Sunday, April 7, 2019

"Penendang" Kemiskinan


“Penendang” Kemiskinan

Bandung Mawardi


Buku lawas berjudul sangar: Radja Bola. Pengarang menggunakan rumus ingin “mengejutkan” pembaca ketimbang “mengena” ke perasaan pembaca. Pengarang bernama Mien Resmana dalam novel berjudul Radja Bola (1972) terbitana Pustaka Jaya agak mengecoh pembaca. Julukan berlebihan bagi tokoh di novel. Pengarang mungkin membuat judul dengan pertimbangan bersama editor atau penerbit. Industri buku tak mengharamkan ada kompromi atau mufakat. Di Indonesia, judul itu mungkin diramalkan gampang memikat pembaca.
Judul dicantumkan di buku, belum tentu judul “asli” sebelum diterbitkan. Pada masa 1970-an, tema sepak bola sudah menghebohkan Indonesia melalui Piala Dunia, Olimpiade, Asian Games, Ganefo, dan lain-lain. Indonesia sudah lama mengenali sepak bola tapi merasakan girang setelah bercerai dari kolonialisme. Dulu, sepak bola itu menguak diskriminasi dan perlawanan politik di masa kolonial. Kaum bumiputra dipersulit dan mendapat tekanan-tekanan dari nalar kolonial. Masa itu berlalu meninggalkan kenangan pahit dan manis. Pada masa revolusi, sepak bola jadi simbol memajukan dan memuliakan Indonesia. Keinginan direcoki Perang Dingin di dunia dan perseteruan politik di Indonesia.
Mien Resmana bukan menulis novel mengangkut sejarah. Ia sodorkan Radja Bola dengan percampuran misi. Sepak bola dan kemiskinan bergantian dimaknai dalam novel. Mengapa perkara kemiskinan tak dimuat di judul? Oh, pembaca mau menggugat dan memberi ralat ke pengarang? Telat. Novel itu terbit puluhan tahun lalu, belum ada kabar buku itu laris atau berpengaruh bagi bocah-bocah di Indonesia.
Kita akhiri saja soal judul. Pengarang mempersembahkan buku pada tiga anak tercinta: Dadang Darmono, Dida Darmini, dan Dini Darjani. Novel itu berbahasa Indonesia belum terkotori ejaan berselera rezim Orde Baru. Novel semarak dengan ilustrasi buatan Nana Banna. Para pembaca novel masa 1970-an mungkin terharu setelah khatam. Pembaca bisa pula mendapatkan sentuhan-sentuhan kemanusiaan di tema kemiskinan. Pada saat novel terbit, jutaan orang Indonesia terdefinisikan miskin.
Pembaca telat di masa sekarang perlu membuka buku berjudul Bola-Bola Nasib (2002) berisi puluhan esai garapan Sindhunata. Di situ kita membaca: “Bola dan kemiskinan, kelihatannya keduanya tidak boleh dihubungkan. Tetapi sekurang-kurangnya mantan pelatih bola kaliber dunia, Ernst Happel pernah berkata: ‘Bola itu soal ekonomi! Pemain bola jangan makan daging, tetapi makanlah roti. Bola itu adalah olahraga rakyat. Celaka jika dalam bola dipakai ukuran lain yang bukan ukuran olahraga rakyat. Pemain bola sekarang tidak tahu lagi bagaimana rasanya makan daging seminggu sekali. Kesejahteraan zaman ini memang baik, tetapi tidak terlalu baik untuk bola.’” Kutipan jauh dari penemuan-penemuan pembaca di novel berjudul Radja Bola.
Kita lekas menuju pengisahan sepak bola dulu. Di sekolah bernama Sukamadju terletak di desa, para murid-murid suka bermain sepak bola. Mereka setiap hari bermain sepak bola dengan kesadaran menimbulkan risiko-risiko. Kita simak risiko dimarahi dari petikan bertokoh guru di hadapan para murid: “Beberapa hari jang lalu Bapak memarahi kamu semua karena telah berani bermain sepakbola di halaman sekolah jang sempit itu sehingga beberapa buah genting rumah Bu Hadji petjah karenanja. Kalian tahu, untuk beberapa hari lamanja, bola kepunjaan sekolah ditahan Bu Hadji, karena marahnja. Baru setelah Bapak datang kepadanja dan berdjandji tidak akan mengidjinkan kalian main sepakbola di halaman sekolah, bola itu diberikan kembali.” Bocah-bocah di sekolah itu merepotkan. Mereka ingin berkeringat, berteriak, dan girang tapi mengakibatkan kehancuran genting. Pihak sekolah bertanggung jawab. Kita maklum dengan pemilik rumah. Mengapa pemilik rumah tak memaklumi bocah-bocah menginginkan gembira bersama?
Guru menjelaskan pilihan bermain sepak bola di halaman sekolah itu salah gara-gara dekat dengan rumah warga. Tempat terbaik bermain sepak bola adalah lapangan olahraga milik desa. Nah, kemarahan sudah rampung. Guru mengabarkan bahwa murid-murid kelas V dan VI bakal dipilih untuk membuat tim dalam kepentingan lomba. Murid-murid “kesetanan”. Mereka gaduh, bertepuk tangan, dan memukuli meja. Heboh! Kegemaran bermain sepak bola dan ikhlas dimarahi ingin dilanjutkan ke prestasi di lomba.
Tata, murid keranjingan sepak bola, meluapkan gembira ingin masuk tim sekolah. Ia sudah bermimpi di pertandingan seru. Mimpi itu berantakan oleh guru saat mengucap iuran sekolah. Murid-murid diminta tak telat setor iuran sekolah. Tata merasa malu. Mien Resmana menceritakan: “Segala rasa gembira karena mendengar akan ada pertandingan sepakbola hilang seketika itu djuga. Hanja rasa malu jang tak bisa lepas dari hatinja.” Ia sudah telat lima bulan. Tata bersedih tanpa ujung. Tema kemiskinan mulai dimunculkan pengarang. Sejak halaman awal, Tata memang pantas dijuluki “radja bola” tapi miskin. Tata hidup bersama nenek dalam kemelaratan. Makan setiap hari saja belum ada jaminan.
Malu sempat dilupakan saat Tata dan teman-teman latihan di lapangan desa. Ia berhasil membuat gol. Pulang dari lapangan, ia senang tapi kehausan. Kondisi si miskin saat menuju ke pancuran air: “Bukan main hausnja ketika itu. Djika ia tidak ingat akan nasihat guru bahwa minum air mentah itu tidak baik pasti direguknja air pantjuran jang djernih-bening itu. Air mentah mungkin mengandung bibit penjakit. Oleh karena itu ditahankannja rasa hausnja. Ia hanja berkumur-kumur sadja. Keluar dari pantjuran, mulutnja masih penuh air. Dan di tempat jang diterangi tjahaja matahari disemburkannja air itu dari mulutnja. Ia tersenjum melihat ke air jang disemburkannja djadi berwarna-warna. Tak ubahnja pelangi kecil.”
Pembaca berhenti sejenak. Pembaca seperti melihat bocah kurus berkeringat sedang mencipta bahagia kecil. Ia tak mampu jajan es untuk menumpas haus. Ia masih berpikiran waras. Air mentah jangan diminum. Tata berhasil membuat pelangi! Di mata, pelangi itu indah tapi warna nasib Tata masih suram. Ia sadar miskin. Ia itu “raja” dijerat kemiskinan. Pada bola, Tata masih mungkin “menendang” rasa malu atas kemiskinan. Pembaca sudah di hadapan dua tema: sepak bola dan kemiskinan.
Di rumah, Tata bercakap dengan nenek mengenai sepak bola dan iuran sekolah. Percakapan di malam hari. Tata berkata pada nenek: “Pak Guru menerangkan arti kata-kata itu di sekolah. Sukar mengutjapkannja, Nek. Hen, prikik, aut…” Sekian kata itu belum berhasil diterjemahkan ke bahasa Indonesia, sejak dulu sampai sekarang. Bocah-bocah di desa dan kota tetap bisa mengucap sekian kata asing tapi sudah diakrabi dalam sepak bola. Gugatan agar ada penerjemahan belum dilakukan oleh kaum pemuja bahasa Indonesia. Urusan kata bersambung ke pengakuan Tata pada nenek. Pengakuan belum memenuhi kewajiban iuran sekolah. Pembahasaan dari Mien Resmana: “Neneknja tersenjum getir. Diusapnja kepala tjutjunja dengan segala rasa kasih sajang.”
Nenek sudah berusaha tapi kemiskinan masih ditanggungkan. Pembaca bersedih atas nasib nenek dan Tata. Mien Resmana mulai memberi dokumentasi zaman bertema kemiskinan ke pembaca. Pengakuan nenek: “Lagipula pekerdjaan sekarang sukar. Pekerdjaan di sawah sudah selesai. Jang menjuruh menumbuk padi djarang sekali, sebab mereka membawanja ke penggilingan. Sebelum ada penggilingan padi, nenek tak pernah menganggur. Hari ini menumbuk padi di rumah Mas Lurah, esoknja di rumah Pak Saman. Upahnja satu liter tiap kaleng. Di sana nenek diberi makan pula…” Bekerja sebagai buruh penumbuk padi telah berlalu gara-gara modernisasi pertanian. Nenek tak mungkin menggugat. Ia menerima nasib. Pembaca mengerti modernisasi pertanian memberi dampak sial ke buruh tani tapi memberi sokongan ke mimpi pemerintah mencapai swasembada pangan.
Pengakuan itu memberi ide ke Tata. Penggilingan masih mungkin jadi dalih mendapatkan rezeki. Di belakang penggilingan, tumpukan sekam sering membukit. Pemilik penggilingan membuang sekam, dianggap tak berguna. Tata beranggap di sekam itu pasti masih ada sisa beras hasil penggilingan. Tata meminta janji nenek untuk mau menampi sekam demi menemukan beras meski sedikit. Pada pagi hari, Tata membolos. Ia membawa sekian karung ke penggilingan. Di rumah, nenek menampi. Pekerjaan itu berhasil mengumpulkan beras 1 liter. Kondisi beras pecahan. Tata berpikiran beras itu dijual. Uang digunakan untuk iuran sekolah.
Tindakan kedua adalah mencari daun. Pada pagi hari, Tata membolos lagi. Ia membawa golok menuju persawahan. Deskripsi pengarang: “Tak berapa lama kemudian ia sampai ke tepi sungai itu. Sepandjang tepi sungai itu banjak pohon waru. Itulah jang dikehendakinja. Ia sering melihat anak-anak sebajanja mendjual daun ke pasar jang letaknja tidak begitu djauh dari kampungnja.” Pekerjaan mencari daun itu menghasilkan rezeki. Di pasar, Tata menjual enam kilo daun waru. Pulang ke rumah membawa duit. Ia mulai mesem. Rasa malu segera bakal ditendang dengan duit untuk melunasi iuran sekolah. Masalah demi masalah bisa diatasi dengan kebaikan sekian orang dengan pembuktian kerja keras Tata dan nenek. Pembaca di renungan kebaikan.
Kita kembali lagi ke sepak bola. Tata bermain apik di pertandingan sepak bola. Tim sekolah menembus final di tingkat kecamatan. Kemenangan terus diraih. Tata sering mencetak gol. Bahagia semakin bertambah. Tata menendang “malu” atas kemiskinan. Tata menendang bola untuk kemenangan. Begitu.




  

No comments:

Post a Comment