Permainan dan Keharuan
Bandung Mawardi
Indonesia memiliki pengarang-pengarang rutin
bercerita asmara, keluarga, identitas, kota, dan keperempuanan. Mereka bernama
Marga T, Mira W, Maria A Sardjono, Ike Soepomo, dan La Rose. Ratusan novel
telah mereka tulis untuk pembaca, dari masa ke masa. Orang mengingat mereka
dengan novel-novel terbitan Alam Budaya, Pustaka Kartini, Cypres, Gramedia, dan
lain-lain. Mereka cenderung menulis novel ke pembaca berusia dewasa atau di
atas 17 tahun. Kita memastikan Indonesia adalah negara teraliri cerita oleh
mereka, selain nama-nama tenar harus dihapalkan dalam perkembangan kesusastraan
di Indonesia.
Kini, kita menghormati novel gubahan Maria A
Sardjono. Novel untuk bacaan bocah. Pada 1981, terbit novel berjudul Sarang yang Aman. Di situ, terbaca nama
pengarang: Maria A Sardjono. Novel diterbitkan oleh Rora Karya, Jakarta. Pada
1983, novel cetak ulang kedua dengan stempel pemerintah. Novel untuk bocah “tak
boleh” kata-kata saja. Kita melihat gambar di sampul dan sekian ilustrasi di
novel buatan Riyadi AS.
Kita mencoba ingin mengetahui biografi pengarang.
Buku berjudul Leksikon Kesusastraan
Indonesia Modern (1990) susunan Pamusuk Eneste tak memberi halaman untuk
nama Maria A Sardjono. Kita pun membuka buku berjudul Ensiklopedia Sastra Indonesia Modern (2009) susunan Pusat Bahasa.
Kita tetap tak menemukan biografi Maria A Sardjono. Kita pasti menemukan
pembahasan novel-novel gubahan Maria Sardjono di buku-buku Jakob Sumardjo,
kritikus sastra menekuni novel-novel populer di Indonesia, dari masa ke masa.
Para pembaca di Indonesia tetap menganggap Maria A Sardjono adalah pengarang
tenar dan berpengaruh!
Jebakan ke pembaca dimulai dari sampul dan judul.
Orang mengimajinasikan sarang mengarah ke binatang. Sarang untuk ayam atau
burung. Imajinasi itu “dibenarkan” oleh gambar sarang burung di pohon.
Lihatlah, pohon besar! Di dahan, ada sarang burung. Daun-daun berwarna hijau
tak rimbun. Di bawah, dua bocah perempuan terlihat ceria. Di tanah berumput,
mereka berdiri sambil membuat interaksi dengan pohon dan burung. Judul dan
gambar di sampul saling “memastikan” bahwa novel bakal mengisahkan bocah,
burung, dan alam. Di halaman daftar isi, pembaca mulai ragu membaca judul-judul
bab: “Tetangga Baru”, “Anto Masuk Rumah Sakit”, Ruri dan Nanang Mendapat Adik”,
“Keluarga Pak Hasan”, “Nani dan Nino”, “Sarang yang Aman”. Pembaca diminta
bersabar untuk membuktikan judul dan gambar dan sampul di bab terakhir.
Nina dan Ani (kakak-adik) sedang bermain pasaran.
Mereka terkejut melihat rumah di depan-seberang berbeda dari hari-hari kemarin.
Pintu dan jendela rumah terbuka. Sejak tiga bulan rumah itu tertutup. Penghuni
telah pindah rumah. Nina dan Ani penasaran. Mereka menduga rumah itu bakal
memiliki penghuni baru. Deskripsi dari Maria A Sardjono: “Kedua gadis itu
berlari-lari melintasi halaman rumah. Seekor ayam yang sedang mencari makan di
dekat pagar rumah, terkejut dan melompat menjauh sambil berkotek-kotek. Tetapi,
Nina maupun Ani tidak memperhatikan ayam yang lari terbirit-birit itu. Mereka
terhenti di pinggir jalan. Niat keduanya untuk menyeberang gang di depan rumah
mereka itu, hilang. Di halaman rumah seberang, teraling tanaman pagarnya,
mereka melihat beberapa peti dan seperangkan perabot rumah. Di dekat
barang-barang itu, berdiri lelaki sebaya ayah merek. Baik Nina maupun Ani belum
pernah melihat orang itu.” Terbukti! Rumah itu memiliki penghuni baru.
Menit demi menit berlalu, mereka melihat pula
seorang ibu dan dua bocah. Peristiwa lanjutan terjadi. Si ibu mengajak dua
bocah itu menemui Nina dan Ani. Berkenalan! Nina dan Ani diperkenalkan dengan
Ruri dan Nanang. Dua bocah itu kembar, perempuan dan lelaki. Empat bocah mulai
memiliki gelagat berteman dan mengalami hari-hari ceria gara-gara bertetangga. Nina
dan Ani mengajak Ruri dan Nanang ke rumah untuk berkenalan dengan adik mereka,
Adi. Di rumah sebelah, ada bocah lelaki bernama Anto.
Kita diajak ke kancah pengalaman bocah berteman
dan mengadakan permainan-permainan. Mereka membentuk diri dan saling mengenali
melalui bahasa, gerak, dan kesadaran ruang-waktu di pengalaman bersama. Di
halaman-halaman awal, kita di situasi bermain. Para pembaca buku filsafat pasti
lekas ingat buku garapan Johan Huizinga mengenai homo ludens. Para penekun masa lalu juga berhak merenungkan bocah
dan permainan melalui buku dokumentasi garapan Hermanu-Bentara Budaya
Yogyakarta berjudul Lir-Ilir. Bocah
mengawali biografi dengan bermain, bermain, bermain. Bocah mengartikan diri,
sesama, dunia, dan pelbagai hal melalui permainan (sering) bersama. Di
permainan, mereka belajar kebahasaan, etika, estetika, kebersamaan, konflik,
dan keberanian. Maria A Sardjono tampak mengerti kancah pengalaman bocah dengan
memberi halaman-halaman mengisahkan mereka bermain, bukan sodorkan adegan
melulu bersekolah alias belajar. Bocah-bocah itu berusia 7-11 tahun.
Sejak bab awal, pembaca digoda memikirkan lagi
makna bertetangga. Makna tak usah dicari di buku-buku sosiologi tapi di petikan
novel saja. Ibu Nina kaget melihat ada dua bocah main ke rumah. Ruri dan Nanang
disambut hangat dan diajak bergirang. Sang ibu mengaku “senang sekali”. Adegan
buatan Maria A Sardjono: “Bergegas perempuan itu masuk ke dalam kembali.
Tatkala dia keluar lagi, di tangannya ada sepiring kue kering. Di belakangnya,
Iyem pembantu rumah tangga mereka membawa baki berisi lima gelas es sirop
berwarna kuning muda. Nina dan Ani bersorak gembira.” Ingat, kue kering di
piring, tak berada dalam kaleng. Rumah Nina dan Ani belum pamer gengsi dengan
suguhan berkaleng. Di piring, suguhan tetap pantas dan lezat. Suguhan disampaikan
ibu bermaksud “menyambut tetangga baru kita yang manis-manis.” Peristiwa
memiliki tetangga baru diartikan bersama dengan sukacita.
Bermain! Novel memang bertokoh bocah dan memihak
ke bocah. Kelucuan dan ketegangan tersaji di bab kedua. Kutipan panjang tentang
bermain bersama: “Minggu itu mereka berkumpul di depan rumah Nina. Mereka sedang
bermain jual-jualan. Anak-anak lelaki ikut bermain bersama dengan gembira sebab
barang yang dijual Nina bukan makanan yang terbuat dari daun-daun ataupun bunga
seperti biasanya. Nina berjualan kue-kue dan buah-buahan. Ibu yang
memberikannya. Dan anak-anak lain boleh membeli makanan-makanan itu dengan
uang-uangan dari potongan kertas koran. Melihat kue-kue yang enak buatan ibu
Nina itu, Anto tidak mengganggu seperti biasanya. Bahkan dalam sakunya terdapat
guntingan-guntingan kertas koran untuk membeli kue-kue itu. Tentu saja Nina
tidak mau melayaninya terus-menerus.” Makanan asli tapi duit palsu. Anto
bergairah jadi pembeli alias “serakah” ingin makan kue dan buah dari pembelian
menggunakan uang palsu. Nah, Nina sebagai pedagang jadi “marah”. Anto dianggap
curang. Para bocah memiliki hak sama tapi Anto nekat ingin terus membeli setiap
detik.
Anto berlaku sombong: mengaku memiliki duit. Ia
adalah pengusaha berhak membeli apa saja. Nina mengejek bahwa semua itu uang
kertas palsu. Anto tak berhak belanja sampai perut jadi gendut. Pertengkaran
atau saling ejek tiba-tiba berhenti saat Anto melihat ada layang-layang terbang
dekat genting rumah. Nanang pun melihat. Dua bocah segera berlari ingin
mendapatkan layang-layang. Di hitungan detik, peristiwa buruk terjadi. Di luar,
terdengar derit rem sepeda motor dan teriakan-teriakan. Tabrakan! Anto terkapar
di jalan dengan kondisi tubuh berdarah. Anto menangis keras. Bocah-bocah
berkerumun tampak sedih.
Novel jadi pengajaran. Kita mendapat sisipan
pengajaran dunia batin bocah. Maria A Sardjono menulis: “Bagaimana pun nakalnya
Anto, mereka semua tidak pernah membencinya. Mereka bertentangga dengan Anto
sudah semenjak mereka masih kecil sekali. Bahkan sebelum Adi adik mereka lahir,
Anto sudah menjadi kawan sepermainan Nina dan Ani. Melihat Anto terkapar
kesakitan dengan darah bersimbah di kakinya, Nina dan Ani tidak tahan
melihatnya.” Empati berlaku di pertemanan bocah. Semula, kita mendapatkan
permainan lucu tapi disusul kejadian buruk. Pengarang sengaja mengurutkan
kejadian agar pembaca mengerti dunia (perasaan) bocah saat bersama dan
mengetahui ada peristiwa memicu rasa bersalah dan empati.
Pada suatu hari, ada ungkapan lucu dari Adi,
setelah turut bermain di rumah Ruri dan Nanang. Pulang ke rumah, Adi berkata
pada bapak-ibu: “Bu, barangkali Bu Herman sakit perut!” Bu Herman itu ibu
Ruri-Nanang. Kalimat itu membuat bapak-ibu kaget. Adi masih kecil tapi memiliki
pengamatan serius. Ungkapan sakit perut berdasarkan penglihatan ke perut Bu
Herman: perut besar. Bapak-ibu mesem
tapi tak mengejek. Mereka paham keluguan Adi. Perut besar belum dimengerti Adi
sebagai kehamilan. Ibu menjelaskan: “Bu Herman tidak sakit perut, Adi. Bu
Herman sedang mengandung bayi. Ruri dan Nanang akan mendapat adik sebentar
lagi!” Eh, Adi tak mengerti pula arti “sebentar”. Ia menganggap sebentar itu
“nanti sore” atau “besok”. Ibu mesem
lagi.
Adi melanjutkan omongan minta adik kepada ibu. Ia
ingin memiliki adik. Ani pun mengaku ingin adik. Nina turut bersepakat ingin
memiliki adik. Bertiga kompak! Pembaca mungkin tak menduga bahwa peristiwa itu
dimaksudkan menjelaskan KB oleh pengarang. Ah, seruan pemerintah tiba-tiba
datang di cerita! Penjelasan diberikan bapak. Kita menduga itu sesuai petunjuk
pemerintah bahwa kepala keluarga berkewajiban membenarkan program KB dan
berperan jadi juru penerang. Kita ikut mendengar agak ikhlas: “Anak-anak,
kalian harus tahu bahwa dunia yang kita tempati ini sekarang sudah penuh sekali
dengan manusia. Begitu juga di negara kita ini. Terutama di pulau Jawa. Setiap
tahun penduduk di dunia ini bertambah. Dapat kau bayangkan itu anak-anak?
Cobalah pikirkan, apa saja akibat dari pertambahan jumlah penduduk yang semakin
banyak itu?” Cerita mirip salinan pidato pejabat atau petugas KB. Cerita juga
berisi salinan pelajaran. Adi menjawab: “Tanah menjadi sempit!” Jawaban Ani:
“Makanan jadi berkurang!” Keluarga itu berisi bapak, ibu, dan tiga bocah
pintar. Keluarga teladan di Indonesia. Perkara minta adik memicu pembuktian
keluarga pintar.
Kita masih mengutip ceramah bapak agar semakin
mengerti keampuhan indoktrinasi di masa Orde Baru. Isi ceramah penting bagi kita
asal mau berpikir tenang dan kritis. Ceramah bapak membuktikan kemampuan
menerima dan mengolah pesan pemerintah, pendapat ahli, dan simak berita. Kita
menduga bapak rajin membaca koran, menonton siaran berita di televisi, dan
mengikuti percakapan-percakapan bermutu di kantor atau kampung. Kita buktikan:
“Dengan bertambahnya penduduk, kita semua harus bekerja dan belajar semakin
giat untuk mengatasi segala kesulitan yang ditimbulkannya. Pembangunan di
segala bidang harus ditingkatkan. Membangun sekolah-sekolah yang lebih banyak,
dan sarana-sarana lainnya seperti rumah sakit, transportasi dan lain
sebagainya. Kalian semua tentu tahu bahwa mengatur manusia sedikit dengan
manusia banyak lebih sukar mengatur yang banyak. Jangan sampai kelak kalau
bayi-bayi yang lahir itu menjadi dewasa, lapangan kerja menjadi sempit karena
banyaknya manusia yang membutuhkan pekerjaan demi nafkah hidupnya.
Sedikit-sedikit kau sudah tahu apa akibatnya kalau manusia semakin bertambah
banyak. Dunia bukan saja akan kekurangan pangan, tetapi juga terancam banyak
bencana alam oleh perbuatan manusia sendiri seperti banjir, tanah longsor,
pengotoran udara dan banyak lagi. Itulah sebabnya pemerintah menganjurkan
keluarga berencana. Sebaiknya tiap keluarga rata-rata hanya mempunyai dua atau
tiga orang anak saja!” Ceramah sakti itu disampaikan ke bocah, bukan peserta
seminar nasional. Kita maklumi saja demi keberterimaan novel di alur kebijakan
pemerintah dan mengajari bocah-bocah seribu masalah besar di Indonesia.
Kita selingi ceramah bapak dengan membaca artikel
ringan bertema tekanan penduduk garapan Masri Singarimbun (Direktur Pusat
Penelitian dan Studi Kependudukan Universitas Gadjah Mada). Artikel berjudul
“Masalah Urbanisasi” dimuat di majalah Si
Kuncung nomor 36, 1980. Artikel dibaca bocah menggunakan bahasa diusahakan
sederhana. Masri Singarimbun menjelaskan: “Desakan yang terus-menerus di
desa-desa, langkanya pekerjaan di daerah-daerah pertanian, menyebabkan para
remaja banyak yang meninggalkan desa menuju ke kota-kota. Macam-macam saja
alasan mereka pergi ke kota. Ada yang semula sekolah tapi akhirnya enggan
pulang ke kampung. Ada yang sengaja datang ke kota untuk mencari pekerjaan.
Yang jelas, kota lebih gemerlapan. Kota dengan segala daya tariknya yang lebih
besar. Iklan-iklan teve yang dewasa ini sudah masuk ke pelosok-pelosok desa,
membuat orang lebih bergairah ke kota.” Kita sudahi kutipan dengan pengertian
bahwa masalah pendudukan memang “gawat” pada masa 1980-an. Novel garapan Maria
A Sardjono dan artikel dari Masri Singarimbun anggaplah bukti terbaca untuk
direnungkan pembaca masih mau berpikir seru.
Akhir dari cerita persembahan Maria A Sardjono ada
di bab terakhir. Novel 56 halaman itu berhikmah di ujung. Ruri dan Nanang
memiliki adik kembar bernama Nani dan Nino tapi ibu meninggal, sekian hari
setelah melahirkan. Empat anak itu turut diasuh ibu Nina. Kita simak: “Ibu
tidak hanya memberi rasa aman kepada anak-anak kandungnya sendiri saja, tetapi
juga kepada anak-anak lain yang membutuhkannya.” Rumah dihuni ibu, bapak, Nina,
Ani, dan Adi menjadi rumah pula bagi empat bersaudara: Ruri, Nanang, Nani,
Nino. Semua turut diasuh ibu. Dua kalimat terpenting di novel agar kita
mengerti judul dan gambar di sampul: “Yah, rumahnya memang bagai sarang yang
aman. Keamanan dan perlindungan yang juga siap melindungi anak-anak burung lain
yang kehilangan induknya!” Pembaca pun terharu. Begitu.
No comments:
Post a Comment