Sunday, July 14, 2019

Tiada Merah di Hari Terindah


Tiada Merah di Hari Terindah

Bandung Mawardi


Jutaan orang di Indonesia pernah dipijami buku oleh negara. Buku itu terbitan Depdikbud memiliki pesan ke murid: “Buku ini milik negara. Dipinjamkan kepada murid untuk dibawa pulang! Pelajarilah isinya! Rawatlah baik-baik! Tahun depan adikmu yang akan menggunakan buku ini.” Kita sudah lupa pesan dicantumkan di sampul buku bagian belakang. Buku “paket” diurusi guru dan disimpan di perpustakaan untuk mencerdaskan murid-murid. Buku dicetak sederhana. Buku dengan gambar di sampul garapan Pak Raden.
Buku itu berjudul Bahasa Indonesia 3c: Membaca (1975). Buku dipinjamkan, mustahil jadi hak milik. Pengecualian adalah “pencuri” atau orang fanatik dengan nostalgia SD. Buku mujarab dalam usaha mencapai tujuan pendidikan nasional dan mengesahkan pembangunan nasional. Buku itu pula mungkin memberi sokongan pengangkatan Soeharto sebagai Bapak Pembangunan Nasional. Buku pelajaran penting dalam pengisahan rezim Orde Baru. Buku itu “amal terindah” di masa lalu.
Kita membuka halaman 50-53, cerita berjudul “Kakak Sudah Kelas Enam”. Keluarga Pak Halim berkumpul di malam hari. Pak Halim membaca koran. Bu Halim sedang merenda. Tiga anak (Arman, Ima, Adi) sedang belajar. Duh, keluarga bahagia. Bapak berkata: “Arman, kau sudah kelas enam sekarang. Beberapa bulan lagi akan tamat dan menjadi murid SMP.” Arman sudah memiliki sikap-pilihan. Arman menjawab: “Arman tidak mau masuk SMP, Pak. Arman ingin menjadi tukang kayu. Arman ingin dapat membuat rumah sendiri.” Jawaban itu mirip dengan keinginan Franz Kafka. Kita telanjur mengenali sebagai pengarang sangar di dunia. Sejak bocah, ia bercita-cita menjadi tukang kayu. Eh, Franz Kafka malah menderita dan murung menghasilkan cerita dan novel. Jadilah ia pengarang, tukang cerita.
Perkataan Arman membuat bapak-ibu tercengang. Pilihan Arman dihormati melalui penjelasan bermutu: “Bapak setuju, Arman. Pekerjaan tukan kayu pekerjaan yang baik juga. Bukan asal menjadi tukang kayu saja, tetapi tukang kayu yang ahli. Untuk itu harus bersekolah dulu di sekolah teknik.” Arman senang mendapatkan mufakat. Di sekolah, ia memang suka mengerjakan prakarya atau tugas-tugas kerajinan. Nilai sering tinggi. Ia mantap melanjutkan ke sekolah teknik, menata diri bakal menjadi tukang kayu. Ia tak berani kebablasan menjadi presiden. Jawaban dan penjelasan Arman disahuti Irma. Bocah perempuan masih kelas tiga itu berujar ingin menjadi tukang jahit. Ah, cerita itu pantas disalin utuh untuk dibagikan ke presiden dan para pejabat ingin memajukan sekolah-sekolah kejuruan di seantero Indonesia.
Kita pertemukan cerita di buku pinjaman Orde Baru dengan buku cerita berjudul Kokom Naik Kelas gubahan Zainuddin Lubis dan gambar-gambar oleh Steve Kamajaya. Buku terbitan Balai Pustaka, 1977. Tipis, 40 halaman. Gambar di sampul buku menampilkan ibu dan bocah perempuan berpelukan. Di tangan si bocah, ada buku rapor. Pelukan menghasilkan bunga-bunga. Kita terkesima. Buku tak memiliki judul puitis. Judul biasa saja.  
Penulis cerita mempersembahkan buku ke anak-anak tercinta: Chomsiyah, Miftah, dan Adiyan Nur. Mana tiga anak itu tak digunakan dalam cerita. Zainuddin Lubis malah menamai para tokoh: Nunu, Orba, dan Kokom. Nama-nama aneh. Nama paling keren adalah Orba. Pengarang mungkin kagum dengan Soeharto atau rezim Orde Baru. Dulu, kita biasa mendapatkan akronim Orba untuk Orde Baru. Penamaan Orba diharapkan si bocah bakal pintar dan menjadi presiden. Ingat Orba, ingat Soeharto.
Kita selingi dulu mengutip masa sekolah Soeharto dalam buku susunan G Dwipayana dan Ramadhan KH berjudul Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989). Pada saat di sekolah rendah, Soeharto paling pintar di pelajaran berhitung. Ia pun rajin mengurusi tanaman alias bertani. Ia tak pernah mengalami peristiwa seperti di buku berjudul Bahasa Indonesia 3c: Membaca (1975). Soeharto lahir dan tumbuh di keluarga miskin. Situasi itu mengajari kesabaran, keberanian, dan kesungguhan. Jadilah ia tentara dan presiden. Ia tak pernah ingin jadi tukang kayu.
Nah, penamaan Orba di buku cerita terasa wajar untuk meneladani Soeharto. Di situ, Orba masih kecil, belum bersekilah. Orba suka main gasing. Kita tak tahu nama lengkap Orba. Kita menduga ia bernama lengkap: Orba Pemnas (Orde Baru-Pembangunan Nasional). Cerita bertokoh utama Kokom, bukan Orba. Kita jangan cerewet mengurusi Orba. Kokom itu anak sulung, sudah sekolah. Kokom kelas 2 SD. Kita jangan menuduh ia di sekolah bernama SD Sukaorba.
Zainuddin Lubis mengisahkan: “Kokom sudah mulai lancar membaca. Ia sangat senang membaca. Selesai ibunya sembahyang isya, dilihatnya Kokom sedang membaca komik. Orba dan Nunu duduk di dekatnya. Datang ibu menghampiri. ‘Kokom, tidak ada pekerjaan rumah?’ Tanya ibu. Kokom berhenti membaca dan berpikir sebentar, ‘Oh, Kokom hampir lupa.” Kokom lekas bertindak: mengambil tas, mengeluarkan buku dan alat tulis, merampungkan PR dari guru.  Kokom ingin bertanggung jawab. Tugas-tugas harus bisa diselesaikan dengan serius.
Kokom lega, PR sudah selesai. Ia masih hampir lupa. Ibu mengingatkan lagi: “Lalu, pekerjaan jahitan Kokom, sudah selesai?” Duh, Kokom harus mengurusi tugas jahitan sebelum tidur. Ibu masih melanjutkan: “Hati-hati, Kokom, sebentar lagi kenaikan kelas, bukan? Kalau kau tak naik akan disusul adikmu. Apakah kau tak malu.” Kokom berbeda dari Ima. Kokom masih kelas dua SD, belum berani sesumbar ingin menjaddi tukang jahit seperti Ima. Tugas itu saja belum berhasil diselesaikan. Gagal mengerjakan tugas bisa berakibat ke nilai dan kenaikan kelas. Kita membaca kalimat-kalimat ibu itu mengingatkan, masih jauh dari mengancam atau memberi ketakutan. Unsur mengejek juga tak ada. Ibu tentu mengerti kondisi kejiwaan Kokom dan memiliki pengharapan bahwa Kokom sudah mengerti tanggung jawab. Di rumah, peran ibu penting dalam membentuk pribadi dan memberi sokongan bagi kemajuan akdemik Kokom.
Kita mendapat adegan ibu-anak saat malam. Adegan tanpa bapak dan adik-adik. Kita bisa memberi tafsir dari gambar, dikuatkan dengan kalimat-kalimat. Kokom gelisah mengingat rapor kemarin memiliki dua angka merah: menulis dan prakarya. Ibu mengetahui Kokom melamun. Datang dan menenangkan. Kokom berucap: “Sekarang saya menyesal, Bu. Kokom takut tidak naik kelas. Doakan, Bu, Kokom naik kelas.” Kokom hampir menangis di malam sebelum esok penerimaan rapor di sekolah. Ibu mendoakan dan memberi nasihat. 
Pagi datag tapi semalam Kokom tak bisa tidur. Berangkatlah ia ke sekolah dengan berdebar. Menit demi menit, Kokom masih takut jika tak naik kelas. Di depan, Pak Guru memberi pengumuman bahwa semua murid naik kelas. Murid-murid lega, bertepuk tangan, dan mesem. Kalimat di buku: “Rapor si Kokom tidak ada merahnya lagi.” Kokom bukan murid pintar atau bodoh. Ia memiliki keinginan naik kelas, belum keinginan mendapat peringkat 1 di kelas. Di rapor, nilai enam ada 2, nilai delapan ada 3, nilai paling ramai adalah tujuh. Sampai di rumah, Kokom melapor pada bapak-ibu. Ketakutan sudhah berlalu. Kokom naik ke kels 3. Hore!
Di hari berbahagia, sekolah mengadakan pesta mengundang murid dan keluarga. Pesta berisi pentas-pentas. Ada pula orang-orang berjualan. Nunu minta mainan kursi. Orba minta tas. Ibu membeli sulaman taplak meja. Bapak dibelikan pipa tanduk. Lho! Pedagang di acara sekolah itu membahagiakan kaum perokok. Kita jangan marah dan protes. Masa lalu Indonesia memiliki cerita-cerita berterima dalam percakapan dan pemakluman, tak tergesa jadi demonstrasi, petisi, atau polemik di media sosial. Pada saat acara resmi, keluarga itu heboh mendengar pengumuman bahwa Kokom peringkat kedua. Lolos dari nilai-nilai merah, Kokom memiliki prestasi. Di acara hiburan, Kokom naik ke panggung membaca puisi bertema ibu. Ia mendapat tepuk tangan dari penonton dan aliran air mata dari ibu. Hari indah berakhir, keluarga bahagia itu pulang. Kokom merasa paling bahagia. Berakhirlah cerita dengan indah. Begitu.





Permainan dan Keharuan


Permainan dan Keharuan

Bandung Mawardi


Indonesia memiliki pengarang-pengarang rutin bercerita asmara, keluarga, identitas, kota, dan keperempuanan. Mereka bernama Marga T, Mira W, Maria A Sardjono, Ike Soepomo, dan La Rose. Ratusan novel telah mereka tulis untuk pembaca, dari masa ke masa. Orang mengingat mereka dengan novel-novel terbitan Alam Budaya, Pustaka Kartini, Cypres, Gramedia, dan lain-lain. Mereka cenderung menulis novel ke pembaca berusia dewasa atau di atas 17 tahun. Kita memastikan Indonesia adalah negara teraliri cerita oleh mereka, selain nama-nama tenar harus dihapalkan dalam perkembangan kesusastraan di Indonesia.
Kini, kita menghormati novel gubahan Maria A Sardjono. Novel untuk bacaan bocah. Pada 1981, terbit novel berjudul Sarang yang Aman. Di situ, terbaca nama pengarang: Maria A Sardjono. Novel diterbitkan oleh Rora Karya, Jakarta. Pada 1983, novel cetak ulang kedua dengan stempel pemerintah. Novel untuk bocah “tak boleh” kata-kata saja. Kita melihat gambar di sampul dan sekian ilustrasi di novel buatan Riyadi AS.
Kita mencoba ingin mengetahui biografi pengarang. Buku berjudul Leksikon Kesusastraan Indonesia Modern (1990) susunan Pamusuk Eneste tak memberi halaman untuk nama Maria A Sardjono. Kita pun membuka buku berjudul Ensiklopedia Sastra Indonesia Modern (2009) susunan Pusat Bahasa. Kita tetap tak menemukan biografi Maria A Sardjono. Kita pasti menemukan pembahasan novel-novel gubahan Maria Sardjono di buku-buku Jakob Sumardjo, kritikus sastra menekuni novel-novel populer di Indonesia, dari masa ke masa. Para pembaca di Indonesia tetap menganggap Maria A Sardjono adalah pengarang tenar dan berpengaruh!
Jebakan ke pembaca dimulai dari sampul dan judul. Orang mengimajinasikan sarang mengarah ke binatang. Sarang untuk ayam atau burung. Imajinasi itu “dibenarkan” oleh gambar sarang burung di pohon. Lihatlah, pohon besar! Di dahan, ada sarang burung. Daun-daun berwarna hijau tak rimbun. Di bawah, dua bocah perempuan terlihat ceria. Di tanah berumput, mereka berdiri sambil membuat interaksi dengan pohon dan burung. Judul dan gambar di sampul saling “memastikan” bahwa novel bakal mengisahkan bocah, burung, dan alam. Di halaman daftar isi, pembaca mulai ragu membaca judul-judul bab: “Tetangga Baru”, “Anto Masuk Rumah Sakit”, Ruri dan Nanang Mendapat Adik”, “Keluarga Pak Hasan”, “Nani dan Nino”, “Sarang yang Aman”. Pembaca diminta bersabar untuk membuktikan judul dan gambar dan sampul di bab terakhir.
Nina dan Ani (kakak-adik) sedang bermain pasaran. Mereka terkejut melihat rumah di depan-seberang berbeda dari hari-hari kemarin. Pintu dan jendela rumah terbuka. Sejak tiga bulan rumah itu tertutup. Penghuni telah pindah rumah. Nina dan Ani penasaran. Mereka menduga rumah itu bakal memiliki penghuni baru. Deskripsi dari Maria A Sardjono: “Kedua gadis itu berlari-lari melintasi halaman rumah. Seekor ayam yang sedang mencari makan di dekat pagar rumah, terkejut dan melompat menjauh sambil berkotek-kotek. Tetapi, Nina maupun Ani tidak memperhatikan ayam yang lari terbirit-birit itu. Mereka terhenti di pinggir jalan. Niat keduanya untuk menyeberang gang di depan rumah mereka itu, hilang. Di halaman rumah seberang, teraling tanaman pagarnya, mereka melihat beberapa peti dan seperangkan perabot rumah. Di dekat barang-barang itu, berdiri lelaki sebaya ayah merek. Baik Nina maupun Ani belum pernah melihat orang itu.” Terbukti! Rumah itu memiliki penghuni baru.
Menit demi menit berlalu, mereka melihat pula seorang ibu dan dua bocah. Peristiwa lanjutan terjadi. Si ibu mengajak dua bocah itu menemui Nina dan Ani. Berkenalan! Nina dan Ani diperkenalkan dengan Ruri dan Nanang. Dua bocah itu kembar, perempuan dan lelaki. Empat bocah mulai memiliki gelagat berteman dan mengalami hari-hari ceria gara-gara bertetangga. Nina dan Ani mengajak Ruri dan Nanang ke rumah untuk berkenalan dengan adik mereka, Adi. Di rumah sebelah, ada bocah lelaki bernama Anto.
Kita diajak ke kancah pengalaman bocah berteman dan mengadakan permainan-permainan. Mereka membentuk diri dan saling mengenali melalui bahasa, gerak, dan kesadaran ruang-waktu di pengalaman bersama. Di halaman-halaman awal, kita di situasi bermain. Para pembaca buku filsafat pasti lekas ingat buku garapan Johan Huizinga mengenai homo ludens. Para penekun masa lalu juga berhak merenungkan bocah dan permainan melalui buku dokumentasi garapan Hermanu-Bentara Budaya Yogyakarta berjudul Lir-Ilir. Bocah mengawali biografi dengan bermain, bermain, bermain. Bocah mengartikan diri, sesama, dunia, dan pelbagai hal melalui permainan (sering) bersama. Di permainan, mereka belajar kebahasaan, etika, estetika, kebersamaan, konflik, dan keberanian. Maria A Sardjono tampak mengerti kancah pengalaman bocah dengan memberi halaman-halaman mengisahkan mereka bermain, bukan sodorkan adegan melulu bersekolah alias belajar. Bocah-bocah itu berusia 7-11 tahun.
Sejak bab awal, pembaca digoda memikirkan lagi makna bertetangga. Makna tak usah dicari di buku-buku sosiologi tapi di petikan novel saja. Ibu Nina kaget melihat ada dua bocah main ke rumah. Ruri dan Nanang disambut hangat dan diajak bergirang. Sang ibu mengaku “senang sekali”. Adegan buatan Maria A Sardjono: “Bergegas perempuan itu masuk ke dalam kembali. Tatkala dia keluar lagi, di tangannya ada sepiring kue kering. Di belakangnya, Iyem pembantu rumah tangga mereka membawa baki berisi lima gelas es sirop berwarna kuning muda. Nina dan Ani bersorak gembira.” Ingat, kue kering di piring, tak berada dalam kaleng. Rumah Nina dan Ani belum pamer gengsi dengan suguhan berkaleng. Di piring, suguhan tetap pantas dan lezat. Suguhan disampaikan ibu bermaksud “menyambut tetangga baru kita yang manis-manis.” Peristiwa memiliki tetangga baru diartikan bersama dengan sukacita.
Bermain! Novel memang bertokoh bocah dan memihak ke bocah. Kelucuan dan ketegangan tersaji di bab kedua. Kutipan panjang tentang bermain bersama: “Minggu itu mereka berkumpul di depan rumah Nina. Mereka sedang bermain jual-jualan. Anak-anak lelaki ikut bermain bersama dengan gembira sebab barang yang dijual Nina bukan makanan yang terbuat dari daun-daun ataupun bunga seperti biasanya. Nina berjualan kue-kue dan buah-buahan. Ibu yang memberikannya. Dan anak-anak lain boleh membeli makanan-makanan itu dengan uang-uangan dari potongan kertas koran. Melihat kue-kue yang enak buatan ibu Nina itu, Anto tidak mengganggu seperti biasanya. Bahkan dalam sakunya terdapat guntingan-guntingan kertas koran untuk membeli kue-kue itu. Tentu saja Nina tidak mau melayaninya terus-menerus.” Makanan asli tapi duit palsu. Anto bergairah jadi pembeli alias “serakah” ingin makan kue dan buah dari pembelian menggunakan uang palsu. Nah, Nina sebagai pedagang jadi “marah”. Anto dianggap curang. Para bocah memiliki hak sama tapi Anto nekat ingin terus membeli setiap detik.
Anto berlaku sombong: mengaku memiliki duit. Ia adalah pengusaha berhak membeli apa saja. Nina mengejek bahwa semua itu uang kertas palsu. Anto tak berhak belanja sampai perut jadi gendut. Pertengkaran atau saling ejek tiba-tiba berhenti saat Anto melihat ada layang-layang terbang dekat genting rumah. Nanang pun melihat. Dua bocah segera berlari ingin mendapatkan layang-layang. Di hitungan detik, peristiwa buruk terjadi. Di luar, terdengar derit rem sepeda motor dan teriakan-teriakan. Tabrakan! Anto terkapar di jalan dengan kondisi tubuh berdarah. Anto menangis keras. Bocah-bocah berkerumun tampak sedih.
Novel jadi pengajaran. Kita mendapat sisipan pengajaran dunia batin bocah. Maria A Sardjono menulis: “Bagaimana pun nakalnya Anto, mereka semua tidak pernah membencinya. Mereka bertentangga dengan Anto sudah semenjak mereka masih kecil sekali. Bahkan sebelum Adi adik mereka lahir, Anto sudah menjadi kawan sepermainan Nina dan Ani. Melihat Anto terkapar kesakitan dengan darah bersimbah di kakinya, Nina dan Ani tidak tahan melihatnya.” Empati berlaku di pertemanan bocah. Semula, kita mendapatkan permainan lucu tapi disusul kejadian buruk. Pengarang sengaja mengurutkan kejadian agar pembaca mengerti dunia (perasaan) bocah saat bersama dan mengetahui ada peristiwa memicu rasa bersalah dan empati.
Pada suatu hari, ada ungkapan lucu dari Adi, setelah turut bermain di rumah Ruri dan Nanang. Pulang ke rumah, Adi berkata pada bapak-ibu: “Bu, barangkali Bu Herman sakit perut!” Bu Herman itu ibu Ruri-Nanang. Kalimat itu membuat bapak-ibu kaget. Adi masih kecil tapi memiliki pengamatan serius. Ungkapan sakit perut berdasarkan penglihatan ke perut Bu Herman: perut besar. Bapak-ibu mesem tapi tak mengejek. Mereka paham keluguan Adi. Perut besar belum dimengerti Adi sebagai kehamilan. Ibu menjelaskan: “Bu Herman tidak sakit perut, Adi. Bu Herman sedang mengandung bayi. Ruri dan Nanang akan mendapat adik sebentar lagi!” Eh, Adi tak mengerti pula arti “sebentar”. Ia menganggap sebentar itu “nanti sore” atau “besok”. Ibu mesem lagi.
Adi melanjutkan omongan minta adik kepada ibu. Ia ingin memiliki adik. Ani pun mengaku ingin adik. Nina turut bersepakat ingin memiliki adik. Bertiga kompak! Pembaca mungkin tak menduga bahwa peristiwa itu dimaksudkan menjelaskan KB oleh pengarang. Ah, seruan pemerintah tiba-tiba datang di cerita! Penjelasan diberikan bapak. Kita menduga itu sesuai petunjuk pemerintah bahwa kepala keluarga berkewajiban membenarkan program KB dan berperan jadi juru penerang. Kita ikut mendengar agak ikhlas: “Anak-anak, kalian harus tahu bahwa dunia yang kita tempati ini sekarang sudah penuh sekali dengan manusia. Begitu juga di negara kita ini. Terutama di pulau Jawa. Setiap tahun penduduk di dunia ini bertambah. Dapat kau bayangkan itu anak-anak? Cobalah pikirkan, apa saja akibat dari pertambahan jumlah penduduk yang semakin banyak itu?” Cerita mirip salinan pidato pejabat atau petugas KB. Cerita juga berisi salinan pelajaran. Adi menjawab: “Tanah menjadi sempit!” Jawaban Ani: “Makanan jadi berkurang!” Keluarga itu berisi bapak, ibu, dan tiga bocah pintar. Keluarga teladan di Indonesia. Perkara minta adik memicu pembuktian keluarga pintar.
Kita masih mengutip ceramah bapak agar semakin mengerti keampuhan indoktrinasi di masa Orde Baru. Isi ceramah penting bagi kita asal mau berpikir tenang dan kritis. Ceramah bapak membuktikan kemampuan menerima dan mengolah pesan pemerintah, pendapat ahli, dan simak berita. Kita menduga bapak rajin membaca koran, menonton siaran berita di televisi, dan mengikuti percakapan-percakapan bermutu di kantor atau kampung. Kita buktikan: “Dengan bertambahnya penduduk, kita semua harus bekerja dan belajar semakin giat untuk mengatasi segala kesulitan yang ditimbulkannya. Pembangunan di segala bidang harus ditingkatkan. Membangun sekolah-sekolah yang lebih banyak, dan sarana-sarana lainnya seperti rumah sakit, transportasi dan lain sebagainya. Kalian semua tentu tahu bahwa mengatur manusia sedikit dengan manusia banyak lebih sukar mengatur yang banyak. Jangan sampai kelak kalau bayi-bayi yang lahir itu menjadi dewasa, lapangan kerja menjadi sempit karena banyaknya manusia yang membutuhkan pekerjaan demi nafkah hidupnya. Sedikit-sedikit kau sudah tahu apa akibatnya kalau manusia semakin bertambah banyak. Dunia bukan saja akan kekurangan pangan, tetapi juga terancam banyak bencana alam oleh perbuatan manusia sendiri seperti banjir, tanah longsor, pengotoran udara dan banyak lagi. Itulah sebabnya pemerintah menganjurkan keluarga berencana. Sebaiknya tiap keluarga rata-rata hanya mempunyai dua atau tiga orang anak saja!” Ceramah sakti itu disampaikan ke bocah, bukan peserta seminar nasional. Kita maklumi saja demi keberterimaan novel di alur kebijakan pemerintah dan mengajari bocah-bocah seribu masalah besar di Indonesia.
Kita selingi ceramah bapak dengan membaca artikel ringan bertema tekanan penduduk garapan Masri Singarimbun (Direktur Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan Universitas Gadjah Mada). Artikel berjudul “Masalah Urbanisasi” dimuat di majalah Si Kuncung nomor 36, 1980. Artikel dibaca bocah menggunakan bahasa diusahakan sederhana. Masri Singarimbun menjelaskan: “Desakan yang terus-menerus di desa-desa, langkanya pekerjaan di daerah-daerah pertanian, menyebabkan para remaja banyak yang meninggalkan desa menuju ke kota-kota. Macam-macam saja alasan mereka pergi ke kota. Ada yang semula sekolah tapi akhirnya enggan pulang ke kampung. Ada yang sengaja datang ke kota untuk mencari pekerjaan. Yang jelas, kota lebih gemerlapan. Kota dengan segala daya tariknya yang lebih besar. Iklan-iklan teve yang dewasa ini sudah masuk ke pelosok-pelosok desa, membuat orang lebih bergairah ke kota.” Kita sudahi kutipan dengan pengertian bahwa masalah pendudukan memang “gawat” pada masa 1980-an. Novel garapan Maria A Sardjono dan artikel dari Masri Singarimbun anggaplah bukti terbaca untuk direnungkan pembaca masih mau berpikir seru.
Akhir dari cerita persembahan Maria A Sardjono ada di bab terakhir. Novel 56 halaman itu berhikmah di ujung. Ruri dan Nanang memiliki adik kembar bernama Nani dan Nino tapi ibu meninggal, sekian hari setelah melahirkan. Empat anak itu turut diasuh ibu Nina. Kita simak: “Ibu tidak hanya memberi rasa aman kepada anak-anak kandungnya sendiri saja, tetapi juga kepada anak-anak lain yang membutuhkannya.” Rumah dihuni ibu, bapak, Nina, Ani, dan Adi menjadi rumah pula bagi empat bersaudara: Ruri, Nanang, Nani, Nino. Semua turut diasuh ibu. Dua kalimat terpenting di novel agar kita mengerti judul dan gambar di sampul: “Yah, rumahnya memang bagai sarang yang aman. Keamanan dan perlindungan yang juga siap melindungi anak-anak burung lain yang kehilangan induknya!” Pembaca pun terharu. Begitu.