Thursday, May 16, 2019

Biografi: Desa dan Kota


Biografi:
Desa dan Kota

Bandung Mawardi


Indonesia, 1947. Kita mengingat peristiwa-peristiwa politik atau militer. Tahun itu mengingat desa dan lagu? Tahun-tahun menghasilkan sejarah-sejarah besar. Orang-orang memiliki peristiwa dan biografi tapi terlupa jika tak diceritakan. Pada 1947, sebelum dan setelah, ada pengisahan tokoh di desa. Tokoh membentuk biografi di adab persawahan, sebelum pergi ke kota untuk sekolah.
Kita selingi dulu dengan 2019. Di Kompas, 25 April 2019, tulisan mengenai sosok bernama Ubun Kubarsah. Tulisan berjudul “Nada Setia Lagu Anak Sunda.” Pada abad XXI, bocah-bocah terlalu sering meniru seni-hiburan dari negeri-negeri asing. Mereka senang! Di mata Ubun Kubarsah, ada perkara genting! Bocah-bocah tak lagi melantunkan lagu-lagu berbahasa Sunda. Ia memilih menggubah lagu-lagu dipersembahkan ke bocah, bermaksud mengurangi kecanduan mereka pada segala hal bercap Korea Selatan.
Lagu-lagu itu dipentaskan di Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat. “Semuanya berbahasa Sunda dengan tiga langgam. Alunan musiknya khas menggunakan suling, angklung, juga gendang,” tulis di Kompas. Pesan di lagu berkaitan pendidikan karakter. Di akhir tulisan, Ubun Kubarsah berpesan: “Saya berharap para komponis dapat berkolaborasi menggubah lagu-lagu anak berbasis daerah asalnya. Pemerintah daerah pun terpanggil melakukan hal serupa. Ini rencana besar meningkatkan kualitas peradaban bangsa kita lewat lagu-lagu anak.”
Pada 2019, lagu bocah berbahasa Sunda diacarakan dan diinginkan memberi pesan-pesan luhur. Eh, ikhtiar seni itu terlalu cepat dihubungkan ke pemerintah. Kita kadang prihatin dengan para seniman sambat atau menuntut ke pemerintah. Kebiasaan itu mungkin “menjatuhkan” derajat seni atau “menguntungkan” pemerintah: merasa mendapat dalih-dalih membuat program dan mengeluarkan anggaran. Seni tak seremeh nalar birokrasi!
Kita tinggal 2019 menuju 1974. Pada tahun itu Pustaka Jaya menerbitkan buku cerita berbahasa Indonesia berjudul Desaku Punya Lagu gubahan Saleh Sastrawinata. Cerita cukup panjang, 86 halaman. Cerita berlangsung di sekitar 1947, berlatar di Pasundan. Judul dikuatkan gambar di sampul: bocah gembala meniup seruling di atas kerbau. Ah, adegan bersahaja di desa. Bocah itu bercaping. Gambar itu sering muncul di buku-buku pelajaran atau lukisan. Pada suatu masa, gambar itu dalam olahan artistik dipilih jadi logo Penerbit Buku Kompas. Gambar di sampul dan isi buku dikerjakan oleh Sofjan.
Para tokoh adalah bocah-bocah di desa, digenapi bocah-bocah di kota. Pada suatu hari, Kabul bermimpi jadi raja. Di mimpi, ia melihat Kohar mau memukul. Ia pun geragapan. Mimpi diceritakan pada bapak. Pada saat bercerita, teman-teman Kabul menguping di balik dinding. Kejutan terjadi setelah Kabul bercerita pada bapak bahwa Kohar ingin memukul gara-gara ia tak mau diajak mencuri mentimun di kebun milik bapak Husin. Kohar mendengar itu menahan marah. Ia ketahuan oleh teman-teman sebagai pencuri mentimun.
Cerita Kabul pada bapak mau rampung. Di balik dinding, ada bocah kentut mengeluarkan bau bacin. Mereka saling menuduh dan berlarian pergi. Kohar marah dan melemparkan batu ke dinding rumah Kabul, sebelum ikut berlari. Bocah-bocah itu berlari sambil bersenandung:

Bul, Bul, o-o-o si Kabul
Mulutnya sebesar bakul
Kepalanya benjol gundul
Dimakan macan tutul

Bul, Bul, ya-ya-ya si Kabul
Menjadi raja Istambul
Naik kuda kayu timbul
Nyandang tombak gagang pacul

Lagu berbahasa Indonesia. Ngawur dan lucu! Pembaca menduga lagu itu dimaksudkan menambahi kelucuan cerita. Kita sulit mengakui bocah-bocah itu sudah janjian dulu membuat dan latihan bersenandung bersama untuk mengejek Kabul. Di mimpi, Kabul memang bermimpi jadi raja. Di lagu, ketahuan ada julukan “raja Istambul”. Lagu itu lucu, tak harus bermakna. Pendengar jangan meminta ada pesan moral atau pendidikan karakter. Bocah bersenandung kadang ingin iseng, hiburan, dan senang.
Bocah-bocah berlagu lucu itu tak mengerti perasaan Kabul. Kepergian dan lagu mereka membuat Kabul marah. Ia sering diremehkan dan diejek Kohar. Ia memang anak miskin tapi tak ingin dihinakan dalam pergaulan di desa. Kohar memang anak dari keluarga berada. Kabul ingin menghajar Kohar! Bapak mendengar keinginan itu tanpa ada keinginan “melarang”. Pemikiran bapak: “Tapi biarlah! Ia anak laki-laki. Sekali-sekali ia harus berani berkelahi membela diri!” Wah, bapak sedang memberi restu dan ujian bagi Kabul. Lelaki berhak mengurusi kehormatan dengan berkelahi: menang atau kalah.
Sikap itu ada di buku cerita tanpa disensor. Kita malah menganggap aneh jika ada sensor. Berkelahi itu sesuai patokan moral atau karakter seperti diinginkan para pejabat, guru, dan kaum moralis? Berkelahi di kalangan bocah itu “penting” dan berhikmah. Perkelahian pun terjadi keesokan hari: “Akan tetapi tiba-tiba si Kohar dan teman-temannya datang. Mereka menyanyi-nyanyi seperti kemarin. Mereka tertawa-tawa menghinakan si Kabul di depan rumahnya.” Adegan perkelahian seru. Kohar tak berkutik. Kabul meraih kemenangan: “Sebaliknya si Kabul. Biarpun badannya kurus, tapi tenaganya lebih dari pada memadai untuk membuat si Kohar tidak berdaya. Sebab, si Kabul biasa bekerja berat di sawah atau di ladang. Mencangkul, mengangkat batu atau bambu.”
Di hati, Kabul mengaku tak suka berkelahi. Peristiwa itu gara-gara Kohar “sangat besar kepala.” Kemenangan tanpa hadiah atau tepuk tangan. Kabul malah merasa bersalah. Ia itu bocah santun, berbakti, dan pintar. Eh, bocah lelaki tanpa sejarah berkelahi mungkin tak lengkap. Di sekolah atau kampung, bocah-bocah berkelahi itu kelumrahan asal kita tak tergesa membuka undang-undang, lembaran seruan pemerintah, atau dalil-dalil hak asasi manusia khusus anak.
Perkelahian mengajarkan pada bocah-bocah sikap berdamai melalui maaf. Saleh Sastrawinata mengurai hikmah dalam peristiwa khas desa. Bocah-bocah berkumpul di sawah ingin mengikuti kenduri panenan. Peristiwa di sekitar 1947 saat Indonesia sedang bergerak mulia, tak mau lagi diperintah oleh negara-negara asing dengan kolonialisme atau imperialisme.
Menit-menit menanti para ibu menata makanan, bocah-bocah di sawah bermain girang. Adegan pantas dikangeni bocah-bocah di abad XXI: “Si Husin mendapatkan si Ujer dan teman-temannya. Tampak olehnya si Ujer sedang membuat wayang-wayangan dari batang padi. Si Hasan membuat seruling. Juga dari batang padi. Si Tahir membuat kolecer atau baling-baling.” Di sebelah mereka, ada peristiwa milik masa lalu: “Anak-anak kecil bermain kuda-kudaan. Mereka saling gendong hilir-mudik. Bukan main ramainya jika mereka berteriak-teriak dan tertawa-tawa. Terkadang timbul juga pertengkaran. Atau perang mulut jika ada yang main curang.” Bermain itu capek tapi menggembirakan. Di situ pula, Husin jadi pengusul dan penentu agar Kabul dan Kohar berdama. Husin mengingat pesan ibu: “Ibuku bilang kalau hati kita senang gembira, makanan kita rasanya bertambah sedap.” Nah, pesan kebajikan dimunculkan dengan adegan Kohar dan Kabul bersalaman, sebelum mereka makan bersama. Kita salut dengan ulah dan bahasa mereka dalam merampungi masalah dan menguatkan kebersamaan di desa.
Pada suatu hari, Kabul berpamitan pada teman-teman. Ia pergi ke kota, ikut paman. Di Kuningan, ia bersekolah agar memiliki jalan mengubah nasib. Kabul lekas menemukan teman di kota. Teman itu bernama Akip. Dua bocah bercakap. Kabul berkata: “Man Sumanta pernah bercerita  kepadaku. Katanya, ayahmu bukan orang Sunda.” Akip menjawab lugas: “Ayahku berasal dari kota Palembang. Ibuku orang Kuningan tulen. Ayahku sudah lama tinggal di kota ini. Dan aku lahir di sini.” Kabul melanjutkan omong: “O, begitu? Jadi, engkau anak apa namanya? Anak Sumatra atau anak Sunda?” Jawaban bermutu dan cerdas dari Akip: Anak Indonesia tentunya!”
Pembaca buku berjudul Pahlawan-Pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik garapan S Sasaki Shiraishi (2009) tak bakal menemukan buku cerita itu menjadi referensi. Perkara mengartikan anak (di) Indonesia cenderung memilih lokasi di Jakarta. Sasaki Shiraishi melihat anak-anak di Jakarta, belum tekun mengamati anak-anak di desa atau anak desa berpindah ke kota tapi tetap berwatak desa. Tanggapan Sasaki Shiraisi setelah melihat lakon anak Indonesia di Jakarta siang hari: “Anak-anak itu tidak mengenal lelah dan tidak peduli panas matahari.” Kabul dan Akip absen dari disertasi apik dan penting bagi kita ingin mengerti Indonesia. Disertasi persembahan sarjana dari Jepang.
Selama di desa, Kabul hidup miskin bersama bapak. Ibu telah lama tiada. Di kota, ia diasuh paman dan bibi. Bersekolah memberi suasana dan pemikiran berbeda, tak selalu diri mengacu ke sawah. Nah, judul buku cerita gubahan Saleh Sastrawinata mulai terasa di percakapan Kabul dan paman. Semula, Kabul penasaran dengan kebiasaan bocah-bocah mengawih Ayang-ayang gung. Di buku, pembaca bisa simak itu berbahasa Sunda:

Ayang-ayang-gung, gung
Gung goongna rame, me
Menak Ki Mas Tanu, nu
Nu jadi wadana, na
Naha mana kitu, tu
Tukang olo-olo, lo
Loba anu giruk, ruk
Ruket jeung Kumpeni, ni
Niat jadi pangkat, kat
Katon kagorengan, ngan
Ngantos Kangjeng Dalem, lem
Lempa lempi lempong
Ngadu pipi jeung nu ompong

Pembaca penasaran ingin mengetahui arti. Kabul berperan menjadi peminta tafsir pada paman. Kita turut simak saja:  “Ki Mas Tanu seorang menak. Arti Tanu yang sebenarnya adalah bunglon. Pangkat Ki Mas Tanu ialah Wedana. Perangainya angkuh terhadap rakyat kecil. Tapi penjilat terhadap atasannya. Tabiatnya seperti orang munafik… Ki Mas Tanu ingin benar naik pangkat. Oleh karena itu ia mencari muka pada Kompeni. Apa saja yang dikehendaki oleh Kompeni, selalu dilayani oleh Ki Mas Tanu. Sekalipun harus menindas rakyat kecil. Untuk dapat naik pangkat harus ada usul dari Bupati atau Kangjeng Dalem kepada Kompeni. Oleh karena itu Ki Mas Tanu mencari muka juga pada Bupati. Ia mengharapkan benar bantuan Bupati. Tapi malang bagi Ki Mas Tanu. Sebab, perbuatannya yang buruk itu diketahui oleh rakyat atau orang banyak. Sehingga rakyat menjadi gempar dan membenci Ki Mas Tanu.” Cerita mengandung sejarah dan pesan bijak. Kabul mengerti bahwa bersekolah membuat pandai dan mengantar ke pekerjaan terhormat. Ia tak mau meniru Ki Mas Tanu.
Selama di desa, Kabul mengalami hidup dengan pergaulan dan makna mengajarkan kesederhanaan dan kebersamaan. Selama bersekolah dan tinggal di kota, ia mengerti tentang hasrat orang-orang ingin memiliki pekerjaan atau jabatan dengan gaji besar. Segala cara ditempuh demi gengsi. Di kota, Kabul semakin berilmu tapi tetap merindui desa. Ia ingin tetap bersahaja jika menuruti jalan pendidikan dan pekerjaan di kota. Pada penafsiran paman, ia mengerti diri dan pangkat. Ia pun mengingat lagu-lagu para bocah selama di desa: amburadul dan lucu. Lagu untuk acuan mengerti manusia dan segala pamrih di dunia. Begitu.

No comments:

Post a Comment