasa Indonesia dan sejarah dilahapnya dengan mudah. Namun sayang, kedua anak yang pandai dalam bidang itu tidak pernah mau bertukar fikiran atau berdiskusi. Malah mereka berdua sering bertengkar memuji masing-masing kepandaiannya. Indra dengan kepandaian dalam ilmu pastinya dan Fara dengan kepintaran bahasanya. Padahal sebenarnya mereka dapat bertukar kepandaian bila mau belajar bersama.” Dua murid di pertandingan “paling” pandai di kelas.  
Dulu, murid-murid sering membandingkan ilmu-ilmu. Konon, murid lelaki cenderung pintar di ilmu pasti. Murid perempuan di ilmu sosial dan bahasa. Perdebatan sesama murid dengan argumentasi sembrono dihadirkan Leila S Chudori. Cerita itu kritik atas pemahaman salah di sekolah bagi murid-murid ingin mempelajari pelbagai ilmu.
Perdebatan sampai ke perkara kehidupan keseharian. Indra menjawab penasaran teman tentang pembagian waktu: “Yah, kita harus rajin berlatih. Untuk ilmu pasti tak guna dihafalkan. Pengertian yang dipentingkan. Membagi waktunya: siang aku mempelajari pelajaran tadi di sekolah dan sore aku mengantarkan koran ke langganan. Malam aku belajar lagi.” Pengenalan tokoh Indra oleh pengarang: “Anak-anak tak heran lagi, Indra memang setiap sore selalu mengantarkan koran-koran menaiki sepedanya ke langganannya. Itu semua ia lakukan untuk membantu orang tuanya. Tapi anak-anak tak pernah mengejek atau mencemoohnya. Karena itu Indra tak merasa rendah diri.”
Pada hari menjelang ujian, Indra sakit. Ia harus ikut susulan. Indra ingin sekali masuk sekolah tapi raga terkapar. Sedih dan marah memikirkan pertandingan melawan Fara. Pada hari tak terlalu diharapkan, Indra kedatangan teman. Indra mengira itu Susilo atau Rinto. Eh, teman itu malah Fara. Indra malu dan kaget. Fara santun menjenguk Indra ingin memberi bantuan: “Aku tak bisa lama-lama, In, mobilku menunggu. Ini soal-soal ulangan umum. Kau bisa belajar dari sini. Dan… oh ya, tadi aku sudah ke agen koranmu, kukatakan kalau kau sedang sakit. Jadi kau istirahat dulu ya, In.”
Dua murid itu ada di perdamaian indah. Oh, Fara itu dari keluarga berada, tak seperti Indra. Pembaca berharap perdamaian itu awet sampai Indra dan Fara menjadi dewasa: saling berbagi ilmu dan berbagi perasaan. Di akhir cerita, dua tokoh itu saling mengangguk. Eh, anggukan saling belajar ilmu, bukan anggukan untuk jalinan asmara. Begitu. 



Sunday, April 7, 2019

Berlebihan: Duka dan Doa


Berlebihan:
Duka dan Doa

Bandung Mawardi


Di pelbagai negeri, cerita terkuno dan awet sering bertokoh binatang. Sekian sebutan diberikan tapi bocah-bocah di sekolah dipaksa memberi sebutan “resmi” di buku pelajaran: fabel. Kita memastikan ada puluhan sebutan dalam beragam bahasa. Cerita-cerita binatang miliki ribuan komunitas etnis, bertebaran di dunia. Ribuan cerita dilisankan, disenandungkan, atau dipentaskan. Sekian cerita dituliskan dalam kitab-kitab “klasik” dengan beragam huruf.
Keinginan mendaftar nama dan jumlah binatang telah digunakan dalam cerita bakal menimbulkan capek sepanjang masa. Kita menduga belum semua binatang terpilih jadi tokoh di cerita atau sekadar ditaruh dalam cerita tanpa peran “jelas”. Abad demi abad berlalu, orang-orang mulai memiliki binatang andalan di ribuan cerita: singa, gajah, kuda, serigala, burung, bebek, beruang, ikan, domba, dan lain-lain. Semula, pilihan tokoh binatang disesuaikan dengan situasi tempat cerita digubah dan diedarkan. Perdagangan, dakwah, pengembaraan, dan kolonialisme berakibat pengenalan binatang-binatang dari negeri jauh. Cerita bertokoh binatang “asing” dimunculkan tanpa si pencerita atau pendengar pernah melihat atau berjumpa. Semua itu gara-gara “paksaan” atau “godaan” keterlaluan mengacu ke adat, agama, dan politik-kolonialisme.
Indonesia, negeri berlimpahan cerita binatang. Pada tiap komunitas etnis, cerita binatang jadi sumber pengajaran selain penghiburan. Cerita binatang malah sampai ke pengalaman mistik dan politik. Cerita-cerita beredar, mengalami penambahan dan pengurangan. Cerita itu ditempeli cap-cap asli, kuno, asing, campuran, tiruan, dan lain-lain. Keaslian jadi kelangkaan. Perjumpaan pelbagai bangsa selama ribuan tahun mencipta saling-silang.
Ah, kita berlagak serius memerkarakan cerita binatang. Lagak tanpa kepustakaan dan pembuktian-pembuktian berbobot. Awalan itu cenderung memicu sulit saat kita membaca buku berjudul Belantara: Kumpulan Ceritera Binatang-Binatang (1980) susunan A Wahab, terbitan Pradnya Paramita, 1980. Cetakan pertama pada 1975. Dulu, buku diterbitkan bermaksud: “dapat mengisi kekuarangan ‘Buku Bacaan yang Sehat’ untuk anak-anak.” Pada cetakan kedua, ada keterangan resmi: “Dengan gembira kami memberitahu kepada anak-anak pembaca buku ini, bahwa buku ini dipesan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sub-Proyek Pengadaan Buku Bacaan untuk Anak-Anak Sekolah Dasar. Ceritera dalam buku ini kecuali mengasyikkan, mengandung pendidikan yang berguna.” Pembaca ragulah sejak awal atas dua pengantar berbeda tahun. Ragu dibuktikan dengan membaca semua cerita dan memberi catatan-catatan “iseng”. Wahab memberi lima cerita. Kita membaca di hitungan menit, tak usah menjadwalkan khatam dengan lima hari lima malam. Buku berisi 46 halaman jangan boros waktu dalam membaca.
Cerita berjudul “Maharaja Singa yang Adil” memberi kesan “berat” di makna. Omongan penerbit bahwa cerita itu “mengasyikkan” gampang digugurkan. Bocah di SD dipaksa berpikiran serius: “Adalah seekor singa yang menjadi Maharaja dalam sebuah Kerajaan Belantara. Baginda amat dikasihi dan dihormati oleh seluruh rakyatnya. Selama pemerintahannya, rakyat hidup makmur dan aman tenteram. Salah satu sebab, mengapa pemerintah Baginda teratur ialah Baginda selalu memegang teguh hukum keadilan. Dalam berbagai-bagai perkara yang telah diputuskan, Baginda tetap berlaku adil dengan tidak berat sebelah. Meskipun Baginda mempunyai hak kekuasaan luar biasa, namun tak pernah beliau berlaku sewenang-wenang terhadap yang lemah. Akan tetapi, terhadap siapa yang melanggar peraturan dan undang-undang kerajaan, Baginda tak segan-segan menjatuhkan hukuman yang setimpal dengan kesalahannya.”
Kalimat-kalimat di dongeng memang berlebihan dan memukau. Alinea di buku cerita berbahasa Indonesia itu amburadul: berlebihan makna. Pembaca bukan di hadapan dongeng. Kita berlanjut ke pemberian cerita. Raja sudah tua, berharapan putra mahkota dapat melanjutkan berkuasa secara adil. Alur gampang dimengerti jika kekuasaan itu diwariskan. Cerita memang melulu di kerajaan, jarang di republik.
Pada suatu masa, kerajaan itu resah. Harimau sakti berkeliaran membuat masalah. Orang-orang ketakutan setiap hari. Raja berlaku bijak untuk merampungi masalah. Korban-korban berjatuhan. Sedih terus bertambah. Bermula dari rapat, raja mengirimkan utusan-utusan untuk mengalahkan harimau. Gagal! Hukuman bagi harimau sulit dilaksanakan. Baginda berduka dan membuat maklumat dari hasil rapat.
Isi maklumat: “Seluruh rakyat yang berada di bawah naungan Maharaja singa dilarang keras menempuh lembah tempat harimau bertapa, sebab di sanalah berasalnya wabah sampar. Seluruh rakyat juga dilarang mengusik harimau sakti itu. Siapa-siapa yang melanggar undang-undang ini, maka dia akan dihukum mati.” Pada zaman dulu, hukuman cuma tunggal: mati. Pengarang lupa mengisahkan raja bijak dan adil membuat sekian jenis hukuman: penjara, pembuangan, kerja paksa, dan mati. Maklumat itu membuat bocah-bocah terlalu cepat disodori “kematian” dan mutlak.
Pada hari menentukan, putra mahkota ingin menghentikan bencana menimpa kerajaan. Ia menuju lembah dengan siasat bermuslihat demi bisa mengalahkan harimau. Ia ingin ketakutan dan duka berakhir gara-gara harimau. Siasat mujarab. Ia berhasil mengalahkan harimau: “Putera Mahkota pulanglah kembali dengan membawa kepala harimau. Seluruh rakyat menyambut kedatangannya. Kepala harimau itu dipersembahkannya ke hadapan Maharaja.” Kerajaan menjadi tenang dan bergirang usai kematian harimau? Pembaca berdebar menuju akhir cerita.
Maharaja semakin tua membuktikan sifat adil: “Kerajaan amat berterima kasih atas keberanian dan kecerdikan Putera Mahkota, sehingga kita semuanya terhindar dari malapetaka. Akan tetapi ia bersalah, karena telah menempuh lembah. Ia telah melanggar undang-undang dan undang-undang tidak mengenal perbedaan!” Pembaca masih bocah berpikiran ruwet, sebelum membuat cita-cita ingin menjadi hakim, jaksa, atau pengacara. Hukum itu dilematis.
Putera Mahkota dihukum mati secara terhormat. Ia dikuburkan dengan upacara kebesaran. Tugu-tugu peringatan pun didirikan untuk mengenang keberanian dan pengorbanan. Bocah membaca cerita pendek justru sesak makna di akhir: “Demikianlah, Maharaja singa itu telah menunjukkan hukum keadilan. Walaupun hatinya hancur luluh mengenangkan puteranya, namun Baginda tak mau memperkosa undang-undang.” Pembaca jangan bersedih di kerajaan itu taka da lagi pewaris. Maharaja berkuasa sampai mati tanpa ada lanjutan cerita.
Kita berganti ke cerita berjudul “Labah-Labah dan Tikus”. Cerita sulit “mengasyikkan” tapi mungkin mengandung “pendidikan berguna”. Dua binatang itu berteman. Tikus sering makan enak. Laba-laba harus mencari nafkah seharian belum tentu mencukupi keluarga. Nasib berbeda di awal dan akhir. Tikus mengajak laba-laba mencari makanan. Pengertian mencari jadi mencuri. Laba-laba diajak ke lumbung padi milik petani. Laba-laba itu santun, tabah, dan religius. Ia emoh mencuri tapi dipaksa tikus.
Laba-laba meminta ampun kepada Tuhan. Tikus terus saja mencuri. Pada suatu hari, tikus mencuri padi tapi kena pukulan si petani. Ia pulang dalam kondisi luka parah. Tikus pun berdoa: “O, Tuhan, tolonglah aku! Kini aku sudah jera! Aku tak mau lagi mencuri harta beda orang lain. Lindungilah nyawaku! O, Tuhan Yang Maha Pengasih, selamatkan aku dari ancaman kematian! Aku benar-benar sudah tobat!” Tikus itu mati. Apa tanggapan bocah selesai dengan cerita bertokoh tikus, laba-laba, dan petani? Bocah mungkin ingat Tuhan gara-gara pernah pula menjadi pencuri makanan dan uang. Cerita itu berguna di pertobatan bocah. Ah, sangkaan berlebihan! Pembaca masih ingin menemukan pengisahan berdakwah bisa membaca “Kisah Seekor Kambing”. Adegan berdoa sering dimunculkan pengarang. Bocah memang pantas diajari berdoa untuk kebaikan dan tobat dari segala keburukan.
Kita belum mengerti cara dan penilaian buku berhak didanai dan direstui Depdikbud pada masa Orde Baru. Buku itu “berlebihan” makna. Bocah mungkin membaca cepat tapi terkena sodoran cerita ruwet dan berat. Pembaca menghibur diri dengan membaca artikel bermutu garapan Marcel Bonneff (1999) berjudul “Marilah Menyindir: Renungan Tentang Dongeng Sato Kewan karangan Prijana Winduwinata (1952).” Intelektual asal Prancis menekuni komik dan sastra itu meneliti buku cerita binatang dengan akhiran: “Akhirnya, saya mengharapkan diri tetap setia pada semangat Prijono, jika mengatakan, bahwa adalah keliru kalau kesusasteraan dan kesenian pada umumnya dituntut untuk mendidik, apalagi untuk mempersembahkan pelajaran moral yang membosankan.” Kita kembali ke buku berjudul Belantara. Buku seperti melarang ada  tawa atau hiburan. Cerita-cerita sering duka. Bocah-bocah membaca ke kenelangsaan dan sulit tertawa meski tiga detik. Begitu.   

"Penendang" Kemiskinan


“Penendang” Kemiskinan

Bandung Mawardi


Buku lawas berjudul sangar: Radja Bola. Pengarang menggunakan rumus ingin “mengejutkan” pembaca ketimbang “mengena” ke perasaan pembaca. Pengarang bernama Mien Resmana dalam novel berjudul Radja Bola (1972) terbitana Pustaka Jaya agak mengecoh pembaca. Julukan berlebihan bagi tokoh di novel. Pengarang mungkin membuat judul dengan pertimbangan bersama editor atau penerbit. Industri buku tak mengharamkan ada kompromi atau mufakat. Di Indonesia, judul itu mungkin diramalkan gampang memikat pembaca.
Judul dicantumkan di buku, belum tentu judul “asli” sebelum diterbitkan. Pada masa 1970-an, tema sepak bola sudah menghebohkan Indonesia melalui Piala Dunia, Olimpiade, Asian Games, Ganefo, dan lain-lain. Indonesia sudah lama mengenali sepak bola tapi merasakan girang setelah bercerai dari kolonialisme. Dulu, sepak bola itu menguak diskriminasi dan perlawanan politik di masa kolonial. Kaum bumiputra dipersulit dan mendapat tekanan-tekanan dari nalar kolonial. Masa itu berlalu meninggalkan kenangan pahit dan manis. Pada masa revolusi, sepak bola jadi simbol memajukan dan memuliakan Indonesia. Keinginan direcoki Perang Dingin di dunia dan perseteruan politik di Indonesia.
Mien Resmana bukan menulis novel mengangkut sejarah. Ia sodorkan Radja Bola dengan percampuran misi. Sepak bola dan kemiskinan bergantian dimaknai dalam novel. Mengapa perkara kemiskinan tak dimuat di judul? Oh, pembaca mau menggugat dan memberi ralat ke pengarang? Telat. Novel itu terbit puluhan tahun lalu, belum ada kabar buku itu laris atau berpengaruh bagi bocah-bocah di Indonesia.
Kita akhiri saja soal judul. Pengarang mempersembahkan buku pada tiga anak tercinta: Dadang Darmono, Dida Darmini, dan Dini Darjani. Novel itu berbahasa Indonesia belum terkotori ejaan berselera rezim Orde Baru. Novel semarak dengan ilustrasi buatan Nana Banna. Para pembaca novel masa 1970-an mungkin terharu setelah khatam. Pembaca bisa pula mendapatkan sentuhan-sentuhan kemanusiaan di tema kemiskinan. Pada saat novel terbit, jutaan orang Indonesia terdefinisikan miskin.
Pembaca telat di masa sekarang perlu membuka buku berjudul Bola-Bola Nasib (2002) berisi puluhan esai garapan Sindhunata. Di situ kita membaca: “Bola dan kemiskinan, kelihatannya keduanya tidak boleh dihubungkan. Tetapi sekurang-kurangnya mantan pelatih bola kaliber dunia, Ernst Happel pernah berkata: ‘Bola itu soal ekonomi! Pemain bola jangan makan daging, tetapi makanlah roti. Bola itu adalah olahraga rakyat. Celaka jika dalam bola dipakai ukuran lain yang bukan ukuran olahraga rakyat. Pemain bola sekarang tidak tahu lagi bagaimana rasanya makan daging seminggu sekali. Kesejahteraan zaman ini memang baik, tetapi tidak terlalu baik untuk bola.’” Kutipan jauh dari penemuan-penemuan pembaca di novel berjudul Radja Bola.
Kita lekas menuju pengisahan sepak bola dulu. Di sekolah bernama Sukamadju terletak di desa, para murid-murid suka bermain sepak bola. Mereka setiap hari bermain sepak bola dengan kesadaran menimbulkan risiko-risiko. Kita simak risiko dimarahi dari petikan bertokoh guru di hadapan para murid: “Beberapa hari jang lalu Bapak memarahi kamu semua karena telah berani bermain sepakbola di halaman sekolah jang sempit itu sehingga beberapa buah genting rumah Bu Hadji petjah karenanja. Kalian tahu, untuk beberapa hari lamanja, bola kepunjaan sekolah ditahan Bu Hadji, karena marahnja. Baru setelah Bapak datang kepadanja dan berdjandji tidak akan mengidjinkan kalian main sepakbola di halaman sekolah, bola itu diberikan kembali.” Bocah-bocah di sekolah itu merepotkan. Mereka ingin berkeringat, berteriak, dan girang tapi mengakibatkan kehancuran genting. Pihak sekolah bertanggung jawab. Kita maklum dengan pemilik rumah. Mengapa pemilik rumah tak memaklumi bocah-bocah menginginkan gembira bersama?
Guru menjelaskan pilihan bermain sepak bola di halaman sekolah itu salah gara-gara dekat dengan rumah warga. Tempat terbaik bermain sepak bola adalah lapangan olahraga milik desa. Nah, kemarahan sudah rampung. Guru mengabarkan bahwa murid-murid kelas V dan VI bakal dipilih untuk membuat tim dalam kepentingan lomba. Murid-murid “kesetanan”. Mereka gaduh, bertepuk tangan, dan memukuli meja. Heboh! Kegemaran bermain sepak bola dan ikhlas dimarahi ingin dilanjutkan ke prestasi di lomba.
Tata, murid keranjingan sepak bola, meluapkan gembira ingin masuk tim sekolah. Ia sudah bermimpi di pertandingan seru. Mimpi itu berantakan oleh guru saat mengucap iuran sekolah. Murid-murid diminta tak telat setor iuran sekolah. Tata merasa malu. Mien Resmana menceritakan: “Segala rasa gembira karena mendengar akan ada pertandingan sepakbola hilang seketika itu djuga. Hanja rasa malu jang tak bisa lepas dari hatinja.” Ia sudah telat lima bulan. Tata bersedih tanpa ujung. Tema kemiskinan mulai dimunculkan pengarang. Sejak halaman awal, Tata memang pantas dijuluki “radja bola” tapi miskin. Tata hidup bersama nenek dalam kemelaratan. Makan setiap hari saja belum ada jaminan.
Malu sempat dilupakan saat Tata dan teman-teman latihan di lapangan desa. Ia berhasil membuat gol. Pulang dari lapangan, ia senang tapi kehausan. Kondisi si miskin saat menuju ke pancuran air: “Bukan main hausnja ketika itu. Djika ia tidak ingat akan nasihat guru bahwa minum air mentah itu tidak baik pasti direguknja air pantjuran jang djernih-bening itu. Air mentah mungkin mengandung bibit penjakit. Oleh karena itu ditahankannja rasa hausnja. Ia hanja berkumur-kumur sadja. Keluar dari pantjuran, mulutnja masih penuh air. Dan di tempat jang diterangi tjahaja matahari disemburkannja air itu dari mulutnja. Ia tersenjum melihat ke air jang disemburkannja djadi berwarna-warna. Tak ubahnja pelangi kecil.”
Pembaca berhenti sejenak. Pembaca seperti melihat bocah kurus berkeringat sedang mencipta bahagia kecil. Ia tak mampu jajan es untuk menumpas haus. Ia masih berpikiran waras. Air mentah jangan diminum. Tata berhasil membuat pelangi! Di mata, pelangi itu indah tapi warna nasib Tata masih suram. Ia sadar miskin. Ia itu “raja” dijerat kemiskinan. Pada bola, Tata masih mungkin “menendang” rasa malu atas kemiskinan. Pembaca sudah di hadapan dua tema: sepak bola dan kemiskinan.
Di rumah, Tata bercakap dengan nenek mengenai sepak bola dan iuran sekolah. Percakapan di malam hari. Tata berkata pada nenek: “Pak Guru menerangkan arti kata-kata itu di sekolah. Sukar mengutjapkannja, Nek. Hen, prikik, aut…” Sekian kata itu belum berhasil diterjemahkan ke bahasa Indonesia, sejak dulu sampai sekarang. Bocah-bocah di desa dan kota tetap bisa mengucap sekian kata asing tapi sudah diakrabi dalam sepak bola. Gugatan agar ada penerjemahan belum dilakukan oleh kaum pemuja bahasa Indonesia. Urusan kata bersambung ke pengakuan Tata pada nenek. Pengakuan belum memenuhi kewajiban iuran sekolah. Pembahasaan dari Mien Resmana: “Neneknja tersenjum getir. Diusapnja kepala tjutjunja dengan segala rasa kasih sajang.”
Nenek sudah berusaha tapi kemiskinan masih ditanggungkan. Pembaca bersedih atas nasib nenek dan Tata. Mien Resmana mulai memberi dokumentasi zaman bertema kemiskinan ke pembaca. Pengakuan nenek: “Lagipula pekerdjaan sekarang sukar. Pekerdjaan di sawah sudah selesai. Jang menjuruh menumbuk padi djarang sekali, sebab mereka membawanja ke penggilingan. Sebelum ada penggilingan padi, nenek tak pernah menganggur. Hari ini menumbuk padi di rumah Mas Lurah, esoknja di rumah Pak Saman. Upahnja satu liter tiap kaleng. Di sana nenek diberi makan pula…” Bekerja sebagai buruh penumbuk padi telah berlalu gara-gara modernisasi pertanian. Nenek tak mungkin menggugat. Ia menerima nasib. Pembaca mengerti modernisasi pertanian memberi dampak sial ke buruh tani tapi memberi sokongan ke mimpi pemerintah mencapai swasembada pangan.
Pengakuan itu memberi ide ke Tata. Penggilingan masih mungkin jadi dalih mendapatkan rezeki. Di belakang penggilingan, tumpukan sekam sering membukit. Pemilik penggilingan membuang sekam, dianggap tak berguna. Tata beranggap di sekam itu pasti masih ada sisa beras hasil penggilingan. Tata meminta janji nenek untuk mau menampi sekam demi menemukan beras meski sedikit. Pada pagi hari, Tata membolos. Ia membawa sekian karung ke penggilingan. Di rumah, nenek menampi. Pekerjaan itu berhasil mengumpulkan beras 1 liter. Kondisi beras pecahan. Tata berpikiran beras itu dijual. Uang digunakan untuk iuran sekolah.
Tindakan kedua adalah mencari daun. Pada pagi hari, Tata membolos lagi. Ia membawa golok menuju persawahan. Deskripsi pengarang: “Tak berapa lama kemudian ia sampai ke tepi sungai itu. Sepandjang tepi sungai itu banjak pohon waru. Itulah jang dikehendakinja. Ia sering melihat anak-anak sebajanja mendjual daun ke pasar jang letaknja tidak begitu djauh dari kampungnja.” Pekerjaan mencari daun itu menghasilkan rezeki. Di pasar, Tata menjual enam kilo daun waru. Pulang ke rumah membawa duit. Ia mulai mesem. Rasa malu segera bakal ditendang dengan duit untuk melunasi iuran sekolah. Masalah demi masalah bisa diatasi dengan kebaikan sekian orang dengan pembuktian kerja keras Tata dan nenek. Pembaca di renungan kebaikan.
Kita kembali lagi ke sepak bola. Tata bermain apik di pertandingan sepak bola. Tim sekolah menembus final di tingkat kecamatan. Kemenangan terus diraih. Tata sering mencetak gol. Bahagia semakin bertambah. Tata menendang “malu” atas kemiskinan. Tata menendang bola untuk kemenangan. Begitu.