Wednesday, April 24, 2019

Bualan!


Bualan!

Bandung Mawardi


Aman itu milik Indonesia. Lho! Aman bukan persoalan tertib negara-bangsa secara militeristik. Aman itu memang milik sastra Indonesia, sejak masa 1930-an. Ia biasa disebut Aman. Nama panjang: Aman Datuk Madjoindo. Lahir di Sirukam, Solok, Sumatra Barat, 1896. Ia menulis buku anak-anak menggunakan nama Aman. Di buku-buku untuk kalangan dewasa, ia menulis nama A Dt Madjoindo. Ia pernah bekerja menjadi guru dan redaktur di Balai Pustaka. Aman, contoh dari biografi pengarang Indonesia biasa merangkap sebagai guru atau redaktur di penerbitan pemerintah dan partikelir.
Ensiklopedia Sastra Indonesia (2008) susunan Hawe Setiawan dan teman-teman mencantumkan sekian judul buku gubahan A Dt Madjoindo: Sjair Banso Oerai (1931), Meneboes Dosa (1932), Tjerita Malin Dewan dengan Poeteri Boengsoe (1932), Si Tjebol Rindoekan Boelan (1934), Sampaikan Salamkoe Padanja (1935), Sjair Goel Bakawali (1936), Si Doel Anak Betawi (1956), Hikajat Si Miskin (1958), Tjindur Mata (1951), Hikajat Lima Tumenggung (1958), dan Sedjarah Melaju (1959). Daftar panjang itu belum lengkap. Oh, Aman masih menulis sekian buku tapi belum tercatat!
Pada 1935, terbit buku berjudul Sepoeloeh Tjerita Anak-Anak susunan Aman. Buku diterbitkan Balai Pustaka, institusi penting bagi Aman dalam mencari nafkah dan bersastra. Pada 1969, buku itu cetak ulang ketujuh dengan perubahan ejaan, Sepuluh Tjerita Anak-Anak. Buku tetap diterbitkan oleh Balai Pustaka, mencantumkan jumlah eksemplar: I-1935 (1.500), II-1939 (2.000), III-1942 (4.000), IV-1950 (3.000), V-1954 (5.000), VI-1962 (5.000), VII-1969 (5.000). Kita belum membutuhkan kalkulator dalam penjumlahan buku Aman pernah dicetak dan beredar ke para bocah di seantero Indonesia. Buku itu bermutu dan pantas laris, sejak masa 1930-an sampai 1960-an. Buku terus cetak ulang, tak berhenti pada tahun 1969. Perubahan gambar sampul terjadi tanpa mengubah judul. Penggunaan ejaaan baru (1972) tentu diberlakukan. Pada edisi 1969, kita membaca cerita-cerita Aman berhiaskan gambar oleh Hasan Basri.
Kita mulai menikmati cerita berjudul “Anak jang Kasih pada Ibunja.” Cerita mengenai ibu dan bocah berusia 12 tahun. Mereka di kemiskinan. Sejak mula, pembaca mengenali keluarga miskin: “Ia amat kasih pada ibunja. Ibunjapun sangat sajang kepadanja karena anaknja hanja si Elok seorang sadja. Lagi pula anak itu elok lakunja, sebagai namanja, dan menurut apa kata ibunja. Setiap hari ditolongnja ibunja bekerdja disawah dan diladang. Si Elok tiada bersekolah. Ibunja tidak mampu membelandjai si Elok bersekolah karena dia orang miskin. Bapak si Elok sudah lama meninggal dunia. Lagi pula didusunnja tidak ada sekolah, hanja surau tempat mengadji.”
Keluarga miskin tanpa rajin sambat dan menggugat nasib. Mereka berterima dan mengucap terima kasih atas hidup dengan segala cobaan. Cerita berpesan keluhuran: tanggung jawab anak kepada ibu sedang menanggung sakit. Elok mencarikan obat meski dengan uang tak mencukupi. Sikap dan tutur bahasa mampu meluluhkan dokter (tabib) memberikan obat. Semula, obat dibawa oleh Elok itu salah. Dokter tanpa sadar memberikan botol berisi racun. Eh, Elok lari tergesa pulang ke rumah. Di tengah jalan, ia terjatuh. Botol itu pecah. Menangislah! Ia kembali lagi tanpa uang ke rumah dokter. Beruntung! Dokter itu malah lega botol telah pecah ketimbang membunuh orang sedang sakit. Diberikanlah botol obat secara gratis dan mendoakan si ibu lekas sembuh!
Cerita masih bertokoh si miskin terdapat di “Orang Alim jang Malang.” Ia itu miskin alias “sukar hidupnja”. Setiap malam, ia rajin berdoa berharap Tuhan mengentaskan dari “melarat sekarang djuga.” Permintaan berulang menanti dikabulkan. Alkisah, ia bermimpi mendengar perkataan orang berjubah dan berjenggot putih: “Hai, saudara, djikalau saudara betul-betul hendak kaja dan hidup senang, pergilah bertapa kedalam gua batu dikaki gunung itu. Djika tapa saudara baik, nanti saudara akan diberi tiga buah batu keramat. Dengan batu itu saudara minta apa jang berkenan pada hati saudara. Sebentar itu djuga akan tersedia dihadapan saudara apa-apa jang saudara minta.” Petunjuk dituruti demi terlepas dari melarat.
Keinginan orang miskin memang “terlalu”. Ia dan istri merencanakan minta “rumah jang besar beserta kebun bunga-bungaan dan kolam tempat mandinja” dan “emas banjak-banjak, barang lima peti”. Laki-bini miskin itu bingung dengan permintaan dan salah mengerti atas permintaan. Mereka “bertengkar” tak keruan. Tiga batu keramat itu gagal mewujudkan keinginan “terlalu” gara-gara mereka salah ucap. Mereka batal jadi keluarga berlimpahan harta. Tindakan dan bahasa salah mengakibatkan batu keramat tak berfaedah menghasilkan rumah dan emas. Cerita sengaja dilucukan tapi memicu kasihan. Mereka tetap saja miskin mengoleksi sesalan-sesalan.
Lucu terkandung di sekian cerita. Lucu tapi beramanat. Dulu, cerita untuk bocah pantas dijejali nasihat-nasihat. Sastra jadi pengajaran. Cerita tak menghibur saja. Balai Pustaka selaku penerbit tentu ingin buku cerita memiliki pengaruh ke pembaca sesuai patokan buatan pemerintah kolonial. Pemunculan tokoh-tokoh miskin pasti mengingatkan situasi penjajahan memang mengakibatkan kemiskinan tak rampung-rampung. Di cerita, Aman tak memunculkan tanda-tanda bersikap ke kolonialisme tapi pemunculan tokoh-tokoh dan masalah-masalah agak memungkinkan berkaitan dengan nasib tanah jajahan meski tak kentara.
Kita membuka buku berjudul Bacaan Anak Indonesia Tempo Doeloe: Kajian Pendahuluan Periode 1908-1945 (1996) susunan Christantiowati. Pada masa 1930-an, penerbitan buku cerita anak cenderung “menggambarkan kehidupan anak-anak sehari-hari.” Christantiowati memiliki sebutan “fiksi realistis”. Sekian buku apik dikarang oleh penulis Indonesia, bukan selalu terjemahan atau saduran dari buku asal Eropa, Amerika, Arab, India, dan Tiongkok. Aman menjadi pengarang penting dengan penerbitan buku berjudul Sepoeloeh Tjerita Anak-Anak (1935), Si Doel Anak Betawi (1936), dan Pak Djanggoet (1938). Aman berperan sebagai pengarang penting di kesusastraan anak. Nama harus tercatat di buku sejarah atau digunakan untuk nama penghargaan di lomba penulisan cerita anak.
Cerita paling seru gubahan Aman berjudul “Pembual Pulang Merantau.” Pembual di masa 1930-an masih memicu tawa. Nah, pembual di 2018 dan 2019 sering membuat petaka! Pembual-pembual merusak, menodai, mengkhinati, dan menghancurkan kemauan hidup bersama di Indonesia dengan pelbagai perbedaan. Pembual berpamrih politik. Bualan-bualan dicipta dan diedarkan setiap detik. Bualan terus meningkat. Eh, laris!
Empat tokoh merantau: Amat, Badu, Daud, Gani. Mereka merantau ke empat arah. Selama di desa, mereka berpikiran bakal mengunjungi atau merantau ke negeri-negeri ganjil. Mereka penasaran berkepanjangan. Setahun berlalu, empat sekawan itu pulang ke desa. Mereka membawa ceria-cerita bergantian disampaikan saat kumpul bareng. Bualan demi bualan membikin kumpulan empat orang itu tertawa dan cemburu. Amat bilang: “Saja ada bertemu dengan seekor kerbau jang sangat besar, hampir sebesar gunung. Tanduknja pandjang menjapu-njapu awan; matanja sebesar rumah; giginja berpuluh-puluh depa pandjangnja. Suatu kali sebuah dari giginja itu djatuh; tidak terangkat oleh seratus orang. Bulunja kasar-kasar sebesar pohon bambu. Sehelai bulunja kalau djatuh dapat membunuh orang. Kalau ia menanduk tanah, gempalah dalam negeri itu sebagai akan kiamat. Sekali makan, habis punah sebuah rimba, dan sekali ia minum, kering sebuah telaga…..” Pengisahan itu memukau. Amat terlalu mahir menurunkan seribu mitos dan dongeng diramu jadi bualan sangar. Kita mengandaikan Amat hidup di Amerika Latin. Bualan pasti jadi novel atau cerita pendek setara gubahan Borges, Gabriel Garcia Marquez, Llosa, atau Asturias.
Amat turut membual: “Saja bertemu sepohon kaju jang sangat besar dan sangat tingginja. Keliling pangkal pohonnja sadja tiga hari perdjalanan. Tingginja tiga bulan tupai memandjat; putjuknja dibalik awan. Buahnja hanja sebuah sadja, dipuntjaknja sekali. Barang siapa jang dapat memetik dan memakannja, ia akan djadi kaja raja dan selamanja takkan mati-mati. Duannja dapat mengobati segala penjakit…” Ah, Amat mau bersaing jadi pengarang mumpuni seperti Salman Rushdie atau Naipaul. Dua pengarang itu pendongeng memiliki pengaruh di sastra dunia.
Kadar bualan semakin meningkat saat Daud berkata: “Saja ada bertemu sehelai rotan jang besar dan sangat pandjang: besarnja matjam pohon kelapa dan pandjangnja tiada dapat diukur; sehingga udjungnja sampai sekarang masih belum diketahui orang, entah didalam rimba mana. Barangkali dibalik bumi ini. Kabarnja rotan itulah dahulu tempat Puteri Bungsu memandjat pergi kelangit. Sesudah itu rotan itu rebah membelit bumi.” Kita berharap Daud tak pernah jadi politikus agar bualan itu gagal menularkan kehebohan tak masuk akal ke jutaan orang. Daud jadi pengarang roman picisan saja agar mendapat honor besar untuk mendirikan rumah terbuat dari sejuta kata.
Di akhir, Gani menjadi pembual mungkin disangka kehabisan kata. Ia tenang dan berkata: “Saja bertemu dengan sebuah tabuh adjaib jang sangat besar dan pandjang.” Sekalimat saja mengundang penasaran teman-teman. Amat, Daud, dan Badu bergantian mengajukan penasaran meminta jawaban. Berurutan, Gani menjawab bahwa tabuh itu dibuat: “Dari pada kaju jang bertemu oleh si Badu. “Kulit penggetangnja boleh djadi dari kerbau jang bersua olehmu Amat dan diikat dengan rotan jang bersua oleh Daud.” Sekian keganjilan atau kejaiban itu memuncak ke suara tabuh saat dipukul. Gani mengatakan hasil pukulan itu mengeluarkan suara: “Bohooong! Bohooong! Bohooong!” Empat orang itu tertawa mengerti telah jadi pembual.
Pembaca pun tertawa. Buku berasal dari puluhan tahun lalu tetap mujarab. Buku menghibur dan menasihati. Penulis dan penerbit menginginkan buku itu dibaca oleh bocah berusia 10-12 tahun. Buku tak terlarang terbaca oleh kita berusia 20 sampai 40 tahun. Membaca cerita mengundang tawa bukan sejenis dosa mengantar kita neraka. Cerita-cerita malah mengingatkan keajaiban manusia menjalani hidup bergelimang cerita: menguak kebenaran dan kebohongan. Begitu.      

No comments:

Post a Comment