Sunday, April 7, 2019

Berlebihan: Duka dan Doa


Berlebihan:
Duka dan Doa

Bandung Mawardi


Di pelbagai negeri, cerita terkuno dan awet sering bertokoh binatang. Sekian sebutan diberikan tapi bocah-bocah di sekolah dipaksa memberi sebutan “resmi” di buku pelajaran: fabel. Kita memastikan ada puluhan sebutan dalam beragam bahasa. Cerita-cerita binatang miliki ribuan komunitas etnis, bertebaran di dunia. Ribuan cerita dilisankan, disenandungkan, atau dipentaskan. Sekian cerita dituliskan dalam kitab-kitab “klasik” dengan beragam huruf.
Keinginan mendaftar nama dan jumlah binatang telah digunakan dalam cerita bakal menimbulkan capek sepanjang masa. Kita menduga belum semua binatang terpilih jadi tokoh di cerita atau sekadar ditaruh dalam cerita tanpa peran “jelas”. Abad demi abad berlalu, orang-orang mulai memiliki binatang andalan di ribuan cerita: singa, gajah, kuda, serigala, burung, bebek, beruang, ikan, domba, dan lain-lain. Semula, pilihan tokoh binatang disesuaikan dengan situasi tempat cerita digubah dan diedarkan. Perdagangan, dakwah, pengembaraan, dan kolonialisme berakibat pengenalan binatang-binatang dari negeri jauh. Cerita bertokoh binatang “asing” dimunculkan tanpa si pencerita atau pendengar pernah melihat atau berjumpa. Semua itu gara-gara “paksaan” atau “godaan” keterlaluan mengacu ke adat, agama, dan politik-kolonialisme.
Indonesia, negeri berlimpahan cerita binatang. Pada tiap komunitas etnis, cerita binatang jadi sumber pengajaran selain penghiburan. Cerita binatang malah sampai ke pengalaman mistik dan politik. Cerita-cerita beredar, mengalami penambahan dan pengurangan. Cerita itu ditempeli cap-cap asli, kuno, asing, campuran, tiruan, dan lain-lain. Keaslian jadi kelangkaan. Perjumpaan pelbagai bangsa selama ribuan tahun mencipta saling-silang.
Ah, kita berlagak serius memerkarakan cerita binatang. Lagak tanpa kepustakaan dan pembuktian-pembuktian berbobot. Awalan itu cenderung memicu sulit saat kita membaca buku berjudul Belantara: Kumpulan Ceritera Binatang-Binatang (1980) susunan A Wahab, terbitan Pradnya Paramita, 1980. Cetakan pertama pada 1975. Dulu, buku diterbitkan bermaksud: “dapat mengisi kekuarangan ‘Buku Bacaan yang Sehat’ untuk anak-anak.” Pada cetakan kedua, ada keterangan resmi: “Dengan gembira kami memberitahu kepada anak-anak pembaca buku ini, bahwa buku ini dipesan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sub-Proyek Pengadaan Buku Bacaan untuk Anak-Anak Sekolah Dasar. Ceritera dalam buku ini kecuali mengasyikkan, mengandung pendidikan yang berguna.” Pembaca ragulah sejak awal atas dua pengantar berbeda tahun. Ragu dibuktikan dengan membaca semua cerita dan memberi catatan-catatan “iseng”. Wahab memberi lima cerita. Kita membaca di hitungan menit, tak usah menjadwalkan khatam dengan lima hari lima malam. Buku berisi 46 halaman jangan boros waktu dalam membaca.
Cerita berjudul “Maharaja Singa yang Adil” memberi kesan “berat” di makna. Omongan penerbit bahwa cerita itu “mengasyikkan” gampang digugurkan. Bocah di SD dipaksa berpikiran serius: “Adalah seekor singa yang menjadi Maharaja dalam sebuah Kerajaan Belantara. Baginda amat dikasihi dan dihormati oleh seluruh rakyatnya. Selama pemerintahannya, rakyat hidup makmur dan aman tenteram. Salah satu sebab, mengapa pemerintah Baginda teratur ialah Baginda selalu memegang teguh hukum keadilan. Dalam berbagai-bagai perkara yang telah diputuskan, Baginda tetap berlaku adil dengan tidak berat sebelah. Meskipun Baginda mempunyai hak kekuasaan luar biasa, namun tak pernah beliau berlaku sewenang-wenang terhadap yang lemah. Akan tetapi, terhadap siapa yang melanggar peraturan dan undang-undang kerajaan, Baginda tak segan-segan menjatuhkan hukuman yang setimpal dengan kesalahannya.”
Kalimat-kalimat di dongeng memang berlebihan dan memukau. Alinea di buku cerita berbahasa Indonesia itu amburadul: berlebihan makna. Pembaca bukan di hadapan dongeng. Kita berlanjut ke pemberian cerita. Raja sudah tua, berharapan putra mahkota dapat melanjutkan berkuasa secara adil. Alur gampang dimengerti jika kekuasaan itu diwariskan. Cerita memang melulu di kerajaan, jarang di republik.
Pada suatu masa, kerajaan itu resah. Harimau sakti berkeliaran membuat masalah. Orang-orang ketakutan setiap hari. Raja berlaku bijak untuk merampungi masalah. Korban-korban berjatuhan. Sedih terus bertambah. Bermula dari rapat, raja mengirimkan utusan-utusan untuk mengalahkan harimau. Gagal! Hukuman bagi harimau sulit dilaksanakan. Baginda berduka dan membuat maklumat dari hasil rapat.
Isi maklumat: “Seluruh rakyat yang berada di bawah naungan Maharaja singa dilarang keras menempuh lembah tempat harimau bertapa, sebab di sanalah berasalnya wabah sampar. Seluruh rakyat juga dilarang mengusik harimau sakti itu. Siapa-siapa yang melanggar undang-undang ini, maka dia akan dihukum mati.” Pada zaman dulu, hukuman cuma tunggal: mati. Pengarang lupa mengisahkan raja bijak dan adil membuat sekian jenis hukuman: penjara, pembuangan, kerja paksa, dan mati. Maklumat itu membuat bocah-bocah terlalu cepat disodori “kematian” dan mutlak.
Pada hari menentukan, putra mahkota ingin menghentikan bencana menimpa kerajaan. Ia menuju lembah dengan siasat bermuslihat demi bisa mengalahkan harimau. Ia ingin ketakutan dan duka berakhir gara-gara harimau. Siasat mujarab. Ia berhasil mengalahkan harimau: “Putera Mahkota pulanglah kembali dengan membawa kepala harimau. Seluruh rakyat menyambut kedatangannya. Kepala harimau itu dipersembahkannya ke hadapan Maharaja.” Kerajaan menjadi tenang dan bergirang usai kematian harimau? Pembaca berdebar menuju akhir cerita.
Maharaja semakin tua membuktikan sifat adil: “Kerajaan amat berterima kasih atas keberanian dan kecerdikan Putera Mahkota, sehingga kita semuanya terhindar dari malapetaka. Akan tetapi ia bersalah, karena telah menempuh lembah. Ia telah melanggar undang-undang dan undang-undang tidak mengenal perbedaan!” Pembaca masih bocah berpikiran ruwet, sebelum membuat cita-cita ingin menjadi hakim, jaksa, atau pengacara. Hukum itu dilematis.
Putera Mahkota dihukum mati secara terhormat. Ia dikuburkan dengan upacara kebesaran. Tugu-tugu peringatan pun didirikan untuk mengenang keberanian dan pengorbanan. Bocah membaca cerita pendek justru sesak makna di akhir: “Demikianlah, Maharaja singa itu telah menunjukkan hukum keadilan. Walaupun hatinya hancur luluh mengenangkan puteranya, namun Baginda tak mau memperkosa undang-undang.” Pembaca jangan bersedih di kerajaan itu taka da lagi pewaris. Maharaja berkuasa sampai mati tanpa ada lanjutan cerita.
Kita berganti ke cerita berjudul “Labah-Labah dan Tikus”. Cerita sulit “mengasyikkan” tapi mungkin mengandung “pendidikan berguna”. Dua binatang itu berteman. Tikus sering makan enak. Laba-laba harus mencari nafkah seharian belum tentu mencukupi keluarga. Nasib berbeda di awal dan akhir. Tikus mengajak laba-laba mencari makanan. Pengertian mencari jadi mencuri. Laba-laba diajak ke lumbung padi milik petani. Laba-laba itu santun, tabah, dan religius. Ia emoh mencuri tapi dipaksa tikus.
Laba-laba meminta ampun kepada Tuhan. Tikus terus saja mencuri. Pada suatu hari, tikus mencuri padi tapi kena pukulan si petani. Ia pulang dalam kondisi luka parah. Tikus pun berdoa: “O, Tuhan, tolonglah aku! Kini aku sudah jera! Aku tak mau lagi mencuri harta beda orang lain. Lindungilah nyawaku! O, Tuhan Yang Maha Pengasih, selamatkan aku dari ancaman kematian! Aku benar-benar sudah tobat!” Tikus itu mati. Apa tanggapan bocah selesai dengan cerita bertokoh tikus, laba-laba, dan petani? Bocah mungkin ingat Tuhan gara-gara pernah pula menjadi pencuri makanan dan uang. Cerita itu berguna di pertobatan bocah. Ah, sangkaan berlebihan! Pembaca masih ingin menemukan pengisahan berdakwah bisa membaca “Kisah Seekor Kambing”. Adegan berdoa sering dimunculkan pengarang. Bocah memang pantas diajari berdoa untuk kebaikan dan tobat dari segala keburukan.
Kita belum mengerti cara dan penilaian buku berhak didanai dan direstui Depdikbud pada masa Orde Baru. Buku itu “berlebihan” makna. Bocah mungkin membaca cepat tapi terkena sodoran cerita ruwet dan berat. Pembaca menghibur diri dengan membaca artikel bermutu garapan Marcel Bonneff (1999) berjudul “Marilah Menyindir: Renungan Tentang Dongeng Sato Kewan karangan Prijana Winduwinata (1952).” Intelektual asal Prancis menekuni komik dan sastra itu meneliti buku cerita binatang dengan akhiran: “Akhirnya, saya mengharapkan diri tetap setia pada semangat Prijono, jika mengatakan, bahwa adalah keliru kalau kesusasteraan dan kesenian pada umumnya dituntut untuk mendidik, apalagi untuk mempersembahkan pelajaran moral yang membosankan.” Kita kembali ke buku berjudul Belantara. Buku seperti melarang ada  tawa atau hiburan. Cerita-cerita sering duka. Bocah-bocah membaca ke kenelangsaan dan sulit tertawa meski tiga detik. Begitu.   

No comments:

Post a Comment