Binatang Itu Jinak
Bandung Mawardi
Kesusastraan anak di Indonesia belum memiliki
tambahan para sarjana ampuh seperti Riris K Toha Sarumpaet, Murti Bunanta, dan
Christantiowati. Mereka sudah menulis buku-buku bermutu, menunggu buku-buku
lanjutan meralat dan melengkapi. Sekian studi sering buku berisi dongeng,
puisi, cerita pendek, atau novel. Peristiwa mendongeng turut diperbincangkan
berkaitan gairah imajinasi bocah. Buku terpilih di studi digenapi mendongeng.
Sandiwara?
Peristiwa disebut sandiwara, drama, atau teater
masih jarang dipilih dalam studi kesusastraan anak. Kesejarah buku sandiwara
untuk dibaca dan dipentaskan memang belum berlangsung lama. Di sejarah seni di
Indonesia, pentas sandiwara bocah teranggap baru. Dulu, sejarah di panggung
sandiwara sering milik kaum dewasa, termasuk pula kesejarahan film dan panggung
musik.
Sejarah bacaan anak jarang sandiwara. Penulisan
dan penerbitan buku itu mungkin tak terlalu diminati bocah, sulit terbaca atau
diangankan terjadi di panggung. Cerita-cerita di puluhan buku berbentuk
percakapan sudah ada sejak lama. Percakapan itu belum tentu memenuhi
kaidah-kaidah disandiwarakan. Ajakan mengerti sandiwara berlaku pula di
buku-buku pelajaran bahasa Indonesia, sejak SD. Di situ, pelajaran drama secuil
saja meski kadang ada suruhan praktek. Murid-murid membuat kelompok untuk
pementasan drama singkat sesuai selera di buku pelajaran atau menggunakan
saduran dari dongeng-dongeng lokal. Selama puluhan tahun, para penulis buku
pelajaran dan guru mengaku sangat sulit mencari buku drama atau sandiwara untuk
anak-anak. Pengakuan terlalu cepat jika mereka tak pernah (mau) mencari
buku-buku di perpustakaan atau di pasar buku loak.
Kita membuka buku garapan Christantiowati berjudul
Bacaan Anak Indonesia Tempo Doeloe (1996).
Daftar buku bacaan anak di situ ratusan tapi kesulitan menemukan buku-buku
bacaan untuk disandiwarakan sudah beredar sejak masa kolonial. Pada 1908-1945,
bocah-bocah bumiputra belum berada di panggung-panggung sandiwara meski mereka
terwarisi seni-seni tradisional bermuatan sandiwara. Kaidah-kaidah “baru” belum
dimiliki di pementasan sandiwara modern. Di seni-seni tradisional, unsur-unsur
drama sudah dimengerti oleh bocah-bocah tapi berbeda dengan kedatangan
sandiwara dari negeri-negeri asing.
Pada abad XXI, sandiwara anak mulai meriah di
pelbagai sekolah dan komunitas. Pentas-pentas teater anak diselenggarkan di
gedung kesenian dan tempat-tempat terhormat, tak selalu di panggung sekolah
atau panggung tujuhbelasan. Teater anak Indonesia malah sering mendapat
penghargaan di pelbagai festival teater taraf internasional. Orang-orang
mengingat tokoh penting di perkembangan teater anak adalah Jose Rizal Manua. Sekian
naskah sudah digarap di puluhan pentas teater. Sekian naskah belum tentu terbit
jadi buku. Sekian pementasan belum tentu bermula dari buku sandiwara pernah
terbit. Perkembangan teater bocah belum beriringan penerbitan buku-buku untuk
disandiwarakan kaum bocah.
Buku berselera kesusastraan anak cenderung
berhubungan dengan mendongeng. Nah, para pendongeng kadang menggunakan kaidah
teater tapi tak penuh. Mendongeng mungkin gampang diselenggarkan ketimbang
pentas sandiwara. Keberpihakan ke mendongeng demi perangsang imajinasi bocah
agar terkait ke buku bisa dipelajari di buku berjudul Buku, Mendongeng, dan Minat Membaca (2008) susunan Murti Bunanta. Kita
mencuplik penjelasan di buku: “Mendongeng atau bercerita dapat dilakukan dengan
teks, yaitu membacakan buku atau bisa juga tanpa teks. Masing-masing mempunyai
keuntungannya sendiri-sendiri. Sebaiknya, dilakukan bergantian. Membaca buku
erat kaitannya dengan meningkatkan kemampuan dan minat baca anak, sedangkan
mendongeng tanpa buku erat kaitannya dengan meningkatkan rasa percaya diri
pendongeng dan anak didik.”
Kita bergerak ke sandiwara, drama, atau teater
berkaitan dengan buku. Pada 1984, terbit buku garapan Mas Bilal berjudul Si Jinak. Buku diterbitkan oleh Rosda
Jayaputra, Jakarta. Buku tipis, 36 halaman. Gambar-gambar di buku dikerjakan
oleh Hidayat Said. Pada 1984, buku itu cetak ulang kedua dengan mendapatkan
stempel pemerintah. Buku pasti beredar di perpustakaan-perpustaan sekolah dan
umum di seantero Indonesia. Buku mendapat keterangan: “drama anak-anak.” Para
bocah gemar puisi, cerita pendek, atau novel jangan cemberut mendapatkan buku
“drama anak-anak”. Buku jenis itu penting dan langka di Indonesia. Para penulis
naskah teater mumpuni di Indonesia belum tentu mau mengerjakan naskah untuk
anak-anak. Di Indonesia, kita mengenal mereka: Usmar Ismail, Asrul Sani, Motinggo
Busye, Rendra, Kirdjomuljo, Arifin C Noor, Putu Wijaya, Saini KM, N Riantiarno,
dan lain-lain.
Siapa itu Mas Bilah? Kita belum mengenal dan
membuktikan kemampuan di pernaskahan atau pementasan drama. Mas Bilal mungkin
nama samara atau nama panggilan. Di buku, pembaca tak mendapatkan nama lengkap
atau data singkat penulis. Mas Bilal anggaplah bukan tokoh kondang tapi
berpahala dengan mau menulis drama anak-anak.
Petunjuk teknis minta dipahami bila buku itu mau
dipentaskan anak-anak: “Sandiwara ini dimulai dengan Yanti, anak perempuan,
berdiri di antara para hewan piarannya, seperti ayam, bebek, katak, dan
kelinci. Membentuk sedemikian rupa.” Pembaca bingung? Di desa atau kampung,
tiga hewan itu lazim jadi piaraan untuk dimanfaatkan daging dan telur. Eh,
katak sudah mulai termasuk hewan piaraan.
Kalimat-kalimat para tokoh di drama diharuskan
sederhana dan mudah dihapalkan. Kita jangan menuntut kalimat-kalimat mereka
puitis dan filosofis. Bocah pemeran jangan digoda untuk berkalimat seperti para
tokoh di sinetron dan film buruk diputar di Indonesia. Kita kadang senewen
mendengar ucapan-ucapan para bocah di sinetron dan film seperti berlebihan dan
dipaksakan memukau.
Kita pilih contoh sederhana saja di
kalimat-kalimat diucapkan Yanti: “Selamat datang kawan-kawan yang baik, terima
kasih atas kehadiran Anda kali ini. Kami kembali bermain sandiwara dan kali ini
kami bawakan kepada Anda sekalian kecintaan pada sesama makhluk Tuhan, yang
bernama hewan-hewan. Yanti, itulah panggilanku. Dan kesukaanku memelihara
segala macam hewan, yang di sini dapar Anda semuanya menyaksikannya.” Perkenalan
biasa saja tapi wagu gara-gara sapaan “anda” ke penonton.
Perkenalan Yanti dilanjutkan perkenalan ke para
binatang. Cara itu memungkinkan penonton belajar kebiasaan binatang.
Pengetahuan sudah diperoleh di buku pelajaran, lagu, atau cerita orangtua. Di
sandiwara, perkenalan binatang diinginkan berbeda di imajinasi. Perkenalan
bebek: “Pagi hari mereka berbunyi kwek kwek kwek. Sore hari mereka berbunyi
kwek kwek kwek. Telurnya kami kumpulkan sore dan pagi. Sepuluh sampai limabelas
butir hasilnya setiap hari. Ke sungai kecil mereka kami bawa sekali-kali supaya
bebek itu berenang-renang berenang hati.” Bebek di situ berbeda dengan bebek
dilihat lucu di film kartun asal Amerika Serikat.
Pada suatu hari, Yanti tidur dan bermimpi. Ia
bertemu putri malaikat. Yanti mendapat pujian. Ia dianggap bocah baik dengan
memelihara hewan-hewan. Putri malaikat ingin memberi hadiah atas kebaikan
Yanti. Hadiah itu hewan “dapat diajak dan diajar seperti manusia.” Yanti merasa
terhormat mendapat hadiah meski melakukan kebaikan tak harus dihadiahi. Putri
malaikat berkata: “Anak manis, kau harus cerdas dan lebih rajin. Betul,
sebentar lagi kau akan mendapatkan tambahan kawan dari hewan-hewan yang kau
pelihara dan sebaiknya hewan yang kau temui itu berilah nama Si Jinak.”
Pembaca masih bocah mulai belajar bahasa Indonesia
lagi. Di buku pelajaran, ada materi antonim: jinak-buas. Pembaca sekarang bisa
membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia
untuk mendapatkan pengertian “resmi”. Jinak berarti “tidak liar, tidak buas,
tidak garang, tidak galak” atau “tidak malu-malu, tidak segan-segan, tidak
takut-takut lagi” atau “tidak keras sepak terjangnya, tidak revolusioner.” Buas
berarti “galak, liar, ganas, bengis, kejam.” Kita tak usah menambahi repot
“menggugat” atau menambahi arti jinak dan buas. Pembuat kamus sudah capek dan
memiliki kesibukan besar belum rampung-rampung.
Si Jinak dalam drama itu anjing hutan. Hadiah
untuk Yanti adalah aning hutan tapi harus dinamai Si Jinak. Aneh. Kedatangan
anjing hutan menimbulkan rebut para binataan piaraan dan keluarga Yanti. Sang
kakak mengingatkan: “Lihat, hewan-hewanmu sama tambah rebut. Yanti, kau harus
lebih kasih dengan hewan-hewanmu yang lain dari seekor anjing hutan yang baru
saja datang.” Yanti mengingat pesan di mimpi, memberi jawab santun: “Yanti mencintai
semuanya, Kak. Dan anjing ini Yanti yakin akan dapat menjadi teman dan saudara
bermain di rumah kita. Kak, percayalah.” Pada hitungan hari, Si Jinak sudah
bermain bersama ayam, bebek, kelinci, dan katak. Mereka beradegan sedang
bermain lempar bola.
Pada suatu hari, Si Jinak berkeliaran di hutan.
Anjing hutan berkeliaran di hutan. Pembaca jangan kaget. Di hutan, ada si pemburu.
Tanda cerita mau selesai. Pemburu itu menembak Si Jinak. Kena! Matilah Si
Jinak. Pemburu menembak berdalih bahwa anjing hutan itu “telah melahap ayam dan
bebekku.” Yanti mengetahui Si Jinak terkapar. Bersedih. Yanti menangisi Si
Jinak. Pemburu kaget dengan ulah Yanti. Kenapa? Yanti menjawab bahwa Si Jinak
bukan pelaku seperti tuduhan pemburu.
Cerita memang berakhir. Drama anak jangan lama
seperti film Avengers: Endgame, 3
jam. Pentas cukup 30 atau 60 menit. Di akhir cerita, Yanti berucap: “Tuhan yang
baik, terimalah anjing kesayanganku ini.” Drama anak jangan kata-kata diucapkan
saja. Lagu itu perlu. Lagu di akhir pentas: telah
tiada sahabat kita/ telah pergi untuk selamanya/ untuk tanda pada manusia/ suka
teliti dan cermat jua// selamat jalan, kawan/ selamat dan bahagia/ selamat
jalan, kawan/ selamat dan bahagia. Selesai. Penonton bertepuk tangan.
Pembaca buku boleh juga bertepuk tangan, mengangguk, atau mengusap airmata di
pipi.
Buku drama anak-anak itu pernah terbit. Buku
petunjuk bermain drama untuk anak-anak? Dulu, Rendra pernah membuat buku apik
mengenai pengantar bermain drama untuk remaja. Buku terbitan Pustaka Jaya itu
laris, turut memberi acuan bagi remaja-remaja di Jakarta dan pelbagai kota
membentuk kelompok teater dan mengadakan pentas di festival-festival. Para
bocah mungkin bisa membaca buku garapan Rendra.
Bocah tentu kesulitan jika mau mementaskan Si Jinak dengan membaca buku berjudul Pengantar Bermain Drama (1985) susunan
Adjib Hamzah. Buku tebal. Di situ, penerbit memberi pengantar: “Bermain drama
merupakan permainan yang sangat populer. Sejak kecil, anak-anak sudah biasa
bermain drama, baik sendirin, bersama saudara-saudaranya atau dengan
kawan-kawannya. Bermain ibu-ibuan, dagang-dagangan, sekolah-sekolahan, pada
hakikatnya bermain drama.” Ingatan itu berlaku bagi kita pernah mengalami
menjadi bocah di desa atau kampung.
Di bab bermain drama anak-anak, Adjib Hamzah
menerangkan: “Pada umumnya anak-anak memiliki ingatan yang tajam. Mereka cepat
menghafal. Akan tetapi kita mengetahui dari pengalaman bahwa seseorang yang
hafal teks tidak selamanya bisa dijadikan jaminan mampu bermain baik. Bermain
drama tidak hanya menyangkut kesanggupan melepaskan dialog yang dihafal saja
melainkan bertitik berat pada kemampuan akting.” Kita akhiri petunjuk-petunjuk
itu dengan peristiwa datang ke toko buku ingin mencari buku drama anak-anak.
Kita tak boleh marah dan menangis jika buku-buku itu tak ada di rak. Begitu.
No comments:
Post a Comment