Bualan!
Bandung Mawardi
Aman itu milik Indonesia. Lho! Aman bukan
persoalan tertib negara-bangsa secara militeristik. Aman itu memang milik
sastra Indonesia, sejak masa 1930-an. Ia biasa disebut Aman. Nama panjang: Aman
Datuk Madjoindo. Lahir di Sirukam, Solok, Sumatra Barat, 1896. Ia menulis buku
anak-anak menggunakan nama Aman. Di buku-buku untuk kalangan dewasa, ia menulis
nama A Dt Madjoindo. Ia pernah bekerja menjadi guru dan redaktur di Balai
Pustaka. Aman, contoh dari biografi pengarang Indonesia biasa merangkap sebagai
guru atau redaktur di penerbitan pemerintah dan partikelir.
Ensiklopedia
Sastra Indonesia
(2008) susunan Hawe Setiawan dan teman-teman mencantumkan sekian judul buku
gubahan A Dt Madjoindo: Sjair Banso Oerai
(1931), Meneboes Dosa (1932), Tjerita Malin Dewan dengan Poeteri Boengsoe (1932),
Si Tjebol Rindoekan Boelan (1934), Sampaikan Salamkoe Padanja (1935), Sjair Goel Bakawali (1936), Si Doel Anak Betawi (1956), Hikajat Si Miskin (1958), Tjindur Mata (1951), Hikajat Lima Tumenggung (1958), dan Sedjarah Melaju (1959). Daftar panjang
itu belum lengkap. Oh, Aman masih menulis sekian buku tapi belum tercatat!
Pada 1935, terbit buku berjudul Sepoeloeh Tjerita Anak-Anak susunan
Aman. Buku diterbitkan Balai Pustaka, institusi penting bagi Aman dalam mencari
nafkah dan bersastra. Pada 1969, buku itu cetak ulang ketujuh dengan perubahan
ejaan, Sepuluh Tjerita Anak-Anak.
Buku tetap diterbitkan oleh Balai Pustaka, mencantumkan jumlah eksemplar:
I-1935 (1.500), II-1939 (2.000), III-1942 (4.000), IV-1950 (3.000), V-1954
(5.000), VI-1962 (5.000), VII-1969 (5.000). Kita belum membutuhkan kalkulator
dalam penjumlahan buku Aman pernah dicetak dan beredar ke para bocah di
seantero Indonesia. Buku itu bermutu dan pantas laris, sejak masa 1930-an
sampai 1960-an. Buku terus cetak ulang, tak berhenti pada tahun 1969. Perubahan
gambar sampul terjadi tanpa mengubah judul. Penggunaan ejaaan baru (1972) tentu
diberlakukan. Pada edisi 1969, kita membaca cerita-cerita Aman berhiaskan
gambar oleh Hasan Basri.
Kita mulai menikmati cerita berjudul “Anak jang
Kasih pada Ibunja.” Cerita mengenai ibu dan bocah berusia 12 tahun. Mereka di
kemiskinan. Sejak mula, pembaca mengenali keluarga miskin: “Ia amat kasih pada
ibunja. Ibunjapun sangat sajang kepadanja karena anaknja hanja si Elok seorang
sadja. Lagi pula anak itu elok lakunja, sebagai namanja, dan menurut apa kata
ibunja. Setiap hari ditolongnja ibunja bekerdja disawah dan diladang. Si Elok
tiada bersekolah. Ibunja tidak mampu membelandjai si Elok bersekolah karena dia
orang miskin. Bapak si Elok sudah lama meninggal dunia. Lagi pula didusunnja
tidak ada sekolah, hanja surau tempat mengadji.”
Keluarga miskin tanpa rajin sambat dan menggugat
nasib. Mereka berterima dan mengucap terima kasih atas hidup dengan segala
cobaan. Cerita berpesan keluhuran: tanggung jawab anak kepada ibu sedang
menanggung sakit. Elok mencarikan obat meski dengan uang tak mencukupi. Sikap
dan tutur bahasa mampu meluluhkan dokter (tabib) memberikan obat. Semula, obat
dibawa oleh Elok itu salah. Dokter tanpa sadar memberikan botol berisi racun.
Eh, Elok lari tergesa pulang ke rumah. Di tengah jalan, ia terjatuh. Botol itu pecah.
Menangislah! Ia kembali lagi tanpa uang ke rumah dokter. Beruntung! Dokter itu
malah lega botol telah pecah ketimbang membunuh orang sedang sakit.
Diberikanlah botol obat secara gratis dan mendoakan si ibu lekas sembuh!
Cerita masih bertokoh si miskin terdapat di “Orang
Alim jang Malang.” Ia itu miskin alias “sukar hidupnja”. Setiap malam, ia rajin
berdoa berharap Tuhan mengentaskan dari “melarat sekarang djuga.” Permintaan
berulang menanti dikabulkan. Alkisah, ia bermimpi mendengar perkataan orang berjubah
dan berjenggot putih: “Hai, saudara, djikalau saudara betul-betul hendak kaja
dan hidup senang, pergilah bertapa kedalam gua batu dikaki gunung itu. Djika
tapa saudara baik, nanti saudara akan diberi tiga buah batu keramat. Dengan
batu itu saudara minta apa jang berkenan pada hati saudara. Sebentar itu djuga
akan tersedia dihadapan saudara apa-apa jang saudara minta.” Petunjuk dituruti
demi terlepas dari melarat.
Keinginan orang miskin memang “terlalu”. Ia dan
istri merencanakan minta “rumah jang besar beserta kebun bunga-bungaan dan
kolam tempat mandinja” dan “emas banjak-banjak, barang lima peti”. Laki-bini
miskin itu bingung dengan permintaan dan salah mengerti atas permintaan. Mereka
“bertengkar” tak keruan. Tiga batu keramat itu gagal mewujudkan keinginan
“terlalu” gara-gara mereka salah ucap. Mereka batal jadi keluarga berlimpahan
harta. Tindakan dan bahasa salah mengakibatkan batu keramat tak berfaedah
menghasilkan rumah dan emas. Cerita sengaja dilucukan tapi memicu kasihan. Mereka
tetap saja miskin mengoleksi sesalan-sesalan.
Lucu terkandung di sekian cerita. Lucu tapi
beramanat. Dulu, cerita untuk bocah pantas dijejali nasihat-nasihat. Sastra
jadi pengajaran. Cerita tak menghibur saja. Balai Pustaka selaku penerbit tentu
ingin buku cerita memiliki pengaruh ke pembaca sesuai patokan buatan pemerintah
kolonial. Pemunculan tokoh-tokoh miskin pasti mengingatkan situasi penjajahan
memang mengakibatkan kemiskinan tak rampung-rampung. Di cerita, Aman tak
memunculkan tanda-tanda bersikap ke kolonialisme tapi pemunculan tokoh-tokoh
dan masalah-masalah agak memungkinkan berkaitan dengan nasib tanah jajahan
meski tak kentara.
Kita membuka buku berjudul Bacaan Anak Indonesia Tempo Doeloe: Kajian Pendahuluan Periode
1908-1945 (1996) susunan Christantiowati. Pada masa 1930-an, penerbitan
buku cerita anak cenderung “menggambarkan kehidupan anak-anak sehari-hari.”
Christantiowati memiliki sebutan “fiksi realistis”. Sekian buku apik dikarang
oleh penulis Indonesia, bukan selalu terjemahan atau saduran dari buku asal
Eropa, Amerika, Arab, India, dan Tiongkok. Aman menjadi pengarang penting
dengan penerbitan buku berjudul Sepoeloeh
Tjerita Anak-Anak (1935), Si Doel
Anak Betawi (1936), dan Pak Djanggoet
(1938). Aman berperan sebagai pengarang penting di kesusastraan anak. Nama
harus tercatat di buku sejarah atau digunakan untuk nama penghargaan di lomba
penulisan cerita anak.
Cerita paling seru gubahan Aman berjudul “Pembual
Pulang Merantau.” Pembual di masa 1930-an masih memicu tawa. Nah, pembual di
2018 dan 2019 sering membuat petaka! Pembual-pembual merusak, menodai,
mengkhinati, dan menghancurkan kemauan hidup bersama di Indonesia dengan
pelbagai perbedaan. Pembual berpamrih politik. Bualan-bualan dicipta dan
diedarkan setiap detik. Bualan terus meningkat. Eh, laris!
Empat tokoh merantau: Amat, Badu, Daud, Gani.
Mereka merantau ke empat arah. Selama di desa, mereka berpikiran bakal
mengunjungi atau merantau ke negeri-negeri ganjil. Mereka penasaran
berkepanjangan. Setahun berlalu, empat sekawan itu pulang ke desa. Mereka
membawa ceria-cerita bergantian disampaikan saat kumpul bareng. Bualan demi
bualan membikin kumpulan empat orang itu tertawa dan cemburu. Amat bilang:
“Saja ada bertemu dengan seekor kerbau jang sangat besar, hampir sebesar
gunung. Tanduknja pandjang menjapu-njapu awan; matanja sebesar rumah; giginja
berpuluh-puluh depa pandjangnja. Suatu kali sebuah dari giginja itu djatuh;
tidak terangkat oleh seratus orang. Bulunja kasar-kasar sebesar pohon bambu.
Sehelai bulunja kalau djatuh dapat membunuh orang. Kalau ia menanduk tanah,
gempalah dalam negeri itu sebagai akan kiamat. Sekali makan, habis punah sebuah
rimba, dan sekali ia minum, kering sebuah telaga…..” Pengisahan itu memukau.
Amat terlalu mahir menurunkan seribu mitos dan dongeng diramu jadi bualan
sangar. Kita mengandaikan Amat hidup di Amerika Latin. Bualan pasti jadi novel
atau cerita pendek setara gubahan Borges, Gabriel Garcia Marquez, Llosa, atau Asturias.
Amat turut membual: “Saja bertemu sepohon kaju
jang sangat besar dan sangat tingginja. Keliling pangkal pohonnja sadja tiga
hari perdjalanan. Tingginja tiga bulan tupai memandjat; putjuknja dibalik awan.
Buahnja hanja sebuah sadja, dipuntjaknja sekali. Barang siapa jang dapat memetik
dan memakannja, ia akan djadi kaja raja dan selamanja takkan mati-mati. Duannja
dapat mengobati segala penjakit…” Ah, Amat mau bersaing jadi pengarang mumpuni
seperti Salman Rushdie atau Naipaul. Dua pengarang itu pendongeng memiliki
pengaruh di sastra dunia.
Kadar bualan semakin meningkat saat Daud berkata:
“Saja ada bertemu sehelai rotan jang besar dan sangat pandjang: besarnja matjam
pohon kelapa dan pandjangnja tiada dapat diukur; sehingga udjungnja sampai
sekarang masih belum diketahui orang, entah didalam rimba mana. Barangkali
dibalik bumi ini. Kabarnja rotan itulah dahulu tempat Puteri Bungsu memandjat
pergi kelangit. Sesudah itu rotan itu rebah membelit bumi.” Kita berharap Daud
tak pernah jadi politikus agar bualan itu gagal menularkan kehebohan tak masuk
akal ke jutaan orang. Daud jadi pengarang roman picisan saja agar mendapat
honor besar untuk mendirikan rumah terbuat dari sejuta kata.
Di akhir, Gani menjadi pembual mungkin disangka
kehabisan kata. Ia tenang dan berkata: “Saja bertemu dengan sebuah tabuh adjaib
jang sangat besar dan pandjang.” Sekalimat saja mengundang penasaran
teman-teman. Amat, Daud, dan Badu bergantian mengajukan penasaran meminta
jawaban. Berurutan, Gani menjawab bahwa tabuh itu dibuat: “Dari pada kaju jang
bertemu oleh si Badu. “Kulit penggetangnja boleh djadi dari kerbau jang bersua
olehmu Amat dan diikat dengan rotan jang bersua oleh Daud.” Sekian keganjilan
atau kejaiban itu memuncak ke suara tabuh saat dipukul. Gani mengatakan hasil
pukulan itu mengeluarkan suara: “Bohooong! Bohooong! Bohooong!” Empat orang itu
tertawa mengerti telah jadi pembual.
Pembaca pun tertawa. Buku berasal dari puluhan
tahun lalu tetap mujarab. Buku menghibur dan menasihati. Penulis dan penerbit
menginginkan buku itu dibaca oleh bocah berusia 10-12 tahun. Buku tak terlarang
terbaca oleh kita berusia 20 sampai 40 tahun. Membaca cerita mengundang tawa
bukan sejenis dosa mengantar kita neraka. Cerita-cerita malah mengingatkan
keajaiban manusia menjalani hidup bergelimang cerita: menguak kebenaran dan
kebohongan. Begitu.
No comments:
Post a Comment