Sunday, March 10, 2019

Bijak...


Bijak...

Bandung Mawardi


Pada masa 1980-an, rezim Orde Baru di “kemapanan” dengan kesaktian swasembada pangan dan jumlah sarjana terus bertambah. Di desa-desa, orang-orang bergelar sarjana Drs atau Ir diberi kehormatan. Mereka mendapat definisi bekerja dengan gaji besar dan difasilitasi negara. Indonesia sedang menulis roman berjudul “pembangunan nasional”. Orang-orang pintar dibutuhkan negara untuk maju dan makmur. Janji memenuhi impian-impian besar Orde Baru perlahan terbukti dengan jumlah konglomerat meningkat. Indonesia jangan diejek sebagai negara miskin. Indonesia telah memiliki kaum duit dengan kepemilikan ratusan perusahaan. Mereka turut memajukan negara dan bangsa.
Indonesia ingin mulia tapi noda demi noda mulai bermunculan. Korupsi lazim terjadi tanpa kemampuan diberantas. Undang-undang dan aparat memang ada. Korupsi seperti terbiarkan jalan terus. Korupsi sering bersinggungan dengan noda-noda besar menjadikan Indonesia sakit. Jumlah orang berduit melimpah dan masuk daftar Forbes belum memastikan ada kejelasan pemenuhan kewajiban bertajuk pajak. Konon, pendapatan besar melalui pajak sering bolong-bolong akibat kecurangan dan persekongkolan. Penggelapan pajak atau patgulipat menghindari-mengurangi pajak jadi kewajaran. Keburukan-keburukan itu biadab alias berseberangan dengan “bijak.”
Ingatan kita pada Indonesia masa 1980-an mengacu ke dongeng berjudul Dewi Juwira dan Kenari Ajaib gubahan Putut Bayupurnama. Buku berpenampilan molek, diterbitkan Bina Rena Pariwara (1991). Buku itu “milik negara”. Kita ingin membaca harus meminjam, tak bisa membeli. Negara kasihan pada kita: dituduh miskin dan pelit membelanjakan duit untuk buku. Kita dipaksa jadi peminjam. Kenikmatan dongeng cuma taraf “pinjaman”. Pada masa lalu, buku itu distempel “milik negara” dipinjamkan ke bocah. Pada abad XXI, buku itu masuk kriteria loak atau bekas. Buku boleh dibeli asal berduit: dua ribu rupiah.
Dongeng selalu kerajaan. Kita terlalu dini berkenalan dengan raja, ratu, pengeran, dan putri. Imajinasi elitis! Kita bersabar saja mengarungi dongeng. Di kerajaan moncer subur dan makmur bernama Lukitasari sedang dilanda “sulit”. Kerajaan kehabisan duit. Pengarang memberi keterangan: “Rupanya perdagangan rempah-rempah kerajaan itu mulai merosot. Rempah-rempah sebagai hasil bumi kerajaan Lukitasari, kalah bersaing dengan rempah-rempah kerajaan lain. Akibatnya, petani hidup sengsara. Sementara itu Raja Lukita sudah tua mulai sakit-sakitan.” Kerajaan khas di Nusantara: rempah-rempah.
Kita gagal mengetahui jenis rempah di Lukitasari. Pengarang pelit memberi penjelasan. Kita menduga itu lada. Bacalah buku terbaru P Swantoro berjudul Perdagangan Lada Abad XVII: Perebutan “Emas” Putih dan Hitam di Nusantara (2019). Dulu, lada itu incaran. Lada menghasilkan imajinasi kemakmuran, keberlimpahan, sengketa, perang, dan perdagangan global. Kita mampir sejenak di buku dan mengambil kutipan. Sejarah perdagangan lada sudah berlangsung sejak abad XVII. Catatan masih mungkin terbaca berabad XX. “Total, dari 1930-an hingga menjelang Perang Dunia II, hasil lada Indonesia mencapai sekitar 25.000 sampai 80.000 ton setiap tahunnya atau 80 persen dari hasil lada seluruh dunia.” Sumber lada itu berada di Lampung, Aceh, Palembang, dan Bengkulu. Rempah-rempah tak melulu di Maluku atau Banda. Kutipan itu mengabarkan keuntungan pertanian dan perdagangan lada itu besar. Kita membuat slogan: “Lada itu laba!”
Buku itu sejaran, bukan dongeng. Kita kembali ke Lukitasari. Raja sepuh mulai berpikir serius. Rapat dan renungan menghasilkan kebijakan. Duit untuk mengentaskan kesengsaraan rakyat harus diperoleh meski perdagangan lada sedang surut. Kebijakan raja: “Aku memustuskan, kerajaan Lukitasari akan memungut pajak kekayaan. Setiap orang kaya yang tercatat dalam daftar jutawan kerajaan dikenakan wajib pajak. Besar pajak ditetapkan seperempat bagian dari seluruh kekayaan mereka dan dibayar setiap tahun. Hasil pajak akan digunakan untuk memperbaiki pertanian dan kesejahteraan rakyat.” Para pejabat dan abdi di kerajaan mufakat. Keputusan itu bijaksana.
Raja menunjuk sang putra bernama Pangeran Samba menjadi pemungut pajak. Setoran pajak diserahkan dan dikelola oleh bendahara kerajaan, Ali Sabar. Raja belum sadar salah dalam mewujudkan pajak demi kemajuan Lukitasari. Hari demi hari, Pangeran Samba mendatangi kaum jutawan menagih pajak. Pengecualian terjadi pada jutawan bernama Badrun. Saudagar itu sahabat Pangeran Samba. Di rumah Badrun, pesta demi pesta diselenggarakan mengundang Pangeran Samba. Di sela pesta, mereka berjudi. Persekongkolan mengiringi lakon pajak. Pangeran Samba berkata pada Badrun: “Kau sahabat baikku, Badrun. Kurasa kau telah banyak mengeluarkan biaya pesta untukku. Kuputuskan kau membayar seperdelapan saja.” Dongeng terjadi di kerajaan imajinatif, bukan di Indonesia masa Orde Baru. Pembaca jangan buru-buru mengalihkan tokoh di dongeng beralih ke Indonesia dengan menuduh pada “bapak” dan “anak” sedang berkuasa. Dongeng itu dongeng, bukan protes politik.
Setoran-setoran pemungutan pajak dari Pangeran Samba ke Ali Sabar sering kurang. Total duit pajak diambil seperempat oleh Pangeran Samba sebelum diberikan ke bendahar kerajaan. Duit digunakan mengadakan pesta dan judi. Pangeran Samba memang keparat! Pengarang menceritakan: “Pangeran Samba kian sering berpesta, bermabuk-mabukan, dan bermain judi dengan hasil pungutan pajak di rumah saudagar Badrun.” Kebiasaan itu diketahui para pejabat istana tapi sungkan melaporkan pada raja. Mereka takut dihabisi oleh Pangeran Samba atau dituduh membuat fitnah di hadapan raja.
Alinea demi alinea, Pangeran Samba selalu muncul. Pembaca belum memberi perhatian ke Dewi Juwita. Apa judul di buku salah? Bersabarlah. Peredaran gosip dan sikap Pangeran Samba membuat Dewi Juwita curiga. Ia memerintahkan burung kenari pintar bernama Intan untuk keliling kerajaan. Burung itu mata-mata atas kecurangan Pangeran Samba. Hasil pengamatan disampaikan pada Dewi Juwita. Rahasia itu terbongkar. Dewi Juwita dalam dilema: “Apa yang harus kulakukan? Kulaporkan sajakah kepada Ayah atau kurahasiakan sama sekali? Bila kulaporkan, kakakku akan dihukum berat. Tetapi bila kurahasiakan keadaan akan bertambah buruk. Aku akan dituduh berkhianat karena membiarkan perbuatan melanggar hukum.” Dewi Juwita itu perempuan anggun dan memilih bijak. Perbuatan Pangeran Samba dilaporkan dengan perhitungan risiko.
Raja lekas membuat keputusan mengacu ke bukti-bukti. Pada Pangeran Samba, ia tegas menegakkan hukum. “Pangeran Samba bersujud di kaki ayahnya meminta ampun. Raja sebenarnya sangat iba. Namun saat itu ia tidak hanya bertindak sebagai raja tetapi juga sebagai hakim yang harus mengambil keputusan yang adil dan bijaksana,” tulis Putut, pengarang mahir berimajinasi tanpa senggal-senggol ke rezim Orde Baru. Pembaca malah bertaruh sembarangan. Sosok penguasa berani menghukum anak itu bakal tersaji di Indonesia masa 1980-an? Ah, pembaca kebablasan, dari imajinasi ingin ke berita-berita korupsi dan penggelapan pajak di Indonesia. Pembaca belum terima membaca hukuman bagi Pangeran Samba adalah pengasingan selama dua puluh tahun. Hukuman berat!
Dongeng menakjubkan bagi pembaca mungkin dirundung malu dan sedih mengetahui Indonesia bertema korupsi, pungutan liar, dan penggelapan pajak pada masa Orde Baru. Bacaan bermutu mengajak bocah mengerti pajak berfaedah demi kemajuan Indonesia. Salah dan curang di pengelolaan pajak wajib mendapat hukuman setimpal. Dongeng agak bertema berat dibaca bocah-bocah di SD. Buku “menjewer” Indonesia sedang giat melaksanakan program pajak.
Ingat dongeng pajak, kita sambungkan ke ingatan sejarah. Oghokham (1984) di tulisan berjudul “Pajak dan Sejarah” mengingatkan: “Raffles (1811-1816) adalah penguasa Barat pertama yang meletakkan dasar finansial negara kolonial baru di Indonesia – bukan lagi penyerahan hasil bumi untuk ekspor yang dituju. Inggris, dan koloninya, menurut dia, harus dibiayai dengan pajak. Konsep pajak dilahirkan olehnya.” Oh, sistem baru itu berasal dari nalar (kolonial) Eropa. Sistem itu sulit berkembang sempurna di Jawa.
Pajak pun menentukan laju sejarah berupa pemberontakan, indutrialisasi, dan kemunculan angan nasionalisme. Di masa pemberlakuan pelbagai jenis pajak di Indonesia saat terjajah dan merdeka, berlaku anggapan: “Orang kaya biasanya lebih sadar: tidak akan terima bila uang pajaknya dihamburkan negara tanpa dia menerima jasa setimpal.” Sejarah itu berbeda dari dongeng buatan Putut dan digenapi gambar-gambar oleh Ila T.
Kita berpisah dari buku tipis, 41 halaman. Buku bermutu jadi bacaan bocah-bocah masa lalu, belum cetak ulang di abad XXI. Buku itu gagah dengan pemuatan dua sambutan dari Menteri Keuangan (JB Sumarlin) dan Dirjen Pajak (Mar’ie Muhammad). Buku dititipi pesan setelah Dewi Juwita dan Kenari Ajaib dipilih sebagai pemenang sayembara bertema pajak oleh Yayasan Bina Pembangunan. Ada kiriman 297 naskah. Dongeng itu unggul dan ampuh. Pesan JB Sumarlin: “Semoga anak-anak yang membaca dan mempelajari buku tersebut dapat mengenal arti dan pentingya peranan pajak sebagai sarana pembangunan bangsa dan negara, yang selain akan membantu meningkatkan kesadaran bernegara, pada gilirannya nanti juga ikut membantu upaya meningkatkan penerimaan negara dari sektor perpajakan.” Kalimat panjang, sulit dimengerti bocah-bocah lugu menggandrungi dongeng ketimbang sambutan bernalar birokrasi. Kalimat itu mungin salah tempat, ditaruh di halaman awal, sebelum bocah menikmati dongeng.
Sambutan itu mungkin pula membuat buku laris, cetak ulang empat kali, sejak 1989 sampai 1991. Buku pantas disesali tak memuat foto dan biografi pendek pengarang. Buku malah memuat dua foto pejabat berdandan necis. Begitu.          

No comments:

Post a Comment