Thursday, May 16, 2019

Binatang Itu Jinak


Binatang Itu Jinak

Bandung Mawardi


Kesusastraan anak di Indonesia belum memiliki tambahan para sarjana ampuh seperti Riris K Toha Sarumpaet, Murti Bunanta, dan Christantiowati. Mereka sudah menulis buku-buku bermutu, menunggu buku-buku lanjutan meralat dan melengkapi. Sekian studi sering buku berisi dongeng, puisi, cerita pendek, atau novel. Peristiwa mendongeng turut diperbincangkan berkaitan gairah imajinasi bocah. Buku terpilih di studi digenapi mendongeng. Sandiwara?
Peristiwa disebut sandiwara, drama, atau teater masih jarang dipilih dalam studi kesusastraan anak. Kesejarah buku sandiwara untuk dibaca dan dipentaskan memang belum berlangsung lama. Di sejarah seni di Indonesia, pentas sandiwara bocah teranggap baru. Dulu, sejarah di panggung sandiwara sering milik kaum dewasa, termasuk pula kesejarahan film dan panggung musik.
Sejarah bacaan anak jarang sandiwara. Penulisan dan penerbitan buku itu mungkin tak terlalu diminati bocah, sulit terbaca atau diangankan terjadi di panggung. Cerita-cerita di puluhan buku berbentuk percakapan sudah ada sejak lama. Percakapan itu belum tentu memenuhi kaidah-kaidah disandiwarakan. Ajakan mengerti sandiwara berlaku pula di buku-buku pelajaran bahasa Indonesia, sejak SD. Di situ, pelajaran drama secuil saja meski kadang ada suruhan praktek. Murid-murid membuat kelompok untuk pementasan drama singkat sesuai selera di buku pelajaran atau menggunakan saduran dari dongeng-dongeng lokal. Selama puluhan tahun, para penulis buku pelajaran dan guru mengaku sangat sulit mencari buku drama atau sandiwara untuk anak-anak. Pengakuan terlalu cepat jika mereka tak pernah (mau) mencari buku-buku di perpustakaan atau di pasar buku loak.
Kita membuka buku garapan Christantiowati berjudul Bacaan Anak Indonesia Tempo Doeloe (1996). Daftar buku bacaan anak di situ ratusan tapi kesulitan menemukan buku-buku bacaan untuk disandiwarakan sudah beredar sejak masa kolonial. Pada 1908-1945, bocah-bocah bumiputra belum berada di panggung-panggung sandiwara meski mereka terwarisi seni-seni tradisional bermuatan sandiwara. Kaidah-kaidah “baru” belum dimiliki di pementasan sandiwara modern. Di seni-seni tradisional, unsur-unsur drama sudah dimengerti oleh bocah-bocah tapi berbeda dengan kedatangan sandiwara dari negeri-negeri asing.
Pada abad XXI, sandiwara anak mulai meriah di pelbagai sekolah dan komunitas. Pentas-pentas teater anak diselenggarkan di gedung kesenian dan tempat-tempat terhormat, tak selalu di panggung sekolah atau panggung tujuhbelasan. Teater anak Indonesia malah sering mendapat penghargaan di pelbagai festival teater taraf internasional. Orang-orang mengingat tokoh penting di perkembangan teater anak adalah Jose Rizal Manua. Sekian naskah sudah digarap di puluhan pentas teater. Sekian naskah belum tentu terbit jadi buku. Sekian pementasan belum tentu bermula dari buku sandiwara pernah terbit. Perkembangan teater bocah belum beriringan penerbitan buku-buku untuk disandiwarakan kaum bocah.
Buku berselera kesusastraan anak cenderung berhubungan dengan mendongeng. Nah, para pendongeng kadang menggunakan kaidah teater tapi tak penuh. Mendongeng mungkin gampang diselenggarkan ketimbang pentas sandiwara. Keberpihakan ke mendongeng demi perangsang imajinasi bocah agar terkait ke buku bisa dipelajari di buku berjudul Buku, Mendongeng, dan Minat Membaca (2008) susunan Murti Bunanta. Kita mencuplik penjelasan di buku: “Mendongeng atau bercerita dapat dilakukan dengan teks, yaitu membacakan buku atau bisa juga tanpa teks. Masing-masing mempunyai keuntungannya sendiri-sendiri. Sebaiknya, dilakukan bergantian. Membaca buku erat kaitannya dengan meningkatkan kemampuan dan minat baca anak, sedangkan mendongeng tanpa buku erat kaitannya dengan meningkatkan rasa percaya diri pendongeng dan anak didik.”
Kita bergerak ke sandiwara, drama, atau teater berkaitan dengan buku. Pada 1984, terbit buku garapan Mas Bilal berjudul Si Jinak. Buku diterbitkan oleh Rosda Jayaputra, Jakarta. Buku tipis, 36 halaman. Gambar-gambar di buku dikerjakan oleh Hidayat Said. Pada 1984, buku itu cetak ulang kedua dengan mendapatkan stempel pemerintah. Buku pasti beredar di perpustakaan-perpustaan sekolah dan umum di seantero Indonesia. Buku mendapat keterangan: “drama anak-anak.” Para bocah gemar puisi, cerita pendek, atau novel jangan cemberut mendapatkan buku “drama anak-anak”. Buku jenis itu penting dan langka di Indonesia. Para penulis naskah teater mumpuni di Indonesia belum tentu mau mengerjakan naskah untuk anak-anak. Di Indonesia, kita mengenal mereka: Usmar Ismail, Asrul Sani, Motinggo Busye, Rendra, Kirdjomuljo, Arifin C Noor, Putu Wijaya, Saini KM, N Riantiarno, dan lain-lain.
Siapa itu Mas Bilah? Kita belum mengenal dan membuktikan kemampuan di pernaskahan atau pementasan drama. Mas Bilal mungkin nama samara atau nama panggilan. Di buku, pembaca tak mendapatkan nama lengkap atau data singkat penulis. Mas Bilal anggaplah bukan tokoh kondang tapi berpahala dengan mau menulis drama anak-anak.
Petunjuk teknis minta dipahami bila buku itu mau dipentaskan anak-anak: “Sandiwara ini dimulai dengan Yanti, anak perempuan, berdiri di antara para hewan piarannya, seperti ayam, bebek, katak, dan kelinci. Membentuk sedemikian rupa.” Pembaca bingung? Di desa atau kampung, tiga hewan itu lazim jadi piaraan untuk dimanfaatkan daging dan telur. Eh, katak sudah mulai termasuk hewan piaraan.
Kalimat-kalimat para tokoh di drama diharuskan sederhana dan mudah dihapalkan. Kita jangan menuntut kalimat-kalimat mereka puitis dan filosofis. Bocah pemeran jangan digoda untuk berkalimat seperti para tokoh di sinetron dan film buruk diputar di Indonesia. Kita kadang senewen mendengar ucapan-ucapan para bocah di sinetron dan film seperti berlebihan dan dipaksakan memukau.
Kita pilih contoh sederhana saja di kalimat-kalimat diucapkan Yanti: “Selamat datang kawan-kawan yang baik, terima kasih atas kehadiran Anda kali ini. Kami kembali bermain sandiwara dan kali ini kami bawakan kepada Anda sekalian kecintaan pada sesama makhluk Tuhan, yang bernama hewan-hewan. Yanti, itulah panggilanku. Dan kesukaanku memelihara segala macam hewan, yang di sini dapar Anda semuanya menyaksikannya.” Perkenalan biasa saja tapi wagu gara-gara sapaan “anda” ke penonton.
Perkenalan Yanti dilanjutkan perkenalan ke para binatang. Cara itu memungkinkan penonton belajar kebiasaan binatang. Pengetahuan sudah diperoleh di buku pelajaran, lagu, atau cerita orangtua. Di sandiwara, perkenalan binatang diinginkan berbeda di imajinasi. Perkenalan bebek: “Pagi hari mereka berbunyi kwek kwek kwek. Sore hari mereka berbunyi kwek kwek kwek. Telurnya kami kumpulkan sore dan pagi. Sepuluh sampai limabelas butir hasilnya setiap hari. Ke sungai kecil mereka kami bawa sekali-kali supaya bebek itu berenang-renang berenang hati.” Bebek di situ berbeda dengan bebek dilihat lucu di film kartun asal Amerika Serikat.
Pada suatu hari, Yanti tidur dan bermimpi. Ia bertemu putri malaikat. Yanti mendapat pujian. Ia dianggap bocah baik dengan memelihara hewan-hewan. Putri malaikat ingin memberi hadiah atas kebaikan Yanti. Hadiah itu hewan “dapat diajak dan diajar seperti manusia.” Yanti merasa terhormat mendapat hadiah meski melakukan kebaikan tak harus dihadiahi. Putri malaikat berkata: “Anak manis, kau harus cerdas dan lebih rajin. Betul, sebentar lagi kau akan mendapatkan tambahan kawan dari hewan-hewan yang kau pelihara dan sebaiknya hewan yang kau temui itu berilah nama Si Jinak.”
Pembaca masih bocah mulai belajar bahasa Indonesia lagi. Di buku pelajaran, ada materi antonim: jinak-buas. Pembaca sekarang bisa membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia untuk mendapatkan pengertian “resmi”. Jinak berarti “tidak liar, tidak buas, tidak garang, tidak galak” atau “tidak malu-malu, tidak segan-segan, tidak takut-takut lagi” atau “tidak keras sepak terjangnya, tidak revolusioner.” Buas berarti “galak, liar, ganas, bengis, kejam.” Kita tak usah menambahi repot “menggugat” atau menambahi arti jinak dan buas. Pembuat kamus sudah capek dan memiliki kesibukan besar belum rampung-rampung.
Si Jinak dalam drama itu anjing hutan. Hadiah untuk Yanti adalah aning hutan tapi harus dinamai Si Jinak. Aneh. Kedatangan anjing hutan menimbulkan rebut para binataan piaraan dan keluarga Yanti. Sang kakak mengingatkan: “Lihat, hewan-hewanmu sama tambah rebut. Yanti, kau harus lebih kasih dengan hewan-hewanmu yang lain dari seekor anjing hutan yang baru saja datang.” Yanti mengingat pesan di mimpi, memberi jawab santun: “Yanti mencintai semuanya, Kak. Dan anjing ini Yanti yakin akan dapat menjadi teman dan saudara bermain di rumah kita. Kak, percayalah.” Pada hitungan hari, Si Jinak sudah bermain bersama ayam, bebek, kelinci, dan katak. Mereka beradegan sedang bermain lempar bola.
Pada suatu hari, Si Jinak berkeliaran di hutan. Anjing hutan berkeliaran di hutan. Pembaca jangan kaget. Di hutan, ada si pemburu. Tanda cerita mau selesai. Pemburu itu menembak Si Jinak. Kena! Matilah Si Jinak. Pemburu menembak berdalih bahwa anjing hutan itu “telah melahap ayam dan bebekku.” Yanti mengetahui Si Jinak terkapar. Bersedih. Yanti menangisi Si Jinak. Pemburu kaget dengan ulah Yanti. Kenapa? Yanti menjawab bahwa Si Jinak bukan pelaku seperti tuduhan pemburu.
Cerita memang berakhir. Drama anak jangan lama seperti film Avengers: Endgame, 3 jam. Pentas cukup 30 atau 60 menit. Di akhir cerita, Yanti berucap: “Tuhan yang baik, terimalah anjing kesayanganku ini.” Drama anak jangan kata-kata diucapkan saja. Lagu itu perlu. Lagu di akhir pentas: telah tiada sahabat kita/ telah pergi untuk selamanya/ untuk tanda pada manusia/ suka teliti dan cermat jua// selamat jalan, kawan/ selamat dan bahagia/ selamat jalan, kawan/ selamat dan bahagia. Selesai. Penonton bertepuk tangan. Pembaca buku boleh juga bertepuk tangan, mengangguk, atau mengusap airmata di pipi.
Buku drama anak-anak itu pernah terbit. Buku petunjuk bermain drama untuk anak-anak? Dulu, Rendra pernah membuat buku apik mengenai pengantar bermain drama untuk remaja. Buku terbitan Pustaka Jaya itu laris, turut memberi acuan bagi remaja-remaja di Jakarta dan pelbagai kota membentuk kelompok teater dan mengadakan pentas di festival-festival. Para bocah mungkin bisa membaca buku garapan Rendra.
Bocah tentu kesulitan jika mau mementaskan Si Jinak dengan membaca buku berjudul Pengantar Bermain Drama (1985) susunan Adjib Hamzah. Buku tebal. Di situ, penerbit memberi pengantar: “Bermain drama merupakan permainan yang sangat populer. Sejak kecil, anak-anak sudah biasa bermain drama, baik sendirin, bersama saudara-saudaranya atau dengan kawan-kawannya. Bermain ibu-ibuan, dagang-dagangan, sekolah-sekolahan, pada hakikatnya bermain drama.” Ingatan itu berlaku bagi kita pernah mengalami menjadi bocah di desa atau kampung.    
Di bab bermain drama anak-anak, Adjib Hamzah menerangkan: “Pada umumnya anak-anak memiliki ingatan yang tajam. Mereka cepat menghafal. Akan tetapi kita mengetahui dari pengalaman bahwa seseorang yang hafal teks tidak selamanya bisa dijadikan jaminan mampu bermain baik. Bermain drama tidak hanya menyangkut kesanggupan melepaskan dialog yang dihafal saja melainkan bertitik berat pada kemampuan akting.” Kita akhiri petunjuk-petunjuk itu dengan peristiwa datang ke toko buku ingin mencari buku drama anak-anak. Kita tak boleh marah dan menangis jika buku-buku itu tak ada di rak. Begitu.
   

No comments:

Post a Comment