Wednesday, April 24, 2019

Kecantikan, Kematian, Kegilaan


Kecantikan, Kematian, Kegilaan

Bandung Mawardi


Di sampul buku bagian belakang, dipasang keterangan: “Cerita Panji sangat terkenal di daerah asalnya, di sekitar Kediri. Siapa tidak akan sedih bila seseorang ditinggal mati kekasihnya? Lebih sedih lagi adalah Raden Panjikudawaningpati kehilangan Dewi Anggreini, kekasihnya. Sedangkan kematian itu atas usaha Sri Baginda, ayah Raden Panji sendiri karena tidak menyetujui perhubungan mereka.”
Di sampul depan, ada stempel negara dan pemberitahuan: “Khusus SD Inpres 73/74 dan SPG Negeri.” Buku diongkosi pemerintah untuk bacaan bagi SD dan sekolah calon guru. Ongkos cetak ribuan eksemplar buku berjudul Dewi Candrakirana pastilah jutaan rupiah. Buku ditulis atau diceritakan ulang oleh Uliah S. Penerbit buku adalah Indra Press. Kaum lawas ingat Indra Press berarti ingat majalah Si Kuncung. Buku cetak pertama (1974) dan cetak kedua (1977). Buku mewariskan cerita-cerita pernah dilisankan, disenandungkan, dan dipentaskan oleh orang-orang di Jawa dan Asia Tenggara. Pada edisi buku, cerita bakal memiliki pesona asal ada kemahiran bahasa.
Kita tunda dulu masuk ke buku berjudul Dewi Candrakirana. Bukalah dulu buku berjuduk Tjerita Pandji dalam Perbandingan susunan Poerbatjaraka. Buku hasil terjemahan Zuber Usman dan HB Jassin, terbitan Gunung Agung, Jakarta, 1968. Buku kelas berat! Poerbatjaraka menerangkan: “Jang mula-mula sekali membitjarakan Pandji dari sudut kesusastraan ialah Dr Cohen Stuart dalam karangannja Djajalengkara. Sebagai suatu tjerita jang berdiri sendiri, pengalaman-pengalaman Pandji dimuat dalam teks jang diterbitkan oleh Roorda, bersama-sama dengan dua buah tjerita wajang. Teks jang sama, tetapi tanpa kedua tjerita wajang, kemudian diterbitkan pula kembali oleh Dr Gunning. Sedjak itu tjerita-tjerita Pandji mendapat perhatian jang menggembirakan dan tak habis-habisnja dari para sardjana ahli.” Publikasi cetak modern sudah dimulai sejak pertengahan abad XIX. Penerbitan di negeri asing, belum di Nusantara.
Cerita Panji dijadikan riset dan disunting para sarjana asing (Belanda) saat Jawa masih berlakon penjajahan. Di mata para sarjana, Jawa dan Melayu itu mahacerita, sumber dari suguhan kesusastraan memukau dan “mengabadi”. Politik colonial berlangsung tapi kerja-kerja intelektual memiliki jalan agak lurus direstui pemerintah kolonial, universitas-universitas di Belanda, dan elite di Jawa.
Deretan nama dari negeri penjajah menentukan pengetahuan kita mengenai cerita Panji. Poerbatjaraka mencatat: “Suatu singkatan tjerita jang pendek tentang Pandji Semirang telah diberikan oleh Dr Juynboll dalam katalogusnja, sedang Prof van Ronkel dalam katalogusnja menundjuk pula kepada singkatan tjerita Juynboll itu dan sebuah ringkasan tjerita (berupa naskah) jang ditulis oleh Dr Brandes. Naskah Brandes itu sekarang masih terdapat dalam berkas nomor 66 diantara peninggalan-peninggalan sardjana ini, bersama singkatan tjerita pendek-pendek tentang tjerita-tjerita Pandji jang lain, djuga tjerita Pandji Jawa.”
Sejak ratusan tahun lalu, cerita Panji berkembang dan diwariskan di Jawa dan Asia Tenggara. Pengaruh meluas ke pelbagai negeri. Cerita Panji seperti jadi “pengikat” sejarah kesusastraan di Asia Tenggara. Kita mengetahui itu melalui buku berjudul Peradaban Pesisir: Menuju Sejarah Budaya Asia Tenggara (2009) Adrian Vickers. Cerita Panji itu medium mengabarkan dan menghubungkan norma kultural melalui modifikasi atau penciptaan kembali di pelbagai ruang pesisir Asia Tenggara: Jawa, Sumatra, Semenanjung Melayu, Thailand, Burma, Bali, Lombok, Sulawesi Selatan. Sebaran cerita Panji sanggup melahirkan model pembentukan gagasan tentang “Jawa” dan “Melayu.” Riset-riset cerita Panji terus berlangsung sampai abad XXI. Para sarjana asing tak jemu mengerti dan mempelajari cerita Panji. Ketekunan mereka mungkin sulit ditandingi para sarjana Indonesia.
Kita mulai masuk ke buku untuk murid-murid SD. Bacaan mengenai Panji dalam 48 halaman. Di sekian halaman, kita melihat ilustrasi buatan Hidayat Said. Ulkiah bercerita: “Suatu hari Raden Panji pulang berburu diiringkan oleh beberapa orang pengawal istana. Hari amat panas, Raden Panji merasa haus sekali. Rombongan Raden Panji berjalan melewati tempat kediaman Patih Kudanawarsa. Ketika itu Patih sedang berada di halaman rumahnya.” Peristiwa itu menentukan lakon kecantikan, kematian, dan kegilaan. Murid SD membaca buku untuk “terlena” di tema-tema besar: asmara dan perang. Bocah memang harus mengerti sastra masa lalu meski berpusat ke kerajaan dan penokohan elite ketimbang jelata.
Di rumah Patih, Raden Panji mendapat suguhan minuman oleh Angreni. Gadis cantik, putri dari Patih. Gadis itu mengubah nasib Raden Panji di pandangan berkesan: “Raden Panji terkejut, ia sangat terpesona melihat kecantikan Angreni. Kedua matanya tak lepas memandang wajah Angreni yang lembut sayu. Angreni menjadi gelisah, wajahnya merah karena malu. Ia tersipu-sipu sambil menundukkan kepalanya.” Duh, lelaki bernama Panji itu gampang terjerat asmara! Ia melek dengan kecantikan. Kagum kebangetan! Sejak awal cerita, murid berhak berimajinasi jadi Panji atau Angreni. Pada masa sekarang, mereka bisa membandingkan dengan artis-artis paling ganteng dan cantik. Eh, apa kecantikan Angreni seperti Dian Sastrowardoyo, Laura Basuki, Syahrini, Maudy Ayunda, atau Nella Kharisma? Dulu, Angreni pintar memasak dan mengurusi rumah, belum diceritakan senang bersenandung, main film, rajin jadi bintang iklan, atau berjoget. Angreini pun belum rajin berfoto, piknik ke luar negeri, atau masuk di acara gosip. Angreni itu perempuan idaman.
Pertemuan sejenak menghasilkan keputusan besar dan mendadak. Raden Panji ingin menikahi Angreni. Oh, tata cara gampang banget ketimbang kita mengingat cerita di film-film mengaku romantik di Indonesia! Ingat, Panji-Angreni bukan sedang berada dalam roman picisan. Di situ, ada ketulusan dan keluguan. Urusan menikah tak perlu harus menunggu lagu Java Jive, Kahitna, Payung Teduh, atau Dewa. Dulu, asmara belum bergantung industri musik mengumbar perasaan-perasaan berlebihan.
Raden Panji sudah ditunangkan dengan Dewi Sekartaji, putri Raja Kediri. Pertunangan sejak mereka masih bocah. Eh, Raden Panji malah menikahi Angreni. Berita pernikahan itu membuat Raja Kediri marah, ingin mengadakan perang dengan Jenggala. Pernikahan itu menghina kesepakatan sejak lama. Murka Raja Kediri: “Tidakkah ini suatu penghinaan untukku? Tidakkah Raja Jenggala telah menyalahi kata-katanya? Patutkah seorang Raja agung dan berwibawa melanggar janjinya?” Keinginan perang bisa dibatalkan oleh siasat pertapa bernama Resi Kilisuci. Ia menjadi penengah dan menenangkan.
Muslihat pun diselenggarakan. Raja Jenggala meminta Raden Panji mengiringkan Resi Kilisuci kembali ke hutan Kepucangan. Di luar pengetahuan Raden Panji, Raja dituduh agung tapi melanggar janji itu menjalan rencana kematian. Raja meminta Angreni dibawa ke hutan. Tumenggung Brajanata ditugasi membunuh Angreni. Siasat jahat memuluskan rencana dua raja menikahkan Raden Panji dengan Dewi Sekartaji. Kematian harus ada.
Di hutan sepi, Tumenggung Brajanata tak tega membunuh Angreni dengan sebilah keris. Ia menjelaskan dulu dilema ditanggung akibat perintah raja. Angreni maklum dan sadar memiliki nasib buruk. Angreni ikhlas di muslihat raja. Pembaca masih bocah lekas sampai ke adegan penuh keharuan: “Tiba-tiba, tanpa disadari Brajanata, Angreni menubruk keris yang sedang dihunus oleh Brajanata. Angreni roboh dan tewas seketika.” Ah! Brajanat berduka tanpa ujung. Ia pun mengubur Angreni dengan terhormat: “Mayat Angreni dan pengasuhnya oleh Brajanata dikuburkan di bawah pohon angsoka. Kemudian kedua pusara itu ia timbun dengan daun-daun, sehingga merupakan sebuah bukit unggukan tanah.”
Kembali dari hutan Kepucangan, Raden Panji tak menemukan Angreni. Ia mendapat berita bahwa Angreni sudah mati. Sekian detik setelah mendengar kematian Angreni, Raden Panji menanggung derita dengan hilang ingatan alias mengalami kegilaan. Pembaca mengasihani Raden Panji tanpa harus menangis mengikuti asmara berduka dan politik bengis. Deskripsi kegilaan: “Tiap hari ia berjalan menyusuri sawah dan ladang sambil berteriak-teriak memanggil Angreni. Dedaunan dan bunga-bungaan diajaknya berbicara.” Ia bukan seniman, menanggungkan duka menghasilkan puisi atau lagu. Ia bukan pemain di film India, mengalami kegilaan dengan cerita meminta air mata jutaan penonton.
Di perjalanan ke hutan, Raden Panji melihat gundukan tanah. Ia memerintah para pengawal untuk menggali tanah. Di sana, ada raga Angreni dan pengasuh. Raden Panji dan rombongan bepergian menaiki perahu. Mereka membawa dua raga korban muslihat raja. Di tengah lautan, gelombang menerjang ganas. Orang-orang mengira rombongan itu tenggelam di lautan. Raden Panji pun dikabarkan mati.
Hidup Raden Panji belum selesai. Ia selamat, terdampar di Bali. Pengelanaan pun dimulai berbekal cerita agung. Ia mengubah nama menjadi Kelana Jayengsari menjalankan misi perang demi perang meraih kemenangan agar Angreni bangkit alias hidup lagi. Ia bergairah menuju pertemuan dengan pujaan. Ia memilih perang beradab, bukan perang mengalirkan darah, memicu jeritan, dan menambahi jumlah kuburan. Sampailah ia di Kediri, dimintai bantuan Raja Kediri. Kerajaan mau diserang oleh Raja Gajah Angun-Angun dari Metaun. Kelana Jayengsari mau membantu Raja Kediri dengan “hadiah” Dewi Sekartaji. Kemenangan bakal menjadikan Dewi Sekartaji adalah istri bagi Kelana Jayengsari atau Raden Panji.
Adegan heroik dan lucu dalam perang. Dewi Sekartaji menemui Kelana Jayengsari untuk mendampingi dalam perang. Petikan di cerita: “Kelana Jayengsari menoleh ke belakang ketika ia mendengar teriakan itu. Ia terkejut bukan main! Hampir-hampir ia terjatuh dari atas kudanya. Seluruh badannya gemetar. Matanya berkunang-kunang melihat seorang putri cantik yang sedang berdiri di hadapannya.” Ia tak sadar berkata: “Angreni, oh, Angreni, isteriku. Benarkah engkau ini Angreni yang telah datang kembali? Ah, Angreni engkau benar-benar menjadi lebih cantik dan mempesonakan.” Ia masih selalu teringat Angreni. Di depan, ia berhadapan Dewi Sekartaji mirip banget dengan Angreni. Raden Panji memenangi sekian perang dan menikahlah dengan Dewi Sekartaji.
Kebahagiaan dilengkapi bisikan dari langit. Raden Panji dan Dewi Sekartaji mendengar serius: “Para Dewa tidak menghendaki dua puteri yang kau kasihi berwajah sama. Perpaduan kedua puteri itu bagaikan sebutir cahaya bintang di langit. Angreni bersama inang pengsuhnya turun sejenak ke bumi untuk membuktikan kepadamu bahwa kedua orang puteri yang kau cintai itu telah menjadi satu. Angreni bagaikan cahaya bulan. Sinar cahaya bulan memancar ke wajah Dewi Sekartaji dan menjelma menjadi Dewi Persatuan. Dewi Persatuan itu selanjutnya akan bernama Dewi Candrakirana atau cahaya bulan!” Cerita berakhir. Murid-murid SD mulai mencari hikmah buku dan merenung tentang kecantikan, kematian, dan kegilaan. Semua itu berakhir bahagia. Begitu.



No comments:

Post a Comment