Biografi:
Desa dan Kota
Bandung Mawardi
Indonesia, 1947. Kita mengingat
peristiwa-peristiwa politik atau militer. Tahun itu mengingat desa dan lagu?
Tahun-tahun menghasilkan sejarah-sejarah besar. Orang-orang memiliki peristiwa
dan biografi tapi terlupa jika tak diceritakan. Pada 1947, sebelum dan setelah,
ada pengisahan tokoh di desa. Tokoh membentuk biografi di adab persawahan,
sebelum pergi ke kota untuk sekolah.
Kita selingi dulu dengan 2019. Di Kompas, 25 April 2019, tulisan mengenai
sosok bernama Ubun Kubarsah. Tulisan berjudul “Nada Setia Lagu Anak Sunda.” Pada
abad XXI, bocah-bocah terlalu sering meniru seni-hiburan dari negeri-negeri
asing. Mereka senang! Di mata Ubun Kubarsah, ada perkara genting! Bocah-bocah
tak lagi melantunkan lagu-lagu berbahasa Sunda. Ia memilih menggubah lagu-lagu dipersembahkan
ke bocah, bermaksud mengurangi kecanduan mereka pada segala hal bercap Korea
Selatan.
Lagu-lagu itu dipentaskan di Gedung Sate, Bandung,
Jawa Barat. “Semuanya berbahasa Sunda dengan tiga langgam. Alunan musiknya khas
menggunakan suling, angklung, juga gendang,” tulis di Kompas. Pesan di lagu berkaitan pendidikan karakter. Di akhir
tulisan, Ubun Kubarsah berpesan: “Saya berharap para komponis dapat
berkolaborasi menggubah lagu-lagu anak berbasis daerah asalnya. Pemerintah
daerah pun terpanggil melakukan hal serupa. Ini rencana besar meningkatkan
kualitas peradaban bangsa kita lewat lagu-lagu anak.”
Pada 2019, lagu bocah berbahasa Sunda diacarakan
dan diinginkan memberi pesan-pesan luhur. Eh, ikhtiar seni itu terlalu cepat
dihubungkan ke pemerintah. Kita kadang prihatin dengan para seniman sambat atau
menuntut ke pemerintah. Kebiasaan itu mungkin “menjatuhkan” derajat seni atau
“menguntungkan” pemerintah: merasa mendapat dalih-dalih membuat program dan
mengeluarkan anggaran. Seni tak seremeh nalar birokrasi!
Kita tinggal 2019 menuju 1974. Pada tahun itu Pustaka
Jaya menerbitkan buku cerita berbahasa Indonesia berjudul Desaku Punya Lagu gubahan Saleh Sastrawinata. Cerita cukup
panjang, 86 halaman. Cerita berlangsung di sekitar 1947, berlatar di Pasundan.
Judul dikuatkan gambar di sampul: bocah gembala meniup seruling di atas kerbau.
Ah, adegan bersahaja di desa. Bocah itu bercaping. Gambar itu sering muncul di
buku-buku pelajaran atau lukisan. Pada suatu masa, gambar itu dalam olahan
artistik dipilih jadi logo Penerbit Buku Kompas. Gambar di sampul dan isi buku
dikerjakan oleh Sofjan.
Para tokoh adalah bocah-bocah di desa, digenapi
bocah-bocah di kota. Pada suatu hari, Kabul bermimpi jadi raja. Di mimpi, ia
melihat Kohar mau memukul. Ia pun geragapan. Mimpi diceritakan pada bapak. Pada
saat bercerita, teman-teman Kabul menguping di balik dinding. Kejutan terjadi
setelah Kabul bercerita pada bapak bahwa Kohar ingin memukul gara-gara ia tak
mau diajak mencuri mentimun di kebun milik bapak Husin. Kohar mendengar itu
menahan marah. Ia ketahuan oleh teman-teman sebagai pencuri mentimun.
Cerita Kabul pada bapak mau rampung. Di balik
dinding, ada bocah kentut mengeluarkan bau bacin. Mereka saling menuduh dan
berlarian pergi. Kohar marah dan melemparkan batu ke dinding rumah Kabul,
sebelum ikut berlari. Bocah-bocah itu berlari sambil bersenandung:
Bul, Bul,
o-o-o si Kabul
Mulutnya
sebesar bakul
Kepalanya
benjol gundul
Dimakan
macan tutul
Bul, Bul,
ya-ya-ya si Kabul
Menjadi raja
Istambul
Naik kuda
kayu timbul
Nyandang
tombak gagang pacul
Lagu berbahasa Indonesia. Ngawur dan lucu! Pembaca
menduga lagu itu dimaksudkan menambahi kelucuan cerita. Kita sulit mengakui
bocah-bocah itu sudah janjian dulu membuat dan latihan bersenandung bersama
untuk mengejek Kabul. Di mimpi, Kabul memang bermimpi jadi raja. Di lagu,
ketahuan ada julukan “raja Istambul”. Lagu itu lucu, tak harus bermakna.
Pendengar jangan meminta ada pesan moral atau pendidikan karakter. Bocah
bersenandung kadang ingin iseng, hiburan, dan senang.
Bocah-bocah berlagu lucu itu tak mengerti perasaan
Kabul. Kepergian dan lagu mereka membuat Kabul marah. Ia sering diremehkan dan
diejek Kohar. Ia memang anak miskin tapi tak ingin dihinakan dalam pergaulan di
desa. Kohar memang anak dari keluarga berada. Kabul ingin menghajar Kohar!
Bapak mendengar keinginan itu tanpa ada keinginan “melarang”. Pemikiran bapak:
“Tapi biarlah! Ia anak laki-laki. Sekali-sekali ia harus berani berkelahi
membela diri!” Wah, bapak sedang memberi restu dan ujian bagi Kabul. Lelaki
berhak mengurusi kehormatan dengan berkelahi: menang atau kalah.
Sikap itu ada di buku cerita tanpa disensor. Kita
malah menganggap aneh jika ada sensor. Berkelahi itu sesuai patokan moral atau
karakter seperti diinginkan para pejabat, guru, dan kaum moralis? Berkelahi di
kalangan bocah itu “penting” dan berhikmah. Perkelahian pun terjadi keesokan
hari: “Akan tetapi tiba-tiba si Kohar dan teman-temannya datang. Mereka
menyanyi-nyanyi seperti kemarin. Mereka tertawa-tawa menghinakan si Kabul di
depan rumahnya.” Adegan perkelahian seru. Kohar tak berkutik. Kabul meraih
kemenangan: “Sebaliknya si Kabul. Biarpun badannya kurus, tapi tenaganya lebih
dari pada memadai untuk membuat si Kohar tidak berdaya. Sebab, si Kabul biasa
bekerja berat di sawah atau di ladang. Mencangkul, mengangkat batu atau bambu.”
Di hati, Kabul mengaku tak suka berkelahi.
Peristiwa itu gara-gara Kohar “sangat besar kepala.” Kemenangan tanpa hadiah
atau tepuk tangan. Kabul malah merasa bersalah. Ia itu bocah santun, berbakti,
dan pintar. Eh, bocah lelaki tanpa sejarah berkelahi mungkin tak lengkap. Di
sekolah atau kampung, bocah-bocah berkelahi itu kelumrahan asal kita tak
tergesa membuka undang-undang, lembaran seruan pemerintah, atau dalil-dalil hak
asasi manusia khusus anak.
Perkelahian mengajarkan pada bocah-bocah sikap
berdamai melalui maaf. Saleh Sastrawinata mengurai hikmah dalam peristiwa khas
desa. Bocah-bocah berkumpul di sawah ingin mengikuti kenduri panenan. Peristiwa
di sekitar 1947 saat Indonesia sedang bergerak mulia, tak mau lagi diperintah
oleh negara-negara asing dengan kolonialisme atau imperialisme.
Menit-menit menanti para ibu menata makanan,
bocah-bocah di sawah bermain girang. Adegan pantas dikangeni bocah-bocah di
abad XXI: “Si Husin mendapatkan si Ujer dan teman-temannya. Tampak olehnya si
Ujer sedang membuat wayang-wayangan dari batang padi. Si Hasan membuat
seruling. Juga dari batang padi. Si Tahir membuat kolecer atau baling-baling.”
Di sebelah mereka, ada peristiwa milik masa lalu: “Anak-anak kecil bermain
kuda-kudaan. Mereka saling gendong hilir-mudik. Bukan main ramainya jika mereka
berteriak-teriak dan tertawa-tawa. Terkadang timbul juga pertengkaran. Atau
perang mulut jika ada yang main curang.” Bermain itu capek tapi menggembirakan.
Di situ pula, Husin jadi pengusul dan penentu agar Kabul dan Kohar berdama.
Husin mengingat pesan ibu: “Ibuku bilang kalau hati kita senang gembira,
makanan kita rasanya bertambah sedap.” Nah, pesan kebajikan dimunculkan dengan
adegan Kohar dan Kabul bersalaman, sebelum mereka makan bersama. Kita salut
dengan ulah dan bahasa mereka dalam merampungi masalah dan menguatkan
kebersamaan di desa.
Pada suatu hari, Kabul berpamitan pada
teman-teman. Ia pergi ke kota, ikut paman. Di Kuningan, ia bersekolah agar
memiliki jalan mengubah nasib. Kabul lekas menemukan teman di kota. Teman itu
bernama Akip. Dua bocah bercakap. Kabul berkata: “Man Sumanta pernah
bercerita kepadaku. Katanya, ayahmu
bukan orang Sunda.” Akip menjawab lugas: “Ayahku berasal dari kota Palembang.
Ibuku orang Kuningan tulen. Ayahku sudah lama tinggal di kota ini. Dan aku
lahir di sini.” Kabul melanjutkan omong: “O, begitu? Jadi, engkau anak apa
namanya? Anak Sumatra atau anak Sunda?” Jawaban bermutu dan cerdas dari Akip:
Anak Indonesia tentunya!”
Pembaca buku berjudul Pahlawan-Pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik garapan S
Sasaki Shiraishi (2009) tak bakal menemukan buku cerita itu menjadi referensi.
Perkara mengartikan anak (di) Indonesia cenderung memilih lokasi di Jakarta.
Sasaki Shiraishi melihat anak-anak di Jakarta, belum tekun mengamati anak-anak
di desa atau anak desa berpindah ke kota tapi tetap berwatak desa. Tanggapan
Sasaki Shiraisi setelah melihat lakon anak Indonesia di Jakarta siang hari:
“Anak-anak itu tidak mengenal lelah dan tidak peduli panas matahari.” Kabul dan
Akip absen dari disertasi apik dan penting bagi kita ingin mengerti Indonesia.
Disertasi persembahan sarjana dari Jepang.
Selama di desa, Kabul hidup miskin bersama bapak.
Ibu telah lama tiada. Di kota, ia diasuh paman dan bibi. Bersekolah memberi
suasana dan pemikiran berbeda, tak selalu diri mengacu ke sawah. Nah, judul
buku cerita gubahan Saleh Sastrawinata mulai terasa di percakapan Kabul dan
paman. Semula, Kabul penasaran dengan kebiasaan bocah-bocah mengawih Ayang-ayang gung. Di buku, pembaca bisa
simak itu berbahasa Sunda:
Ayang-ayang-gung,
gung
Gung goongna
rame, me
Menak Ki Mas
Tanu, nu
Nu jadi
wadana, na
Naha mana
kitu, tu
Tukang
olo-olo, lo
Loba anu
giruk, ruk
Ruket jeung
Kumpeni, ni
Niat jadi
pangkat, kat
Katon
kagorengan, ngan
Ngantos
Kangjeng Dalem, lem
Lempa lempi
lempong
Ngadu pipi
jeung nu ompong
Pembaca penasaran ingin mengetahui arti. Kabul
berperan menjadi peminta tafsir pada paman. Kita turut simak saja: “Ki Mas Tanu seorang menak. Arti Tanu yang
sebenarnya adalah bunglon. Pangkat Ki Mas Tanu ialah Wedana. Perangainya angkuh
terhadap rakyat kecil. Tapi penjilat terhadap atasannya. Tabiatnya seperti
orang munafik… Ki Mas Tanu ingin benar naik pangkat. Oleh karena itu ia mencari
muka pada Kompeni. Apa saja yang dikehendaki oleh Kompeni, selalu dilayani oleh
Ki Mas Tanu. Sekalipun harus menindas rakyat kecil. Untuk dapat naik pangkat
harus ada usul dari Bupati atau Kangjeng Dalem kepada Kompeni. Oleh karena itu
Ki Mas Tanu mencari muka juga pada Bupati. Ia mengharapkan benar bantuan
Bupati. Tapi malang bagi Ki Mas Tanu. Sebab, perbuatannya yang buruk itu
diketahui oleh rakyat atau orang banyak. Sehingga rakyat menjadi gempar dan
membenci Ki Mas Tanu.” Cerita mengandung sejarah dan pesan bijak. Kabul
mengerti bahwa bersekolah membuat pandai dan mengantar ke pekerjaan terhormat.
Ia tak mau meniru Ki Mas Tanu.
Selama di desa, Kabul mengalami hidup dengan
pergaulan dan makna mengajarkan kesederhanaan dan kebersamaan. Selama
bersekolah dan tinggal di kota, ia mengerti tentang hasrat orang-orang ingin
memiliki pekerjaan atau jabatan dengan gaji besar. Segala cara ditempuh demi
gengsi. Di kota, Kabul semakin berilmu tapi tetap merindui desa. Ia ingin tetap
bersahaja jika menuruti jalan pendidikan dan pekerjaan di kota. Pada penafsiran
paman, ia mengerti diri dan pangkat. Ia pun mengingat lagu-lagu para bocah
selama di desa: amburadul dan lucu. Lagu untuk acuan mengerti manusia dan
segala pamrih di dunia. Begitu.
No comments:
Post a Comment