Kecantikan, Kematian, Kegilaan
Bandung Mawardi
Di sampul buku bagian belakang, dipasang
keterangan: “Cerita Panji sangat terkenal di daerah asalnya, di sekitar Kediri.
Siapa tidak akan sedih bila seseorang ditinggal mati kekasihnya? Lebih sedih
lagi adalah Raden Panjikudawaningpati kehilangan Dewi Anggreini, kekasihnya.
Sedangkan kematian itu atas usaha Sri Baginda, ayah Raden Panji sendiri karena
tidak menyetujui perhubungan mereka.”
Di sampul depan, ada stempel negara dan
pemberitahuan: “Khusus SD Inpres 73/74 dan SPG Negeri.” Buku diongkosi
pemerintah untuk bacaan bagi SD dan sekolah calon guru. Ongkos cetak ribuan
eksemplar buku berjudul Dewi Candrakirana
pastilah jutaan rupiah. Buku ditulis atau diceritakan ulang oleh Uliah S.
Penerbit buku adalah Indra Press. Kaum lawas ingat Indra Press berarti ingat
majalah Si Kuncung. Buku cetak
pertama (1974) dan cetak kedua (1977). Buku mewariskan cerita-cerita pernah
dilisankan, disenandungkan, dan dipentaskan oleh orang-orang di Jawa dan Asia
Tenggara. Pada edisi buku, cerita bakal memiliki pesona asal ada kemahiran
bahasa.
Kita tunda dulu masuk ke buku berjudul Dewi Candrakirana. Bukalah dulu buku
berjuduk Tjerita Pandji dalam
Perbandingan susunan Poerbatjaraka. Buku hasil terjemahan Zuber Usman dan
HB Jassin, terbitan Gunung Agung, Jakarta, 1968. Buku kelas berat!
Poerbatjaraka menerangkan: “Jang mula-mula sekali membitjarakan Pandji dari
sudut kesusastraan ialah Dr Cohen Stuart dalam karangannja Djajalengkara. Sebagai suatu tjerita jang berdiri sendiri,
pengalaman-pengalaman Pandji dimuat dalam teks jang diterbitkan oleh Roorda,
bersama-sama dengan dua buah tjerita wajang. Teks jang sama, tetapi tanpa kedua
tjerita wajang, kemudian diterbitkan pula kembali oleh Dr Gunning. Sedjak itu
tjerita-tjerita Pandji mendapat perhatian jang menggembirakan dan tak
habis-habisnja dari para sardjana ahli.” Publikasi cetak modern sudah dimulai
sejak pertengahan abad XIX. Penerbitan di negeri asing, belum di Nusantara.
Cerita Panji dijadikan riset dan disunting para
sarjana asing (Belanda) saat Jawa masih berlakon penjajahan. Di mata para
sarjana, Jawa dan Melayu itu mahacerita, sumber dari suguhan kesusastraan
memukau dan “mengabadi”. Politik colonial berlangsung tapi kerja-kerja
intelektual memiliki jalan agak lurus direstui pemerintah kolonial,
universitas-universitas di Belanda, dan elite di Jawa.
Deretan nama dari negeri penjajah menentukan
pengetahuan kita mengenai cerita Panji. Poerbatjaraka mencatat: “Suatu
singkatan tjerita jang pendek tentang Pandji Semirang telah diberikan oleh Dr
Juynboll dalam katalogusnja, sedang Prof van Ronkel dalam katalogusnja
menundjuk pula kepada singkatan tjerita Juynboll itu dan sebuah ringkasan
tjerita (berupa naskah) jang ditulis oleh Dr Brandes. Naskah Brandes itu
sekarang masih terdapat dalam berkas nomor 66 diantara peninggalan-peninggalan
sardjana ini, bersama singkatan tjerita pendek-pendek tentang tjerita-tjerita
Pandji jang lain, djuga tjerita Pandji Jawa.”
Sejak ratusan tahun lalu, cerita Panji berkembang
dan diwariskan di Jawa dan Asia Tenggara. Pengaruh meluas ke pelbagai negeri.
Cerita Panji seperti jadi “pengikat” sejarah kesusastraan di Asia Tenggara.
Kita mengetahui itu melalui buku berjudul Peradaban Pesisir: Menuju Sejarah Budaya
Asia Tenggara (2009) Adrian Vickers. Cerita Panji itu medium mengabarkan dan menghubungkan norma kultural
melalui modifikasi atau penciptaan kembali di pelbagai ruang pesisir Asia
Tenggara: Jawa, Sumatra, Semenanjung Melayu, Thailand, Burma, Bali, Lombok,
Sulawesi Selatan. Sebaran cerita Panji sanggup melahirkan model pembentukan
gagasan tentang “Jawa” dan “Melayu.” Riset-riset cerita Panji terus berlangsung sampai
abad XXI. Para sarjana asing tak jemu mengerti dan mempelajari cerita Panji.
Ketekunan mereka mungkin sulit ditandingi para sarjana Indonesia.
Kita mulai masuk ke buku untuk murid-murid SD.
Bacaan mengenai Panji dalam 48 halaman. Di sekian halaman, kita melihat
ilustrasi buatan Hidayat Said. Ulkiah bercerita: “Suatu hari Raden Panji pulang
berburu diiringkan oleh beberapa orang pengawal istana. Hari amat panas, Raden
Panji merasa haus sekali. Rombongan Raden Panji berjalan melewati tempat
kediaman Patih Kudanawarsa. Ketika itu Patih sedang berada di halaman
rumahnya.” Peristiwa itu menentukan lakon kecantikan, kematian, dan kegilaan.
Murid SD membaca buku untuk “terlena” di tema-tema besar: asmara dan perang.
Bocah memang harus mengerti sastra masa lalu meski berpusat ke kerajaan dan
penokohan elite ketimbang jelata.
Di rumah Patih, Raden Panji mendapat suguhan
minuman oleh Angreni. Gadis cantik, putri dari Patih. Gadis itu mengubah nasib
Raden Panji di pandangan berkesan: “Raden Panji terkejut, ia sangat terpesona
melihat kecantikan Angreni. Kedua matanya tak lepas memandang wajah Angreni
yang lembut sayu. Angreni menjadi gelisah, wajahnya merah karena malu. Ia
tersipu-sipu sambil menundukkan kepalanya.” Duh, lelaki bernama Panji itu
gampang terjerat asmara! Ia melek dengan kecantikan. Kagum kebangetan! Sejak
awal cerita, murid berhak berimajinasi jadi Panji atau Angreni. Pada masa
sekarang, mereka bisa membandingkan dengan artis-artis paling ganteng dan
cantik. Eh, apa kecantikan Angreni seperti Dian Sastrowardoyo, Laura Basuki,
Syahrini, Maudy Ayunda, atau Nella Kharisma? Dulu, Angreni pintar memasak dan
mengurusi rumah, belum diceritakan senang bersenandung, main film, rajin jadi
bintang iklan, atau berjoget. Angreini pun belum rajin berfoto, piknik ke luar
negeri, atau masuk di acara gosip. Angreni itu perempuan idaman.
Pertemuan sejenak menghasilkan keputusan besar dan
mendadak. Raden Panji ingin menikahi Angreni. Oh, tata cara gampang banget
ketimbang kita mengingat cerita di film-film mengaku romantik di Indonesia! Ingat,
Panji-Angreni bukan sedang berada dalam roman picisan. Di situ, ada ketulusan
dan keluguan. Urusan menikah tak perlu harus menunggu lagu Java Jive, Kahitna, Payung
Teduh, atau Dewa. Dulu, asmara belum bergantung industri musik mengumbar
perasaan-perasaan berlebihan.
Raden Panji sudah ditunangkan dengan Dewi
Sekartaji, putri Raja Kediri. Pertunangan sejak mereka masih bocah. Eh, Raden
Panji malah menikahi Angreni. Berita pernikahan itu membuat Raja Kediri marah,
ingin mengadakan perang dengan Jenggala. Pernikahan itu menghina kesepakatan
sejak lama. Murka Raja Kediri: “Tidakkah ini suatu penghinaan untukku? Tidakkah
Raja Jenggala telah menyalahi kata-katanya? Patutkah seorang Raja agung dan
berwibawa melanggar janjinya?” Keinginan perang bisa dibatalkan oleh siasat
pertapa bernama Resi Kilisuci. Ia menjadi penengah dan menenangkan.
Muslihat pun diselenggarakan. Raja Jenggala
meminta Raden Panji mengiringkan Resi Kilisuci kembali ke hutan Kepucangan. Di
luar pengetahuan Raden Panji, Raja dituduh agung tapi melanggar janji itu
menjalan rencana kematian. Raja meminta Angreni dibawa ke hutan. Tumenggung
Brajanata ditugasi membunuh Angreni. Siasat jahat memuluskan rencana dua raja
menikahkan Raden Panji dengan Dewi Sekartaji. Kematian harus ada.
Di hutan sepi, Tumenggung Brajanata tak tega
membunuh Angreni dengan sebilah keris. Ia menjelaskan dulu dilema ditanggung
akibat perintah raja. Angreni maklum dan sadar memiliki nasib buruk. Angreni ikhlas
di muslihat raja. Pembaca masih bocah lekas sampai ke adegan penuh keharuan:
“Tiba-tiba, tanpa disadari Brajanata, Angreni menubruk keris yang sedang
dihunus oleh Brajanata. Angreni roboh dan tewas seketika.” Ah! Brajanat berduka
tanpa ujung. Ia pun mengubur Angreni dengan terhormat: “Mayat Angreni dan
pengasuhnya oleh Brajanata dikuburkan di bawah pohon angsoka. Kemudian kedua
pusara itu ia timbun dengan daun-daun, sehingga merupakan sebuah bukit unggukan
tanah.”
Kembali dari hutan Kepucangan, Raden Panji tak
menemukan Angreni. Ia mendapat berita bahwa Angreni sudah mati. Sekian detik
setelah mendengar kematian Angreni, Raden Panji menanggung derita dengan hilang
ingatan alias mengalami kegilaan. Pembaca mengasihani Raden Panji tanpa harus
menangis mengikuti asmara berduka dan politik bengis. Deskripsi kegilaan: “Tiap
hari ia berjalan menyusuri sawah dan ladang sambil berteriak-teriak memanggil
Angreni. Dedaunan dan bunga-bungaan diajaknya berbicara.” Ia bukan seniman,
menanggungkan duka menghasilkan puisi atau lagu. Ia bukan pemain di film
India, mengalami kegilaan dengan cerita meminta air mata jutaan penonton.
Di perjalanan ke hutan, Raden Panji melihat
gundukan tanah. Ia memerintah para pengawal untuk menggali tanah. Di sana, ada
raga Angreni dan pengasuh. Raden Panji dan rombongan bepergian menaiki perahu.
Mereka membawa dua raga korban muslihat raja. Di tengah lautan, gelombang
menerjang ganas. Orang-orang mengira rombongan itu tenggelam di lautan. Raden
Panji pun dikabarkan mati.
Hidup Raden Panji belum selesai. Ia selamat,
terdampar di Bali. Pengelanaan pun dimulai berbekal cerita agung. Ia mengubah
nama menjadi Kelana Jayengsari menjalankan misi perang demi perang meraih
kemenangan agar Angreni bangkit alias hidup lagi. Ia bergairah menuju pertemuan
dengan pujaan. Ia memilih perang beradab, bukan perang mengalirkan darah,
memicu jeritan, dan menambahi jumlah kuburan. Sampailah ia di Kediri, dimintai bantuan
Raja Kediri. Kerajaan mau diserang oleh Raja Gajah Angun-Angun dari Metaun.
Kelana Jayengsari mau membantu Raja Kediri dengan “hadiah” Dewi Sekartaji. Kemenangan
bakal menjadikan Dewi Sekartaji adalah istri bagi Kelana Jayengsari atau Raden
Panji.
Adegan heroik dan lucu dalam perang. Dewi
Sekartaji menemui Kelana Jayengsari untuk mendampingi dalam perang. Petikan di
cerita: “Kelana Jayengsari menoleh ke belakang ketika ia mendengar teriakan
itu. Ia terkejut bukan main! Hampir-hampir ia terjatuh dari atas kudanya.
Seluruh badannya gemetar. Matanya berkunang-kunang melihat seorang putri cantik
yang sedang berdiri di hadapannya.” Ia tak sadar berkata: “Angreni, oh,
Angreni, isteriku. Benarkah engkau ini Angreni yang telah datang kembali? Ah,
Angreni engkau benar-benar menjadi lebih cantik dan mempesonakan.” Ia masih
selalu teringat Angreni. Di depan, ia berhadapan Dewi Sekartaji mirip banget
dengan Angreni. Raden Panji memenangi sekian perang dan menikahlah dengan Dewi
Sekartaji.
Kebahagiaan dilengkapi bisikan dari langit. Raden
Panji dan Dewi Sekartaji mendengar serius: “Para Dewa tidak menghendaki dua
puteri yang kau kasihi berwajah sama. Perpaduan kedua puteri itu bagaikan
sebutir cahaya bintang di langit. Angreni bersama inang pengsuhnya turun
sejenak ke bumi untuk membuktikan kepadamu bahwa kedua orang puteri yang kau
cintai itu telah menjadi satu. Angreni bagaikan cahaya bulan. Sinar cahaya
bulan memancar ke wajah Dewi Sekartaji dan menjelma menjadi Dewi Persatuan.
Dewi Persatuan itu selanjutnya akan bernama Dewi Candrakirana atau cahaya
bulan!” Cerita berakhir. Murid-murid SD mulai mencari hikmah buku dan merenung
tentang kecantikan, kematian, dan kegilaan. Semua itu berakhir bahagia. Begitu.