Berlebihan:
Duka dan Doa
Bandung Mawardi
Di pelbagai negeri, cerita terkuno dan awet sering
bertokoh binatang. Sekian sebutan diberikan tapi bocah-bocah di sekolah dipaksa
memberi sebutan “resmi” di buku pelajaran: fabel. Kita memastikan ada puluhan
sebutan dalam beragam bahasa. Cerita-cerita binatang miliki ribuan komunitas
etnis, bertebaran di dunia. Ribuan cerita dilisankan, disenandungkan, atau
dipentaskan. Sekian cerita dituliskan dalam kitab-kitab “klasik” dengan beragam
huruf.
Keinginan mendaftar nama dan jumlah binatang telah
digunakan dalam cerita bakal menimbulkan capek sepanjang masa. Kita menduga
belum semua binatang terpilih jadi tokoh di cerita atau sekadar ditaruh dalam
cerita tanpa peran “jelas”. Abad demi abad berlalu, orang-orang mulai memiliki
binatang andalan di ribuan cerita: singa, gajah, kuda, serigala, burung, bebek,
beruang, ikan, domba, dan lain-lain. Semula, pilihan tokoh binatang disesuaikan
dengan situasi tempat cerita digubah dan diedarkan. Perdagangan, dakwah,
pengembaraan, dan kolonialisme berakibat pengenalan binatang-binatang dari
negeri jauh. Cerita bertokoh binatang “asing” dimunculkan tanpa si pencerita atau
pendengar pernah melihat atau berjumpa. Semua itu gara-gara “paksaan” atau
“godaan” keterlaluan mengacu ke adat, agama, dan politik-kolonialisme.
Indonesia, negeri berlimpahan cerita binatang.
Pada tiap komunitas etnis, cerita binatang jadi sumber pengajaran selain
penghiburan. Cerita binatang malah sampai ke pengalaman mistik dan politik. Cerita-cerita
beredar, mengalami penambahan dan pengurangan. Cerita itu ditempeli cap-cap
asli, kuno, asing, campuran, tiruan, dan lain-lain. Keaslian jadi kelangkaan.
Perjumpaan pelbagai bangsa selama ribuan tahun mencipta saling-silang.
Ah, kita berlagak serius memerkarakan cerita
binatang. Lagak tanpa kepustakaan dan pembuktian-pembuktian berbobot. Awalan
itu cenderung memicu sulit saat kita membaca buku berjudul Belantara: Kumpulan Ceritera Binatang-Binatang (1980) susunan A
Wahab, terbitan Pradnya Paramita, 1980. Cetakan pertama pada 1975. Dulu, buku
diterbitkan bermaksud: “dapat mengisi kekuarangan ‘Buku Bacaan yang Sehat’
untuk anak-anak.” Pada cetakan kedua, ada keterangan resmi: “Dengan gembira
kami memberitahu kepada anak-anak pembaca buku ini, bahwa buku ini dipesan oleh
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sub-Proyek Pengadaan Buku Bacaan untuk
Anak-Anak Sekolah Dasar. Ceritera dalam buku ini kecuali mengasyikkan,
mengandung pendidikan yang berguna.” Pembaca ragulah sejak awal atas dua
pengantar berbeda tahun. Ragu dibuktikan dengan membaca semua cerita dan
memberi catatan-catatan “iseng”. Wahab memberi lima cerita. Kita membaca di
hitungan menit, tak usah menjadwalkan khatam dengan lima hari lima malam. Buku
berisi 46 halaman jangan boros waktu dalam membaca.
Cerita berjudul “Maharaja Singa yang Adil” memberi
kesan “berat” di makna. Omongan penerbit bahwa cerita itu “mengasyikkan”
gampang digugurkan. Bocah di SD dipaksa berpikiran serius: “Adalah seekor singa
yang menjadi Maharaja dalam sebuah Kerajaan Belantara. Baginda amat dikasihi
dan dihormati oleh seluruh rakyatnya. Selama pemerintahannya, rakyat hidup
makmur dan aman tenteram. Salah satu sebab, mengapa pemerintah Baginda teratur
ialah Baginda selalu memegang teguh hukum keadilan. Dalam berbagai-bagai
perkara yang telah diputuskan, Baginda tetap berlaku adil dengan tidak berat
sebelah. Meskipun Baginda mempunyai hak kekuasaan luar biasa, namun tak pernah
beliau berlaku sewenang-wenang terhadap yang lemah. Akan tetapi, terhadap siapa
yang melanggar peraturan dan undang-undang kerajaan, Baginda tak segan-segan
menjatuhkan hukuman yang setimpal dengan kesalahannya.”
Kalimat-kalimat di dongeng memang berlebihan dan
memukau. Alinea di buku cerita berbahasa Indonesia itu amburadul: berlebihan
makna. Pembaca bukan di hadapan dongeng. Kita berlanjut ke pemberian cerita.
Raja sudah tua, berharapan putra mahkota dapat melanjutkan berkuasa secara
adil. Alur gampang dimengerti jika kekuasaan itu diwariskan. Cerita memang melulu
di kerajaan, jarang di republik.
Pada suatu masa, kerajaan itu resah. Harimau sakti
berkeliaran membuat masalah. Orang-orang ketakutan setiap hari. Raja berlaku
bijak untuk merampungi masalah. Korban-korban berjatuhan. Sedih terus
bertambah. Bermula dari rapat, raja mengirimkan utusan-utusan untuk mengalahkan
harimau. Gagal! Hukuman bagi harimau sulit dilaksanakan. Baginda berduka dan
membuat maklumat dari hasil rapat.
Isi maklumat: “Seluruh rakyat yang berada di bawah
naungan Maharaja singa dilarang keras menempuh lembah tempat harimau bertapa,
sebab di sanalah berasalnya wabah sampar. Seluruh rakyat juga dilarang mengusik
harimau sakti itu. Siapa-siapa yang melanggar undang-undang ini, maka dia akan
dihukum mati.” Pada zaman dulu, hukuman cuma tunggal: mati. Pengarang lupa
mengisahkan raja bijak dan adil membuat sekian jenis hukuman: penjara, pembuangan,
kerja paksa, dan mati. Maklumat itu membuat bocah-bocah terlalu cepat disodori
“kematian” dan mutlak.
Pada hari menentukan, putra mahkota ingin
menghentikan bencana menimpa kerajaan. Ia menuju lembah dengan siasat
bermuslihat demi bisa mengalahkan harimau. Ia ingin ketakutan dan duka berakhir
gara-gara harimau. Siasat mujarab. Ia berhasil mengalahkan harimau: “Putera
Mahkota pulanglah kembali dengan membawa kepala harimau. Seluruh rakyat
menyambut kedatangannya. Kepala harimau itu dipersembahkannya ke hadapan
Maharaja.” Kerajaan menjadi tenang dan bergirang usai kematian harimau? Pembaca
berdebar menuju akhir cerita.
Maharaja semakin tua membuktikan sifat adil: “Kerajaan
amat berterima kasih atas keberanian dan kecerdikan Putera Mahkota, sehingga
kita semuanya terhindar dari malapetaka. Akan tetapi ia bersalah, karena telah
menempuh lembah. Ia telah melanggar undang-undang dan undang-undang tidak
mengenal perbedaan!” Pembaca masih bocah berpikiran ruwet, sebelum membuat
cita-cita ingin menjadi hakim, jaksa, atau pengacara. Hukum itu dilematis.
Putera Mahkota dihukum mati secara terhormat. Ia
dikuburkan dengan upacara kebesaran. Tugu-tugu peringatan pun didirikan untuk
mengenang keberanian dan pengorbanan. Bocah membaca cerita pendek justru sesak
makna di akhir: “Demikianlah, Maharaja singa itu telah menunjukkan hukum
keadilan. Walaupun hatinya hancur luluh mengenangkan puteranya, namun Baginda
tak mau memperkosa undang-undang.” Pembaca jangan bersedih di kerajaan itu taka
da lagi pewaris. Maharaja berkuasa sampai mati tanpa ada lanjutan cerita.
Kita berganti ke cerita berjudul “Labah-Labah dan
Tikus”. Cerita sulit “mengasyikkan” tapi mungkin mengandung “pendidikan
berguna”. Dua binatang itu berteman. Tikus sering makan enak. Laba-laba harus
mencari nafkah seharian belum tentu mencukupi keluarga. Nasib berbeda di awal
dan akhir. Tikus mengajak laba-laba mencari makanan. Pengertian mencari jadi
mencuri. Laba-laba diajak ke lumbung padi milik petani. Laba-laba itu santun,
tabah, dan religius. Ia emoh mencuri tapi dipaksa tikus.
Laba-laba meminta ampun kepada Tuhan. Tikus terus
saja mencuri. Pada suatu hari, tikus mencuri padi tapi kena pukulan si petani.
Ia pulang dalam kondisi luka parah. Tikus pun berdoa: “O, Tuhan, tolonglah aku!
Kini aku sudah jera! Aku tak mau lagi mencuri harta beda orang lain.
Lindungilah nyawaku! O, Tuhan Yang Maha Pengasih, selamatkan aku dari ancaman
kematian! Aku benar-benar sudah tobat!” Tikus itu mati. Apa tanggapan bocah
selesai dengan cerita bertokoh tikus, laba-laba, dan petani? Bocah mungkin
ingat Tuhan gara-gara pernah pula menjadi pencuri makanan dan uang. Cerita itu
berguna di pertobatan bocah. Ah, sangkaan berlebihan! Pembaca masih ingin
menemukan pengisahan berdakwah bisa membaca “Kisah Seekor Kambing”. Adegan
berdoa sering dimunculkan pengarang. Bocah memang pantas diajari berdoa untuk
kebaikan dan tobat dari segala keburukan.
Kita belum mengerti cara dan penilaian buku berhak
didanai dan direstui Depdikbud pada masa Orde Baru. Buku itu “berlebihan”
makna. Bocah mungkin membaca cepat tapi terkena sodoran cerita ruwet dan berat.
Pembaca menghibur diri dengan membaca artikel bermutu garapan Marcel Bonneff
(1999) berjudul “Marilah Menyindir: Renungan Tentang Dongeng Sato Kewan karangan Prijana Winduwinata (1952).” Intelektual
asal Prancis menekuni komik dan sastra itu meneliti buku cerita binatang dengan
akhiran: “Akhirnya, saya mengharapkan diri tetap setia pada semangat Prijono,
jika mengatakan, bahwa adalah keliru kalau kesusasteraan dan kesenian pada
umumnya dituntut untuk mendidik, apalagi untuk mempersembahkan pelajaran moral
yang membosankan.” Kita kembali ke buku berjudul Belantara. Buku seperti melarang ada tawa atau hiburan. Cerita-cerita sering duka.
Bocah-bocah membaca ke kenelangsaan dan sulit tertawa meski tiga detik.
Begitu.
No comments:
Post a Comment