Wednesday, April 24, 2019

Cerita Itu Pendidikan-Pengajaran


Cerita Itu Pendidikan-Pengajaran

Bandung Mawardi


Para pembaca novel berjudul Pulang dan Laut Bercerita gubahan Leila S Chudori bakal menemukan daftar buku milik para tokoh. Buku-buku disantap, sejak bocah sampai para tokoh menjadi dewasa. Sekian buku tentu bacaan terkenang pengarang: mengalami hidup di keluarga bergelimang buku. Penghadiran tokoh-tokoh di novel gandrung membaca agak memantulkan kebiasaan Leila S Chudori sejak bocah hidup bersama buku-buku.
Di halaman belakang novel Pulang, kita membaca ucapan terima kasih Leila S Chudori pada orang-orang dan keluarga: “Orangtua saya, Willy dan Mohammad Chudori, dan kedua kakak saya Zuly Chudori dan Rizal Bukhari Chudori yang mengajarkan saya tentang pentingnya buku sastra sebagai bagian dari hidup, seperti halnya ilmu pengetahuan, kuliner, dan doa.” Masa lalu, masa menekuni buku, dari ke hari. Leila S Chudori membaca teks-teks sastra gubahan pengarang Indonesia dan dunia. Kebiasaan membaca merangsang ke penulisan sastra.
Kita jangan lupa mampir ke halaman biografi pendek pengarang: “Leila S Chudori lahir di Jakarta, 12 Desember 1962. Karya-karya awal Leila dipublikasikan saat ia berusia 12 tahun di majalah Si Kuncung, Kawanku, dan Hai. Pada usia dini, ia menghasilkan buku kumpulan cerpen berjudul Sebuah Kejutan, Empat Pemuda Kecil, dan Seputih Hati Andra.” Novel berjudul Pulang menempatkan Leila S Chudori sebagai pengarang tenar. Novel itu menjadi pemenang Khatulistiwa Literary Award 2013. Novel sudah diterjemahkan ke sekian bahasa asing. Pulang mendapat ulasan-ulasan di pelbagai koran, majalah, dan seminar. Orang-orang membaca Pulang tapi mungkin tak pernah melihat, memegang, dan membaca tiga buku dicantumkan di halaman biografi. Apa buku itu masih ada? Apa tiga buku masih mungkin cetak ulang menandai awal kepengarangan Leila S Chudori?
Bergerak ke pasar buku loak atau perpustakaan mesti terjadi jika ingin menjumpai buku-buku awal dari pengarang sudah rajin menulis sejak usia belasan tahun. Leila S Chudori tentu masih mengoleksi tiga buku. Penerbit buku-buku itu belum tentu masih memiliki. Pada suatu hari, keberuntungan dialami Kabut di Gladak (Solo). Ribuan dan majalah buku lawas dijual di situ. Di tumpukan buku-buku lawas, ada buku tipis dengan sampul berwarna biru. Di sampul, kita melihat ada gambar sepatu dan jam tangan.
Buku itu mengejutkan bagi pembaca telat mengenali dan bertemu Leila S Chudori. Di halaman biografi, ada keterangan pendek dan foto gadis dengan tatanan rambut rapi. Kita simak saja: “Leila Salikha Chudori. Tanggal lahir: Jakarta, 12 Desember 1962. Mulai menulis kelas 5 SD. Pertama kali dimuat di majalah Si Kuncung tahun 1974, judulnya ‘Pesan Sebatang Pohon Pisang’. Menulis pada majalah-majalah Si Kuncung, Kawanku, dan Bobo. Sekarang bersekolah di SMP Negeri VIII, kelas II. Bercita-cita ingin menjadi dokter.” Ia malah jadi penulis kondang di Indonesia, gagal jadi dokter. Leila S Chudori itu pernah berpredikat wartawan di Tempo, sering mengerjakan resensi film. Ia tak pernah kuliah di jurusan kedokteran. Pada masa dewasa, Leila S Chudori kuliah di luar negeri. Pulang, ia jadi wartawan dan penulis. Lakon berbeda dari biografi pendek pernah ditaruh di buku.
Pada masa bocah-remaja, Leila S Chudori keranjingan membaca buku-buku gubahan Mark Twain, Hector Malot, Lousia May Alcott, Lorna Hill, Charles Dickens, Djokolelono, AM Harahap, Sukanto SA, Luwarsih P, trim Sutidja, dan Toha Mohtar. Masa bergelimang buku itu menentukan biografi Leila S Chudori jadi penulis cerita pendek dan novel mumpuni di Indonesia. Bacaan-bacaan berpengaruh sampai menua.
Buku itu berjudul Hadiah oleh Leila S Chudori, terbitan Yayasan Kawanku, Jakarta, 1977. Buku berstempel “Milik Departemen P dan K, Tidak Diperdagangkan, Inpres No 3 Tahun 1977.” Buku itu pernah jadi koleksi SD Kadirejo, Klaten, Jawa Tengah. Buku resmi milik koleksi perpustakaan, 19 Mei 1979. Buku berisi 10 cerita pendek. Gambar sampul dan ilustrasi oleh Isnaeni MH.
Cerita berjudul “Wartawan Cilik” seperti menentukan nasib Leila S Chudori. Tokoh bernama Ade rajin membaca koran. Bapak berlangganan koran dan majalah Bintang. Ade kadang mengirimkan tulisan ke Bintang. Ia berharapan tulisan dimuat. Pada edisi terbaru Bintang, Ade menemukan tulisan pernah dikirimkan memang dimuat dengan judul “Tukang Sapu Jalan.” Girang! Tulisan dipamerkan ke ibu.
Leila S Chudori mengisahkan: “Malam harinya, Ade tak ada pekerjaan. Ingin ia rasanya mengarang cerita, tetapi tak punya ilham yang baik. Di depan mesin tik ayahnya, ia memandang langit-langit rumah tanpa berkedip.” Pengisahan bocah berhasrat menulis ketimbang bermain, melongon, tidur, atau malas-malasan. Peristiwa membikin pembaca mesem setelah mengetahui kalimat-kalimat lanjutan. “Melihat apa di sana, Ade? Ada ulangan Ilmu Bumi? Jadi melihat peta?” Perkataan mengagetkan Ade. Leila S Chudori mengisahkan: “Ade tertawa. Maksud ayahnya, karena langit-langit rumah beberapa hari yang lalu bocor kena hujan. Dan bekasnya jadi bentuk seperti pulau-pulau.” Kalimat-kalimat itu apik, membuat pembaca pantas memberi pujian ke pengarang. Cerita itu mungkin “ramalan” bahwa Leila S Chudori bakal menjadi wartawan di majalah kondang: Tempo. Sejak bocah, ia ingin menjadi wartawan, bukan dokter. Dulu, ia ingin jadi dokter tentu dipengaruhi teman dan guru. Pada masa Orde Baru, bocah bercita-cita menjadi dokter itu seperti “kepastian” selain menjadi guru atau direktur.
Pada cerita berjudul “Otto dan Bernadeth”, pembaca mendapat kelucuan. Otto: bocah bertubuh sangat kurus, tinggi, rambut lurus-lurus seperti jarum. Bernadeth: tubuh agak gemuk, tinggi, rambut keriting. Leila S Chudori menceritakan: “Keduanya adalah teman sekolahku. Keduanya adalah anak-anak yang penuh humor, nakal, dan susah diatur. Tetapi keduanyalah yang terpandai dan sering bersaing dalam pelajaran berhitung.” Pada suatu hari, dua bocah itu membikin guru jengkel. Otto dan Bernadeth ketahuan tidur saat guru menerangkan ilmu kesehatan. Bu guru berkata pada Otto: “Nonton apa kau semalam.” Otto masih mengantuk menjawab: “Gatotkaca Gugur, Bu.” Otto memiliki kebiasaan menontong wayang kulit. Bu guru beralih ke Bernadeth: “Kau, Bernadeth, bagus buku yang kau baca semalam?” Bernadeth juga masih mengantu menjawab pasti: “Oh, bagus, Bu, Tom Sawyer karangan Mark Twain.” Guru bijak, mengetahui sumber tidur dua bocah pandai. Kemarahan tak perlu diberikan ke mereka. Hukuman berlari mengelilingi halaman sekolah tentu biadab. Dua bocah dibiarkan memberi jawab sebagai “alasan” berterima bagi pendidik. Mereka bukan melakukan perbuatan jahat dan sia-sia di malam hari.
Di cerita berjudul “Pertandingan”, pembaca masih menemukan tema dan pesan pendidikan-pengajaran. Cerita-cerita di buku memang bermutu jadi bacaan murid SD dan SMP untuk merenungi segala hal berkaitan sekolah. Cerita “Pertandingan” mengharukan. Dua bocah pandai bersaing sengit, sebelum akur jadi sahabat. Pembukaan cerita: “Sekelas tahu, Indra tidaklah sombong karena kepandainnya dalam pelajaran matematika dan ilmu alam. Dan sekelas juga tahu kalau Fara pun tidak sombong karena pelajaran bahasa Indonesia dan sejarah dilahapnya dengan mudah. Namun sayang, kedua anak yang pandai dalam bidang itu tidak pernah mau bertukar fikiran atau berdiskusi. Malah mereka berdua sering bertengkar memuji masing-masing kepandaiannya. Indra dengan kepandaian dalam ilmu pastinya dan Fara dengan kepintaran bahasanya. Padahal sebenarnya mereka dapat bertukar kepandaian bila mau belajar bersama.” Dua murid di pertandingan “paling” pandai di kelas.  
Dulu, murid-murid sering membandingkan ilmu-ilmu. Konon, murid lelaki cenderung pintar di ilmu pasti. Murid perempuan di ilmu sosial dan bahasa. Perdebatan sesama murid dengan argumentasi sembrono dihadirkan Leila S Chudori. Cerita itu kritik atas pemahaman salah di sekolah bagi murid-murid ingin mempelajari pelbagai ilmu.
Perdebatan sampai ke perkara kehidupan keseharian. Indra menjawab penasaran teman tentang pembagian waktu: “Yah, kita harus rajin berlatih. Untuk ilmu pasti tak guna dihafalkan. Pengertian yang dipentingkan. Membagi waktunya: siang aku mempelajari pelajaran tadi di sekolah dan sore aku mengantarkan koran ke langganan. Malam aku belajar lagi.” Pengenalan tokoh Indra oleh pengarang: “Anak-anak tak heran lagi, Indra memang setiap sore selalu mengantarkan koran-koran menaiki sepedanya ke langganannya. Itu semua ia lakukan untuk membantu orang tuanya. Tapi anak-anak tak pernah mengejek atau mencemoohnya. Karena itu Indra tak merasa rendah diri.”
Pada hari menjelang ujian, Indra sakit. Ia harus ikut susulan. Indra ingin sekali masuk sekolah tapi raga terkapar. Sedih dan marah memikirkan pertandingan melawan Fara. Pada hari tak terlalu diharapkan, Indra kedatangan teman. Indra mengira itu Susilo atau Rinto. Eh, teman itu malah Fara. Indra malu dan kaget. Fara santun menjenguk Indra ingin memberi bantuan: “Aku tak bisa lama-lama, In, mobilku menunggu. Ini soal-soal ulangan umum. Kau bisa belajar dari sini. Dan… oh ya, tadi aku sudah ke agen koranmu, kukatakan kalau kau sedang sakit. Jadi kau istirahat dulu ya, In.”
Dua murid itu ada di perdamaian indah. Oh, Fara itu dari keluarga berada, tak seperti Indra. Pembaca berharap perdamaian itu awet sampai Indra dan Fara menjadi dewasa: saling berbagi ilmu dan berbagi perasaan. Di akhir cerita, dua tokoh itu saling mengangguk. Eh, anggukan saling belajar ilmu, bukan anggukan untuk jalinan asmara. Begitu. 



No comments:

Post a Comment