Wednesday, April 24, 2019

Petaka


Petaka…

Bandung Mawardi


Pada 1980-an, buku bacaan anak berlimpahan di pasar. Konon, Indonesia panen bacaan anak. Situasi itu malah membikin bingung. Di majalah Femina, 9 Agustus 1983, kita membaca laporan berjudul “Cara Jitu Memilih Buku Bacaan Anak”. Kliping penting bagi pembaca dan pengulas bacaan anak, dari masa ke masa. Kejutan di paragraf awal: “Ribuan judul buku bacaan dengan gambar memikat menyerbu anak-anak kita. Di tengah rimba buku bacaan ini, kita–orang tualah–yang jadi bingung. Buku mana yang paling tepat untuk anak kita?” Wah, si pembuat kalimat berimajinasi sedang mengalami perang atau melakukan pengembaraan alam. Kliping itu membantah segala tuduhan bahwa Indonesia kekurangan bacaan anak. Pada 2019, ada novelis kondang (mungkin) sepanjang masa mengatakan Indonesia cuma memiliki sedikit bacaan untuk anak-anak. Ia mungkin khilaf atau berlagak jadi pengamat kepustakaan anak tanpa sangu kliping dan argumentasi.
Pada masa 1980-an, dikabarkan ada ribuan judul. Pada masa 1990-an, jumlah mungkin masih ribuan. Pada abad XXI, seluruh judul bacaan anak pernah terbit di Indonesia sudah mencapai puluhan ribu judul? Siapa sanggup mengoleksi dan membaca semua untuk dibuatkan daftar bacaan bermutu bagi anak-anak, mencakup waktu seratus tahun? Ah, kita masih bakal menunggu lama memiliki perpustakaan khusus bacaan anak atas kemauan pemerintah, universitas, penerbit, intitusi partikelir, atau komunitas sastra. Kita mencatat produsen terbesar bacaan anak adalah Gramedia Pustaka Utama dan Mizan. Pada masa lalu, puluhan atau ratusan penerbit bersaing dan berbarengan mengadakan bacaan anak meski semua belum memiliki tempat terhormat di sejarah penerbitan bacaan anak. Buku itu belum ada!
Pada masa panen bacaan anak, ada kritik wajib disimak dari K Usman. Di penulisan buku anak, K Usman sudah menulis 117 buku. Fantastis! Kita mengutip dari Femina: “Bidang apa saja di negeri ini kebanyakan dipegang oleh pria, termasuk penulisan buku untuk anak.” K Usman itu lelaki keranjingan menulis buku anak. Ia menginginkan penulis buku anak adalah kaum ibu. Anak-anak cenderung dekat dengan ibu. Buku cerita gubahan ibu tentu mengena ke anak ketimbang bapak. Keinginan itu sudah terbukti tapi harus menunggu lama untuk mencatat penulis buku anak pada abad XXI adalah kaum ibu.
Kita kembali mengurusi buku bacaan bergambar. Pada 1974, terbit buku berjudul Naga Berlian garapan Yan Armerun (penulis) dan Fadli Rasyid (ilustrator). Buku tipis dan kecil terbitan Pustaka Jaya. Di sampul, penerbit sudah memberi keterangan: “buku bacaan bergambar”. Buku terbit duluan sebelum pemuatan laporan di Femina (1983). Kita ingin mundur ke masa 1970-an melalui buku sederhana, belum digarap seapik buku-buku terbitan mutakhir dari pelbagai penerbit besar.
Ganbar-gambar belum meriah warna. Di setiap halaman, jumlah kalimat sengaja sedikit tapi jelas. Di halaman 3: “Di tepi hutan belantara, hidup seorang pemuda tampan dan perkasa, Tunggal Mustika namanya. Dia anak tunggal seorang janda miskin, dan sudah tidak berayah lagi. Dia gemar berburu, pandai memanah dan memainkan pedang serta lembing.” Cerita itu memikat anak? Dulu, segala cerita jika bertempat di hutan sering memberi imajinasi keberanian dan pengembaraan bagi bocah-bocah. Hutan berisi pohon dan binatang bermunculan di imajinasi anak. Hutan mungkin asal-usul segala cerita di pelbagai negeri.
Tokoh itu bernama Tunggal Mustika. Sakti. Ia tak berseragam sekolah atau memiliki benda-benda mainan modern. Ia berdandan bersahaja. Ia memiliki senjata panah, bukan mainan. Tunggal Mustika, pemburu. Nah, anak-anak di sekolah mungkin tergoda menjadikan diri adalah pemburu dalam cerita bergambar. Berburu itu seru! Mereka mulai berpikiran bahwa senjata-senjata dalam perburuan bakal melukai atau menewaskan sekian binatang. Berburu itu belum dipikirkan secara bijak. Berburu masih dianggap peristiwa bagi pemberani. Anak-anak ingin jadi pemberani.
Bocah lekas pula mengandaikan jadi pemberani dengan masuk ke hutan-hutan berada di Jawa, Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, dan Papua. Indonesia itu negeri memiliki hutan-hutan pantas jadi ruang cerita dan pembuktian. Eh, Tunggal Mustika masuk hutan, berburu rusa betina. Binatang itu terkapar oleh anak panah dilepaskan Tunggal Mustika. Di hitungan detik, mendadak muncul naga menerkam bangkai Rusa, melarikan ke dalam hutan. Tunggal Mustika ingin memanah si naga. Ah, anak panah sudah habis. Si pemburu dan pemberani itu marah! Pada Tunggal Mustika, pembaca boleh meniru marah menimbulkan dendam kesumat.
Marah disampaikan pada ibu. Tunggal Mustika berjanji mau membunuh naga. Binatang itu telah mengejek dan menjatuhkan martabat si pemburu. Tunggal Mustika berkata ke ibu: “Izinkanlah aku, Ibu. Aku akan menjelajah hutan rimba, menari naga durhaka itu!” Sang ibu melarang dengan cerita sedih. Dulu, bapak Tunggal Mustika berkelana ke rimba tapi tak kembali. Bapak berniat mencari permata berlian peninggalan sebuah kerjaan. Hari demi hari, bapak tak pernah kembali. Pulang menjadi kata hampa. Sang ibu tak ingin Tunggal Mustika bernasib sama.
Si pemberani emoh menuruti nasihat ibu. Ia tetap menuju hutan. Eh, Tunggal Mustika sudah tampak durhaka? Pembaca jangan tergesa menuduh dan mengesahkan kedurhakaan. Hari demi hari, Tunggal Mustika berjalan dengan kemarahan dan janji membunuh naga. Di suatu tempat, ia melihat gubuk tua. Ia diajak masuk oleh tuan rumah, pertapa tua. Mereka bercakap dalam gubuk. Pertapa bercerita: “Ayahmu berhasil menemukan bekas istana kerajaan itu. Ia pun berhasil menemukan permata berlian indah. Dibawanya pulang berpundi-pundi.” Nasib belum untung. Di tengah perjalanan, ia dicegat lelaki bertopeng. Perampokan. Lelaki bertopeng ditawari berlian berwarna merah tapi menolak. Perkelahiran terjadi. Topeng perampok terlepas. Lelaki itu saudara tiri atau paman Tunggal Mustika! Lelaki rakus dan jahat itu berhasil membunuh bapak Tunggal Mustika. Jenazah dibuang ke jurang. Oh, kejam!
Hasil rampokan mau dibawa pulang. Eh, lelaki itu salah arah. Ia malah terus masuk ke dalam hutan. Letih. Lapar. Di hutan, ia melihat ada telur besar tergeletak. Telur itu direbus dan dimakan. Dampak makan telur adalah si perampok berubah menjadi naga menakutkan. Ia terkutuk! Keserakahan dan kejahatan mendapat kutukan menjadi naga. Di tubuh naga, berlian-berlian itu tampak bersinar kala malam. Naga hidup di gua, memancing orang-orang berdatangan ingin mendapatkan berlian.
Tunggal Mustika mendapat petuah dari pertapa agar mendatangi gua. Ia berhak mendapat berlian pernah diperoleh bapak. Berlian didapatkan dengan cara membunuh naga, membunuh paman. Pertapa bilang bahwa roh paman menderita di tubuh naga. Tunggal Mestika diberi pedang untuk pertempuran melawan naga. Sampailah ia ke gua. Terkejut! Di sana, tulang-tulang manusia korban naga.
Terjadilah perkelahian seru. Tunggal Mustika menang dengan menghunjamkan pedang ke jantung naga: “Sesaat tubuh naga itu meregang. Kemudian lemah lunglai, rebah ke tanah dan mati. Sekonyong-konyong berubahlah bangkai naga itu menjadi mayat seorang manusia.” Berlian-berlian berhasil diperoleh lagi. Di perjalanan pulang, Tunggal Mustika menebar sekian berlian ke jurang: tanda bakti pada bapak. Keajaiban terjadi: “Tapi butir-butir berlian yang bertaburan itu berubah menjadi taburan kembang-kembang indah: melati, cempaka, melur, dan anggrek.” Tunggal Mustika berhasil sampai rumah. Berlian-berlian itu menjadikan ia saudagar luhur.
Buku bacaan bergambar itu membuat bocah lega dan “berhore” mengetahui Tunggal Mustika meraih kemenangan dan berlimpah harta tapi luhur. Kita mungkin menunduk setelah rampung membaca cerita. Duh, anak-anak diajak berpikiran berlian! Sejak ribuan tahun lalu, benda-benda menakjubkan memang selalu ada di cerita-cerita terwariskan: emas, berlian, mutiara, dan lain-lain. Pada masa berbeda, bocah membaca buku itu beranjak dewasa. Ia boleh membaca novel berjudul Mutiara gubahan John Steinbeck. Novel kecil dan tipis itu mengingatkan orang-orang mengenai mutiara cenderung sumber petaka ketimbang kebahagiaan. Mutiara itu mengakibatkan fitnah, benci, sengketa, kematian, dan derita. Novel gubahan pengarang tenar asal Amerika Serikat itu anggap saja penambahan tanda seru atas sikap manusia pada benda-benda mulia dan berharga. Begitu.   

No comments:

Post a Comment