Bijak...
Bandung Mawardi
Pada masa 1980-an, rezim Orde Baru di “kemapanan”
dengan kesaktian swasembada pangan dan jumlah sarjana terus bertambah. Di
desa-desa, orang-orang bergelar sarjana Drs atau Ir diberi kehormatan. Mereka
mendapat definisi bekerja dengan gaji besar dan difasilitasi negara. Indonesia
sedang menulis roman berjudul “pembangunan nasional”. Orang-orang pintar
dibutuhkan negara untuk maju dan makmur. Janji memenuhi impian-impian besar
Orde Baru perlahan terbukti dengan jumlah konglomerat meningkat. Indonesia
jangan diejek sebagai negara miskin. Indonesia telah memiliki kaum duit dengan
kepemilikan ratusan perusahaan. Mereka turut memajukan negara dan bangsa.
Indonesia ingin mulia tapi noda demi noda mulai
bermunculan. Korupsi lazim terjadi tanpa kemampuan diberantas. Undang-undang
dan aparat memang ada. Korupsi seperti terbiarkan jalan terus. Korupsi sering
bersinggungan dengan noda-noda besar menjadikan Indonesia sakit. Jumlah orang
berduit melimpah dan masuk daftar Forbes
belum memastikan ada kejelasan pemenuhan kewajiban bertajuk pajak. Konon,
pendapatan besar melalui pajak sering bolong-bolong akibat kecurangan dan
persekongkolan. Penggelapan pajak atau patgulipat menghindari-mengurangi pajak
jadi kewajaran. Keburukan-keburukan itu biadab alias berseberangan dengan
“bijak.”
Ingatan kita pada Indonesia masa 1980-an mengacu
ke dongeng berjudul Dewi Juwira dan
Kenari Ajaib gubahan Putut Bayupurnama. Buku berpenampilan molek, diterbitkan
Bina Rena Pariwara (1991). Buku itu “milik negara”. Kita ingin membaca
harus meminjam, tak bisa membeli. Negara kasihan pada kita: dituduh miskin dan
pelit membelanjakan duit untuk buku. Kita dipaksa jadi peminjam. Kenikmatan
dongeng cuma taraf “pinjaman”. Pada masa lalu, buku itu distempel “milik
negara” dipinjamkan ke bocah. Pada abad XXI, buku itu masuk kriteria loak atau
bekas. Buku boleh dibeli asal berduit: dua ribu rupiah.
Dongeng selalu kerajaan. Kita terlalu dini
berkenalan dengan raja, ratu, pengeran, dan putri. Imajinasi elitis! Kita
bersabar saja mengarungi dongeng. Di kerajaan moncer subur dan makmur bernama
Lukitasari sedang dilanda “sulit”. Kerajaan kehabisan duit. Pengarang memberi
keterangan: “Rupanya perdagangan rempah-rempah kerajaan itu mulai merosot.
Rempah-rempah sebagai hasil bumi kerajaan Lukitasari, kalah bersaing dengan
rempah-rempah kerajaan lain. Akibatnya, petani hidup sengsara. Sementara itu
Raja Lukita sudah tua mulai sakit-sakitan.” Kerajaan khas di Nusantara:
rempah-rempah.
Kita gagal mengetahui jenis rempah di Lukitasari.
Pengarang pelit memberi penjelasan. Kita menduga itu lada. Bacalah buku terbaru
P Swantoro berjudul Perdagangan Lada Abad
XVII: Perebutan “Emas” Putih dan Hitam di Nusantara (2019). Dulu, lada itu
incaran. Lada menghasilkan imajinasi kemakmuran, keberlimpahan, sengketa,
perang, dan perdagangan global. Kita mampir sejenak di buku dan mengambil
kutipan. Sejarah perdagangan lada sudah berlangsung sejak abad XVII. Catatan
masih mungkin terbaca berabad XX. “Total, dari 1930-an hingga menjelang Perang
Dunia II, hasil lada Indonesia mencapai sekitar 25.000 sampai 80.000 ton setiap
tahunnya atau 80 persen dari hasil lada seluruh dunia.” Sumber lada itu berada
di Lampung, Aceh, Palembang, dan Bengkulu. Rempah-rempah tak melulu di Maluku
atau Banda. Kutipan itu mengabarkan keuntungan pertanian dan perdagangan
lada itu besar. Kita membuat slogan: “Lada itu laba!”
Buku itu sejaran, bukan dongeng. Kita kembali ke
Lukitasari. Raja sepuh mulai berpikir serius. Rapat dan renungan menghasilkan
kebijakan. Duit untuk mengentaskan kesengsaraan rakyat harus diperoleh meski
perdagangan lada sedang surut. Kebijakan raja: “Aku memustuskan, kerajaan
Lukitasari akan memungut pajak kekayaan. Setiap orang kaya yang tercatat dalam
daftar jutawan kerajaan dikenakan wajib pajak. Besar pajak ditetapkan
seperempat bagian dari seluruh kekayaan mereka dan dibayar setiap tahun. Hasil
pajak akan digunakan untuk memperbaiki pertanian dan kesejahteraan rakyat.”
Para pejabat dan abdi di kerajaan mufakat. Keputusan itu bijaksana.
Raja menunjuk sang putra bernama Pangeran Samba
menjadi pemungut pajak. Setoran pajak diserahkan dan dikelola oleh bendahara
kerajaan, Ali Sabar. Raja belum sadar salah dalam mewujudkan pajak demi
kemajuan Lukitasari. Hari demi hari, Pangeran Samba mendatangi kaum jutawan
menagih pajak. Pengecualian terjadi pada jutawan bernama Badrun. Saudagar itu
sahabat Pangeran Samba. Di rumah Badrun, pesta demi pesta diselenggarakan
mengundang Pangeran Samba. Di sela pesta, mereka berjudi. Persekongkolan
mengiringi lakon pajak. Pangeran Samba berkata pada Badrun: “Kau sahabat
baikku, Badrun. Kurasa kau telah banyak mengeluarkan biaya pesta untukku.
Kuputuskan kau membayar seperdelapan saja.” Dongeng terjadi di kerajaan
imajinatif, bukan di Indonesia masa Orde Baru. Pembaca jangan buru-buru
mengalihkan tokoh di dongeng beralih ke Indonesia dengan menuduh
pada “bapak” dan “anak” sedang berkuasa. Dongeng itu dongeng, bukan protes
politik.
Setoran-setoran pemungutan pajak dari Pangeran
Samba ke Ali Sabar sering kurang. Total duit pajak diambil seperempat oleh
Pangeran Samba sebelum diberikan ke bendahar kerajaan. Duit digunakan
mengadakan pesta dan judi. Pangeran Samba memang keparat! Pengarang
menceritakan: “Pangeran Samba kian sering berpesta, bermabuk-mabukan, dan
bermain judi dengan hasil pungutan pajak di rumah saudagar Badrun.” Kebiasaan
itu diketahui para pejabat istana tapi sungkan melaporkan pada raja.
Mereka takut dihabisi oleh Pangeran Samba atau dituduh membuat fitnah di hadapan
raja.
Alinea demi alinea, Pangeran Samba selalu muncul.
Pembaca belum memberi perhatian ke Dewi Juwita. Apa judul di buku salah?
Bersabarlah. Peredaran gosip dan sikap Pangeran Samba membuat Dewi Juwita
curiga. Ia memerintahkan burung kenari pintar bernama Intan
untuk keliling kerajaan. Burung itu mata-mata atas kecurangan Pangeran Samba.
Hasil pengamatan disampaikan pada Dewi Juwita. Rahasia itu terbongkar. Dewi
Juwita dalam dilema: “Apa yang harus kulakukan? Kulaporkan sajakah kepada Ayah
atau kurahasiakan sama sekali? Bila kulaporkan, kakakku akan dihukum berat.
Tetapi bila kurahasiakan keadaan akan bertambah buruk. Aku akan dituduh
berkhianat karena membiarkan perbuatan melanggar hukum.” Dewi Juwita itu
perempuan anggun dan memilih bijak. Perbuatan Pangeran Samba dilaporkan dengan
perhitungan risiko.
Raja lekas membuat keputusan mengacu ke
bukti-bukti. Pada Pangeran Samba, ia tegas menegakkan hukum. “Pangeran Samba
bersujud di kaki ayahnya meminta ampun. Raja sebenarnya sangat iba. Namun saat
itu ia tidak hanya bertindak sebagai raja tetapi juga sebagai hakim yang harus
mengambil keputusan yang adil dan bijaksana,” tulis Putut, pengarang mahir
berimajinasi tanpa senggal-senggol ke
rezim Orde Baru. Pembaca malah bertaruh sembarangan. Sosok penguasa berani
menghukum anak itu bakal tersaji di Indonesia masa 1980-an? Ah, pembaca
kebablasan, dari imajinasi ingin ke berita-berita korupsi dan penggelapan pajak
di Indonesia. Pembaca belum terima membaca hukuman bagi Pangeran Samba adalah
pengasingan selama dua puluh tahun. Hukuman berat!
Dongeng menakjubkan
bagi pembaca mungkin dirundung malu dan sedih mengetahui Indonesia bertema
korupsi, pungutan liar, dan penggelapan pajak pada masa Orde Baru. Bacaan
bermutu mengajak bocah mengerti pajak berfaedah demi kemajuan Indonesia. Salah
dan curang di pengelolaan pajak wajib mendapat hukuman setimpal. Dongeng agak
bertema berat dibaca bocah-bocah di SD. Buku “menjewer” Indonesia sedang giat
melaksanakan program pajak.
Ingat dongeng pajak,
kita sambungkan ke ingatan sejarah. Oghokham (1984) di tulisan berjudul “Pajak
dan Sejarah” mengingatkan: “Raffles (1811-1816) adalah penguasa Barat pertama
yang meletakkan dasar finansial negara kolonial baru di Indonesia – bukan lagi
penyerahan hasil bumi untuk ekspor yang dituju. Inggris, dan koloninya, menurut
dia, harus dibiayai dengan pajak. Konsep pajak dilahirkan olehnya.” Oh, sistem
baru itu berasal dari nalar (kolonial) Eropa. Sistem itu sulit berkembang
sempurna di Jawa.
Pajak pun menentukan
laju sejarah berupa pemberontakan, indutrialisasi, dan kemunculan angan
nasionalisme. Di masa pemberlakuan pelbagai jenis pajak di Indonesia saat
terjajah dan merdeka, berlaku anggapan: “Orang kaya biasanya lebih sadar: tidak
akan terima bila uang pajaknya dihamburkan negara tanpa dia menerima jasa
setimpal.” Sejarah itu berbeda dari dongeng buatan Putut dan digenapi
gambar-gambar oleh Ila T.
Kita berpisah dari
buku tipis, 41 halaman. Buku bermutu jadi bacaan bocah-bocah masa lalu, belum
cetak ulang di abad XXI. Buku itu gagah dengan pemuatan dua sambutan dari Menteri
Keuangan (JB Sumarlin) dan Dirjen Pajak (Mar’ie Muhammad). Buku dititipi pesan
setelah Dewi Juwita dan Kenari Ajaib
dipilih sebagai pemenang sayembara bertema pajak oleh Yayasan Bina Pembangunan.
Ada kiriman 297 naskah. Dongeng itu unggul dan ampuh. Pesan JB Sumarlin:
“Semoga anak-anak yang membaca dan mempelajari buku tersebut dapat mengenal
arti dan pentingya peranan pajak sebagai sarana pembangunan bangsa dan negara,
yang selain akan membantu meningkatkan kesadaran bernegara, pada gilirannya
nanti juga ikut membantu upaya meningkatkan penerimaan negara dari sektor
perpajakan.” Kalimat panjang, sulit dimengerti bocah-bocah lugu menggandrungi
dongeng ketimbang sambutan bernalar birokrasi. Kalimat itu mungin salah tempat,
ditaruh di halaman awal, sebelum bocah menikmati dongeng.
Sambutan itu mungkin
pula membuat buku laris, cetak ulang empat kali, sejak 1989 sampai 1991. Buku
pantas disesali tak memuat foto dan biografi pendek pengarang. Buku malah
memuat dua foto pejabat berdandan necis. Begitu.
No comments:
Post a Comment