Cerita Itu Pendidikan-Pengajaran
Bandung Mawardi
Para pembaca novel berjudul Pulang dan Laut Bercerita
gubahan Leila S Chudori bakal menemukan daftar buku milik para tokoh. Buku-buku
disantap, sejak bocah sampai para tokoh menjadi dewasa. Sekian buku tentu
bacaan terkenang pengarang: mengalami hidup di keluarga bergelimang buku.
Penghadiran tokoh-tokoh di novel gandrung membaca agak memantulkan kebiasaan
Leila S Chudori sejak bocah hidup bersama buku-buku.
Di halaman belakang novel Pulang, kita membaca ucapan terima kasih Leila S Chudori pada
orang-orang dan keluarga: “Orangtua saya, Willy dan Mohammad Chudori, dan kedua
kakak saya Zuly Chudori dan Rizal Bukhari Chudori yang mengajarkan saya tentang
pentingnya buku sastra sebagai bagian dari hidup, seperti halnya ilmu
pengetahuan, kuliner, dan doa.” Masa lalu, masa menekuni buku, dari ke hari.
Leila S Chudori membaca teks-teks sastra gubahan pengarang Indonesia dan dunia.
Kebiasaan membaca merangsang ke penulisan sastra.
Kita jangan lupa mampir ke halaman biografi pendek
pengarang: “Leila S Chudori lahir di Jakarta, 12 Desember 1962. Karya-karya
awal Leila dipublikasikan saat ia berusia 12 tahun di majalah Si Kuncung, Kawanku, dan Hai. Pada usia
dini, ia menghasilkan buku kumpulan cerpen berjudul Sebuah Kejutan, Empat Pemuda
Kecil, dan Seputih Hati Andra.”
Novel berjudul Pulang menempatkan
Leila S Chudori sebagai pengarang tenar. Novel itu menjadi pemenang Khatulistiwa Literary Award 2013. Novel
sudah diterjemahkan ke sekian bahasa asing. Pulang
mendapat ulasan-ulasan di pelbagai koran, majalah, dan seminar. Orang-orang
membaca Pulang tapi mungkin tak
pernah melihat, memegang, dan membaca tiga buku dicantumkan di halaman biografi.
Apa buku itu masih ada? Apa tiga buku masih mungkin cetak ulang menandai awal kepengarangan
Leila S Chudori?
Bergerak ke pasar buku loak atau perpustakaan
mesti terjadi jika ingin menjumpai buku-buku awal dari pengarang sudah rajin
menulis sejak usia belasan tahun. Leila S Chudori tentu masih mengoleksi tiga
buku. Penerbit buku-buku itu belum tentu masih memiliki. Pada suatu hari,
keberuntungan dialami Kabut di Gladak (Solo). Ribuan dan majalah buku lawas
dijual di situ. Di tumpukan buku-buku lawas, ada buku tipis dengan sampul
berwarna biru. Di sampul, kita melihat ada gambar sepatu dan jam tangan.
Buku itu mengejutkan bagi pembaca telat mengenali dan
bertemu Leila S Chudori. Di halaman biografi, ada keterangan pendek dan foto
gadis dengan tatanan rambut rapi. Kita simak saja: “Leila Salikha Chudori.
Tanggal lahir: Jakarta, 12 Desember 1962. Mulai menulis kelas 5 SD. Pertama
kali dimuat di majalah Si Kuncung tahun
1974, judulnya ‘Pesan Sebatang Pohon Pisang’. Menulis pada majalah-majalah Si Kuncung, Kawanku, dan Bobo.
Sekarang bersekolah di SMP Negeri VIII, kelas II. Bercita-cita ingin menjadi
dokter.” Ia malah jadi penulis kondang di Indonesia, gagal jadi dokter. Leila S
Chudori itu pernah berpredikat wartawan di Tempo,
sering mengerjakan resensi film. Ia tak pernah kuliah di jurusan kedokteran.
Pada masa dewasa, Leila S Chudori kuliah di luar negeri. Pulang, ia jadi
wartawan dan penulis. Lakon berbeda dari biografi pendek pernah ditaruh di
buku.
Pada masa bocah-remaja, Leila S Chudori
keranjingan membaca buku-buku gubahan Mark Twain, Hector Malot, Lousia May
Alcott, Lorna Hill, Charles Dickens, Djokolelono, AM Harahap, Sukanto SA,
Luwarsih P, trim Sutidja, dan Toha Mohtar. Masa bergelimang buku itu menentukan
biografi Leila S Chudori jadi penulis cerita pendek dan novel mumpuni di
Indonesia. Bacaan-bacaan berpengaruh sampai menua.
Buku itu berjudul Hadiah oleh Leila S Chudori, terbitan Yayasan Kawanku, Jakarta,
1977. Buku berstempel “Milik Departemen P dan K, Tidak Diperdagangkan, Inpres
No 3 Tahun 1977.” Buku itu pernah jadi koleksi SD Kadirejo, Klaten, Jawa Tengah.
Buku resmi milik koleksi perpustakaan, 19 Mei 1979. Buku berisi 10 cerita
pendek. Gambar sampul dan ilustrasi oleh Isnaeni MH.
Cerita berjudul “Wartawan Cilik” seperti
menentukan nasib Leila S Chudori. Tokoh bernama Ade rajin membaca koran. Bapak
berlangganan koran dan majalah Bintang.
Ade kadang mengirimkan tulisan ke Bintang.
Ia berharapan tulisan dimuat. Pada edisi terbaru Bintang, Ade menemukan tulisan pernah dikirimkan memang dimuat
dengan judul “Tukang Sapu Jalan.” Girang! Tulisan dipamerkan ke ibu.
Leila S Chudori mengisahkan: “Malam harinya, Ade
tak ada pekerjaan. Ingin ia rasanya mengarang cerita, tetapi tak punya ilham
yang baik. Di depan mesin tik ayahnya, ia memandang langit-langit rumah tanpa
berkedip.” Pengisahan bocah berhasrat menulis ketimbang bermain, melongon,
tidur, atau malas-malasan. Peristiwa membikin pembaca mesem setelah mengetahui
kalimat-kalimat lanjutan. “Melihat apa di sana, Ade? Ada ulangan Ilmu Bumi?
Jadi melihat peta?” Perkataan mengagetkan Ade. Leila S Chudori mengisahkan:
“Ade tertawa. Maksud ayahnya, karena langit-langit rumah beberapa hari yang
lalu bocor kena hujan. Dan bekasnya jadi bentuk seperti pulau-pulau.”
Kalimat-kalimat itu apik, membuat pembaca pantas memberi pujian ke pengarang. Cerita
itu mungkin “ramalan” bahwa Leila S Chudori bakal menjadi wartawan di majalah
kondang: Tempo. Sejak bocah, ia ingin
menjadi wartawan, bukan dokter. Dulu, ia ingin jadi dokter tentu dipengaruhi
teman dan guru. Pada masa Orde Baru, bocah bercita-cita menjadi dokter itu
seperti “kepastian” selain menjadi guru atau direktur.
Pada cerita berjudul “Otto dan Bernadeth”, pembaca
mendapat kelucuan. Otto: bocah bertubuh sangat kurus, tinggi, rambut
lurus-lurus seperti jarum. Bernadeth: tubuh agak gemuk, tinggi, rambut
keriting. Leila S Chudori menceritakan: “Keduanya adalah teman sekolahku.
Keduanya adalah anak-anak yang penuh humor, nakal, dan susah diatur. Tetapi
keduanyalah yang terpandai dan sering bersaing dalam pelajaran berhitung.” Pada
suatu hari, dua bocah itu membikin guru jengkel. Otto dan Bernadeth ketahuan
tidur saat guru menerangkan ilmu kesehatan. Bu guru berkata pada Otto: “Nonton
apa kau semalam.” Otto masih mengantuk menjawab: “Gatotkaca Gugur, Bu.” Otto memiliki kebiasaan menontong wayang
kulit. Bu guru beralih ke Bernadeth: “Kau, Bernadeth, bagus buku yang kau baca
semalam?” Bernadeth juga masih mengantu menjawab pasti: “Oh, bagus, Bu, Tom Sawyer karangan Mark Twain.” Guru
bijak, mengetahui sumber tidur dua bocah pandai. Kemarahan tak perlu diberikan
ke mereka. Hukuman berlari mengelilingi halaman sekolah tentu biadab. Dua bocah
dibiarkan memberi jawab sebagai “alasan” berterima bagi pendidik. Mereka bukan
melakukan perbuatan jahat dan sia-sia di malam hari.
Di cerita berjudul “Pertandingan”, pembaca masih
menemukan tema dan pesan pendidikan-pengajaran. Cerita-cerita di buku memang
bermutu jadi bacaan murid SD dan SMP untuk merenungi segala hal berkaitan
sekolah. Cerita “Pertandingan” mengharukan. Dua bocah pandai bersaing sengit,
sebelum akur jadi sahabat. Pembukaan cerita: “Sekelas tahu, Indra tidaklah
sombong karena kepandainnya dalam pelajaran matematika dan ilmu alam. Dan
sekelas juga tahu kalau Fara pun tidak sombong karena pelajaran bahasa
Indonesia dan sejarah dilahapnya dengan mudah. Namun sayang, kedua anak yang
pandai dalam bidang itu tidak pernah mau bertukar fikiran atau berdiskusi.
Malah mereka berdua sering bertengkar memuji masing-masing kepandaiannya. Indra
dengan kepandaian dalam ilmu pastinya dan Fara dengan kepintaran bahasanya.
Padahal sebenarnya mereka dapat bertukar kepandaian bila mau belajar bersama.” Dua
murid di pertandingan “paling” pandai di kelas.
Dulu, murid-murid sering membandingkan ilmu-ilmu.
Konon, murid lelaki cenderung pintar di ilmu pasti. Murid perempuan di ilmu
sosial dan bahasa. Perdebatan sesama murid dengan argumentasi sembrono
dihadirkan Leila S Chudori. Cerita itu kritik atas pemahaman salah di sekolah
bagi murid-murid ingin mempelajari pelbagai ilmu.
Perdebatan sampai ke perkara kehidupan keseharian.
Indra menjawab penasaran teman tentang pembagian waktu: “Yah, kita harus rajin
berlatih. Untuk ilmu pasti tak guna dihafalkan. Pengertian yang dipentingkan.
Membagi waktunya: siang aku mempelajari pelajaran tadi di sekolah dan sore aku
mengantarkan koran ke langganan. Malam aku belajar lagi.” Pengenalan tokoh
Indra oleh pengarang: “Anak-anak tak heran lagi, Indra memang setiap sore
selalu mengantarkan koran-koran menaiki sepedanya ke langganannya. Itu semua ia
lakukan untuk membantu orang tuanya. Tapi anak-anak tak pernah mengejek atau
mencemoohnya. Karena itu Indra tak merasa rendah diri.”
Pada hari menjelang ujian, Indra sakit. Ia harus
ikut susulan. Indra ingin sekali masuk sekolah tapi raga terkapar. Sedih dan
marah memikirkan pertandingan melawan Fara. Pada hari tak terlalu diharapkan,
Indra kedatangan teman. Indra mengira itu Susilo atau Rinto. Eh, teman itu
malah Fara. Indra malu dan kaget. Fara santun menjenguk Indra ingin memberi
bantuan: “Aku tak bisa lama-lama, In, mobilku menunggu. Ini soal-soal ulangan
umum. Kau bisa belajar dari sini. Dan… oh ya, tadi aku sudah ke agen koranmu,
kukatakan kalau kau sedang sakit. Jadi kau istirahat dulu ya, In.”
Dua murid itu ada di perdamaian indah. Oh, Fara
itu dari keluarga berada, tak seperti Indra. Pembaca berharap perdamaian itu
awet sampai Indra dan Fara menjadi dewasa: saling berbagi ilmu dan berbagi
perasaan. Di akhir cerita, dua tokoh itu saling mengangguk. Eh, anggukan saling
belajar ilmu, bukan anggukan untuk jalinan asmara. Begitu.
No comments:
Post a Comment