Thursday, March 28, 2019

Derita dan Asmara


Derita dan Asmara

Bandung Mawardi


Sejak puluhan tahun lalu, bocah-bocah sudah terbiasa bersenandung burung kutilang, burung hantu, dan burung kakatua. Lagu belum pelajaran tapi pengenalan bocah pada burung-burung. Pada suatu masa, lagu bercerita burung kakatua mendapat protes kiai di Jawa Timur. Lagu dianggap tak etis. Bocah-bocah dikesankan “mengejek” pada orang sudah sepuh dengan gigi tinggal dua. Lagu untuk bocah-bocah sempat dipikirkan serius dan memunculkan protes. Lagu-lagu itu terdengar sampai sekarang, belum terlarang atau punah.
Punah cenderung nasib tak untung bagi burung-burung. Di Indonesia, kabar mengenai kepunahan burung jarang memicu perdebatan menghasilkan kebijakan-kebijakan besar. Kabar sekian jenis burung mau punah pun sulit mendapat perhatian. Kehebohan sempat terjadi awal 2019 dengan pemberlakuan peraturan mengenai burung peliharaan, burung di perdagangan, dan burung langka. Para pedagang burung sempat protes. Para pemelihara burung membuat pertimbangan ulang dalam memilih jenis-jenis burung. Heboh itu belum dipuisikan oleh Sapardi Djoko Damono. Dulu, ia sering menulis puisi-puisi mengenai burung tapi kalah tekun dari Piek Ardijanto Soeprijadi.
Kita mengutip sebait dari puisi gubahan Piek Ardijanto berjudul “Sepasang Burung”. Kita melihat atau mengalami diri sebagai burung: sepasang burung di ranting sepi/ dengan kepala berbulu halus/ usap-mengusap penuh kasih/ kicau tertahan gejolak naluri. Pemandangan itu ejawantah asmara. Perasaan sepasang burung diungkapkan tanpa ragu. Adegan melampaui adegan berkesan picisan di film dan sinetron. Asmara burung, asmara membikin cemburu manusia.
Pembaca tak pernah diberitahu jenis atau nama burung sedang beradu kasih di puisi. Sepasang burung ingin mengabarkan agar dihormati sebagai makhluk berperasaan. Manusia jangan lekas mengganggu dengan menembak, melemparkan batu, atau menjaring burung. Mereka ingin hidup di pepohonan dan bersua dengan para binatang di alam. Janganlah lekas berpikir burung-burung dikandangkan dan digantung di rumah-rumah. Burung tak mau menderita dan tamat oleh kebodohan dan keangkuhan manusia.
Pesan itu kita temukan di novel berjudul Murai Terbang Tinggi gubahan Mase Edhi. Buku terbitan Gramedia, 1985, 80 halaman. Buku berkemasan apik. Penghias sampul dan gambar-gambar di buku dikerjakan oleh Mulyono. Novel itu pengajaran bagi bocah-remaja ingin mengerti perasaan burung-burung. Pelajaran menginsafkan manusia bernafsu mencari untung dari memelihara burung dan mengikuti lomba kicau burung.
Tokoh utama di novel adalah burung murai. Pembaca ingin mengenali? Simaklah deskripsi dari pengarang: “Murai batu berkicau di dahan randu…. Angin bertiup dari arah pemukiman penduduk. Mengusap wajah burung murai batu yang tampan. Tubuhnya ramping, bertutupkan bulu-bulu halus. Kepala dan lehernya berwarna hitam. Juga mata dan sayapnya. Ekornya panjang melengkung ke bawah. Bulu bagian atas ekor itu berwarna hitam, berjajar dengan susunan yang rapi. Sedangkan bulu-bulu ekor bagian bawah berwarna putih. Panjang dan pendek, bersusun bagaikan kipas setengah terbuka.” Burung itu memukau. Burung telanjur jadi idaman manusia serakah duit dan suka pamer “ilmu” perburungan.
Burung itu bernasib buruk. Nasib lebih buruk diterima pasangan tercinta. Manusia sering menangkap mereka dengan pelbagai cara. Jebakan-jebakan diadakan manusia untuk mendapatkan murai batu jantan. Jebakan itu malah mengenai murai batu betina. Di pasar, harga murai batu asal Medan itu tinggi. Pada suatu hari, murai batu jantan kehilangan kekasih. Hari demi hari, ia mencari sampai letih. Di suatu tempat, ia melihat sang kekasih terkapar. Burung itu keracunan oleh jebakan manusia. Semprotan putih beracun mengenai pelbagai hewan. Murai batu betina makan cengkerik. Ia tak mengetahui di tubuh cengkerik berlumuran racun. Ia menjelang kematian.
Murai batu jantan bersedih atas nasib kekasih. Ia marah dan mendendam pada manusia. Detik-detik perpisahan terasa mengharukan. Murai batu betina ikhlas mati tapi ingin murai batu jantan lekas pergi agar tak ditangkap manusia. Murai batu jantan emoh pergi. Ia ingin mati bersama kekasih. Pembaca tak sedang membaca naskah sandiwara garapan William Shakespeare atau film-film romantis berasal dari Amerika Serikat dan Eropa. Adegan itu berada di novel ingin mengetuk perasaan manusia.
Murai batu betina dalam sekarat berkata: “Jangan, Jantanku! Biarlah aku mati. Kau harus tetap hidup. Kelak kau akan mendapatkan betina yang lain. Bila nanti betinamu bertelur, katakan padanya tentang nasibku ini. Beri tahu anak-anakmu tentang bencana yang ada di mana-mana. Kalau tidak, kelak semua keluarga murai akan tumpas. Jantanku, bila kau bertemu dengan burung dari jenis apa pun juga, beritakan pula tentang kekejaman manusia ini…” Ia pun menutup mata. Ia korban kejahatan manusia. Murai batu jantan berduka. Ia sempat menggugat: “Tuhanku, bukankah Kauciptakan murai untuk isi dunia seindah ini?” Pada saat berpisah dari kekasih, kondiri raga murai batu jantan mengalami luka. Ia terbang dalam sakit dan pedih.
Ia harus meneruskan hidup, terbang dan berkicau. Manusia saja bebal dan sombong. Manusia tak mampu membedakan kicauan burung sedang bergirang atau berduka. Di suatu tempat, murai batu jantan mulai berjulukan Ekor Patah itu bertemu murai betina beranak dua. Ia tampak bersedih kehilangan si jantan. Sedih terungkapkan dengan kicauan. Novel itu memberi ajaran pada kita untuk mengerti situasi batin burung. Pengarang mengisahkan: “Murai betina menangis tanpa air mata. Suara tangisnya akan terdengar bagaikan cericit lirih bagi telinga manusia. Suara itu oleh manusia disebut kicau juga. Mriwik, namanya. Kicau yang lirih seperti bunyi air mendidih. Manusia senang mendengarnya. Sebab manusia tidak tahu bahwa suara murai itu merupakan tangisan pilu.” Pengarang ingin memastikan manusia itu bodoh tak terampunkan! Manusia gagal belajar dan mengerti burung.
Kita jeda dulu dengan membuka Ensiklopedi Populer Anak terbitan Ichtiar Baru Van Hoeve, 1998. Buku menjadi referensi bocah mengenali dan mengerti pelbagai hal. Di situ, bocah bertemu lema burung. Bocah sinau burung sejak dini, berharap kelak tak jadi pemburu atau pemberi derita pada burung-burung. Di lema burung pekicau, bocah membaca keterangan: “Burung umumnya dapat bersuara. Suara itu merdu sehingga mereka disebut burung pekicau. Ada sekitar 4.000 jenis burung pekicau. Mereka disebut juga burung tenggeran karena biasanya bertengger di ranting pohon untuk berkicau.” Bocah lekas mengerti bahwa burung berkicau merdu di ranting pohon, bukan dalam sangkar milik bapak.
Bocah mengenali burung murai: “Selama musim semi, saat burung murai membangun sarang serta membesarkan anaknya, kicau murai jantan yang merdu dan sendu merupakan isyarat bagi para pengacau agar menjauhi wilayahnya. Suara nyaring tik-tik-tik dari burung murai adalah isyarat bagi burung lain akan adanya bahaya kucing atau elang.” Novel mengenai burung murai terbit duluan, sebelum bocah membuka halaman-halaman Ensiklopedia Populer Anak. Buku itu penting dengan anggapan guru di sekolah dan orangtua di rumah gagal mengajarkan tema-tema perburungan.
Kejahatan manusia pada burung semakin terbukti dengan ulah mereka seperti disampaikan tokoh burung kepodang emas dalam novel: “Manusia semakin rakus. Pohon-pohon mereka binasakan. Mereka juga membabat hutan untuk dijadikan tempat tinggal keluarga mereka. Gila, sungguh gila! Kita tak punya tempat lagi. Hutan semakin sempit, pohon-pohon makin habis. Sebenarnya, apa kemauan manusia itu? Pikirnya dunia ini hanya milik bangsa mereka?” Kita memang tak pernah mendapatkan protes kaum burung berupa dokumen petisi, spanduk, atau pidato. Kita saja semakin membodohkan diri dengan menelangsakan burung-burung secara sengaja atau tak sengaja.
Pada suatu hari, Ekor Patah atau murai batu jantan tertangkap manusia. Ia diperdagangkan di pasar. Ia melintasi desa dan kota dalam perjalanan para pedagang, dari Medan menuju Jakarta. Di pasar burung, ia termenung. Nasib burung apes di pasar. Burung itu dimengerti manusia sebagai duit alias keuntungan. Selama di pasar, murai batu jantang diberi makanan berupa kroto kering terbuat dari telur semut rangrang. Ia terpaksa makan agar tak mampus. Ia dibeli orang berniat memelihara dan mendapatkan untung besar dengan kicau milik murai batu jantan saat diikutkan lomba.
Nasib burung itu dijadikan dalih pengarang memberikan seruan-protes. Pengarang bersuara melalui murai batu jantan: “Para pecinta burung berkicau menganggap diri mereka penyayang binatang. Padahal pada kenyatannya, mereka adalag pembinasa binatang! Alam binasa, binatang menderita, karena manusia ingin memuaskan diri sendiri. Begitu berjalan berulang kali. Bagai tak berkesudahan.” Seruang itu diberikan pada tahun 1985. Suara itu semakin tak terbaca dan terdengar di abad XXI. Kita menduga cuma sedikit orang masih mau membaca novel berjudul Murai Terbang Tinggi.
Pada 1988, terbit Ensiklopedia Indonesia Seri Fauna: Burung. Buku produksi Ichtiar Baru Van Hoeve itu tentu menambahi ajakan sinau dan menghormati burung-burung. Di situ, kita tersadarkan tapi ironis saat mengingat nasib murai batu jantan di novel. Simaklah keterangan penerbit: “Burung selalu menarik perhatian manusia disbanding dengan kelompok hewan lain. Burung, seperti juga manusia, mengandalkan indria penglihatan dan pendengaran sebagai dua indria utamanya. Sebagian besar burung berwarna cerah dan aktif pada siang hari. Burung terdapat di mana-mana sehingga kita lebih sering melihat dunianya diabanding dunia hewan lain. Kita nampaknya lebih mengerti berbagai kegiatan burung daripada berbagai kegiatan sebagian besar mamalia.”
Pengetahuan burung belum tentu memuliakan burung. Manusia memiliki sikap mendua pada burung. Ia kadang mengasihi tapi bisa berlaku kejam pada burung-burung berdalih pertanian, kebersihan, keindahan, kemakmuran, dan kekuasaan. Burung dimengerti dari pelbagai acuan, dari mistik sampai politik.
Murai batu jantan mengalami nasib buruk dimasukkan kandang oleh manusia. Ia mau diperlombakan agar harga semakin tinggi. Nasib itu menguak penjelasan berbeda mengenai kemungkinan manusia bertobat dan berlaku baik pada burung. Kutipan mirip ceramah buatan pengarang: “Terpujilah para ahli yang telah membuang waktu, tenaga, dan pikiran untuk menyelamatkan isi dunia yang dibinasakan oleh manusia bodoh. Para ahli tahu, Tuhan hanya menciptakan burung sekali saja, seperti Tuhan menciptakan dunia ini. Bila burung-burung telah punah di dunia ini, maka sampai hari kiamat tiba tak akan diciptakan lagi burung untuk kedua kalinya. Tahukah manusia akan hal ini? Bila tahu, masih tegakah mereka memperjualbelikan burung dan menyiksa dalam sangkar sampai tamat riwayat sang burung malang?”
Pada suatu hari, murai batu jantan berhasil meloloskan diri dari sangkar. Ia kembali terbang tinggi dan berkicau merdu. Ia bertemu dengan murai batu betina. Asmara lekas terungkap. Peristiwa menakjubkan di akhir cerita: “Jauh tinggi di awan, mereka bertemu. Saling mengikat janji. Kelak akan hidup bersama. Akan melestarikan kehidupan murai sepanjang masa.” Kita mungkin cemburu. Bagi pengantin baru cemburu itu perlu saat mereka menghiasi tempat resepsi pernikahan dengan gambar burung. Pengantin tak mungkin meniru murai: terbang tinggi di awan. Mereka duduk di kursi empuk saja dan berlanjut ke kasur empuk untuk janji melestarikan alias beranak-pinak. Begitu.   

1 comment:

  1. Mantap. Semasa esde hg smp sy berulang kali membaca buku ini fsn tak pernah bosan.

    ReplyDelete