“Penendang” Kemiskinan
Bandung Mawardi
Buku lawas berjudul sangar: Radja Bola. Pengarang menggunakan rumus ingin “mengejutkan” pembaca
ketimbang “mengena” ke perasaan pembaca. Pengarang bernama Mien Resmana dalam
novel berjudul Radja Bola (1972)
terbitana Pustaka Jaya agak mengecoh pembaca. Julukan berlebihan bagi tokoh di
novel. Pengarang mungkin membuat judul dengan pertimbangan bersama editor atau
penerbit. Industri buku tak mengharamkan ada kompromi atau mufakat. Di
Indonesia, judul itu mungkin diramalkan gampang memikat pembaca.
Judul dicantumkan di buku, belum tentu judul
“asli” sebelum diterbitkan. Pada masa 1970-an, tema sepak bola sudah
menghebohkan Indonesia melalui Piala Dunia, Olimpiade, Asian Games, Ganefo, dan
lain-lain. Indonesia sudah lama mengenali sepak bola tapi merasakan girang
setelah bercerai dari kolonialisme. Dulu, sepak bola itu menguak diskriminasi
dan perlawanan politik di masa kolonial. Kaum bumiputra dipersulit dan mendapat
tekanan-tekanan dari nalar kolonial. Masa itu berlalu meninggalkan kenangan
pahit dan manis. Pada masa revolusi, sepak bola jadi simbol memajukan dan
memuliakan Indonesia. Keinginan direcoki Perang Dingin di dunia dan perseteruan
politik di Indonesia.
Mien Resmana bukan menulis novel mengangkut
sejarah. Ia sodorkan Radja Bola
dengan percampuran misi. Sepak bola dan kemiskinan bergantian dimaknai dalam
novel. Mengapa perkara kemiskinan tak dimuat di judul? Oh, pembaca mau
menggugat dan memberi ralat ke pengarang? Telat. Novel itu terbit puluhan tahun
lalu, belum ada kabar buku itu laris atau berpengaruh bagi bocah-bocah di
Indonesia.
Kita akhiri saja soal judul. Pengarang
mempersembahkan buku pada tiga anak tercinta: Dadang Darmono, Dida Darmini, dan
Dini Darjani. Novel itu berbahasa Indonesia belum terkotori ejaan berselera
rezim Orde Baru. Novel semarak dengan ilustrasi buatan Nana Banna. Para pembaca
novel masa 1970-an mungkin terharu setelah khatam. Pembaca bisa pula
mendapatkan sentuhan-sentuhan kemanusiaan di tema kemiskinan. Pada saat novel
terbit, jutaan orang Indonesia terdefinisikan miskin.
Pembaca telat di masa sekarang perlu membuka buku
berjudul Bola-Bola Nasib (2002)
berisi puluhan esai garapan Sindhunata. Di situ kita membaca: “Bola dan
kemiskinan, kelihatannya keduanya tidak boleh dihubungkan. Tetapi
sekurang-kurangnya mantan pelatih bola kaliber dunia, Ernst Happel pernah
berkata: ‘Bola itu soal ekonomi! Pemain bola jangan makan daging, tetapi
makanlah roti. Bola itu adalah olahraga rakyat. Celaka jika dalam bola dipakai
ukuran lain yang bukan ukuran olahraga rakyat. Pemain bola sekarang tidak tahu
lagi bagaimana rasanya makan daging seminggu sekali. Kesejahteraan zaman ini
memang baik, tetapi tidak terlalu baik untuk bola.’” Kutipan jauh dari
penemuan-penemuan pembaca di novel berjudul Radja
Bola.
Kita lekas menuju pengisahan sepak bola dulu. Di
sekolah bernama Sukamadju terletak di desa, para murid-murid suka bermain sepak
bola. Mereka setiap hari bermain sepak bola dengan kesadaran menimbulkan
risiko-risiko. Kita simak risiko dimarahi dari petikan bertokoh guru di hadapan
para murid: “Beberapa hari jang lalu Bapak memarahi kamu semua karena telah
berani bermain sepakbola di halaman sekolah jang sempit itu sehingga beberapa
buah genting rumah Bu Hadji petjah karenanja. Kalian tahu, untuk beberapa hari
lamanja, bola kepunjaan sekolah ditahan Bu Hadji, karena marahnja. Baru setelah
Bapak datang kepadanja dan berdjandji tidak akan mengidjinkan kalian main
sepakbola di halaman sekolah, bola itu diberikan kembali.” Bocah-bocah di
sekolah itu merepotkan. Mereka ingin berkeringat, berteriak, dan girang tapi
mengakibatkan kehancuran genting. Pihak sekolah bertanggung jawab. Kita maklum
dengan pemilik rumah. Mengapa pemilik rumah tak memaklumi bocah-bocah
menginginkan gembira bersama?
Guru menjelaskan pilihan bermain sepak bola di
halaman sekolah itu salah gara-gara dekat dengan rumah warga. Tempat terbaik
bermain sepak bola adalah lapangan olahraga milik desa. Nah, kemarahan sudah
rampung. Guru mengabarkan bahwa murid-murid kelas V dan VI bakal dipilih untuk
membuat tim dalam kepentingan lomba. Murid-murid “kesetanan”. Mereka gaduh,
bertepuk tangan, dan memukuli meja. Heboh! Kegemaran bermain sepak bola dan
ikhlas dimarahi ingin dilanjutkan ke prestasi di lomba.
Tata, murid keranjingan sepak bola, meluapkan
gembira ingin masuk tim sekolah. Ia sudah bermimpi di pertandingan seru. Mimpi
itu berantakan oleh guru saat mengucap iuran sekolah. Murid-murid diminta tak
telat setor iuran sekolah. Tata merasa malu. Mien Resmana menceritakan: “Segala
rasa gembira karena mendengar akan ada pertandingan sepakbola hilang seketika
itu djuga. Hanja rasa malu jang tak bisa lepas dari hatinja.” Ia sudah telat
lima bulan. Tata bersedih tanpa ujung. Tema kemiskinan mulai dimunculkan
pengarang. Sejak halaman awal, Tata memang pantas dijuluki “radja bola” tapi
miskin. Tata hidup bersama nenek dalam kemelaratan. Makan setiap hari saja
belum ada jaminan.
Malu sempat dilupakan saat Tata dan teman-teman
latihan di lapangan desa. Ia berhasil membuat gol. Pulang dari lapangan, ia
senang tapi kehausan. Kondisi si miskin saat menuju ke pancuran air: “Bukan
main hausnja ketika itu. Djika ia tidak ingat akan nasihat guru bahwa minum air
mentah itu tidak baik pasti direguknja air pantjuran jang djernih-bening itu.
Air mentah mungkin mengandung bibit penjakit. Oleh karena itu ditahankannja
rasa hausnja. Ia hanja berkumur-kumur sadja. Keluar dari pantjuran, mulutnja
masih penuh air. Dan di tempat jang diterangi tjahaja matahari disemburkannja
air itu dari mulutnja. Ia tersenjum melihat ke air jang disemburkannja djadi
berwarna-warna. Tak ubahnja pelangi kecil.”
Pembaca berhenti sejenak. Pembaca seperti melihat
bocah kurus berkeringat sedang mencipta bahagia kecil. Ia tak mampu jajan es
untuk menumpas haus. Ia masih berpikiran waras. Air mentah jangan diminum. Tata
berhasil membuat pelangi! Di mata, pelangi itu indah tapi warna nasib Tata
masih suram. Ia sadar miskin. Ia itu “raja” dijerat kemiskinan. Pada bola, Tata
masih mungkin “menendang” rasa malu atas kemiskinan. Pembaca sudah di hadapan
dua tema: sepak bola dan kemiskinan.
Di rumah, Tata bercakap dengan nenek mengenai
sepak bola dan iuran sekolah. Percakapan di malam hari. Tata berkata pada
nenek: “Pak Guru menerangkan arti kata-kata itu di sekolah. Sukar
mengutjapkannja, Nek. Hen, prikik, aut…” Sekian kata itu belum berhasil
diterjemahkan ke bahasa Indonesia, sejak dulu sampai sekarang. Bocah-bocah di
desa dan kota tetap bisa mengucap sekian kata asing tapi sudah diakrabi dalam
sepak bola. Gugatan agar ada penerjemahan belum dilakukan oleh kaum pemuja
bahasa Indonesia. Urusan kata bersambung ke pengakuan Tata pada nenek.
Pengakuan belum memenuhi kewajiban iuran sekolah. Pembahasaan dari Mien
Resmana: “Neneknja tersenjum getir. Diusapnja kepala tjutjunja dengan segala
rasa kasih sajang.”
Nenek sudah berusaha tapi kemiskinan masih
ditanggungkan. Pembaca bersedih atas nasib nenek dan Tata. Mien Resmana mulai
memberi dokumentasi zaman bertema kemiskinan ke pembaca. Pengakuan nenek:
“Lagipula pekerdjaan sekarang sukar. Pekerdjaan di sawah sudah selesai. Jang
menjuruh menumbuk padi djarang sekali, sebab mereka membawanja ke penggilingan.
Sebelum ada penggilingan padi, nenek tak pernah menganggur. Hari ini menumbuk
padi di rumah Mas Lurah, esoknja di rumah Pak Saman. Upahnja satu liter tiap
kaleng. Di sana nenek diberi makan pula…” Bekerja sebagai buruh penumbuk padi
telah berlalu gara-gara modernisasi pertanian. Nenek tak mungkin menggugat. Ia menerima
nasib. Pembaca mengerti modernisasi pertanian memberi dampak sial ke buruh tani
tapi memberi sokongan ke mimpi pemerintah mencapai swasembada pangan.
Pengakuan itu memberi ide ke Tata. Penggilingan
masih mungkin jadi dalih mendapatkan rezeki. Di belakang penggilingan, tumpukan
sekam sering membukit. Pemilik penggilingan membuang sekam, dianggap tak
berguna. Tata beranggap di sekam itu pasti masih ada sisa beras hasil
penggilingan. Tata meminta janji nenek untuk mau menampi sekam demi menemukan
beras meski sedikit. Pada pagi hari, Tata membolos. Ia membawa sekian karung ke
penggilingan. Di rumah, nenek menampi. Pekerjaan itu berhasil mengumpulkan
beras 1 liter. Kondisi beras pecahan. Tata berpikiran beras itu dijual. Uang
digunakan untuk iuran sekolah.
Tindakan kedua adalah mencari daun. Pada pagi
hari, Tata membolos lagi. Ia membawa golok menuju persawahan. Deskripsi
pengarang: “Tak berapa lama kemudian ia sampai ke tepi sungai itu. Sepandjang
tepi sungai itu banjak pohon waru. Itulah jang dikehendakinja. Ia sering
melihat anak-anak sebajanja mendjual daun ke pasar jang letaknja tidak begitu
djauh dari kampungnja.” Pekerjaan mencari daun itu menghasilkan rezeki. Di
pasar, Tata menjual enam kilo daun waru. Pulang ke rumah membawa duit. Ia mulai
mesem. Rasa malu segera bakal ditendang dengan duit untuk melunasi iuran
sekolah. Masalah demi masalah bisa diatasi dengan kebaikan sekian orang dengan
pembuktian kerja keras Tata dan nenek. Pembaca di renungan kebaikan.
Kita kembali lagi ke sepak bola. Tata bermain apik
di pertandingan sepak bola. Tim sekolah menembus final di tingkat kecamatan.
Kemenangan terus diraih. Tata sering mencetak gol. Bahagia semakin bertambah.
Tata menendang “malu” atas kemiskinan. Tata menendang bola untuk kemenangan. Begitu.
No comments:
Post a Comment