Petaka…
Bandung Mawardi
Pada 1980-an, buku bacaan anak berlimpahan di
pasar. Konon, Indonesia panen bacaan anak. Situasi itu malah membikin bingung.
Di majalah Femina, 9 Agustus 1983,
kita membaca laporan berjudul “Cara Jitu Memilih Buku Bacaan Anak”. Kliping
penting bagi pembaca dan pengulas bacaan anak, dari masa ke masa. Kejutan di
paragraf awal: “Ribuan judul buku bacaan dengan gambar memikat menyerbu
anak-anak kita. Di tengah rimba buku bacaan ini, kita–orang tualah–yang jadi
bingung. Buku mana yang paling tepat untuk anak kita?” Wah, si pembuat kalimat
berimajinasi sedang mengalami perang atau melakukan pengembaraan alam. Kliping
itu membantah segala tuduhan bahwa Indonesia kekurangan bacaan anak. Pada 2019,
ada novelis kondang (mungkin) sepanjang masa mengatakan Indonesia cuma memiliki
sedikit bacaan untuk anak-anak. Ia mungkin khilaf atau berlagak jadi pengamat
kepustakaan anak tanpa sangu kliping
dan argumentasi.
Pada masa 1980-an, dikabarkan ada ribuan judul.
Pada masa 1990-an, jumlah mungkin masih ribuan. Pada abad XXI, seluruh judul
bacaan anak pernah terbit di Indonesia sudah mencapai puluhan ribu judul? Siapa
sanggup mengoleksi dan membaca semua untuk dibuatkan daftar bacaan bermutu bagi
anak-anak, mencakup waktu seratus tahun? Ah, kita masih bakal menunggu lama
memiliki perpustakaan khusus bacaan anak atas kemauan pemerintah, universitas,
penerbit, intitusi partikelir, atau komunitas sastra. Kita mencatat produsen
terbesar bacaan anak adalah Gramedia Pustaka Utama dan Mizan. Pada masa lalu,
puluhan atau ratusan penerbit bersaing dan berbarengan mengadakan bacaan anak
meski semua belum memiliki tempat terhormat di sejarah penerbitan bacaan anak.
Buku itu belum ada!
Pada masa panen bacaan anak, ada kritik wajib
disimak dari K Usman. Di penulisan buku anak, K Usman sudah menulis 117 buku.
Fantastis! Kita mengutip dari Femina:
“Bidang apa saja di negeri ini kebanyakan dipegang oleh pria, termasuk
penulisan buku untuk anak.” K Usman itu lelaki keranjingan menulis buku anak.
Ia menginginkan penulis buku anak adalah kaum ibu. Anak-anak cenderung dekat
dengan ibu. Buku cerita gubahan ibu tentu mengena ke anak ketimbang bapak.
Keinginan itu sudah terbukti tapi harus menunggu lama untuk mencatat penulis
buku anak pada abad XXI adalah kaum ibu.
Kita kembali mengurusi buku bacaan bergambar. Pada
1974, terbit buku berjudul Naga Berlian garapan
Yan Armerun (penulis) dan Fadli Rasyid (ilustrator). Buku tipis dan kecil
terbitan Pustaka Jaya. Di sampul, penerbit sudah memberi keterangan: “buku
bacaan bergambar”. Buku terbit duluan sebelum pemuatan laporan di Femina (1983). Kita ingin mundur ke masa
1970-an melalui buku sederhana, belum digarap seapik buku-buku terbitan
mutakhir dari pelbagai penerbit besar.
Ganbar-gambar belum meriah warna. Di setiap
halaman, jumlah kalimat sengaja sedikit tapi jelas. Di halaman 3: “Di tepi
hutan belantara, hidup seorang pemuda tampan dan perkasa, Tunggal Mustika
namanya. Dia anak tunggal seorang janda miskin, dan sudah tidak berayah lagi.
Dia gemar berburu, pandai memanah dan memainkan pedang serta lembing.” Cerita
itu memikat anak? Dulu, segala cerita jika bertempat di hutan sering memberi
imajinasi keberanian dan pengembaraan bagi bocah-bocah. Hutan berisi pohon dan
binatang bermunculan di imajinasi anak. Hutan mungkin asal-usul segala cerita
di pelbagai negeri.
Tokoh itu bernama Tunggal Mustika. Sakti. Ia tak
berseragam sekolah atau memiliki benda-benda mainan modern. Ia berdandan
bersahaja. Ia memiliki senjata panah, bukan mainan. Tunggal Mustika, pemburu.
Nah, anak-anak di sekolah mungkin tergoda menjadikan diri adalah pemburu dalam
cerita bergambar. Berburu itu seru! Mereka mulai berpikiran
bahwa senjata-senjata dalam perburuan bakal melukai atau menewaskan sekian
binatang. Berburu itu belum dipikirkan secara bijak. Berburu masih dianggap
peristiwa bagi pemberani. Anak-anak ingin jadi pemberani.
Bocah lekas pula mengandaikan jadi pemberani
dengan masuk ke hutan-hutan berada di Jawa, Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, dan
Papua. Indonesia itu negeri memiliki hutan-hutan pantas jadi ruang cerita dan
pembuktian. Eh, Tunggal Mustika masuk hutan, berburu rusa betina. Binatang itu
terkapar oleh anak panah dilepaskan Tunggal Mustika. Di hitungan detik,
mendadak muncul naga menerkam bangkai Rusa, melarikan ke dalam hutan. Tunggal
Mustika ingin memanah si naga. Ah, anak panah sudah habis. Si pemburu dan
pemberani itu marah! Pada Tunggal Mustika, pembaca boleh meniru marah
menimbulkan dendam kesumat.
Marah disampaikan pada ibu. Tunggal Mustika
berjanji mau membunuh naga. Binatang itu telah mengejek dan menjatuhkan
martabat si pemburu. Tunggal Mustika berkata ke ibu: “Izinkanlah aku, Ibu. Aku
akan menjelajah hutan rimba, menari naga durhaka itu!” Sang ibu melarang dengan
cerita sedih. Dulu, bapak Tunggal Mustika berkelana ke rimba tapi tak kembali.
Bapak berniat mencari permata berlian peninggalan sebuah kerjaan. Hari demi
hari, bapak tak pernah kembali. Pulang menjadi kata hampa. Sang ibu tak ingin
Tunggal Mustika bernasib sama.
Si pemberani emoh menuruti nasihat ibu. Ia tetap menuju
hutan. Eh, Tunggal Mustika sudah tampak durhaka? Pembaca jangan tergesa menuduh
dan mengesahkan kedurhakaan. Hari demi hari, Tunggal Mustika berjalan dengan
kemarahan dan janji membunuh naga. Di suatu tempat, ia melihat gubuk tua. Ia
diajak masuk oleh tuan rumah, pertapa tua. Mereka bercakap dalam gubuk. Pertapa
bercerita: “Ayahmu berhasil menemukan bekas istana kerajaan itu. Ia pun
berhasil menemukan permata berlian indah. Dibawanya pulang berpundi-pundi.”
Nasib belum untung. Di tengah perjalanan, ia dicegat lelaki bertopeng.
Perampokan. Lelaki bertopeng ditawari berlian berwarna merah tapi menolak.
Perkelahiran terjadi. Topeng perampok terlepas. Lelaki itu saudara tiri atau
paman Tunggal Mustika! Lelaki rakus dan jahat itu berhasil membunuh
bapak Tunggal Mustika. Jenazah dibuang ke jurang. Oh, kejam!
Hasil rampokan mau dibawa pulang. Eh, lelaki itu
salah arah. Ia malah terus masuk ke dalam hutan. Letih. Lapar. Di hutan, ia
melihat ada telur besar tergeletak. Telur itu direbus dan dimakan. Dampak makan
telur adalah si perampok berubah menjadi naga menakutkan. Ia terkutuk!
Keserakahan dan kejahatan mendapat kutukan menjadi naga. Di tubuh naga, berlian-berlian
itu tampak bersinar kala malam. Naga hidup di gua, memancing orang-orang
berdatangan ingin mendapatkan berlian.
Tunggal Mustika mendapat petuah dari pertapa agar
mendatangi gua. Ia berhak mendapat berlian pernah diperoleh bapak. Berlian
didapatkan dengan cara membunuh naga, membunuh paman. Pertapa bilang bahwa roh
paman menderita di tubuh naga. Tunggal Mestika diberi pedang untuk pertempuran
melawan naga. Sampailah ia ke gua. Terkejut! Di sana, tulang-tulang manusia
korban naga.
Terjadilah perkelahian seru. Tunggal Mustika
menang dengan menghunjamkan pedang ke jantung naga: “Sesaat tubuh naga itu
meregang. Kemudian lemah lunglai, rebah ke tanah dan mati. Sekonyong-konyong
berubahlah bangkai naga itu menjadi mayat seorang manusia.” Berlian-berlian
berhasil diperoleh lagi. Di perjalanan pulang, Tunggal Mustika menebar sekian
berlian ke jurang: tanda bakti pada bapak. Keajaiban terjadi: “Tapi butir-butir
berlian yang bertaburan itu berubah menjadi taburan kembang-kembang indah:
melati, cempaka, melur, dan anggrek.” Tunggal Mustika berhasil sampai rumah.
Berlian-berlian itu menjadikan ia saudagar luhur.
Buku bacaan bergambar itu membuat bocah lega dan “berhore”
mengetahui Tunggal Mustika meraih kemenangan dan berlimpah harta tapi luhur.
Kita mungkin menunduk setelah rampung membaca cerita. Duh, anak-anak diajak
berpikiran berlian! Sejak ribuan tahun lalu, benda-benda menakjubkan
memang selalu ada di cerita-cerita terwariskan: emas, berlian, mutiara, dan
lain-lain. Pada masa berbeda, bocah membaca buku itu beranjak dewasa. Ia boleh
membaca novel berjudul Mutiara
gubahan John Steinbeck. Novel kecil dan tipis itu mengingatkan orang-orang
mengenai mutiara cenderung sumber petaka ketimbang kebahagiaan. Mutiara itu
mengakibatkan fitnah, benci, sengketa, kematian, dan derita. Novel gubahan
pengarang tenar asal Amerika Serikat itu anggap saja penambahan tanda seru atas
sikap manusia pada benda-benda mulia dan berharga. Begitu.
No comments:
Post a Comment